Anda di halaman 1dari 7

Konsep SC

1. Definisi

Sectio Caesarea (SC) adalah tindakan pembedahan untuk melahirkan janin


dengan membuka dinding perut dan dinding uterus (Hanifa, 2002). Menurut Kasdu
(2003) Sectio Caesarea (SC) adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk melahirkan
bayi melalui tindakan pembedahan dengan membuka dinding depan perut dan dinding
rahim. Sectio Caesarea (SC) adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Prawiroraharjo, 2010). Sectio
Caesarea merupakan pengeluaran bayi dari uterus yang utuh melalui operasi abdomen
(Purwanti, 2014).

2. Epidemiologi
Menurut World Health Organisation (WHO), standar rata-rata section caesarea
disebuah negara adalah sekitar 5-15% per 1000 kelahiran di dunia, rumah sakit
pemerintah rata-rata 11%, sementara di rumah sakit swasta bisa lebih dari 30%
(Gibbons, 2010).
Permintaan sectio caesarea di sejumlah negara berkembang melonjak pesat
setiap tahunnya. Pada tahun 70-an permintaan sectio caesarea adalah sebesar 5%,
kini lebih dari 50% ibu hamil menginginkan operasi sectio caesarea (Juditha, 2006).
Menurut NCBI (2005) di Asia Tenggara jumlah yang melakukan tindakan sectio caesarea
sebanyak 9550 kasus per 100.000 kasus pada tahun 2005 (Ferry, 2012).

Angka kejadian sectio caesarea di Indonesia menurut data survey nasional pada
tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh
persalinan (Rasjidi, 2009). Menurut penelitian Sarmana (2004) angka sectio caesarea di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan sebesar 27,76 % dan sebesar 13,88 % diantaranya
merupakan sectio caesarea tanpa indikasi medis yaitu atas permintaan ibu bersalin itu
sendiri (Sarmana, 2004). Berdasarkan data dinas kesehatan jakarta, jumlah tindakan
sectio caesarea pada tahun 2012 adalah 113.796 (Menkes RI, 2012).

1
3. Indikasi

Indikasi Persalinan Sectio Caesarea Menurut Rasjidi (2009) yaitu:

1. Indikasi Mutlak
Faktor mutlak untuk dilakukan SC dapat dibagi menjadi dua indikasi, yang pertama
adalah indikasi ibu, antara lain: panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara
normal karena kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis serviks,
plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur uteri. Indikasi yang kedua adalah
indikasi janin, antara lain: kelaianan otak, gawat janin, prolapsus plasenta,
perkembangan bayi yang terhambat, dan mencegah hipoksia janin karena
preeklamasi.

2. Indikasi Relatif
Yang termasuk faktor dilakukan persalinan SC secara relatif, antara lain: riwayat sectio
caesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia fetal distress, preeklamsi berat, ibu
dengan HIV positif sebelum inpartu atau gemeli.

3. Indikasi Sosial
Permintaaan ibu untuk melakukan sectio caesarea sebenarnya bukanlah suatu
indikasi untuk dilakukan section caesarea. Alasan yang spesifik dan rasional harus
dieksplorasi dan didiskusikan. Beberapa alasan ibu meminta dilakukan persalinan
sectio caesarea, antara lain: ibu yang melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya, ibu yang ingin sectio caesarea secara elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan, namun keputusan pasien harus
tetap dihargai dan perlu ditawari pilihan cara melahirkan yang lainnya. Angka bedah
sectio caesarea secara global menunjukkan kenaikan. 30 tahun yang lalu 1 dari 12
persalinan diakhiri dengan sectio caesarea sekarang perbandingan dengan ini adalah
1 dari 3 persalinan. Kelayakan kenaikan angka bedah masih diperdebatkan, World
Health Organisation (WHO) mematok angka 15% (Rasjidi, 2009).

4. Sectio caesarea primer merupakan resiko SC secara berulang, yang menarik adalah
sesarea elective.
Sectio caesarea elective merupakan semua tindakan operatif yang diindikasi atas
alasan medic sudah ditentukan sebelum persalinan. Sectio caesarea elective primer
atas permintaan mengundang masalah yang pelik, kontroversial dan memprihatinkan.
Peningkatan persalinan SC merupakan hal yang masih menjadi kontroversi di
kalangan penyedia pelayanan kesehatan (Reeder dkk, 2011).

2
4. Klasifikasi

Klasifikasi sectio caesaria menurut Oxorn (2010) adalah:

1. Tipe Segmen bawah : insisi melintang


Insisi melintang segmen bawah uterus merupakan prosedur pilihan abdomen dibuka
dan disingkapkan, lipatan vesika uterina peristoneum yang terlalu dekat sambungan
segmen atas dan bawah uterus di sayat melintang dilepaskan dan segmen bawah
serta ditarik atas tidak menutupi lapangan pandangan.
2. Tipe Segmen bawah : insisi membujur

Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti pada insisi
melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapal dan dilebarkan dengan gunting
tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.
3. Sectio caesaria klasik
Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skapal ke dalam dinding anterior
uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul.
4. Sectio caesaria ekstranperitoneal
Pembedahan ektraperitonial dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi pada
kasus-kasus yang mengalami infeksi luas.

5. Penatalaksanaan
Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC:

1. Penatalaksanaan secara medis Bobak (2004)


a. Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam
Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
b. Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
c. Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain.
d. Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl

2. Penatalaksanaan secara keperawatan menurut Manuaba (2001)


a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah
sesuai kebutuhan.

3
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
1. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
2. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
3. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
4. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
5. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
6. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
1. Antibiotik: Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
 Supositoria :ketopropen sup 2x/24 jam
 Oral :tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
 Injeksi :penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti

4
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
h. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara
tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.

6. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang paling sering muncul akibat operasi adalah akibat
tindakan anastesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung,
komplikasi penyulit, endometriosis (radang endometrium), tromboplebitis (pembekuan
darah pembuluh balik), embolisme (penyumbatan pembuluh darah paru) dan perubahan
bentuk serta letak rahim yang menjadi tidak sempurna (Prawirohardjo, 2010). Komplikasi
yag sering muncul lagi yaitu perdarahan karena atonia uteri, pelebaran insisi uterus,
kesulitan mengeluarkan placenta dan hematoma ligament latum, infeksi pada traktus
genetalia, insisi, traktus urinarius. Komplikasi lain yang bersifat ringan yaitu:

- Pada ibu terjadi infeksi puerperal, perdarahan dan komplikasi lain seperti luka kandung
kemih, embolisme paru
- Pada anak seperti halnya dengan ibunya, kondisi anak sesuai dengan indikasi
dilakukannya SC. Pada negara yang berkembang dan melakukan pengawasan pada
antenatal dan intranatal, kematian bayi mencapai 4 dan 7% (Wiknyosastro, 2007).

5
DAFTAR PUSTAKA

Fadlun dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.

Hanifa. 2002. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Jakarta: POGI Himpunan Kedokteran Feto Maternal.

Kasdu, Dini. 2003. Operasi Caesarea: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara

Kusumawati, Yuli. 2006. Faktor-Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Persalinan Dengan
Tindakan. Semarang: Tesis Universitas Diponegoro.

Manuaba, I B G. 2008. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC.

Maryunani, dkk, 2012. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus, Jakarta; Trans
Info Media.

Manuaba dkk. 2010. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri Ginekologi Sosial untuk
Bidan. Jakarta: EGC.

Morgan, Geri & Hamiton, Carole.(2009). Obstetri & Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta : ECG

Nugroho, Taufan. 2010. Obstetri. Jakarta: Nuha Medica

Oxorn, H dan Forte, WR. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi Fisiologi Persalinan. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica (YEM).

Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Ketuban Pecah Dini.

Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi 4: Cetakan 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Purwanti , Etna; Ossie Happinasari; Dyah Fajarsari. 2014. Hubungan Mobilisasi Dini Pada Ibu
Post Operasi Sectio Caesarea Dengan Pengeluaran Lochea Rubra Di Rsud Dr. M.
Ashari Kabupaten Pemalang. Purwokerto: Bidan Prada: Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 5
No. 1 Edisi Juni 2014, hlm. 19-26.

Rasjidi, I. 2009. Manual Seksio Sesarea Dan Laparotomi Kelainan Adneksia. Jakarta: Sagung
Seto.

Reeder., Martin. Keperawatan Maternitas, Volume 2, Edisi 18, Maternity Nursing Family
Newborn And Women’s Health Care. 2011. Alih bahasa Mochtar, 2011. Jakarta: EGC.

6
Sujiyatini dkk, 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Jakarta: Nuha Medika

Suherni., Widyasih, Hesti., & Rahmawati, Anita. (2009). Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta :
Fitramaya.

Soep. (2009). Pengaruh Intervensi Psikoedukasi Dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU
Dr. Pirngadi Medan. Tesis keperawatan Universitas Sumatra Utara.

Taber B, 2002. Kapita Selekta Kedaruratan Obstertri dan Ginekologi (Alih Bahasa Supriyadi T
dan Gunawan). Jakarta: EGC.

Varney’s, 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC

Wiknjosastro, H, Syaifudin, A & Rachimhadhi, T. 2007. Ilmu Kebidanan, ed 3, cet 9. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Wulandari, Setyo Retno., & Handayani, Sri. (2011). Asuhan Kebidanan Ibu Masa Nifas.
Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Anda mungkin juga menyukai