Perilaku Kekerasan
Perilaku Kekerasan
PERILAKU KEKERASAN
Oleh:
Kelas 3.3
Kelompok 5
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Perilaku Kekerasan. “dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan
makalah mungkin ada sedikit hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta
bimbingan dari dosen pembimbing, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak, atas bantuan,dukungan dan doa nya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini.
Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan perilaku kekerasan?
2. Bagaimana rentang respon pada perilaku kekerasan?
3. Apa saja penyebab dari perilaku kekerasan?
4. Bagaimana tanda dan gejala dari perilaku kekerasan?
5. Bagaimana mekanisme koping pada perilaku kekerasan?
6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dg Gangguan Perilaku Kekerasan?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian perilaku kekerasan.
2. Mengetahui rentang respon pada perilaku kekerasan.
3. Mengetahui penyebab dari perilaku kekerasan.
4. Mengetahui tanda dan gejala dari perilaku kekerasan.
5. Mengetahui mekanisme koping pada perilaku kekerasan.
6. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Pasien dg Gangguan Perilaku Kekerasan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan (Fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph,
2007).
2.2 RENTANG RESPON
Menurut Yosep (2010), rentang respon dari marah, seperti pada gambar 1 berikut:
Keterangan:
1. Asertif, adalah perilaku yang bisa menyatakan perasaan dengan jelas dan
langsung, jarak bicara tepat, kontak mata tapi tidak mengancam, sikap serius
tapi tidak mengancam, tubuh lurus dan santai, pembicaraan penuh percaya diri,
bebas untuk menolak permintaan, bebas mengungkapkan alasan pribadi kepada
orang lain, bisa menerima penolakan orang lain, mampu menyatakan perasaan
pada orang lain, mampu menyatakan cinta orang terdekat, mampu menerima
3
masukan/kritik dari orang lain. Jadi bila orang asertif marah, dia akan
menyatakan rasa marah dengan cara dan situasi yang tepat, menyatakan
ketidakpuasannya dengan memberi alasan yang tepat.
2. Frustasi, merupakan respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
3. Perilaku Pasif, orang yang pasif merasa haknya di bawah hak orang lain. Bila
marah, orang ini akan menyembunyikan marahnya sehingga menimbulkan
ketegangan bagi dirinya. Bila ada orang mulai memperhatikan non verbal
marahnya, orang ini akan menolak dikonfrontasi sehingga semakin
menimbulkan ketegangan bagi dirinya. Sering berperilaku seperti
memperhatikan, tertarik, dan simpati walau dalam dirinya sangat berbeda.
Kadang-kadang bersuara pelan, lemah, seperti anak kecil, menghindar kontak
mata, jarak bicara jauh dan mengingkari kenyataan. Ucapan sering menyindir
atau bercanda yang keterlaluan.
4. Agresif, merupakan perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku yang tampak berupa
muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar.
5. Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai kehilangan kontrol diri, sehingga individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
2.3 ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan,(Keliat,1996)
diantaranya:
1) Faktor psikologis
Phsycoanalytical theory; teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang diekspresikan
dengan seksualitas, dan kedua insting kematian yang diekspresikan dengan
agresivitas.
4
Frustration-aggresion theory; teori yang dikembangkan oleh pengikut
Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau
objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini
mengguanakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
a. Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif
b. Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-
kanak, atau seduction parenteral, yang mungkin telah merusak hubungan
saling percaya (trust) dan harga diri.
c. Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola
pertahanan atau koping.
2) Faktor Sosial budaya
Social-Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977)
ini mengemukakan bahwa “agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain.
Agresi dapat dipelajari melaluli observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bias internal atau
eksternal. Internal: seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es krim
kemudian ibunya membelikannya es krim agar anak itu tidak marah ,anak
yersebut akan belajar bila dia marah dia akan mendapatkan apa yang dia
inginkan.Eksternal:seorang anak menunjukan perilaku agresifsetelah melihat
mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
5
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau
tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan
marah dengan cara yang asertif.
3) Faktor Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai
dasar biologis.
Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah system limbik) binatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama
pada nucleus periforniks hypothalamus dapat menyebabkan seekor kucing
mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, medesis, bulunya berdiri,
menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkam tikus
atau objek yang ada disekitarnya. Jadi kerusakan fungsi system limbik (untuk
emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif : serotonin,
dopamine, norepinephrine, acetilcolin, dan asam amino gaba.
Faktor-faktor yang mendukung :
a. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
b. Sering mengalami kegagalan
c. Kehidupan yang penuh tindakan agresif
d. Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seorang akan merespon terhadap masalah apabila merasa dirinya
terancam. Bila dilihat dari sudut perawat klien, maka factor yang mencetuskan
terjadinya PK adalah terbagi 2, yaitu:
a. Klien : kelemahan fisik, keputus asaan, ketidak berdayaan/ kurang PD.
b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang/ objek yang berharga, konflik interaksi
social. (Yosep, 2007)
6
Faktor –faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan
dengan:
a. Ekspresi diri: ingin menunjukan eksistensi diri atau symbol solidarias seperti
dalam sebuah konser, penonton sepakbola, geng sekolah, perkelahian masal dst.
b. Ekpresi diri tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi social ekonomi.
c. Ketidak siapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidak mampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
7
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
8
2.6 ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi 5 tahapan yaitu: Pengkajian, Diagnosa Keperawatan,
perencanaan/intervensi, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, yang masing-masing
berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan professional tenaga
keperawatan.
Proses keperawatan adalah metoda ilmiah yang digunakan dalam memberikan
asuhan keperawatan klien pada semua tatanan pelayanan kesehatan dan merupakan salah
satu tekhnik penyelesaian masalah (Problem Solving.) (Keliat, 2006)Hubungan saling
percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien gangguan jiwa, karena peran perawat dalam asuhan keperawatan
jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. (Keliat, 2006)Dalam penyusunan asuhan keperawatan melalui
tahapan yaitu pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Pengumpulan data
yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan klien dan
pola pertahanan klien mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnosis keperawatan. (Keliat, 2006)
1) Pengumpulan Data
1. Identitas Klien
Data yang perlu dikaji dalam identitas klien terdiri dari nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, agama, suku bangsa, pekerjaan, status perkawinan,
nomor rekam medik, ruangan, tanggal masuk dan tanggal dikaji, diagnosis
medik dan alamat serta identitas penanggung jawab.(Keliat, 2006)
2. Alasan Masuk
Kaji dan tanyakan pada klien dan keluarga, apakah yang menyebabkan
klien dibawa ke RSJ, upaya apa yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk
mengatasi masalah perilaku kekerasan dan bagaimana hasilnya. (Keliat,
2006)
9
3. Faktor Predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa sebelumnya, jika pernah tanyakan apakah pengobatan yang telah
diberikan berhasil sehingga klien dapat beradaptasi di masyarakat tanpa
gejala-gejala gangguan jiwa, tanyakan pada klien apakah klien pernah
melakukan dan atau mengalami dan atau menyaksikan penganiayaan fisik,
seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan
kriminal, tanyakan pula kepada klien/keluarga apakah ada anggota kluarga
yang lain yang mengalami gangguan jiwa jika ada tanyakan bagaimana
hubungan klien dengan anggota keluarga tersebut serta tanyakan tentang
pengalaman yang tidak menyenangkan (kegagalan, kehilangan /perpisahan
/ kematian, trauma selama tumbuh kembang) yang pernah dialami klien
pada masa lalu. (Keliat, 2006)
4. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang diekspresikan oleh individu sebagai suatu tantangan,
ancaman, tuntutan yang memerlukan energi ekstra yang digunakan untuk
koping.
5. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ, observasi tanda-
tanda vital, tinggi dan berat badan, apakah ada penurunan atau kenaikan
berat badan, dan kaji lebih lanjut tentang system dan fungsi organ serta
jelaskan sesuai dengan keluhan yang ada (Keliat, 2006). Klien dengan
perilaku kekerasan bisanya terlihat gelisah, amuk atau kemarahan disertai
peningkatan tanda-tanda vital.
6. Psikososial
a. Genogram
Genogram minimal 3 generasi yang dapat menggambarkan
hubungan klien dan keluarga, pola komunikasi dalam keluarga,
pengambilan keputusan dan pola asuh (Keliat, 2006).
10
b. Konsep diri
a) Citra tubuh: tanyakan pada klien mengenai persepsi klien
terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukainya. (Keliat, 2006)
b) Identitas diri: tanyakan pada klien mengenai status dan
posisi klien sebelum dirawat, kepuasan terhadap status dan
posisinya, serta kepuasan sebagai laki-laki atau perempuan.
(Keliat, 2006)
c) Peran: tanyakan mengenai tugas dan peran yang diemban
dalam keluarga/masyarakat serta kemampuannya dalam
melaksanakan tugas tersebut. (Keliat, 2006)
d) Ideal diri: tanyakan tentang harapan terhadap tubuh, posisi,
status, tugas/peran: harapan terhadap lingkungannya dan
harapan terhadap penyakitnya. (Keliat, 2007)
e) Harga diri: tanyakan hubungan klien dengan orang lain
sesuai dengan no 1,2,3,4 serta penilaian/penghargaan orang
lain terhadap diri dan kehidupannya. (Keliat, 2006)
c. Hubungan sosial
Orang terdekat dalam kehidupan klien, tempat mengadu, tempat
bicara, minta bantuan atau sokongan. Kelompok apa saja yang
diikuti klien dalam masyarakat. Sejauh mana klien terlibat dalam
kelompok di masyarakat. (Keliat, 2006)
d. Spiritual
a) Nilai keyakinan: pandangan dan keyakinan, terhadap
gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan agama yang
dianut, pandangan masyarakat setempat tentang gangguan
jiwa.
b) Kegiatan ibadah : kegiatan ibadah di rumah secara individu
dan kelompok. Pendapat klien/keluarga tentang gangguan
jiwa. (Keliat, 2006)
11
e. Status Mental
a) Penampilan: observasi penampilan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, apakah penampilan rapi, penggunaan
baju sesuai atau tidak serta cara berpakaian sesuai atau tidak.
(Keliat, 2006)
b) Pembicaraan: amati pembicaraan klien apakah cepat, keras,
gagap, membisu, apatis dan atau lambat (Keliat, 2006). Pada
umumnya klien dengan perilaku kekerasan pembicaraannya
cepat, keras, mendominasi pembicaraan, berkata-kata
dengan ancaman, pembicaran kacau.
c) Aktivitas motorik : kaji melalui observasi dan wawancara
terhadap keluarga mengenai ekspresi lesu, tegang, gelisah,
agitasi (gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan), tik
(gerakan-gerakan kecil pada otot muka yang tidak
terkontrol), grimasen (gerakan otot-otot muka yang berubah-
ubah dan tidak terkontrol), tremor, konfulsif (kegiatan yang
dilakukan berulang-ulang) (Keliat, 2006). Klien dengan
perilaku kekerasan mengalami agitasi, peningkatan kegiatan
motorik, mondar mandir dan gelisah.
d) Alam perasaan: observasi keadaan sedih, putus asa, gembira
berlebih, ketakutan dan khawatir (Keliat, 2006). Pada klien
dengan perilaku kekerasan akibat skizofrenia paranoid
biasanya gembira, sedih berlebihan tidak sesuai dengan
situasi saat ini, alam perasaan tidak sejalan dengan perilaku,
ekpresi raut muka terlihat marah.
e) Afek: observasi keadaan afek apakah datar, tumpul, labil,
serta tidak sesuai (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku
kekerasan emosi labil dan cepat berubah-ubah.
f) Interaksi selama wawancara meliputi: Bermusuhan atau
tidak koperatif atau mudah tersinggung, kontak mata kurang
12
depensif dan curiga (Keliat, 2006). Pada saat berinteraksi
dengan klien dengan perilaku kekerasan akibat skizofrenia
paranoid kemungkinan sifat bermusuhan dan curiga akan
muncul, klien mudah tersinggung, mendominasi
pembicaraan, berusaha mempertahankan pendapat, mudah
curiga terhadap orang lain yang mencoba mendekatinya dan
tidak mudah percaya terhadap orang lain.
g) Persepsi : kaji apakah klien mengalami halusinasi, jika iya
kaji isi halusinasi, frekuensi gejala yang tampak pada saat
klien berhalusinasi, dan perasaan klien terhadap
halusinasinya (Keliat, 2006). Perilaku kekerasan dapat
disebabkan oleh adanya halusinasi pendengaran.
h) Proses pikir : kaji apakah terdapat adanya sirkumtansial
(pembicaraan berbeli-belit tetapi sampai pada tujuan),
tangensial (pembicaraan berbeli-belit dan tidak sampai pada
tujuan), kehilangan asosiasi (pembicaraan yang tidak
memiliki hubungan antar satu kalimat dengan kalimat
lainnya), flight of ideas (pembicaraan yang meloncat-loncat
dari satu topik ke topik lainnya, ada hubungan yang tidak
logis), blocking (pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa adanya
gangguan ekternal, perseverasi (pembicaraan yang diulang-
ulang) (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku kekerasan pada
saat berbicara diulang berkali-kali dan tidak dimengerti,
berbicara terus menerus dan tidak mampu menyusun pikiran
dan idenya.
i) Isi pikir: kaji dari data hasil wawancara apakah terdapat
obsesi (pemikiran yang selalu muncul walaupun klien
berusaha untuk menghilangkannya); Fobia (ketakutan yang
patologis/ tidak logis terhadap objek/situasi tertentu);
Hipokondria (keyakinan terhadap adanya gangguan pada
organ dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada);
13
Depersonalisasi (perasaan klien yang asing terhadap diri
sendiri, orang, atau lingkungannya); Ide yang terkait
(keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi di
lingkungan, bermakna, dan terkait pada dirinya); Pikiran
magis (keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan
hal-hal yang mustahil / diluar kemampuannya); (Keliat,
2006). Klien dengan perilaku kekerasan akibat skizofrenia
paranoid biasanya mengalami waham curiga, obsesi dan
pikiran magis. Waham (keyakinan yang berlebih dan tidak
sesuai dengan kenyataannya, baik waham agama, somatik,
kebesaran, curiga, nihilistik).
j) Tingkat kesadaran: pengkajian dapat dilakukan melalui
wawancara dan observasi, yaitu tentang keadaan bingung
dan sedasi (melayang-layang antara sadar dan tidak); stupor
(gangguan motorik, seperti kekakuan, gerakan yang diulang-
ulang sikap canggung) dilakukan melalui observasi ; dan
orientasi waktu, orang dan tempat didapat melalui
wawancara (Keliat, 2006).
k) Memori: kaji apakah terjadi gangguan pada daya ingat
jangka panjang, jangka pendek, daya ingat saat ini,
konfabulasi (cerita atau pembicaraan yang tidak benar untuk
menutupi gangguan daya ingatnya) (Keliat, 2006).
Kemungkinan akibat perilaku kekerasan yang dialami
mengalami gangguan memori daya ingat jangka panjang,
pendek maupun saat ini.
l) Kemampuan penilaian: kaji apakah terjadi gangguan
kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil keputusan
yang sederhana dengan bantuan orang lain), atau terjadi
gangguan kemampuan penilaian bermakna (tidak dapat
mengambil keputusan yang sederhana walaupun dengan
bantuan orang lain) (Keliat, 2006).
14
m) Tingkat konsentrasi dan berhitung: kaji mengenai
konsentrasi, perhatian dan kemampuan dalam berhitung
(Keliat, 2006).
n) Daya tilik diri: kaji apakah klien mengingkari penyakit yang
diderita dengan adanya perilaku mengkritik diri sendiri
dan/atau orang lain (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku
kekerasan berpandangan mengingkari penyakit.
f. Kebutuhan Persiapan Pulang
a) Makan : observasi dan tanyakan tentang: frekuensi, jumlah,
variasi, macam (suka/tidak suka/pantang) dan cara makan;
serta observasi kemampuan klien dalam menyiapkan dan
membersihkan alat makan.
b) Defekasi/berkemi: observasi kemampuan klien untuk pergi
ke WC, menggunakannya, membersihkannya; serta
kemampuan dalam membersihkan diri dan merapihkan
pakaian.
c) Mandi: observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara
mandi, menyikat gigi, cuci rambut, gunting kuku, cukur
(kumis, rambut, dan jenggot); observasi kebersihan tubuh
dan bau badan.
d) Berpakaian: observasi kemampuan klien untuk mengambil,
memilih, dan mengenakan pakaian serta alas kaki; observasi
penampilan dandanan klien; tanyakan dan observasi
frekuensi ganti pakaian.
e) Istirahat dan tidur: observasi dan tanyakan tentang lama dan
waktu tidur siang dan malam; persiapan sebelum tidur;
aktivitas sesudah tidur.
f) Penggunaan Obat: observasi dan tanyakan tentang
penggunaan obat (frekuensi, jenis, dosis, waktu dan cara
pemberian); reaksi obat.
15
g) Pemeliharaan kesehatan: tanyakan pada klien dan keluarga
tentang apa, bagaimana, kapan, dan tempat perawatan
lanjutan; siapa sistem pendukung yang dimiliki.
h) Aktivitas di dalam rumah: tanyakan kemampuan klien dalam
merencanakan, mengolah, dan menyajikan makanan;
merapihkan rumah; mencuci pakaian; mengatur kebutuhan
sehari-hari.
i) Aktivitas di luar rumah: tanyakan kemampuan klien
berbelanja untuk keperluan sehari-hari; melakukan
perjalanan mandiri (berjalan kaki, menggunakan kendaraan
pribadi dan umum); aktivitas lain yang dilakukan di luar
rumah (Keliat, 2006)
g. Mekanisme koping
Data didapatkan dari melalui wawancara pada klien atau keluarga
tentang koping yang biasa digunakan baik adaptif maupun mal
adaptif.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah psikososial dan lingkungan didapatkan melalui wawancara
dengan klien atau keluarga tentang masalah-masalah berhubungan
dengan dukungan kelompok lingkungan pendidikan pekerjaan,
perumahan ekonomi pelayanan kesehatan dan lain-lain.
i. Pengetahuan
Pengetahuan didapat dari hasil tanya jawab dengan klien atau
keluarga tentang penyakit jiwa, faktor predisposisi, faktor
presipitasi, penggunaan obat-obatan penyakit fisik, mekanisme
koping dan lain-lain (Keliat, 2006 : 85)
2) Analisa Data
Dari data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan menjadi dua
macam yaitu data objektif yang ditemukan secara nyata (data ini didapat
melalui observasi dan periksaan secara langhsung) dan data subjektif yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarganya (data ini didapat dari
16
wawancara perawat kepada klien dan keluarga). Perawat dapat
menyimpulkan kebutuhan atau masalah klien dari kelompok data yang di
kumpulkan yaitu :
a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan, klien hanya memerlukan
pemeliharaan kesehatan dan memerlukan follow up secara periodik
karena tidak ada masalah serta klien telah mempunyai pengetahuan
untuk antisipasi masalah.
b. Klien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya preventif
dan promotif sebagai program antisipasi terhadap masalah.
c. Ada masalah dengan kemungkinan resiko terjadi masalah karena
sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah atau aktual,
terjadi masalah disertai data pendukung (Keliat, 2006 : 4).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan masalah
utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut (Yosep,Iyus.,2007) :
1. Resiko mencederai diri sendiri,orang lain dan lingkungan.
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
17
C. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosa
keperawatan yang muncul setelah melakukan pengkajian dan rencana intervensi
keperawatan dilihat pada tujuan khusus(Yosep,Iyus.,2007)
DIAGNOSA : Resiko mencederai diri ,orang lain ,dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk
18
perilaku 3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang
kekerasan. dialami klien.
19
Klien dapat : Rencana tindakan:
mengidentifi 1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
kasi cara 2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
mengontrol 3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
perilaku 4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai
kekerasan. dalam simulasi.
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel / marah.
6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipilih
20
Klien : Rencana tindakan:
mendapat 1. Bicara tenang,gerakan tidak terburu-buru,nada suara
perlindungan rendah,tunjukan kepedulian
dari 2. Lindungi agar klien tidak mencedera orang lain dari
lingkungan lingkungan
yntuk 3. Jika tidak dapat diatasi,lakukan pembatasan gerak atas
mengontrol pengekangan
perilaku
kekerasan
21
Klien mampu : Rencana tindakan:
menilai 1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
kemampuan 2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan
yang dapat setelah pulang ke rumah
digunakan untuk
diri sendiri dan
keluarga
22
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah
dan memanajemen prilaku kekerasan. Intervensi dapat melalui rentang intervensi
keperawatan (Yosep, Iyus., 2007) yaitu sebagai berikut :
1. Strategi Kesadaran diri Perawat harus menyadari bahwa stress
preventif yang dihadapinya dapat mempengaruhi
komunikasinya dengan klien. Bila
perawat tersebut merasa letih, cemas,
marah, atau apatis maka akan sulit
baginya untuk membuat klien tertarik.
Oleh karenanya, bila perawat itu
sendiri dipenuhi dengan masalah, maka
energy yang dimilikinya bagi klien
menjadi berkurang. Untuk mencegah
semua itu, maka perawat harus terus
menerus meningkatkan kesadaran
dirinya dan melakukan supervise
dengan memisahkan antara masalah
pribadi dengan masalah klien
Pendidikan Pendidikan yang di berikan mengenai
klien cara berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah yang tepat.
Banyak klien yang mengalami
kesulitan mengekspresikan
perasaannya, kebutuhan, hasrat, dan
bahkan kesulitan
mengomunikasikannya semua ini
kepada orang lain. Jadi dengan perawat
berkomunikasi diharapkan agar klien
mau mengekspresikan perasaannya,
lalu perawat menilai apakah respon
23
yang diberikan klien adaptif atau
maladaptif.
24
h) Fasilitasi pembicaraan klien
i) Dengarkan klien
j) Jangan terburu buru
menginterprestasikan
k) Jangan buat janji yang tidak dapat
perawat tepati
25
ketergantungan, juga bias
memperburuk symptom depresi.
Selanjutnya, pada beberapa klien yang
mengalami disinhibiting effect dari
benzodiazepines, dapat mengakibatkan
peningkatan prilaku agresif dan agitasi
klien dengan cedera kepala, demensia,
dan developmental disability.
Antidepressants, penggunaan obat ini
mampu mengontrol impuls dan prilaku
agresif klien yang berkaitan dengan
perubahan mood. Amitriptyline dan
trazodone, efektif untuk
menghilangkan agresivitas yang
berhubungan dengan cedera kepala dan
gangguan mental organic. Mood
stabilizers, penelitian menunjukan
bahwa pemberian lithium efektif untuk
agresif karena manik. Pada beberapa
kasus, pemberiannya untuk
menurunkan prilaku agresif yang
disebabkan oleh gangguan lain seperti
RM, cedera kepala, skizofrenia,
gangguan kepribadian. Pada klien
dengan epilepsy lobus temporal, bias
meningkatkan prilaku agresif.
Pemberian carbamazepines dapat
mengendalikan perilaku agresif pada
klien dengan kelainan
(electroencephalograms).
26
Antipsychotic, obat-obatan ini
biasanya dipergunakan untuk
perawatan perilaku agresif. Bila agitasi
terjadi karena delusi, halusinasi, atau
perilaku psikotik lainnya, maka
pemberian obat ni dapat membantu,
namun diebrikan hanya untuk 1-2
minggu sebelum efeknya dirasakan.
Medikasi lainnya, banyak kasus
menunjukan bahwa pemberian
naltrexone (antagonis opiat) dapat
menurunkan perilaku kekerasan pada
anak dan pada klien dengan gangguan
mental organic.
3. Strategi Managemen Bila pada waktu intervensi awal tidak
pengurungan kritis berhasil, maka diperlukan intervensi
yang lebih aktif. Procedur
penangannan kedaruratan psikiatrik.
Identifikasi pemimpin tim krisis.
Sebaiknya, dari perawat karena yang
bertanggungjawab selama 24 jam.
Bentuk tim krisis yang meliputi dokter,
perawat, dan konselor. Beritahu
petugas keamanan bila perlu. Ketua tim
harus menjelaskan apa saja yang
menjadi tugasnya selama penanganan
klien. Jauhkan klien lain dari
lingkungan. Lakukan pengekangan jika
memungkinkan. Pikirkan suatu
rencana penanganan krisis dan beritahu
tim. Tugaskan anggota tim untuk
27
mengamankan anggota tubuh klien.
Jelaskan perlunya intervensi tersebut
kepada klien dan upayakan untuk kerja
sama. Pengekangan klien jika diminta
oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus
segera mengkaji situasi lingkungan
sekitar untuk tetap melindungi
keselamatan klien dan timnya. Berikan
obat jika diinstrusikan. Pertahankan
pendekatan yang tenang dan konsisten
terhadap klien. Tinjau kembali
intervensi penanganan krisis dengan
tim krisis. Proses kejadian dengan klien
lain dan staf harus tepat. Secara
bertahap mengintegrasukan kembali
klien dengan lingkungan.
Seclusion/ Merupakan tindakan keperawatan yang
pengekangan terakhir. Ada dua macam, pengekangan
fisik fisik secara mekanik ( menggunakan
manset, sprei pengekang) atau isolasi (
menempatkan klien dalam suatu
ruangan dimana klien tidak dapat
keluar atas kemauannya sendiri)
Jenis pengekangan mekanik :
1. Camisoles ( jaket pengekang )
2. Manset untuk pergelangan
tangan
3. Manset untuk pergelangan kaki
4. Menggunakan sprei
28
Indikasi 1. Perilaku amuk yang
pengekangan membahayakan diri sendiri atau
orang lain
2. Perilaku agitasi yang tidak dapat
dikendalikan dengan pengobatan
3. Ancaman terhadap integritas fisik
yang berhubungan dengan
penolakan klien untuk istirahat,
makan, dan minum
4. Permintaan klien untuk
pengendalian perilaku eksternal.
Pastikan tindakan ini telah dikaji
dan berinsikasi terapeutik.
Pengekangan Klien dapat dimobilisasi dengan
dengan sprei membalutnya seperti mumi dalam
basah atau lapisan sprei dan selimut. Lapisan
dingin paling dalam terdiri atas sprei yang
telah direndam dalam air es. Walaupun
mula mula tersa dingin, balutan secara
segera menjadi hangat dan
menenangkan. Hal ini dilakukan pada
perilaku amuk atau agitasi yang tidak
dapat dikendalikan dengan obat :
1. Baringkan klien dengan pakaian
rumah sakit diatas tempat tidur
yang tahan air
2. Balutkan sprei pada tubuh klien
dengan rapid an pastikan bahwa
permukaan kulit tidak saling
bersentuhan
29
3. Tutupi sprei basah dengan selapis
selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernafasan.
Jika tampak sesuatu yang bermakna
buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasan lingkungan
yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang
menenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih
kurang 2jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum
membantu klien berpakaian.
Isolasi Adalah menempatkan klien dalam
suatu ruangan dimana klien tidak dapat
keluar atas kemauannya sendiri.
Tingkatkan pengisolasian dapat
berkisar dari penempatan dalam
ruangan yang tertutup tapi tidak
terkunci sampai pada penempatan
dalam ruang terkunci dengan kasur
tanpa sprei di lantai, kesempatan
berkomunikasi yang dibatasi, dan klien
memakai pakaian RS atau kain terpal
yang berat. Indikasi penggunaan :
a. Pengendalian perilaku amuk
yang potensial membahayakan
klien atau orang lain dan tidak
dapat dikendalikan oleh orang
30
lain dengan intervensi
pengendalian yang longgar,
seperti kontak interpersonal
atau pengobatan.
b. Reduksi stimulus lingkungan,
terutama jika diminta oleh
klien. (Yosep, Iyus., 2007)
E. EVALUASI
Mengukur apakah tujuan dan criteria sudah tercapai. Perawat dapat
mengobservasi perilaku klien. Dibawah ini beberapa perilaku yang dapat
mengindikasikan evaluasi yang positif :
1. Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan kemarahan klien
2. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang tersebut
3. Sudahkah klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya pada yang lain
4. Buatlah komentar yang kritikal
5. Apakah klien sudah mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda
6. Klien mampu menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi perasaan
marahnya
7. Mampu mentoleransi rasa marahnya
8. Konsep diri klien sudah meningkat
9. Kemandirian dalam berfikir dan aktivitas meningkat (Yosep, Iyus.,2007)
31
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang
manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi dan intelegensi. Tidak sedikit masyarakat
yang beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah aib dan memalukan, tidak
bermoral bahkan tidak berimanPerilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2009). Perilaku kekerasan adalah suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam 2
bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan
3.2 SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini pembaca mampu memahami isi dan
maksud penulis serta pembaca tidak hanya berpatokan pada makalah ini melainkan
mencari sumber lain untuk dijadikan pedoman dalam belajar.
32
DAFTAR PUSTAKA
Budi Ana Keliat. (1992). Peran serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta:
EGC
Budi Ana Keliat, dkk (1998). Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat Budi Anna. 2002. Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan. FIK. UI : Jakarta.
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa. Medan: USU Press
Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT Refrika Aditama
33
34