Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES DINDING ABDOMEN

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Surgikal (Bedah) Ruang 14

Di RS dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

Ulfa Fauziyah Hayati

NIM. 170070301111039

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
ABSES DINDING ABDOMEN

A. DEFINISI
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri,
jaringan nekrotik dan sel darah putih). Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah
(netrofil yang telah mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses
infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme
atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan
aliran darah setempat (Smelltzer at.al, 2005).
Abses dinding abdomen merupakan infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan
pengumpulan pus pada dinding abdomen/perut (Sjamsuhidayat, 2010).
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses atau kapsul, oleh sel-
sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain
di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung
menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau
benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Dinding anterior abdomen dibentuk oleh kulit, fascia superficialis, fascia profunda, otot-
otot, fascia extraperitonealis, dan peritonium parietale. Fascia superficialis dapat dibagi
menjadi lapisan luar, penniculus adiposus (fascia Camperi) dan lapisan dalam, Stratum
Membranosum (fascia Scarpae) fascia profunda pada dinding abdomen hanya merupakan
lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi otot-otot. Otot-otot abdomen dari luar ke dalam
terdiri dari musculus obliques externus abdominis, musculus obliques internus abdominis,
dan musculus transversus abdominis, sebagai tambahan pada masing-masing sisi garis
tengah bagian anterior terdapat sebuah otot vertikal yang lebar, musculus rectus
abdominalis.
Dinding abdomen dilapisi oleh peritoneum parietale yang merupakan membrana serosa
tipis yang terdiri atas selapis mesotel yang terletak pada jaringan ikat dan melanjutkan diri ke
bawah dengan peritoneum parietale yang melapisi rongga pelvis. Peritoneum dibagi dua : 1)
Peritoneum pars parietal, yang melapisi dinding internal abdominal serta mendapat suplai
neurovaskular dari regio dinding yang dilapisinya. 2) Peritoneum pars visceral, yang melapisi
organ intraperitoneal dan mendapat suplai neurovaskular dari organ yang ditutupinya.
Organ peritoneal adalah organ yang ditutupi oleh peritoneum pars visceral, diantaranya :
hati, spleen, gaster, duodenum pars bulbosa, jejunum, ileum, colon transversum, colon
sigmoid, rektum pars superior. Organ retroperitoneal terdiri dari ginjal, Kelenjar adrenal,
pankreas, sisa duodenum, colon ascenden dan descenden.

C. KLASIFIKASI ABSES
Terdapat 2 jenis abses (Price & Wilson, 2006) yaitu:
 Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari
infeksi. Septic abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon
kekebalan tubuh yang diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah
putih yang terinfeksi berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia
yang disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan menghancurkan mereka ke
potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran darah sebelum
menjadi dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna jaringan
tubuh. Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang serupa.
Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung bakteri mati, dicerna
jaringan, sel-sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
 Darah mengalir ke daerah meningkat.
 Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
 Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
 Ternyata merah.
 Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
Keempat tanda panas, bengkak, kemerahan, dan sakit adalah ciri peradangan.
Ketika proses berlangsung, jaringan mulai berubah menjadi cair, dan bentuk-bentuk
abses. Ini adalah sifat abses menyebar sebagai pencernaan kimia cair lebih banyak dan
lebih jaringan. Selanjutnya, penyebaran mengikuti jalur yang paling resistensi, umum,
jaringan yang paling mudah dicerna. Sebuah contoh yang baik adalah abses tepat di
bawah kulit. Paling mudah segera berlanjut di sepanjang bawah permukaan daripada
bepergian melalui lapisan terluar atau bawah melalui struktur yang lebih dalam di mana
ia bisa menguras isi yang beracun. Isi abses juga dapat bocor ke sirkulasi umum dan
menghasilkan gejala seperti infeksi lainnya. Ini termasuk menggigil, demam, sakit, dan
ketidaknyamanan umum.
 Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses yang sama
bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan seperti obat-obatan. Jika
menyuntikkan obat seperti penisilin tidak diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan
dapat menyebabkan iritasi yang cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses
steril karena tidak ada infeksi yang terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah
menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka, bukan kantong-kantong sisa
nanah.

D. ETIOLOGI
Penyebab dari abses dinding abdomen (Price & Wilson, 2006) antara lain :
1. Infeksi Mikrobial
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan kematian sel
dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu
sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubunganya dengan dinding sel. Penyebaran infeksi/peradangan oleh kondisi tertentu
(apendisitis, divertikulitis, dll).
2. Perforasi usus oleh kanker atau trauma
3. Trauma langsung pada perut/ pembedahan
4. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
5. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih (frostbite).
6. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi
terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi
spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang.
7. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya makanan
pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan yang merupakan
stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering memperlihatkan suatu
respon radang akut.
E. FAKTOR RESIKO
Faktor predisposisi dari abses dinding abdomen (Price & Wilson, 2006) yaitu :
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Kurang gizi.
3. Anemia.
4. Diabetes
5. Keganasan(kanker)
6. Penyakit lainya
7. Higienis jelek
8. Kegemukan
9. Gangguan kemotatik
10. Sindroma hiper IgE
11. Carier kronik Staphilococcus Aureus.
12. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi,. ekscoriasis, scabies, pedikulosis.

F. MANIFESTASI KLINIS
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain
yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni
kemerahan (rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya
fungsi (Mansjoer, 2007).
Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut
benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi
nanah (pus).
a. Nyeri tekan
b. Nyeri local
c. Bengkak
d. Kenaikan suhu
e. Leukositosis
f. Tanda-tanda infeksi
 Rubor (kemerahan).
 Kolor (panas) menggigil atau demam (lebih dari 37,7°C).
 Dolor (nyeri).
 Tumor (bengkak) terdapat pus (rabas) bau membusuk.
 Fungtio laesa.

G. PATOFISIOLOGI
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan dengan
cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis), kimiawi
yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada
hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi
respon imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agent fisik
dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan jaringan,kematian jaringan
menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari peradangan,
kemerahan merupakan tanda awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan
aliran darah ke mikro sirkulasi kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal.
Peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan
makrofag mempengaruhi termoregulasi pada suhu lebih tinggi sehingga produksi panas
meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah
mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel darah mendekati
dinding pembuluh darah didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel sehingga
langkah awal terjadi emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang
mengikuti fase hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarya
plasma kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat tekanan
hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi cairan
didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema.
Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses
menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin, dan
serotonin merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor
mekanosensitif dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema akan
mengganggu gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab
kerusakan bisa diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi
resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan debris
terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk flegmon.
Trauma yang hebat menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa fagositosis debris
yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang
rusak (fase organisasi), bila fase destruksi jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan
melalui jaringan granulasi fibrosa. Tapi bila destruksi jaringan berlangsung terus akan terjadi
fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang.
Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan sehingga
terjadi kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat mengakibatkan resiko
penyebaran infeksi.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang dari abses dinding abdomen (Mansjoer, 2007) antara lain:
1. Kultur : Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang
paling efektif.
2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000-
30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan
acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit,
PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan
iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.
5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati
sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
7. BUN/Kr : Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi,
ketidakseimbangan/kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.
8. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan
metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel
darah merah.
10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di
dalam abdomen/organ pelvis.
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T, dan disritmia yang
menyerupai infak miokard.

I. PENATALAKSANAAN
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun
demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan
kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa
ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu pembedahannya yaitu dengan laparatomi
eksplorasi. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil.
Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil
absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan apabila
abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang
lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.
Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan penderita sedemikian hingga
memungkinkan isi abses keluar melalui saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat
dan meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses
kulit.
Abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti
flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan
Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas,
antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui
komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang
efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses,
selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran menyarankan untuk
dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif
dengan menggunakan antibiotik (Mansjoer, 2007).
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari abses dinding abdomen (Soeparman & Waspadji, 2010) antara lain :
1. Infeksi sekunder : merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur atau penjalaran langsung : rongga atau organ yang terkena tergantung pada
letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga
intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3. Komplikasi vaskuler : ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus
gastrointestinal jarang terjadi
4. Parasitemia, amoebiasis serebral : E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan
menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi
fokal intrakranial.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
 Riwayat Kesehatan
Hal-hal yang perlu dikaji di antaranya adalah :
 Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam
seringkali sulit ditemukan.
 Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau terkena peluru.
 Riwayat infeksi ( suhu tinggi ) sebelumnya yang secara cepat menunjukkan rasa sakit
diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa dikeluarkan.
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
 Luka terbuka atau tertutup
 Organ / jaringan terinfeksi
 Massa eksudat dengan bermata
 Peradangan dan berwarna pink hingga kemerahan
 Abses superficial dengan ukuran bervariasi
 Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa fluktuaktif.
 Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik
 Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel darah putih.
 Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT
scan, atau MRI.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut
4. Resiko hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
5. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai proses penyakit dan
tindakan medis yang dilakukan

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam diharapkan rasa
nyaman nyeri terpenuhi
Kriteria hasil : Nyeri hilang / berkurang
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan dan mengetahui
pemberian terapi sesuai indikasi.
 Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan.
 Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna mengurangi rasa nyeri.
 Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai indikasi
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
2. Resiko infeksi berhubungan dengan kulit yang rusak, trauma jaringan, stasis
jaringan tubuh
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : Tanda-tanda infeksi (-), Suhu normal
Intervensi keperawatan
 Observasi tanda terjadinya infeksi.
R/ mengetahui secara dini terjadinya infeksi dan untuk membantu memiih intervesi yang
tepat
 Ganti balutan dengan teknik aseptik.
R/ Teknik aseptic yang tepat menurunkan resiko penyebaran bakteri dan kontaminasi
silang.
 Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari Tingkatan nutrisi dengan diet TKTP
Gunakan pelunak feses bila terdapat konstipasi.
R/ nutrisi untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan mempercepat pertumbuhan
jaringan.
 Berikan antibiotika sesuai program medis.
R/ Antibiotika untuk menghambat dan membunuh kuman patogen.
 Pantau tanda-tanda radang: panas, merah, bengkak, nyeri, kekakuan. Untuk
mengidentifikasi indikasi kemajuan dan penyimpangan dari hasil yang diharapkan
R/ Untuk mengetahui secara dini terjadinya infeksi.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan gangguan
pola tidur teratasi
Kriteria hasil : Pola tidur terpenuhi
Rencana tindakan :
 Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien
Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien dan dapat
menentukan kelainan pada pola tidur.
 Beri lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan aktivitas dan tidur.
 Batasi pengunjung selama periode istirahat
Rasional : Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur pasien
 Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan nyaman
Rasional : Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
 Kolaborasi pemberian terapi analgetika
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur pasien
4. Resiko hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam, pasien tidak mengalami
perubahan suhu tubuh yang signifikan
Kriteria hasil: Suhu tubuh normal
Intervensi Keperawatan
 Mencatat suhu pra operasi dan mengkaji suhu post operasi
R/ Sebagai evaluasi adanya perubahan suhu yang signifikan
 Kaji suhu lingkungan dan modifikasi sesuai kebutuhan
R/ Dapat membantu dalam mempertahankan/menstabilkan suhu pasien
 Lindungi area kulit dari paparan langsung aliran udara
R/ Kehilangan panas dapat terjadi ketika kulit dipajankan pada aliran udara atau
lingkungan yang dingin
 Berikan selimut pada pasien
R/ menjaga kehilangan panas tubuh
 Kolaborasi pemberian antipiretik
R/ Antipiretik merupakan terapi farmakologis untuk menurunkan suhu tubuh.
5. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai proses penyakit dan
tindakan medis yang dilakukan
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 2×24 jam diharapkan cemas berkurang
Kriteria hasil
 Klien tidak bertanya-tanya lagi
 Klien mengatakan mengerti tentang penjelasan
 Wajah tampak relaks
 TTV dalam batas normal
 TD 100-120/60-90 mmHg
 Nadi 60-100x/menit
 RR 16-24 x/menit
Intervensi Keperawatan
 Memberikan penjelasan tentang penyakitnya
R/ Klien akan mengerti dan kooperatif
 Menganjurkan keluarga untuk mendampingi dan memberikan support sistem
R/ Membesarkan jiwa klien
 Memberikan penjelasan sebelum melakukan tindakan apapun
R/ Klien akan mengerti tindakan dan mau bekerjasama
 Mengobservasi TTV
R/ Kecemasan akan meningkatkan TTV
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI: Jakarta

Price, SA dan Wilson, LM. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta

S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 2010, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta

Smeltzer, S.C. 2005, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2,
EGC, Jakarta.

Soeparman dan Waspadji. 2010. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai