Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

Oleh :
Riska Syntia
AK2318942

AKPER ALKAUTSAR TEMANGGUNG

2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas kuliah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Perilaku Kekerasan”. Meskipun banyak tantangan dan hambatan
yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tetapi saya berhasil menyelesaikan
tugas ini tepat pada waktunya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
meluruskan penulisan ini, baik dosen maupun teman-teman yang secara langsung
maupun tidak langsung memberikan kontribusi positif dalam proses
pengerjaannya.
Saya menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan tulisan ini untuk ke
depannya. Semoga bermanfaat bagi peningkatan proses belajar mengajar dan
menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Temanggung 10 Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Depan
Kata Pengantar ................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................ 2
1.4 Manfaat ................................................................................ 2
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Perilaku Kekerasan........................................................... 3
2.2 Etiologi ................................................................................ 8
2.3 Tanda dan Gejala ................................................................................11
2.4 Pohon Masalah ................................................................................12
2.5 Penatalaksanaan Medis....................................................................... 12
2.6 Pengkajian Keperawatan..................................................................... 14
2.7 Diagnosa Keperawatan.......................................................................23
2.8 Intervensi Keperawatan.................................................................. 24
Lampiran SP ................................................................................28
Bab III Penutup
3.1 Simpulan ................................................................................ 34
3.2 Saran ................................................................................ 34
Daftar Pustaka ................................................................................35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang
stress berat yang membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri,
misalnya : memaki-maki orang disekitarnya, membanting–banting barang,
mencederai diri sendiri dan orang lain, bahkan membakar rumah, mobil dan
sepeda motor.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah berfluktuasi sepanjang rentang
adaptif dan maladaptif. Bila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif
dan menantang, biasanya dilakukan individu karena merasa kuat. Cara demikian
dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan menimbulkan tingkah
laku yang destruktif, sehingga menimbulkan perilaku kekerasan yang ditujukan
pada orang lain maupun lingkungan dan bahkan akan merusak diri sendiri.
Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaptif, yang
timbul sebagai akibat dari kegagalan sehingga menimbulkan frustasi. Hal ini akan
memicu individu menjadi pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menentang. Perilaku kekerasan yang ditampakkan dimulai dari yang rendah
sampai tinggi, yaitu agresif yang memperlihatkan permusuhan keras dan
menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman
tanpa niat melukai sampai pada perilaku kekerasan atau gaduh gelisah.
Perawat harus mampu memutuskan tindakan yang tepat dan segera,
terutama jika klien berada pada fase amuk. Kemampuan perawat berkomunikasi
secara terapeutik dan membina hubungan saling percaya sangat diperlukan dalam
penanganan klien marah pada semua fase amuk / perilaku kekerasan. Dengan
dasar ini perawat akan mempunyai kesempatan untuk menurunkan emosi dan
perilaku amuk agar klien mampu merubah perilaku marah yang destruktif menjadi
perilaku marah yang konstruktif.
Berdasarkan uraian diatas, kami menulis makalah dengan judul “Asuhan
Keperawatan Perilaku Kekerasan”.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang mendasari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah pengertian dari perilaku kekerasan?
1.2.2 Apakah etiologi dari perilaku kekerasan?
1.2.3 Bagaimanakah tanda dan gejala dari perilaku kekerasan?
1.2.4 Bagaimanakah pohon masalah dari perilaku kekerasan?
1.2.5 Bagaimanakah penatalaksanaan medis masalah perilaku kekerasan?
1.2.6 Bagaimanakah pengkajian dari perilaku kekerasan?
1.2.7 Apakah diagnosa yang dapat ditegakkan dari perilaku kekerasan?
1.2.8 Apa sajakah intervensi yang dapat dilaksanakan dari diagnosa perilaku
kekerasan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari perilaku kekerasan
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari perilaku kekerasan
1.3.3 Untuk mengetahui tanda dan gejala dari perilaku kekerasan
1.3.4 Untuk mengetahui pohon masalah dari perilaku kekerasan
1.3.5 Untuk mengetahui penatalaksanaan medis masalah perilaku kekerasan
1.3.6 Untuk mengetahui pengkajian dari perilaku kekerasan
1.3.7 Untuk mengetahui diagnosa yang dapat ditegakkan dari perilaku
kekerasan
1.3.8 Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilaksanakan dari diagnosa
perilaku kekerasan

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini ialah agar mahasiswa mampu
mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai asuhan keperawatan perilaku
kekerasan agar memudahkan mahasiswa mengaplikasikannya dalam menyikapi
masalah yang didapat ketika praktik di Rumah Sakit.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perilaku Kekerasan


Stuart dan Laraia (2005), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai respon
terhadap perasaan terancam baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2002).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan :
1. Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat
dan dirasakan sebagai ancaman.
2. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa,
keinginan tidak tercapai, tidak puas).
3. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive


behaviour) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan
atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada
perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan
agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan,
kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat
membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau
menghukum yang berupa tindakan menyerang, merusak, hingga membunuh.
Agresi tidak selalu diekspresikan berupa tindak kekerasan menyerang orang lain,
agresivitas terhadap diri sendiri, serta penyalahgunaan narkoba hingga tindakan
bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau
agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini, maka perilaku
kekerasan dapat dibagi menjadi dua menjadi perilaku kekerasan verbal dan fisik
(Stuart dan Sundeen, 1995).

3
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Sedangkan menurut
Depkes RI, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Penyakit Jiwa
Jilid 1 edisi 1, halaman 52 tahun 1996, marah adalah pengalaman emosi yang kuat
dari individu dimana hasil / tujuan yang harus dicapai terhambat. Kemarahan yang
ditekan atau berpura-pura tidak marah akan mempersulit diri-sendiri dan
mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung
dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang
lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu perawat harus pula
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan /
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan
Sundeen,1995).
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyesuaian masalah yang
dapat diterima oleh norma-norma social dan kebudayaan, sedangkan respon
maladaptif, yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang
dari norma-norma social dan budaya lingkungannya.
Rentang kemarahan dapat berfluktasi dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Rentang respon kemarahan (Keliat, 2003) dapat digambarkan sebagai
berikut :

Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Ngamuk


(kekerasan)

4
Assertif Mengungkapkan marah Karakter assertif sebagai berikut :
tanpa menyakiti, melukai 1. Moto dan Kepercayaan : yakni bahwa
perasaan orang lain, tanpa diri sendiri berharga demikian juga
merendahkan harga diri orang lain. Assertif bukan berarti selalu
orang lain menang, melainkan dapat menangani
situasi secara efektif. Aku punya hak,
demikian juga orang lain.
2. Pola komunikasi : efektif, pendengar
yang aktif. Menetapkan batasan dan
harapan. Mengatakan pendapat sebagai
hasil observasi bukan penilaian.
Mengungkapkan diri secara langsung
dan jujur. Memperhatikan perasaan
orang lain.
3. Karakteristik : tidak menghakimi.
Mengamati sikap daripada menilainya.
Mempercayai diri sendiri dan orang
lain. Percaya diri, memiliki kesadaran
diri, terbuka, fleksibel, dan akomodatif.
Selera humor yang baik, mantap,
proaktif, inisiatif. Berorientasi pada
tindakan. Realistis dengan cita-cita
mereka.
4. Isyarat bahasa tubuh (non-verbal cues),
terbuka, dan gerak-gerik alami. Atentif ,
ekspresi wajah yang menarik, kontak
mata yang langsung, percaya diri.
Volume suara yang sesuai. Kecepatan
bicara yang beragam.
5. Isyarat Bahasa (Verbal Cues)
a. “Aku memilih untuk...”
b. “Alternatif apa yang kita miliki?”
6. Konfrontasi dan Pemecahan Masalah
a. Bernegosiasi, menawar, menukar,
dan kompromi

5
b. Mengkonfrontir, masalah pada saat
terjadi
c. Tidak ada perasaan negatif yang
muncul.
7. Perasaan yang dimiliki, yaitu :
antusiame, mantap, percaya diri dan
harkat diri, terus termotivasi, tahu
dimana mereka berdiri (Keliat, 1996)
Gaya komunikasi dengan Pendekatan yang harus dilakukan terhadap
orang assertif orang-orang dengan karakter assertif ini
adalah :
1. Hargai mereka dengan mengatakan
bahwa pandangan yang akan kita
sampaikan barangkali telah pernah
dimiliki oleh mereka sebelumnya.
2. Sampaikan topik dengan rinci dan jelas
karena mereka adalah pendengar yang
baik.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang
bersifat penghakiman karena mereka
adalah orang yang sangat menghargai
setiap pendapat orang lain.
4. Berikan mereka kesempatan untuk
meyampaikan pokok-pokok pikiran
dengan tenang dan runtun.
5. Gunakan intonasi suara variatif karena
mereka menyukai hal ini.
6. Berikan beberapa alternatif jika
menawarkan sesuatu karena mereka
tidak suka sesuatu yang berifat kaku.
7. Berbicaralah dengan penuh percaya diri
agar dapat mengimbangi mereka.
Frutasi Adalah respon yang timbul Frustasi dapat dialami sebagai suatu
akibat gagal mencapai tujuan ancaman dan kecemasan. Akibat dari
atau keinginan. ancaman tersebut dapat menimbulkan
kemarahan.

6
Pasif Sikap permisif / pasif adalah Salah satu alasan orang melakukan permisif
respon dimana individu tidak / pasif adalah karena takut / malas / tidak
mampu mengungkapkan mau terjadi konflik.
perasaan yang dialami , sifat
tidak berani mengemukakan
keinginan dan pendapat
sendiri, tidak ingin terjadi
konflik karena takut akan
tidak disukai atau menyakiti
perasaan orang lain.
Agresif Sikap agresif adalah sikap Perilaku agresif sering bersifat menghukum,
membela diri sendiri dengan kasar, menyalahkan, atau menuntut. Hal ini
melanggar hak orang lain termasuk mengancam, melakukan kontak
fisik, berkata-kata kasar, komentar
menyakitkan dan juga menjelek - jelekkan
orang lain dibelakang. Sikap agresif
merupakan perilaku yang menyertai marah
namun masih dapat dikontrol. Orang agresif
biasanya tidak mau mengetahui hak orang
lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang
harus bertarung untuk mendapatkan
kepentingan sendiri. Agresif
memperlihatkan permusuhan, keras dan
menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata ancaman tanpa niat
melukai.Umumnya klien masih dapat
mengontrol perilaku untuk tidak melukai
orang lain.
Kekerasan Disebut sebagai gaduh Perilaku kekerasan ditandai dengan
gelisah atau amuk menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman melukai
disertai melukai di tingkat ringan dan yang
paling berat adalah melukai merusak secara
serius. Klien tidak mampu mengendalikan
diri . mengamuk adalah rasa marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan

7
kontrol diri. Pada keadaan ini, individu
dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain (Keliat, 2002).
2.2 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama, insting hidup
yang diekspresikan dengan seksualitas dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression Theory : Teori yang dikembangkan oleh
pengikut Freud ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk
mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, maka akan timbul dorongan
agresif yang pada gilirannya akan memotivasi prilaku yang dirancang
untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi, hampir
semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku
agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif :
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu
memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh
dari pengalaman tersebut :
1) Kerusakan otak organik dan retardasi mental sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada
masa kanak-kanak atau seduction parental yang mungkin telah
merusak hubungan saling percaya dan harga diri
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor Sosial Budaya

8
Sosial Learning Theory, teori ini mengemukakan bahwa agresi
tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari
melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi,
seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa
internal atau eksternal. Contoh internal : orang yang mengalami
keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif
dibandingkan mereka yang tidak menonton, seorang anak yang marah
karena tidak boleh beli es krim kemudian ibunya memberinya es agar si
anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah,
maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal :
seorang anak menunjukkan prilaku agresif setelah melihat seseorang
dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah
boneka. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor Biologis
Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus binatang ternyata menimbulkan
prilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada impuls
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan
cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, mengeram, dan hendak
menerkam tikus atau objek yang ada disekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan
fungsi sistim limbic (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interprestasi indra
penciuman dan memori). Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan
perilaku agresif: serotonin, dolpamin, norepinefrin, asetilkoin, dan asam
amino GABA. Factor-factor yang mendukung adalah : 1) masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami kegagalan, 3)

9
kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4) lingkungan yang tidak
kondusif (bising, padat).

d. Perilaku
Reinforcment yang terima pada saat melakukan kekerasan dan
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Keliat, 1996).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila
merasa dirinya terancam. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia
tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama
mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal.
Contoh stressor eksternal : serangan secara fisik, kehilangan hubungan yang
dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh
dari stressor eksternal : gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang
dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut
perawat klien, maka factor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan
terbagi dua, yakni :
a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga,
konflik interaksi sosial.

Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan, atau interaksi


dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan , dan kekerasan merupakan factor penyebab lain.

10
Interaksi social yang provokatif dan konflik dapat pula pemicu perilaku
kekerasan (Keliat, 1996).

2.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi.
1. Data Subjektif :
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul / melukai
2. Data Objektif :
a. Wajah memerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Mengatup rahang dengan kuat
e. Mengepalkan tangan
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Berdebat
i. Mondar-mandir
j. Memaksakan kehendak
k. Memukul jika tidak senang
l. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit
m. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua
pasien berada pada risiko tinggi
n. Memperlihatkan permusuhan
o. Melempar atau memukul benda atau orang lain.

11
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda-tanda marah adalah sebagai
berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah
(dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, napas pendek, keringat,
sakit fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan / kebenaran diri, keraguan,
tidak bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat
e. Social : menarik diri, pengasingan , penolakan, kekerasan, ejekan,
dan humor.

2.4 Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan Effect


lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Konsep Diri Causa

(Sumber : Keliat, B.A., 2009)

2.5 Penatalaksanaan Medis


1. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut Depkes RI
(2000), jenis obat psikofarmaka adalah :

12
a. Clormromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham dan gejala-gejala
lain yang biasanya terdapat pada penderita skizoprenia, mania depresif,
gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.

b. Haloperidol (Haldol, Serenace)


Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles de la
Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku
berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi
6-15 mg untuk keadaan berat. Kontraindikasinya depresi system saraf
pusat atau keadaan koma, penyakit Parkinson, hipersensitif terhadap
haloperidol. Efek sampingnya sering mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,
gelisah.
c. Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanaanya manifestasi psikosa khususnya gejala
skioprenia.
d. ECT ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang
satu atau dua temples. Terapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis
terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
2. Tindakan keperawatan
Keliat (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga
dalam mengatasi marah klien, yaitu :
a. Latihan secara non verbal / perilaku
Arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak dan tidak
menyebabkan cedera pada klien itu sendiri seperti bantal, kasur, dst.
b. Latihan secara social atau verbal
bantu klien relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan
pernapasan 2 x / hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan napas.

13
Kemudian berteriak, menjerit untuk melepaskan perasaan marah. Bisa juga
mengatasi marah dengn dilakukan tiga cara, yaitu : mengungkapkan,
meminta, menolak dengan benar. Bantu melalui humor. Jaga humor tidak
menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang menjadi sasaran dan
diskusi cara umum yang sesuai.

c. Metode TAK (Terapi Aktivitas Kelompok)


Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa
memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau
terapi serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok
tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi
perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut.
1. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2. Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
3. Merupakan proses menerima umpan balik.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan
mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
Cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi
satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin
satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu
sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan
interdependensi.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi
terapi bagi anggotanya, yang setiap anggota berkesempatan untuk
menerima dan memberikan umpan balik terhadap anggota yang lain,
mencoba cara baru untuk meningkatkan respons sosial, serta harga diri.
Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok yaitu adanya dukungan
pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan
meningkatkan hubungan interpersonal.

Terapi aktivitas kelompok itu sendiri mempermudah psikoterapi


dengan sejumlah pasien dalam waktu yang sama. Manfaat terapi aktivitas

14
kelompok yaitu agar pasien dapat belajar kembali bagaimana cara
bersosialisasi dengan orang lain, sesuai dengan kebutuhannya
memperkenalkan dirinya. Menanyakan hal-hal yang sederhana dan
memberikan respon terhadap pertanyaan yang lain sehingga pasien dapat
berinteraksi dengan orang lain dan dapat merasakan arti berhubungan
dengan orang lain (Bayu, 2011).
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan.
Wilson dan Kneisl menyatakan bahwa terapi aktivitas kelompok adalah
manual, rekreasi, dan teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman
seseorang serta meningkatkan repon social dan harga diri (Keliat, 2009).
Pada pasien dengan perilaku kekerasan selalu cenderung untuk
melakukan kerusakan atau mencederai diri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan tidak jauh dari kemarahan. Kemarahan adalah perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan
sebagai ancaman. Ekspresi marah yang segera karena suatu sebab adalah
wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi
marah yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering
diekspresikan secara tidak langsung (Sumirta, 2013).
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan
mempersulit diri sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal.
Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan tidak konstruktif pada
waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu mengetahui tentang
respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah (Yosep, 2010).
Atas dasar tersebut, maka dengan terapi aktivitas kelompok (TAK)
pasien dengan perilaku kekerasan dapat tertolong dalam hal sosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Tentu saja pasien yang mengikuti terapi ini
adalah pasien yang mampu mengontrol dirinya dari perilaku kekerasan
sehingga saat TAK pasien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu
anggota kelompok lain.

15
2.6 Pengkajian Keperawatan
I. Identitas Klien
Tgl Pengkjian : 05 Juni 2020 Inisial :S
Umur : 25 Status : Lajang
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA
II. Alasan
Keluarga mengatakan sejak kejadian pelecehan klien sering marah –
marah, mudah tersinggung, sulit tidur, mengamuk, merusak alat rumah
tangga, ketawa sendiri, malas bekerja dan merasa dirinya tak berharga
III. Faktor Predisposisi
1. Pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu? (ya/tidak)
2. Pengobatan sebelumnya? (berhasil/kurang berhasil/tidak berhasil)
3. Penolakan dari lingkungan : (ya / tidak)
Jelaskan :
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa?
( ya/tidak)
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan (ya/tidak)

IV. Fisik
1. Tanda vital : TD :110/80 N: 72/Menit S: 37 P:20x/m
2. Ukuran : TB:157 BB: 50kg
3. Keluhan fisik (ya/tidak)
Jelaskan: Tidak ada keluhan fisik yang dirasakan klien
V. Psikososial
1. Dalam keluarga klien jarang berkomunikasi dengan anggota keluarga
yang lain karena merasa malas dan senang menyendiri. Pengambilan

16
keputusan dalam keluarga diambil oleh ayahnya. Dalam pola asuh
klien diasuh oleh orang tua sendiri.

2. Konsep Diri
a. Citra Tubuh :
Klien menganggap tubuhnya sebuah anugrah dari tuhan. Klien
merasa sedih dengtan ytang dialaaminya
b. Identitas Diri :
Sebelum sakit, klien pernah sekolah sampai dengan SMA. Setelah
klien tamat SMA klien tidak bisa melanjutkan.
c. Peran :
Klien berusia 25 tahun, klien belum menikah. Klien mengatakan
takut untuk berumah tangga karena klien masih trauma engtan apa
yang menimpanya.Dalam melaksanakan tugas dirumah klien
melakukannya bersama dengan ibunya seperti : menyapu, mencuci
piring, mencuci baju dan membantu memasak.
d. Ideal Diri :
Klien berharap agar bisa sembuh dan cepat pulang
e. Harga Diri :
Klien merasa diriya sudah tidak berharga

3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti :
Klien mengatakan bahwa orang yang paling dekat ibunya. Dalam
keluarga klien merasa enggan untuk berkomunikasi lebih senang
menyendiri di kamar.
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat :
Klien selalu menyendiri
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :
Klien merasa takut saat berhubungan dengan orang lain
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan:

17
Klien dan keluarganya beragama Islam, klien melakukan ibadah
sholat.

VI. Status Mental


1. Penampilan (tidak rapi / penggunaan pakaian tidak sesuai/ cara pakaian
tidak seperti biasanya)
Jelaskan : Klien berpenampilan cukup rapi, dalam penggunaan baju
sesuai. Klien berbadan kecil, rambut panjang, bersih.
2. Pembicaraan
( ) Cepat ( ) Apatis ( ) Kasar
( ) Lambat ( ) Gagap ( ) Membisu
( ) Inkoherensi ( ) Tidak mampu memulai pembicaraan
Jelaskan : Klien berbicara baik, dapat menjawab pertanyaan, kadang
marah-maarah ddn menangis
3. Aktivitas motoric
( ) Lesu ( ) Gelisah ( ) TIK ( ) Tremor
( ) Tegang ( ) Agitasi ( ) Grimasem ( ) Kompulsif
Jelaskan : Klien terlihat gelisah, tegang, sering berpindah – pindah
4. Afek/ emosi
( ) Datar ( ) Tumpul ( ) Labil ( ) Tidak sesuai
Jelaskan : Labil
5. Interaksi selama wawancara
( ) Bermusuhan ( ) Mudah tersinggung ( ) Defensive
( ) Tidak kooperatif ( ) Kontak mata kurang ( ) Curiga
Jelaskan :klien terlihat gelisah
6. Persepsi
( ) Pendengaran ( ) Penglihatan ( ) Perabaan
( ) Pengecapan ( ) Penghidupan
Jelaskan : Klien selalu measa cemas
7. Proses pikir
( ) Sirkumstansial ( ) Tangensial ( ) Kehilangan asosiasi
( ) Flight of ideas ( ) Blocking

18
( ) Pengulangan pembicaraan / preservarasi
Jelaskan : Pada saat wawancara klien mengalami sirkumtansial.
Klien selalu berpikitr dirinya tiak berharga lagi

8. Isi pikir
( ) Obsesi ( ) Hipokondria ( ) Ide yang terkait
( ) Phobia ( ) Dipersonalisasi ( ) Pikiran magis
Waham
( ) Agama ( ) Somatik ( ) Kebesaran ( ) Curiga
( ) Nihilistic ( ) Sisip pikir ( ) Siar pikir ( ) Control pikir
Jelaskan : Klien selalu berpikitr dirinya tiak berharga lagi
9. Tingkat kesadaran
( ) Bingung ( ) Sedasi ( ) Stupor
Disorientasi
( ) Waktu ( ) Tempat ( ) Orang
Jelaskan : Klien tampak bingung dan tidak terfokus.
10. Memori
( ) Gangguan daya ingat jangka panjang
( ) Gangguan daya ingat jangka pendek
( ) Gangguan daya ingat saat ini ( ) Konfabulasi
Jelaskan : Klien mengalami gangguan daya ingat kaarena ingin
melupakan kejadianyag tragis
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
( ) Mudah beralih
( ) Tidak mampu berkonsentrasi
( ) Tidak mampu berhitung sederhana
Jelaskan : Klien mampu berkomunikasi, tidak mampu berkonsentrasi
lama dan sering memutuskan pembicaraan secara sepihak, mampu
berhitung.
12. Kemampuan penilaian
( ) Gangguan ringan ( ) Gangguan bermakna
Jelaskan : Gangguan bermmakna

19
13. Daya tilik diri
( ) Mengingkari penyakit yang diderita
( ) Menyalahkan hal-hal di luar dirinya
Jelaskan : Menyalahkan dirinya sendiri
VII. Mekanisme Koping
Klien jika mempunyai masalah lebih senang berdiam diri dikamar, marah -
marah. Jika sudah tidak tahan lagi klien kemudian menjadi mengamuk
atau merusak barang-barang yang ada
VIII. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Menurut keluarga semenjak klien marah-marah dan mengamuk,
lingkungan tidak mau menerima klien dan hal ini membuat klien menjadi
lebih menarik diri.
IX. Pengetahuan Kurang Tentang
Klien tidak mengetahui tentang penyakitnya, tanda dan gejala
kekambuhan, obat yang diminum dan cara menghindari kekambuhan.
Pemahaman tentang sumber koping yang adaptif dan manajemen hidup
sehat kurang.:
X. Aspek Medik
Diagnosa medik : Skizofrenia tak terinci
Terapi medik : Chlorpromazine 1 x 100 mg
Haloperidole 2 x 5 mg
Triheksifenidile 2 x 2 mg

20
 Fokus pengkajian :
Alasan utama klien adalah perilaku kekerasan di rumah.
1. Data Subyektif :
- Keluarga mengatakan klien mengamuk
- Keluarga mengatakan klien marah-marah
- Keluarga mengatakan klien merusak barang-barang (memecah piring,
membanting gelas, dll)
- Keluarga mengatakan klien mengancam ataupun sampai melukai orang
lain, dsb.
- Keluarga mengatakan klien memiliki trauma pelecehan seksual.
- Keluarga mengatakan klien tidak mampu menerima keadaan dirinya
akibat sakit yang diderita, kecelakaan, kecacatan.
2. Data obyektif :
- Pada hasil observasi ditemukan adanya pandangan tajam, muka merah,
otot tegang, mengatupkan rahang dengan kuat, nafas pendek.
- Agitasi motoric : bergerak cepat, tidak mampu duduk diam,
mengepalkan tangan , melempar barang, memukul dengan tinju kuat,
merampas, mengapit kuat, respirasi meningkat, membentuk aktivitas
motoric tiba-tiba (katatonia)
- Verbal : mengancam pada objek yang tidak nyata mengaau minta
perhatian, berdebat, meremehkan, bicara keras-keras, menunjukkan
adanya delusi pikiran paranaoid.
- Afek : marah, permusuhan, kecemasan yang ekstrim, mudah
terangsang, euphoria tidak sesuai atau berlebihan.
- Tingkat kesadaran : bingung, status mental berubah tiba-tiba,
disorientasi, kerusakan memori, tidak mampu dialihkan.

21
2.7 Diagnosa Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan
Definisi : Kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali
secara verbal sampai dengan mencederai orang lain dan / atau merusak
lingkungan.

Penyebab :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Perubahan status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan zat / alcohol

Gejala dan Tanda Mayor :


Subjektif : Objektif :
1. Mengancam 1. Menyerang orang lain
2. Mengumpat dengan 2. Melukai diri sendiri / orang lain
kata-kata kasar 3. Merusak lingkungan
3. Suara keras 4. Perilaku agresif / amuk
4. Bicara ketus

Gejala dan Tanda Minor :


Subjektif : Objektif :
(tidak tersedia) 1. Mata melotot atau pandangan tajam
2. Tangan mengepal
3. Rahang mengatup
4. Wajah memerah
5. Postur tubuh kaku

22
Kondisi Klinis Terkait :
1. Attetion deficit / hyperactivity disorder (ADHD)
2. Gangguan perilaku
3. Oppositional defiant disorder
4. Gangguan Tourette
5. Delirium
6. Demensia
7. Gangguan amnestic
(SDKI, 2016)

23
2.8 Intervensi Keperawatan
PERENCANAAN
NO DX KEP.
TUJUAN KRITERIA EVALUASI
1 Risiko Perilaku TUM: Setelah dilakukan ...x 20 menit interaksi 
kekerasan  Klien dapat melanjutkan diharapkan klien dapat mencegah tindakan 
hubungan peran sesuai kekerasan pada diri sendiri, orang lain,
tanggung jawab. maupun lingkungan. 
Kriteria Evaluasi : 
TUK 1: a. Klien mau membalas salam. 
Klien dapat membina b. Klien mau berjabat tangan
hubungan saling percaya c. Klien menyebutkan Nama
d. Klien tersenyum
e. Klien ada kontak mata
f. Klien tahu nama perawat
g. Klien menyediakan waktu untuk kontrak
TUK 2: a. Klien dapat mengungkapkan 
Klien dapat perasaannya.
mengidentifikasi penyebab b. Klien dapat menyebutkan perasaan 
marah / amuk marah / jengkel
TUK 3: a. Klien dapat mengungkapkan perasaan 
Klien dapat saat marah /jengkel.
mengidentifikasi tanda b. Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda 
marah jengkel / kesal
TUK 4: a. Klien mengungkapkan marah yang biasa 
Klien dapat dilakukan
mengungkapkan perilaku b. Klien dapat bermain peran dengan 
marah yang sering perilaku marah yang dilakukan
dilakukan c. Klien dapat mengetahui cara marah yang 
dilakukan menyelesaikan masalah atau
tidak
TUK 5: a. Klien dapat menjelaskan akibat dari cara 
Klien dapat yang digunakan
mengidentifikasi akibat 
perilaku kekerasan

TUK 6: a. Klien dapat melakukan berespon 

24
Klien mengidentifikasi cara terhadap kemarahan secara konstruktif.
konstruksi dalam berespon 
terhadap perilaku kekerasan


TUK 7: a. Klien dapat mendemonstrasikan cara 
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan :
mendemonstrasikan cara  Tarik nafas dalam 
mengontrol marah  Mengatakan secara langsung
tanpa menyakiti 
 Dengan sholat / berdoa 

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI


TGL KEPERA KEPERAWATAN
WATAN

5 Juni Perilaku kekersan SP I: S: klien mengatakan


20 1. membina namanya Rusli suka
09.00 hubungan saling dipanggil Rusli.
percaya O: klien bicara lancar,
2. mendiskusikan tampak gelisah dan tidak

25
bersama klien terfokus
penyebab marah, tanda A: dapat terbina hubungan
dan gejala PK, PK yang saling percaya
dilakukan saat marah, P: lanjutkan intervensi 2
akibat PK, cara kontrol
PK
3. mengajarkan cara
kontrol PK dengan
Fisik I ( tarik nafas
dalam )

4. membimbing
pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan
harian
6 Juni SP II: S: klien mengatakan
20 1. Memvalidasi pernah memukul ibunya
09.00 masalah. ketika meminta di timang
2. melatih cara – timang seperti bayi.
kontrol PK dengan Klien merasa bersalah dan
Fisik II ( pukul bantal ) meminta diajari cara
3. membimbing mengontrol marah,
pasien memasukkan O: klien kooperatif,
dalam jadwal kegiatan tatapan mata tajam,
harian tampak tegang, klien
dapat memahami perilaku
SP II : kekerasan
1. memvalidasi A: PK dapat terpahami
masalah. oleh klien
2. Melatih cara P: lanjutkan intervensi 3
control PK dengan cara
fisik II (pukul bantal)

26
3. Mengikutsertakan
klien dalam jadwal
kegiatan sehari-hari.

7 Juni SP III S: klien mengtakan bisa


20 1. Memvalidasi tenang setelah tarik nafas
09.00 masalah dalam dan akan
2. melatih kontrol mencobanya ketika
PK dengan cara verbal hendak marah.
3. membimbing O:klien kooperatif, Klien
pasien memasukkan mampu
dalam jadwal kegiatan mendemonstrasikan cara
harian fisik I( tarik nafas
dalam) .
A:dapat terkontrol PK
dengan tarik nafas dalam
P: lanjutkan intervensi
SP2
- bimbing klien
dalam memasukkan
teknik kontrol marah ke
jadwal kegiatan harian
- ajarkan teknik
kontrol marah dengan
fisik 2 (pukul batal )

Juni SP IV S : klien mengatakan


20 1. memvalidasi belum dapat mengontrol
09.00 masalah emosi, dan akan mencoba
2. melatih kontrol cara control marah yang
PK dengan cara sudah diajarkan (pukul
spiritual bantal).

27
3. Membimbing O: raut muka tegang,
pasien memasukkan kontak mata baik, tampak
dalam jadwal kegiatan gelisah
harian A: SP II belum optimal
P: optimalkan SP II,(cara
control marah dengan cara
fisik II pukul bantal)

Juni SP V S: klien mengatakan dapat


20 1. Memvalidasi mengontrol emosinya
09.00 masalah dengan cara fisik II(pukul
2. menjelaskan cara bantal)dan berusaha
kontrol PK dengan melakukannya saat
minum obat teratur sedang marah.
3. membimbing O: klien tampak senang,
pasien memasukkan klien mampu
dalam jadwal kegiatan mendemontrasikan cara
harian fisik II dengan baik tanpa
bimbingan.
A: SP II tercapai.
P: Lanjutkan SP III ( cara
control PK dengan cara
verbal).
Juni
20 S : klien mengatakan
09.00 masih ingat cara control
marah yang sudah
diajarkan (tarik nafas
dalam dan pukul bantal),
klien mengatakan sudah
sering berdo’a dan shalat
di RSJ
O: klien tampak senang,

28
kontak mata baik, klien
bersedia membicarakan
dengan baik – baik ketika
marah
A: SP III tercapai
P: lanjutkan SP IV
(dengan cara spiritual)
Juni S : klien mengatakan
20 sudah dapat mengontrol
09.00 emosi, dan akan mencoba
cara control marah dengan
berdo’a dan shalat
O: klien tampak senang
A: SP II belum optimal
P: lanjutkan SP V (dengan
cara minum obat teratur)
Juni S : klien mengatakan
20 sudah teratur dalam
09.00 meminum obat
O: klien tampak tenang
dan senang, klien
kooperatif
Juni S : klien mengatakan
20 sudah teratur dalam
09.00 meminum obat
O: klien tampak tenang
dan senang, klien
kooperatif
A: dapat menggunakan
obat secara teratur
P: pertahankan kondisi
pasien

29
Lampiran

STRATEGI PELAKSANAAN (SP)

TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN

RESIKO TINGGI KEKERASAN

Pertemuan 1                                                     Hari, TGL : Minggu, 5 Juni 2020

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien :
a. Data Subjektif
· Klien mengatakan pernah melakukan tindak kekerasan
· Klien mengatakan sering merasa marah tanpa sebab
b. Data Objektif
· Klien tampak tegang saat bercerita
· Pembicaraan klien kasar jika dia menceritakan marahnya

30
· Mata melotot, pandangan tajam
· Nada suara tinggi
· Tangan mengepal
· Berteriak
2. Diagnosa Keperawatan :
Risiko perilaku kekerasan
3. Tujuan Tindakan Keperawatan :
a. Tujuan Umum
b. Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan secara fisik
c. Tujuan Khusus
· Klien dapat membina hubungan saling percaya
· Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
· Klien dapat mengidentifikasi tanda gejala perilaku kekerasan
· Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
· Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
· Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
· Klien dapat mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan
fisik 1: teknik nafas dalam
· Klien dapat memasukkan latihan ke dalam jadwal kegiatan harian.
4. Tindakan Keperawatan :
· Bina hubungan saling percaya
· Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan marahnya
· Bantu klien mengungkapkan penyebab perilaku kekerasan
· Bantu klien mengungkapkan tanda gejala perilaku kekerasan yang
dialaminya
· Diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukan selama ini
· Diskusikan dengan klien akibat negative (kerugian) cara yang dilakukan
pada diri sendiri, orang lain/keluarga, dan lingkungan
· Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik : teknik napas dalam
· Anjurkan klien untuk memasukkan kegiatan didalam jadwal kegiatan
harian

31
B. Strategi Komunikasi
1. Fase Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat pagi Mbk. Perkenalkan nama saya Riska, Saya  adalah
mahasiswa dari AKPER ALKAUTSAR TEMANGGUNG
Hari ini Saya yang akan merawat Mbk
Nama Mbk siapa dan suka dipanggil siapa? Baiklah mulai sekarang saya
akan panggil Mbk S saja, ya”
b. Evaluasi/validasi
“bagaimana perasaan Mbk saat ini? Saya lihat Mbk sering tampak marah
dan kesal, sekarang Mbak masih merasa kesal atau marah ?”

c. Kontrak :
· Topik
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang hal-hal yang
membuat Mbak S marahh dan bagaimana cara mengontrolnya? Ok.
Mbak?”
· Waktu
Berapa lama Mbak punya waktu untuk berbincang-bincang dengan
saya? Bagaimana kalau 15 menit saja?
· Tempat
Mbak senangnya kita berbicaranya dimana?. Dimana saja boleh kok,
asal Mbak merasa nyaman. Baiklah, berarti kita berbicara di teras
ruangan ini saja ya, Mbak”
· Tujuan
Agar Mbak dapat mengontrol marah dengan kegiatan yang positif
yaitu dengan latihan fisik 1 : teknik nafas dalam dan tidak
menimbulkan kerugian untuk diri sendiri maupun orang lain.
2. Fase Kerja
“Nah, sekarang coba Mbak ceritakan, Apa yang membuat Mbak
merasa marah? ”

32
Apakah sebelumnya Mbak pernah marah? Terus, penyebabnya apa?
Samakah dengan yang sekarang?”
“Lalu saat Mbak sedang marah apa yang Mbak rasakan? Apakah Mbak
merasa sangat kesal, dada berdebar-debar lebih kencang, mata melotot,
rahang terkatup rapat dan ingin mengamuk? ”
“Setelah itu apa yang Mbak lakukan? ”
“Apakah dengan cara itu marah/kesal Mbak dapat terselesaikan? ” Ya tentu
tidak, apa kerugian yang Mbak alami?”
“Menurut Mbak adakah cara lain yang lebih baik? Maukah Mbak belajar
cara mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan
kerugian?”
”Jadi, ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, Mbak. Salah satunya
adalah dengan cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik, rasa marah Mbaak
dapat tersalurkan.”
”Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar 1 cara dulu? Namanya
teknik napas dalam”
”Begini Mbak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah  Mbak
rasakan, maka Mbak berdiri atau duduk dengan rileks, lalu tarik napas dari
hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiup perlahan –lahan melalui mulut”
“Ayo Mbak coba lakukan apa yang saya praktikan tadi, mbak berdiri atau
duduk dengan rileks tarik nafas dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup melalui
mulut. Nah, lakukan 5 kali. “
“Bagus sekali, Mbak  sudah bisa melakukannya”
“ Nah Mbak tadi telah melakukan latihan teknik relaksasi nafas
dalam, sebaiknya latihan ini Mbak lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul Mbak sudah terbiasa melakukannya”
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
· Subyektif
“Bagaiman perasaan Mbak setelah kita berbincang-bincang
dan melakukan latihan teknik relaksasi napas dalam tadi? Ya...betul,
dan kelihatannya Mbak terlihat sudah lebih rileks”.

33
· Obyektif
”Coba Mbak sebutkan lagi apa yang membuat Mbak marah, lalu apa
yang Mbak rasakan dan apa yang akan Mbak lakukan untuk
meredakan rasa marah”. Coba tunjukan pada saya cara teknik nafas
dalam yang benar.
“Wah...bagus, Mbak masih ingat semua...”
b. Rencana Tindak Lanjut (RTL)
“Bagaimana kalau kegiatan ini rutin dilakukan 5 kali dalam 1 hari dan di
tulis dalam jadwal kegiatan harian Mbak.
c. Kontrak yang akan datang
· Topik  :
“ Nah, Mbak. Cara yang kita praktikkan tadi baru salah 1 nya saja.
Masih ada cara yang bisa digunakan untuk mengatasi marah Mbak.
Cara yang ke-2 yaitu dengan teknik memukul bantal .
· Waktu :
“Bagaimana kalau kita latihan cara yang ke-2 ini besok, Bagaimana
kalau 15 menit lagi saja?
· Tempat :
“Kita latihannya dimana, Mbak? Di teras ruangan ini saja lagi ,
Mbak”. “ok, Mbak. 

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Perilaku kekerasan merupakan respon emosi yang timbul sebagai reaksi
terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman, ungkapan
perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan tidak
tercapai, tidak puas), serta perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam baik berupa
ancaman serangan fisik atau konsep diri. Perasaan marah berfluktuasi sepanjang
rentang adaptif dan maladaptif.
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyesuaian masalah yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan, sedangkan respon
maladaptif, yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang
dari norma-norma sosial dan budaya lingkungannya.

35
3.2 Saran
Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah perilaku kekerasan sehingga bisa membantu klien dan keluarga dalam
mengatasi masalahnya.
Kemampuan perawat dalam menangani  klien dengan masalah perilaku
kekerasan meliputi keterampilan dalam pengkajian, diagnose, perencanaan,
intervensi dan evaluasi. Salah satu contoh intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan adalah dengan
mengajarkan teknik napas dalam atau memukul kasur/bantal agar klien dapat
meredam kemarahannya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Candra, I Wayan, dkk. 2017. Modul Praktikum Jiwa Mahasiswa Semester V


Prodi D-IV Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar. Denpasar :
Jurusan Keperawatan Poltekkes Denpasar
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Andi
Pello, Agnes. 2017. Terapi Aktivitas Kelompok (Tak) Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan. Diunduh pada tanggal 1 Oktober 2018 dari:

https://www.academia.edu/35272180/TERAPI_AKTIVITAS_KELOMPO
K_TAK_PADA_PASIEN_DENGAN_RESIKO_PERILAKU_KEKERAS
AN
Stuart, GW dan SJ Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. St Louis : Mosby Year Book
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia
Yusuf, Ah. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Diunduh pada
tanggal 13 September 2018 dari :
https://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20keperawatan
%20kesehatan%20jiwa.pdf

37

Anda mungkin juga menyukai