Tokoh utama pada Pemberontakan kali ini adalah Andi Abdoel Azis. Andi
Abdoel Azis atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal 19
September 1924 di Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada tahun
1930-an Andi Azis dibawa ke Belanda oleh seorang pensiunan Asisten Residen
bangsa Belanda, dan pada tahun 1935 Andi memasuki Leger School dan lulus dari
sekolah tersebut tahun 1938.
Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan
perjalanannya ke Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya
ingin memasuki sekolah kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit.
Akan tetapi niatnya untuk masuk ke dalam sekolah militer tidak terlaksana karena
pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya untuk masuk kemiliteran,
akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan untuk masuk ke
dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman (Nazi).
Dari pasukan bawah tanah kemudian ia dipindahkan ke garis belakang
pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena
semakin sempitnya kedudukan Sekutu di Eropa, maka secara diam-diam Azis
bersama para kelompoknya menyeberang ke daratan Inggris di mana daerah
tersebut adalah sebuah daerah yang paling aman dari serangan tentara Jerman,
meskipun pada tahun 1944 daerah tersebut sering di bom oleh pasukan udara
tentara Jerman.
Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang
bertempat di sebuah kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian
lama berlatih di kamp tersebut, akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando
tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit Komando. Seterusnya pada tahun
1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis mengikuti
pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi
Sersan Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah
komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat
singgah terakhirnya di Calcutta. Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis
juga seorang Warga Negara Indonesia yang turut serta dalam Perang Dunia ke II
di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis
diperbolehkan untuk memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan
masuk ke dalam satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau memilih untuk
masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di gugus selatan Negara
Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa dengan
orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk
ikut satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa
bersatu kembali bersama orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa
(Jakarta), waktu itu Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di
tugaskan di Cilinding. Pada tahun 1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti
panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa
dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali lagi ke Jakarta dan
mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun 1947,
ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat
Letnan Dua.
Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden
NIT), dan setelah hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan,
kemudian ia ditugaskan menjadi seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-
Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim lagi ke Makasar dan diangkat
sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125 anak buahnya
(KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis
dinaikkan pangkatnya menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi
yang dipimpinnya. Kompi tersebut tidak banyak mengalami perubahan
anggotanya.
Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka
memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda.
Pada saat itu di daerah Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang
sedang dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Di tempat tersebut ada
dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang dilatih. Di antara pasukan
khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan penerjun (Baret
Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis
melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E
Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di
Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-
KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar.
Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan
terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada
tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi
yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL
dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan
lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap
tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika
menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk
perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya
dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral
Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju
untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di
daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus
meninggalkan Makassar.