Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH INDIVIDU

SEJARAH WAJIB

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama : ROFI ALFARABI
Kelas : XII IPS 1

SMA NEGERI 12 PEKANBARU


2021/2022
Daftar isi

A. Ancaman, tantangan dalam negeri


1) Andi Aziz
2) PRRI
3) RMS
4) DI/TII Kartosoewirjo

B. Demokrasi Liberal

C. Demokrasi Terpimpin

D. Orde Baru

E. Kesimpulan dan Saran


Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga penulis
dapat menyusun makalah tentang “Peran Sejarah dalam Membangkitkan Semangat
Nasionalisme” dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan kesadaran
anak bangsa dalam mempelajari sejarah Indonesia dan meningkatkan rasa
nasionalisme sehingga mereka mampu melanjutkan cita-cita para pahlawan pendiri
bangsa.
Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, memfasilitasi,
memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga selesai tepat pada
waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran yang berlimpah.
Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan
saran yang konstruktif dari pembaca sekalian.
Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan
masyarakat.

Pekanbaru, 17 November 2021


Penulis
Rofi Alfarabi,.

A. Ancaman, Tantangan Dalam Negeri

1) Andi Aziz

• Sejarah Hidup
Andi Abdul Azis (19 September 1924 – 11 Januari 1984) adalah
seorang tokoh militer Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam
Peristiwa Andi Azis.

Andi Azis lahir dari keluarga keturunan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada awal
tahun 1930-an Andi Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten
Residen bangsa Belanda ke Belanda. Pada tahun 1935 ia memasuki Leger
School dan tamat tahun 1938 lalu meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944.
Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di
negeri Belanda untuk menjadi seorang prajurit tetapi niat itu tidak terlaksana
karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk
Leger dan bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara
Pendudukan Jerman (Nazi). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis
dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan
pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin
terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya
menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman — walaupun
sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.

• Karier
Di Inggris, ia mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp
sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai
prajurit komando. Selanjutnya pada tahun 1945 ia mengikuti pendidikan
Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet. Pada bulan
Agustus 1945, karena SEAC sedang dalam usaha mengalahkan Jepang di front
timur, mereka memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia,
maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan di komando Perang Sekutu di
India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat
Sersan. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang
ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan
memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu
yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan
(Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang
tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia,
dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar.

• Kembali ke Indonesia
Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta),
waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilincing. Pada
tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri
dinas militer. Setelah itu ia kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan
kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL
dan diberi pangkat Letnan Dua.

Selanjutnya ia menjadi Ajudan Senior, Sukowati (Presiden NIT). Jabatan ini


dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah
seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan
payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret
Merah KNIL) dalam tahun 1948. Pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke
Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu
dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian
masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian ia dinaikan pangkatnya
menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami
perubahan anggotanya.

Pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan karena
Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda dan
juga TNI. Pada saat itu daerah Cimahi adalah daerah dimana banyak prajurit
Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini
setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan
Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis
kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front
Eropa.

• Pemberontakan APRIS
Pasukan Andi Azis ini akhirnya menjadi salah satu punggung pasukan
pemberontak APRIS selama bulan April sampai Agustus di Makassar —
disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Seperti
yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu
mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen — yang
pernah dilatih Westerling — maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir
semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando.

Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun
kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol
Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum
penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku
bersalah, tidak akan naik appel tetapi merencanakan minta grasi kepada
Presiden. Pemberontakan yang dipimpin Andi Azis, mantan perwira
Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), berlangsung mulai 5-15
April 1950.

Pemberontakan yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan itu


dilatarbelakangi oleh tidak setujunya Andi Azis terhadap rencana penyatuan
Negara Indonesia Timur (NIT) ke dalam bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih
berbentuk negara bagian atau federasi. Salah satunya ada NIT yang sudah
terbentuk pada Desember 1946. Wilayahnya terdiri dari kepulauan Sunda
Kecil (sekarang Bali dan sekitarnya), Maluku, dan Sulawesi. Setelah
Konferensi Meja Bundar atau KMB (23 Agustus-2 November 1949) di Den
Haag, Indonesia mengumumkan bentuk Negara RIS dengan dibagi menjadi 16
federasi agar diakui kedaulatannya oleh pihak Belanda.

• Penyebab dan Tujuan Pemberontakan Andi Azis


Andi Azis dan para mantan anggota KNIL ketika itu tidak menyetujui
hal tersebut, terlebih lagi terhadap rencana kedatangan APRIS pada 5 April ke
wilayah Makassar. Di sana, akhirnya terdapat dua kubu yang saling
bersinggungan satu sama lain, yakni Andi Azis dengan pihak yang
menginginkan persatuan.

Terdapat tujuan yang membawa Andi Azis hingga berani menentang


kebijakan pemerintah pusat. Ia ternyata ingin menduduki posisi puncak
pemerintahan negara federasi di bidang militer bersama Soumokil sebagai
tokoh politik dan Sukowati selaku presidennya.

• Dampak Pemberontakan
Pada 5 April 1950, aksi pemberontakan Andi Azis yang sudah disusun
sedemikian rupa bersama para mantan KNIL lainnya. Mereka saat itu
menyerang sektor penting militer bagian Indonesia Timur. Bahkan, Letnan
Kolonel A.J. Mokognita sebagai Panglima Teritorium Indonesia Timur
ditangkap oleh Andi Azis, bawahannya, dan para polisi Makassar.
Pada 8 April 1950, pemerintah Indonesia menitahkan Andi Azis untuk
tanggung jawab dan melaporkan kelakuannya ke Jakarta dalam waktu 4 hari.
Selain itu, ia juga diperintah untuk mencopot para tentaranya di Makassar,
melepaskan tahanan, serta menyerahkan segala persenjataan, ia berhasil
ditangkap pada 15 April 1950. Sedangkan, Sukowati yang tadinya
direncanakan sebagai presiden NIT resmi menyerahkan wilayahnya kepada
NKRI.

Masa pemberontakan Andi Azis dianggap telah usai ketika itu. Akan tetapi,
dampak yang ditimbulkan tidak dapat hilang begitu saja, terlebih lagi Belanda
masih berusaha mengorek kekuasaan di sana. Pada 15 Mei 1950, terjadi lagi
pemberontakan fase kedua, kendati Andi Azis tidak ada. APRIS yang sudah
berada di sana saling berseteru dengan KNIL yang terhasut pihak Belanda.
Berkat bantuan rakyat dan aksi gerilyanya, APRIS berhasil menaklukkan
pergerakan kedua ini tepat pada 19 Mei 1950.

2) PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia )

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia merupakan gerakan oposisi


pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang melahirkan pemerintah
tandingan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini didahului oleh keluarnya
ultimatum Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara dari Dewan
Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein di Padang, Sumatra Barat,
Indonesia.

PRRI berawal dari tuntutan tokoh militer dan sipil Sumatra Tengah mengenai
otonomi daerah dan desentralisasi. Ahmad Husein mendeklarasikan PRRI
pada 15 Februari 1958 setelah merasa pemerintah tidak proaktif menanggapi
tuntutan tersebut. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai sebuah gerakan
separatisme dan menumpasnya dengan pengerahan kekuatan militer terbesar
yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Operasi militer untuk menumpas PRRI memakan banyak korban di pihak


PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar
daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan.
Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI dibunuh dan menjadi korban
kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.

Pasca-PRRI, orang Minang menerima pukulan kejiwaan yang keras; dulu


berada di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan nasional tetapi kini
dicap sebagai pemberontak separatis. PRRI menandai tamatnya riwayat Partai
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kedua partai tersebut dibubarkan oleh
Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam PRRI. Sementara itu,
pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) makin menguat di Sumatra Barat.
Banyak pegawai negeri yang mendukung PRRI diganti dengan orang-orang
komunis.

• Latar belakang
Pascakemerdekaan, kondisi pemerintahan belum stabil. Kesejahteraan
dan pembangunan di awal kemerdekaan masih sangat sulit. Kesenjangan
pembangunan di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya memicu sentimen bahwa
daerah “dianaktirikan”. Sentimen ini kemudian melahirkan upaya-upaya
revolusi di daerah. Pada Agustus dan September 1956 beberapa tokoh dari
Sumatera Tengah mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta. Pertemuan itu
dilanjutkan dengan reuni 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada
20-25 November 1956 di Padang. Divisi IX Banteng adalah komando militer
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa perang
kemerdekaan (1945-1950) dengan wilayah Sumatera Tengah (Sumatra Barat,
Riau, Jambi dan Kepulauan Riau).

Dalam reuni itu muncul aspirasi otonomi untuk memajukan daerah. Disetujui
pula pembentukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein,
komandan Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pada
tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan
Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur
yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah.
Letkol Ahmad Husein mengklaim Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) terbentuk sejak 15 Februari 1958.

• Tuntutan
PRRI mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat, yaitu:
- Kabinet Djuanda
- Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX membentuk
pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan
dilaksanakan
- Soekarno kembali pada posisi konstitusionalnya.

Tuntutan lain yang juga diajukan oleh PRRI yaitu terkait dengan masalah
otonomi daerah dan perimbangan ekonomi atau keuangan yang terjadi antara
pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah pusat dianggap tidak adil kepada para warga sipil dan militer soal
pemerataan dana pembangunan. Sehingga mereka menuntut agar pemerintah
bisa bertindak lebih adil, khususnya pada pemerataan dana pembangunan di
daerah.

• Anggota
Para anggota yang menjadi pelopor gerakan PRRI, yakni:
~ Kolonel Ahmad Husein
~ Sjafruddin Prawiranegara
~ Mr. Assaat Dt. Mudo
~ Maluddin Simbolon
~ Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
~ Moh. Sjafei
~ J.F. Warouw
~ Saladin Sarumpaet
~ Muchtar Lintang
~ Saleh Lahade
~ Ayah Gani Usman
~ Dahlan Djambek

• Operasi Militer
Semenjak adanya gerakan Pemerintahan Revolusi Republik Indonesia,
pemerintah pusat menganggap gerakan tersebut harus segera dituntaskan
dengan gencatan senjata. Pemerintah pun melakukan operasi gabungan yang
terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Angkatan
Perang RI (APRI) untuk menumpas gerakan PRRI. Berikut operasi yang
pernah dilancarkan:
~ Operasi Tegas dengan Sasaran Riau dimulai pada tanggal 12 Maret 1958
dipimpin oleh Let. Kol. Kaharuddin Nasution.
~ Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Inf. Ahmad Yani dimulai
pada tanggal 17 Agustus 1958 dibawah pimpinan Kolonel Achmad Yani.
~ Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol Inf. Rukmito Hendraningrat
terdiri dari:
~ Operasi Sapta Marga I, di Sulawesi Tengah dipimpin oleh Letkol
Sumarsono.
~ Operasi Sapta Marga II, di wilayah Gorontalo dipimpin oleh Mayor Agus
Prasmono.
~ Operasi Sapta Marga III, di kepulauan Sangir-Talaud dan Manado dipimpin
oleh Letnan Kolonel Magenda.
~ Operasi Sapta Marga IV, di Manado dipimpin oleh Letkol Rukminto.
~ Operasi Merdeka adalah gerakan operasi militer yang dilakukan untuk
menumpas Permesta di Sulawesi Utara/Tengah.

Tentara APRI melayangkan berbagai macam tindak kekerasan, bahkan ribuan


orang juga ditangkap dengan cara paksa karena dicurigai sebagai simpatisan
PRRI. Melalui Jenderal Abdul Haris Nasution, tentara PRRI berusaha dibujuk
untuk menyerah dan kembali setia kepada NKRI.

Semasa Kabinet PRRI masih berlangsung, beberapa menteri yang menjabat di


dalamnya, yaitu:
~ Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Perdana Menteri dan
Menteri Keuangan.
~ Mr. Assaat Dt. Mudo menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
~ Kol. Maludin Simbolon menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
~ Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjabat sebagau Menteri
Perhubungan dan Pelayaran.
~ Muhammad Sjafei menjabat sebagai Menteri PPK dan Kesehatan.
~ Saladin Sarumpaet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan.
~ Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama.
~ Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan.
~ Abdul Gani Usman menjabat sebagai Menteri Sosial.
~ Kol. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.

• Dampak
Peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
merupakan salah satu gerakan yang menimbulkan dampak negatif terhadap
keberlangsungan hidup negara Indonesia.

Dampak pergerakan tersebut terhadap pelaku adalah sebagai berikut:


- Jatuhnya Korban Jiwa sebanyak 22.174 jiwa, 4.360 mengalami luka-
luka dan 8.072 orang menjadi tawanan.
- Keadaan Perekonomian Terganggu, muncul inflasi serta deflasi.
- Timbulnya kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas wilayah kepualauan
yang luas dengan aneka ragam masalah yang sering berbeda satu
dengan yang lain.
- Timbulnya perpecahan hubungan persaudaraan.
- Kekurangan bahan makanan

Akibat dari kerusuhan yang berlangsung pada 1958-1960 ini, beberapa SMA,
SMP, serta universitas juga turut ditutup, salah satunya Universitas Andalas
yang baru berjalan selama dua tahun juga harus terpaksa ditutup sebab hampir
semua dosen dan mahasiswanya ikut terlibat dalam PRRI.

Mendekati penghujung tahun 1960, seluruh wilayah di Sumatera Barat


berhasil dikuasai oleh para tentara APRI. Para elemen sipil dan tentara diberi
sebuah amnesti oleh pemerintah yang kemudian dituangkan ke dalam
Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 pada 22 Juni 1961. Namun, amnesti
tersebut tak memberi dampak. Masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa
masih hidup dalam tekanan selama bertahun-tahun.
3) RMS ( Republik Maluku Selatan )

Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan


Maluku yang diproklamasikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya
adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh rujukan] RMS di Ambon dikalahkan
oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih
berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan
dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin
pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi
tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan
terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia
55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

• Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu kota yang pada saat itu terkenal akan
kekayaan rempah-rempahnya, sebab itu Maluku dijuluki sebagai Kepulauan
Rempah. Rakyat Maluku pun berdagang tidak hanya dengan pedagang
Nusantara saja, tetapi juga mancanegara, seperti Tionghoa, Arab, dan Eropa.
Kekayaan Maluku akan rempahnya ini kemudian menjadi daya tarik bagi
bangsa Eropa yang akhirnya menguasai Maluku.
Maluku sendiri dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia dua
hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan.

Bersatunya Maluku dengan Indonesia ini guna untuk mencegah Belanda


dalam upaya menguasai Maluku dan kekayaannya. Namun, setelah Maluku
dinyatakan bersatu dengan NKRI, Manusama, salah satu tokoh pejuang RMS
menyatakan bahwa bergabungnya Maluku dengan Indonesia akan memicu
masalah. Manusama pun mengadakan rapat bersama para penguasa desa di
Pulau Ambon. Dalam rapat tersebut, Manusama mengobarkan semangat anti
pemerintah RIS dan ia mengatakan bahwa orang Maluku tidak mau dijajah
orang Jawa.

• Tokoh Dan Rencana RMS


Perencanaan yang sudah diatur oleh Soumokil dan Andi Azis terkait
NIT pupus. Namun, Soumokil enggan melihat kenyataan bahwa terdapat
banyak kalangan yang menyerukan persatuan negara NKRI. Di Ambon,
Soumokil masih membawa cita-cita sebelumnya untuk menguasai negara
federasi. Ia mengajak beberapa tokoh dan mantan anggota KNIL di Ambon
untuk mendeklarasikan lahirnya RMS. Tujuan Soumokil adalah memisahkan
Maluku Selatan (Ambon, Buru, dan Seram) dari wilayah NKRI. Ia
melancarkan berbagai propaganda untuk menambah pengikut, termasuk
beberapa daerah di Maluku Tengah. Pada 25 April 1950, proklamasi RMS
dilakukan. Di sisi lain, ada beberapa orang di Ambon yang tidak setuju dengan
kehadiran RMS dan menginginkan NKRI. Mereka ditangkap atas perintah
Soumokil.engatakanah Maluku kemudian mengikrarkan proklamasi RMS
sehingga secara resmi republik ini telah terlepas dari NIT dan RIS. Pulau-
pulau besar yang ada di RMS adalah Ambon, Seram, dan Buru.

• Konflik
Setelah RMS diproklamasikan, muncul pemberitaan tentang KNIL dari
Belanda yang dianggap melindungi para proklamator Maluku Selatan.
Keterlibatan KNIL ini kemudian memicu kecurigaan pihak Indonesia terkait
campur tangan Belanda dalam pendirian RMS.

Kementerian Pertahanan RIS pun menyatakan bahwa berdirinya RMS harus


dituntaskan dengan Operasi Militer, dipimpin oleh Kolonel Kawilarang.
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI) dengan sandi
Operasi Malam pun mendaratkan pasukan mereka sebanyak 850 orang untuk
melawan RMS.

Operasi ini dipimpin oleh Komandan Mayor Pellupessy. Para pasukan APRIS
mendarat di Pulau Buru, Kai, Aru, dan Seram di Maluku Selatan. Salah satu
titik pertahanan paling baik yang dimiliki RMS adalah Pulau Ambon,
sehingga pasukan APRIS juga mendarat di sana dan kemudian dibagi tiga
kelompok. Ketiga kelompok tersebut kemudian disebar menuju wilayah
Maluku Selatan, terutama yang dikuasai oleh kelompok RMS.

• Akhir
Setelah kelompok tersebut tersebar di wilayah kekuasaan RMS, pasukan
APRIS pun secara perlahan mulai dapat menguasai wilayah-wilayah tersebut.
Beberapa wilayah di Ambon juga dapat direbut kembali oleh APRIS.
Dikuasainya wilayah RMS ini kemudian diikuti dengan penangkapan Presiden
pertama RMS, JH Manuhutu dan Perdana Menteri RMS Wairissal, beserta
sembilan menteri lainnya.

Mereka semua dijatuhi hukuman penjara selama tiga sampai lima setengah
tahun. Untuk menghindari terulangnya kejadian pemberontakan RMS,
pemerintah RI mengambil tindakan tegas dengan memberikan hukuman mati
terhadap sisa-sisa gerombolan RMS.
4) DI/TII Kartosoewirjo

Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang terjadi pada awal
tahun 1948. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam
Indonesia (TII), sehingga pemberontakan ini sering disebut dengan DI/TII,
gerakan DI/TII memiliki tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia.
Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang
pernah dihadapi Indonesia. Sebab, pemberontakan ini menyebar di berbagai
wilayah Indonesia dari Jawa, Sumatra, Sulawesi maupun Kalimantan.

• Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat


Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat
dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S.M. Kartosuwiryo). Pada
masa pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam
Indonesia yang cukup disegani.

Selama pendudukan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi.


Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I.
Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan
Negara Islam Indonesia. Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo
mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah.
Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga
dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.

Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut


yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia
(TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat. Sejalan
dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville
yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan
pindah ke Jawa Tengah.

Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan


Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih
2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah,
Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara
Islam Indonesia (NII). Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha
menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk
sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).

Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwiryo ke


pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi
melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang disebut dengan
Operasi Baratayudha.

• Pemberontakan DI/TII menyebar ke Jawa Tengah


Di Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah dan
Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang
komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto. Pada 23
Agustus 1949, setelah mendapatkan pengikut, Amir Fatah kemudian
memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan,
Tegal. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa
Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Selain itu, di
Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan
Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu.

Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan


Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat
setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri
dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang. Untuk mengatasi
pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintah RI membentuk pasukan
khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan Raiders ini melakukan
serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng
Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian
diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh
Letnan Kolonel A. Yani.

Berkat operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas


pada 1954. Adapun untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah
melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto.

B. Demokrasi Liberal

• Kehidupan Politik pada Demokrasi Liberal

A. Pergantian Kabinet yang Cepat


Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal menimbulkan
persaingan antar golongan. Masing-masing partai hanya mau mencari
kemenangan dan popularitas partai dan pendukungnnya, sehingga
mengakibatkan ketidakstabilan politik Indonesia. Ketidakstabilan politik juga
diwarnai jatuh bangunnya kabinet karena antara masing-masing partai tidak
ada sikap saling percaya. Sebagai bukti dapat dilihat pergantian kabinet dalam
waktu yang relatif singkat berikut ini.
~ Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951).
~ Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952).
~ Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953).
~ Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953 – Agustus 1955).
~ Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
~ Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957).
~ Kabinet Juanda (Maret 1957 – Juli 1959).

B. Hubungan Pusat dan Daerah


Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat
menyebabkan ketidakpuasan pemerintahan daerah. Karena pemerintahan pusat
sibuk dengan pergantian kabinet, daerah kurang mendapat perhatian.
Tuntutan-tuntutan dari daerah ke pusat sering tidak didengarkan. Situasi ini
menyebabkan munculnya gejala provinsialisme atau sifat kedaerahan. Gejala
provinsialisme akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha memisahkan
diri dari pusat. Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam
pemberontakan, APRA, pemberontakan Andi Azis,RMS, PRRI, dan Permesta.

C. Pemilu I Tahun 1955


Pemilihan Umum (Pemilu) sudah direncanakan oleh pemerintah, tetapi
program ini tidak segera terwujud. Karena usia kabinet pada waktu itu relatif
singkat, persiapan-persiapan secara intensif untuk program tersebut tidak
dapat dilaksanakan. Pemilu merupakan wujud nyata pelaksanaan demokrasi.
Pemilu I di Indonesia akhirnya dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin
Harahap. Pemilu I yang diselenggarakan pada tahun 1955 dilaksanakan dua
kali, yaitu:

Tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan


Rakyat atau Parlemen. Tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Dewan Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar). Secara
serentak dan tertib seluruh warga negara yang mempunyai hak memilih
mendatangi tempat pemungutan suara untuk menentukan pilihannya. Pemilu
berjalan lancar dan tertib dan melahirkan Empat partai yang muncul sebagai
pemenang dalam Pemilu 1955 secara berurut: Partai Nasional Indonesia (PNI),
Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

D. Kemacetan Konstituante
Pemilihan umum tahap II pada tanggal 15 Desember 1955 mengantar
terbentuknya Dewan Konstituante yang bertugas menyusun Undang Undang
Dasar. Namun, antara kurun waktu 1956-1959, Dewan Konstituante belum
berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar tersebut. Ketidak berhasilan
Konstituante menyusun UUD baru dan kehidupan politik yang tidak stabil
menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang
Konstituante yang menganjurkan agar Konstituante menetapkan UUD 1945
menjadi UUD Republik Indonesia. Konstituante kemudian mengadakan
sidang untuk membahas usulan tersebut dan diadakan pemungutan suara untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Pemungutan suara tidak memenuhi kuorum.
Banyak anggota Dewan Konstituante yang tidak hadir. Kemudian diadakan
pemungutan suara yang kedua pada tanggal 2 Juni 1959. Pemungutan suara
kedua juga tidak memenuhi kuorum. Dengan demikian, terjadi lagi kemacetan
dalam Konstituante. Pada tanggal 3 Juni 1959 para anggota dewan
mengadakan reses atau istirahat bersidang. Ternyata reses ini tidak hanya
sementara waktu tetapi untuk selamanya. Artinya, Dewan Konstituante
membubarkan diri.

E. Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Untuk menanggulangi hal-hal yang dapat membahayakan negara, Letjen
A. H Nasution, selaku Kepala Staf Angkatan Darat, mengeluarkan larangan
bagi semua kegiatan politik terhitung sejak tanggal 3 Juni 1959. Kehidupan
politik semakin buruk dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Di
daerah-daerah terjadi pemberontakan merebut kekuasaan. Partai-partai yang
mempunyai kekuasaan tidak mampu menyelesaikan persoalan. Soekarno dan
TNI tampil untuk mengatasi krisis yang sedang melanda Indonesia dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Pertimbangan
dikeluarkannya dekrit Presiden adalah sebagai berikut:
- Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh
keputusan dari Konstituante.
- Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena
sebagian besar anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
- Kemelut dalam Konstituante membahayakan persatuan, mengancam
keselamatan negara, dan merintangi pembangunan nasional.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan
keputusan (dekrit). Keputusan itu dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Isi dekrit ini adalah sebagai berikut:
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Penasihat Agung (DPA).

• Kehidupan Ekonomi pada Demokrasi Liberal


Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi liberal tidak
menunjukkan arah yang stabil. Anggaran pemerintah mengalami defisit atau
kekurangan. Defisit itu disebabkan antara lain oleh beberapa hal berikut ini.
Pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat karena tidak stabilnya
situasi politik.
Pemerintah tidak berhasil meningkatkan produksi dengan menggunakan
sumber-sumber yang masih ada. Politik keuangan dirancang di Belanda
sebagai akibat dari politik kolonial Belanda. Kehidupan ekonomi Indonesia
hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang
menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut.

Di masa demokrasi liberal, sering terjadi perubahan kabinet yang ternyata


berdampak pada kehidupan ekonomi Indonesia saat itu. Untuk memperbaiki
kondisi tersebut, ada beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain:

1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini merupakan pemotongan nilai uang. Caranya dengan memotong
uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga nilainya menjadi setengah.
Kebijakan ini dikeluarkan pada tanggal 20 Maret 1950 oleh Menteri Keuangan
saat itu, Syafruddin Prawiranegara.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua
bagian, bagian kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri tetap
merupakan alat pembayaran yang sah dengan nilai separuh dari nilai nominal
yang tertera, sedangkan guntingan uang kertas bagian kanan ditukarkan
dengan surat obligasi pemerintah yang dapat dicairkan beberapa tahun
kemudian. Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna mengurangi jumlah uang
beredar di masyarakat dan menambah kas negara.

2. Gerakan Benteng
Sistem ekonomi gerakan benteng bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Program ini dicetuskan oleh Dr.
Sumitro Djojohadikusumo, seorang ahli ekonomi Indonesia, yang dituangkan
dalam program kerja Kabinet Natsir. Bertujuan untuk melindungi para
pengusaha dalam negeri dengan cara memberikan bantuan berupa kredit dan
bimbingan konkret. Sekitar 700 pengusaha dalam negeri telah mendapat
bantuan kredit dari pemerintah. Namun, program ini tidak berjalan dengan
baik karena kebiasaan konsumtif yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri.
Banyak yang menggunakan dana kredit tersebut untuk memenuhi kepentingan
pribadinya.
3. Sistem Ekonomi Ali Baba

Sistem ekonomi Ali Baba diprakarsai oleh Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo menteri
ekonomi pada masa Kabinet Ali I. Kabinet ini fokus pada kebijakan Indonesia
dan mengutamakan kaum pribumi. Kata “Ali” mewakili pengusaha pribumi
dan “Baba” mewakili pengusaha Tionghoa. Program ini berisi pemberian
kredit dan lisensi pemerintah untuk pengusaha swasta nasional pribumi agar
dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi. Namun, program ini gagal
karena pengusaha pribumi masih miskin dibandingkan pengusaha nonpribumi.

4. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)


Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap dikirim seorang
delegasi ke Jenewa, Swiss untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi
antara pihak Indonesia dengan Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung
Gde Agung tanggal 7 Januari 1956, adapun kesepakatan yang pada Finek
adalah:
- Hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan
bilateral
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional
-
5. Gerakan Asaat
Gerakan Asaat yang digagas oleh Mr. Asaat bertujuan melindungi
perekonomian warga Indonesia asli dari persaingan dagang dengan pengusaha
asing khususnya Tionghoa. Pada Oktober 1956, pemerintah menyatakan akan
membuat lisensi khusus untuk para pengusaha pribumi.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun ( RPLT )
Ketidakstabilan politik dan ekonomi menyebabkan merosotnya ekonomi,
inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada awalnya kabinet
menekankan pada program pembangunan ekonomi jangka pendek kemudian
dibentuk Badan Perancang Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Pada bulan Mei 1956 biro ini menyusun RPLT.

7. Musyawarah Nasional Pembangunan ( Munap )


Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II terjadi ketegangan antara pusat dan
daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap
adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Rencana tersebut tidak
dapat dilaksanakan dengan baik karena:
- Adanya kesulitan dalam menentukan prioritas.
- Terjadi ketegangan politik.
- Timbul pemberontakan PRRI/ Permesta

8. Nasionalisasi Perusahaan Asing


Selain kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pada warga negara Indonesia,
perkembangan kehidupan ekonomi Bangsa Indonesia di masa demokrasi
liberal juga tidak lepas dari kehadiran perusahaan-perusahaan asing yang
dijadikan menjadi milik pemerintah Indonesia atau lebih dikenal dengan
nasionalisasi. Tahap ini dimulai sejak Desember 1958 dengan dikeluarkannya
undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Beberapa perusahaan asing yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia di
antaranya adalah Bank Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij (Bank
Dagang Negara), Bank De Nationale Handelsbank N. V (Bank Umum
Negara), N.V Nederlandsche Handels Maatschappij (Bank Exim), Koninklijke
Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij/KNILM (Garuda Indonesia),
dll.

9. Nasionalisasi de Javasche Bank


Pada tanggal 19 Juni 1951, Kabinet Sukiman membentuk Panitia Nasionalisasi
de Javasche Bank yang berdasarkan pada keputusan Pemerintah RI No. 122
dan 123. Pemerintah memberhentikan Dr. Houwing sebagai Presiden de
Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai
Presiden de Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15 Desember 1951
diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de
Javasche Bank menjadi Bank Sentral kemudian pada tanggal 1 Juli 1953, de
Javasche Bank berganti menjadi Bank Indonesia.

De Javasche Bank di Batavia yang sekarang menjadi Museum Bank Indonesia


di kawasan Kota Tua Jakarta.

C. Demokrasi Terpimpin

Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa ketika Indonesia menerapkan suatu


sistem pemerintahan dengan seluruh keputusan pemerintah berpusat pada
kepala Negara (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 250). Kepala Negara pada masa
ini dijabat oleh Presiden Soekarno. Masa demokrasi terpimpin dimulai dengan
berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959 sampai tahun 1965.

a. Perkembangan Politik
Kehidupan politik pada masa demokrasi terpimpin dilatarbelakangi pula oleh
belum pernah mencapai kestabilan secara nasional pada masa Demokrasi
Parlementer. Persaingan partai-partai politik yang menyebabkan pergantian
kabinet terus terjadi. Selain itu, Dewan Konstituante hasil pemilu tahun 1955
ternyata tidak berhasil melaksanakan tugasnya menyusun UUD baru bagi
Republik Indonesia.

Oleh karena itu, muncul gagasan untuk melaksanakan model pemerintahan


Demokrasi Terpimpin dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat itu pula,
sistem kabinet parlementer ditinggalkan dan kabinet pada masa demokrasi
terpimpin adalah kabinet presidensial, yang meliputi:
- Kabinet Kerja I
- Kabinet Kerja II
- Kerja III
- Kerja IV
- Kabinet Dwikora I
- Dwikora II
- Dwikora III
Berikut adalah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa
demokrasi terpimpin.
- Presiden menunjuk dan mengangkat anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seharusnya anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dipilih melalui
pemilu bukan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden.
- Presiden membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR)
hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan
Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seharusnya
kedudukan Presiden dan DPR adalah setara. Presiden tidak dapat
membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat memberhentikan
Presiden.
- Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa demokrasi terpimpin
adalah pengangkatan presiden seumur hidup. Seharusnya Presiden
dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilu sebagaimana amanat
UUD 1945.
- Penyimpangan kebijakan politik luar negeri yang pernah terjadi pada
masa demokrasi terpimpin adalah politik luar negeri Indonesia
condong ke blok timur. Padahal dalam UUD 1945, politik luar negeri
Indonesia adalah politik luar negeri bebas aktif (tidak memihak
namun tetap aktif ikut dalam menjaga perdamaian dunia).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik terpusat pada tiga kekuatan
politik terbesar, yakni Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI),
dan TNI Angkatan Darat. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa
Demokrasi terpimpin partai politik tidak mempunyai peran besar lagi dalam
pentas politik nasional. Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai politik
yang diakui oleh pemerintah, yaitu:
~ PNI,
~ NU,
~ PKI,
~ Partai Katolik,
~ Partai Indonesia,
~ Murba,
~ PSII,
~ IPKI,
~ Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan
~ Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

Pada masa demokrasi terpimpin Indonesia banyak melakukan kerja sama


dengan negara-negara komunis seperti Uni Soviet, China, Kamboja, Vietnam,
dan Korea Utara. Beberapa pergerakan politik luar negeri Indonesia pada masa
demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut.

• Oldefo dan Nefo


Oldefo (The Old Established Forces) adalah sebutan untuk negara-negara
barat yang sudah mapan ekonominya, khususnya negara-negara dengan paham
kapiltalisme. Sementara itu, Nefo (The New Emerging Forces) adalah sebutan
untuk negara-negara baru, khususnya negara-negara sosialis. Pada masa
Demokrasi Terpimpin, Indonesia lebih banyak menjalin kerja sama dengan
negara-negara Nefo. Hal ini terlihat dengan dibentuknya Poros Jakarta-Peking
(Indonesia dan China) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Pyongyang
(Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara).

• Politik Mercusuar
Politik Mercusuar merupakan politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno.
Pandangan politik ini memiliki keinginan dan anggapan bahwa Indonesia
dapat menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan
spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan
yang terkemuka di kalangan Nefo.

• Konfrontasi dengan Malaysia


Konfrontasi dengan Malaysia berawal dari keinginan Federasi Malayasia
untuk menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak ke dalam Federasi
Malaysia. Rencana tersebut mendapatkan tentangan dari Filipina dan
Indonesia. Namun pada tanggal 16 September 1963 pendirian Federasi
Malaysia tetap diproklamirkan. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus. Selanjutnya pada tanggal 3
Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora)
yang berisi:
- Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak,
Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan
negara boneka Malaysia.
Pada saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia
dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pencalonan
ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965
Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Secara spontan akhirnya Presiden Soekarno menyatakan Indonesia
keluar dari PBB.

• Pembebasan Irian Barat


Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah
pengakuan kedaulatan RIS. Tetapi pada kenyataannya setelah satu tahun
pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda belum juga menyerahkan Irian
Barat. Persoalan Irian Barat juga telah berulang-ulang dimasukkan ke dalam
acara sidang Majelis Umum PBB, namun tidak mendapatkan tanggapan
positif. Oleh karena itu, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk
menempuh konfrontasi total terhadap Belanda, yakni sebagai berikut.
- Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB
dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia- Belanda. Melalui
UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan
bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada.
- Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan
hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan
seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia. Kemudian
pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang
tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para
ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda.
- Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore)
untuk menandingi pembentukan negara Papua oleh Belanda.
Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno
mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember
1961 di Yogyakarta. Isi dari Trikora 19 Desember 1961 itu adalah sebagai
berikut.
- Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda
kolonial.
- Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando


Mandala tersebut. Mereka mengira, tidak mungkin pasukan Indonesia dapat
masuk ke wilayah Irian. Tetapi setelah operasi-operasi infiltrasi Indonesia
berhasil, akhirnya Belanda bersedia untuk berunding untuk menyelesaikan
sengketa Irian Barat.

• Perjanjian Newyork
Akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang
terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi dari Perjanjian New York
sebagai berikut.
- Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.
- Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963
melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive
Authority) yang dibentuk PBB.
- Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah
Indonesia.
- Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat
(pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap
bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan
PBB.

Berdasarkan hasil Pepera tahun 1969, Dewan Musyawarah Pepera secara


aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan
Indonesia. Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang
Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di
Irian Barat.

• Peristiwa G 30 S/PKI 1965


Peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi pada malam tanggal 30
September 1965. Dalam peristiwa tersebut, sekelompok militer di bawah
pimpinan Letkol Untung melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap
enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat serta memasukkan jenazah mereka
ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta.

Operasi penumpasan G 30 S/PKI dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto


bersama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan Batalyon
328/Para Divisi Siliwangi. Pada malam hari tanggal 1 Oktober 1965, RPKAD
yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo berhasil menguasai kembali
RRI Jakarta dan kantor telekomunikasi yang tengah dikuasasi Letkol Untung.
Selanjutnya, Mayjen Soeharto mengumumkan melalui radio tentang keadaan
yang sebenarnya kepada rakyat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, RPKAD
pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo berhasil sepenuhnya menguasai
keadaan di Jakarta dan pemberontakan G 30 S/PKI berhasil digagalkan.

b. Perkembangan Ekonomi Pada masa Demokrasi Terpimpin


Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah berupaya mengatasi permasalahan
ekonomi yang terjadi sejak masa Demokrasi Parlementer. Dasar bagi
kebijakan ekonomi terpimpin adalah sistem ekonomi terpimpin dengan
pimpinan Presiden Soekarno yang terjun langsung mengatur perekonomian.
Langkah-langkah kebijakan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin untuk
memperbaiki kondisi ekonomi antara lain adalah pembentukan dewan
perancang nasional, devaluasi mata uang rupiah, dan deklarasi ekonomi.
• Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)
Dewan Perancang Nasional (Depernas) dibentuk berdasarkan Undang-undang
No. 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1958. Tugas
dewan ini adalah menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan
nasional yang berencana serta menilai pelaksanaan pembangunan tersebut.

Depernas diketuai oleh Mohammad Yamin dengan 50 orang anggota.


Pelantikannya secara resmi dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 15
Agustus 1959. Pada 26 Juli 1960, Depernas berhasil menyusun sebuah
Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana
untuk tahun 1961-1969.

Pada 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang


Pembangunan Nasional (Bappenas). Ketuanya dijabat secara langsung oleh
Presiden Soekarno. Tugas badan ini menyusun rencana pembangunan jangka
panjang dan jangka pendek secara nasional dan daerah, mengawasi dan
menilai pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan serta menilai hasil kerja
mandataris untuk MPRS.

• Devaluasi Mata Uang Rupiah


Pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi (menurunkan nilai
mata uang) Rp 1.000 dan Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah juga
melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi
jumlah Rp 25.000. Tujuan kebijakan devaluasi dan pembekuan simpanan ini
adalah untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar demi kepentingan
perbaikan keuangan dan perekonomian negara.

• Deklarasi Ekonomi
Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi
Ekonomi (Dekon) di Jakarta. Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi
terpimpin. Tujuan utama Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi nasional
yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai
kemajuan ekonomi.

Mengingat sulitnya untuk mendapatkan bantuan luar negeri, pemerintah


Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem
ekonomi Berdikari yang merupakan akronim dari “Berdiri di atas kaki
sendiri”. Pada bulan September 1963 Presiden Soekarno menunda
pelaksanaan Dekon dengan alasan fokus pada konfrontasi dengan Malaysia.
Upaya-upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masa
Demokrasi Terpimpin tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Kondisi
ekonomi bahkan malah memburuk karena anggaran belanja negara setiap
tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang
memadai. Salah satu penyebab meningkatnya anggaran belanja tersebut adalah
pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis. Harga
barang-barang naik 200 hingga 300 persen pada tahun 1965. Oleh karena itu
pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000 (uang
lama) diganti menjadi Rp 1 (uang baru).

Penggantian uang lama dengan uang baru itu diikuti dengan pengumuman
kenaikan harga bahan bakar. Hal ini menyebabkan mahasiswa dan masyarakat
turun ke jalan menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi:
- Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
- Perombakan kabinet Dwikora
- Turunkan harga pangan

c. Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Demokrasi


Terpimpin
Gambaran kehidupan masyarakat Indonesia pada masa demokrasi termpimpin
dapat dilihat dari beberapa aspek. Berikut mengenai kehidupan masyarakat
Indonesia pada masa demokrasi terpimpin dari aspek sosial, pendidikan, dan
kebudayaan.
• Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial di masa demokrasi terpimpin masih berkecamuk dengan
dengan persaingan antarkekuatan politik yang ada. Ajaran Nasakom
(Nasionalis-Agama Komunis) yang diciptakan Presiden Soekarno sangat
menguntungkan PKI dan membuat kedudukannya di Indonesia semakin kuat.
Melalui Nasakom PKI berupaya agar seluruh aspek kehidupan masyarakat
termasuk bidang sosial, pendidikan, dan seni budaya berada di bawah
dominasinya. Kampus dijadikan sebagai sarana politik, mahasiswa yang tidak
ikut dalam rapat umum atau demonstrasi-demonstrasi dianggap sebagai lawan.
Media massa seperti surat kabar yang menentang dominasi PKI dicabut Surat
Ijin Terbitnya. Dengan demikian surat kabar dikuasai oleh surat kabar PKI
seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
• Pendidikan
Pada 1950-an, murid-murid sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah
lanjutan tingkat atas jumlahnya banyak sekali dan sebagian besar
mengharapkan menjadi mahasiswa. Agar rakyat dapat melanjutkan
pendidikan, pemerintah mendirikan universitas baru di setiap ibu kota provinsi
dan menambah jumlah fakultas di universitas-universitas yang sudah ada.
Untuk memenuhi keinginan umat Islam didirikan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), Adapun untuk murid-murid yang beragama Kristen Protestan dan
Katholik didirikan Sekolah Tinggi Theologia dan seminari-seminari.
Selanjutnya, didirikan pula perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam, Kristen
dan Katholik, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Kristen
Indonesia, serta Universitas Katholik Atmajaya. Tercatat pada 1961 telah
berdiri sebanyak 181 buah perguruan tinggi.
Pada tahun 1962 sistem pendidikan SMP dan SMA mengalami perubahan.
Dalam kurikulum SMP ditambahkan mata pelajaran Ilmu Administrasi dan
Kesejahteraan Masyarakat, dan di SMA dilakukan penjurusan mulai kelas 2,
jurusan dibagi menjadi kelas budaya, sosial, dan ilmu alam. Penjurusan ini
bertujuan untuk mempersiapkan murid-murid SMA untuk memasuki
perguruan tinggi. Pemerintah masa Demokrasi Terpimpin juga membentuk
kelas khusus untuk menampung lulusan sekolah rakyat yang tidak dapat
melanjutkan pendidikan. Mereka dididik dalam kelas khusus ini agar
mendapat keterampilan. Waktu pendidikan kelas khusus ini berdurasi selama 2
tahun. Pada 1960-an muncul masalah di kalangan pendidik yaitu usaha PKI
untuk menguasai Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hal ini
menyebabkan perpecahan di kalangan guru dan PGRI.
• Kebudayaan
Dalam bidang seni muncul berbagai lembaga seni yang dibangun oleh partai
politik, seperti Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) milik PKI, Lembaga
Kesenian Nasional milik Partai Nasional Indonesia, Lembaga seni-Budaya
Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik Nahdhatul Ulama, dan Himpunan
Budayawan Islam milik Masyumi. Lembaga-lembaga tersebut saling bersaing
dan memperebutkan dominasi sesuai dengan haluan politik partai yang
menaunginya.
Pada masa Demokrasi Terpimpin bidang kesenian tidak luput dari upaya
dominasi PKI. Para seniman dan budayawan yang tidak ingin kebudayaan
nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu memproklamasikan
Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Manifesto Kebudayaan mendapat
kecaman keras dari Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang pro-PKI.
Presiden Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu, akibatnya tidak sampai
satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.

D. Orde Baru

Orde Baru adalah rezim yang pernah berkuasa di Indonesia dengan waktu
lama, yaitu 32 tahun. Orde baru dimulai pada tahun 1966 hingga 1998 dan
dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Istilah “Orde Baru” diciptakan untuk
membedakan periode ini dengan periode Indonesia sebelumnya yang dipimpin
oleh Presiden Soekarno.

Masa pemerintahan ini berlangsung sejak diterimanya Surat Perintah Sebelas


Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966 oleh Jenderal Soeharto dan berakhir
ketika reformasi terjadi pada tahun 1998. Namun, kebenaran mengenai
penyerahan pemerintahan kepada Soeharto melalui Supersemar sendiri hingga
saat ini masih menuai perdebatan. Adapun selama berjalannya rezim ini,
Indonesia telah mengubah struktur ekonomi, politik, sosial-budaya, dan
bidang lainnya. Sejarah Orde Baru banyak sekali diwarnai catatan negatif di
bidang politik, HAM, militer, maupun sosial. Sayangnya, beberapa pengaruh
dari perubahan-perubahan atau catatan negatif di era Presiden Soeharto ini
bahkan masih terasa sampai saat ini.

• Latar Belakang Orde Baru

A) G30S/PKI
Setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S) ditumpas, berdasarkan berbagai
bukti yang serta berhasil dikumpulkan, Partai Komunis Indonesia (PKI)
dituding sebagai dalangnya. Hal ini memicu kemarahan rakyat. Bentrokan
fisik antara masyarakat yang setia pada Pancasila dan UUD 1945 dengan
massa PKI terjadi di Jakarta serta berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat, pada


tanggal 14 Oktober 1965, Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto
diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Bersamaan dengan itu dimulai
tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.

Aksi masih terjadi di kalangan masyarakat luas. Berbagai partai politik,


organisasi massa, pemuda, kaum wanita, dan masih banyak lagi secara
serentak membentuk Front Pancasila untuk menghancurkan pendukung
G30S/PKI. Mereka meminta penyelesaian politis terhadap pihak yang terlibat
dalam G30S/PKI. Kesatuan aksi saat itu meliputi KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia), KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia), dan lain-lain. Kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
kemudian dikenal dengan sebutan Angkatan 66.

B) Kondisi Perekonomian
Di sisi lain, kondisi perekonomian semakin bertambah buruk. Barang
keperluan sehari-hari semakin sulit didapat dan harganya pun mahal sehingga
terjadi inflasi. Pemerintah sempat membuat keputusan pemotongan nilai mata
uang rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1. Akan tetapi, harga barang bukan
semakin menurun malah kian tinggi. Pelajar yang tergabung dalam Front
Pancasila bahkan menyatakan kebijakan ekonomi pemerintah saat itu tidak
dapat dibenarkan.

C) Tritura
Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila mendatangi gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan
Rakyat atau Tri Tuntutan Nurani Rakyat. Isi tuntutan Tritura tersebut, yaitu:
- Pembubaran PKI dan ormasnya.
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
- Penurunan harga-harga barang.

Akhirnya, pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan


perubahan kabinet. Namun, perubahan tersebut tidak memuaskan hati rakyat
Indonesia karena masih banyak tokoh diduga terlibat dalam G30S/PKI ada di
dalam kabinet baru, yang dikenal sebagai Kabinet Seratus Menteri.

Pada saat pelantikan anggota kabinet baru tanggal 24 Februari 1966, para
mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi itu kemudian dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa, hingga akhirnya
terjadi bentrokan antara Pasukan Cakrabirawa dan demonstran. Peristiwa ini
mengakibatkan seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Arif Rahman
Hakim gugur. Gugurnya Arif Rahman Hakim ini semakin memberikan
semangat juang demonstran untuk menuntut perubahan dan perbaikan taraf
hidup bagi bangsa Indonesia.

D) Supersemar
Melihat situasi semakin tak terkendali, Presiden Soekarno akhirnya menyusun
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk Jenderal Soeharto. Isi
Supersemar adalah untuk mengendalikan kondisi negara dan mengamankan
wibawa pemerintah. Soeharto akhirnya mengatasi keadaan serba tidak
menentu dan sulit terkendali, sehingga orde baru pun dimulai. Surat perintah
ini digunakan oleh Soeharto untuk memenuhi tuntutan Tritura, seperti
membubarkan PKI, menangkap menteri yang diduga terlibat G30S,
membentuk kabinet baru, dan menjalankan pemerintahan.

• Ciri-Ciri Pemerintahan Orde Baru

~ Dwifungsi ABRI
Banyak prajurit militer dari berbagai pangkat, jabatan, dan angkatan ikut
bekerja dalam pemerintahan, seperti menjabat posisi lurah atau kepala desa.
Hal ini dianggap sebagai tanda menguatnya KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) dalam rezim Orde Baru.

~ Terbatasnya Pilihan Politik


Pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga partai politik yakni PDI, PPP, dan
Golongan Karya. Penyederhanaan ini dilakukan untuk membatasi banyaknya
ideologi yang berkembang. Pembagian tersebut diharapkan dapat menciptakan
kestabilan politik. Sayangnya, menyederhanakan pilihan politik justru
menguatkan Golongan Karya. Kejadian ini dapat dimungkinkan karena
Soeharto membuat kebijakan yang mendukung kemenangan Golongan Karya,
seperti peraturan monoloyalitas PNS.

~ Pembangunan yang Masif


Pemerintahan Orde Baru mempunyai tekad untuk menempatkan pembangunan
infrastruktur fisik dan nonfisik sebagai prioritas. Hal ini sebagai respon atas
kekacauan ekonomi yang terjadi pasca 1965. Selain itu, pemerintah juga
membuka penanaman modal asing dan dalam negeri untuk masuk serta
membuka usaha di Indonesia.

Melalui modal tersebut, pembangunan dapat berlangsung lancar dan


perekonomian kembali normal. Meski demikian, kebijakan penanaman modal
ini disebut hanya menguntungkan keluarga cendana karena sebagian besar
bisnis di Indonesia saat itu dikelola oleh anggota keluarga Soeharto.

~ Pemerintahan Sentralistik
Sistem pemerintahan sentralistik menguatkan kekuasaan pusat terhadap
daerah. Hal ini disebabkan ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah
atau keputusan pemerintah pusat. Pada masa Orde Baru, kebijakan
pemerintahan sentralistik ini berupa kebijakan ekonomi dan pembangunan,
sekaligus penerapan kebijakan politik.

• Perkembangan Ekonomi dan Politik Masa Orde Baru


Ekonomi Indonesia pada sejarah Orde Baru membaik dalam waktu singkat.
Hal ini terjadi karena bantuan aliran modal yang dibuka lebar melalui
konsorsium IGGI. Rezim Orde Baru dapat membuat kestabilan ekonomi
bahkan sebelum tahun 1970. Pembangunan ekonomi nasional Orde Baru
dilakukan melalui Repelita. Program Repelita ini didasarkan atas pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.

Sementara pada perkembangan politik, masa Orde Baru selama 32 tahun


memiliki proses politik sangat dinamis. Pemerintah berhasil
menyelenggarakan 6 kali pemilu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1998. Namun, semua proses demokrasi tersebut dimenangkan oleh
Golongan Karya dan Presiden Soeharto untuk menjabat kembali. Hal ini
dinilai sebagai cara pemerintah mempertahankan kekuasaannya.

• Runtuhnya Orde Baru


Berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia ditandai dengan adanya krisis
ekonomi yang melanda sejak tahun 1997. Krisis tersebut membuat nilai tukar
rupiah jatuh. Badai krisis moneter berlarut-larut akhirnya memancing
kelompok kritis di masyarakat. Kelompok kritis menilai permasalahan
ekonomi ini bertumpu pada kesalahan urus pemerintah Orde Baru. Situasi
yang awalnya hanya berupa krisis ekonomi berkembang menjadi krisis
kepercayaan.

Kepercayaan terhadap pemerintah menurun sehingga memicu kerusuhan,


demonstrasi besar, bahkan penjarahan terutama di Jakarta. Kemarahan
masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa semakin menjadi setelah
Soeharto dicalonkan kembali sebagai Presiden Republik Indonesia pada
pemilu ke-6. Para mahasiswa akhirnya menuntut adanya reformasi pada tahun
1998. Reformasi ini memiliki beberapa tuntutan penting, seperti:
- Penghapusan Dwifungsi ABRI.
- Penurunan maupun pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya.
- Penghapusan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Penegakan supremasi hukum.
- Amandemen UUD 1945.
- Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
Melihat tuntutan reformasi semakin besar, Presiden Soeharto akhirnya
menyampaikan pengunduran diri pada tanggal 21 Mei 1998. Berakhirnya
masa jabatan Soeharto inilah yang menjadi tanda runtuhnya Orde Baru dan
berganti menjadi era Reformasi.

Kesimpulan :
Kesimpulan dari materi diatas disimpulkan bahwa dari makalah ini kita
dapat mengetahui peristiwa pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
melalui kita dapat lebih mendalami dan memahami perjuangan para
pejuang untuk mendapatkan kedaulatan. Yang bisa membangun
semangat para pemuda untuk bisa mempertahankan dan lebih
meningkatkan apa yang sudah para pejuang kita perjuangkan untuk
bangsa. Dapat disimpulkan bahwa perubahan Demokrasi Indonesia
dari tahun 1950 sampai dengan era reformasi memiliki tahap-tahapan
yang presisi dan telah dirangkum secara gamblang di dalam makalah
ini.

Saran :
Kita harus menghormati dan menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan
dengan cara menghargai jasa para pahlawan dan menjaga kedaulatan NKRI.
Membaca atau mendengarkan makalah ini diharapkan kepada pembaca dan
pendengar mampu mengetahui perubahan Demokrasi Indonesia 1950 sampai
dengan era reformasi. Sehingga mampu menjalankan hak dan kewajibannya
sebagai warga negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai