Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN PSIKIATRI

“ RESIKO PERILAKU KEKERASAN ”

Dosen Pembimbing: Ns. Feri Fernandes, M.Kep., Sp.Kep.J

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Nurul Istiqamariah 2111312033

Ferlicia Wayuri 2111311015

Nabila Dwi Damayanti 2111312048

Rahma puspita novendi 2111313027

Angellyta verzir 2111313021

Frythariadini 2111313039

Muzafar Nashiruddin Q 2111311033

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Resiko Perilaku Kekerasan”.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Keperawatan Psikiatri. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan para pembaca dan juga bagi penulis mengenai “Resiko Perilaku Kekerasan”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ns. Feri Fernandes,


M.Kep.,Sp.Kep.J selaku dosen mata kuliah Keperawatan Psikiatri yang telah memberikan
tugas ini, sehingga dapat menambah dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, 1 Maret 2023

Kelompok 8

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB I..............................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang....................................................................................................4

1.2 Rumusan masalah...............................................................................................5

1.3 Tujuan Makalah..................................................................................................5

BAB II ...........................................................................................................................6

2.1 Defenisi Resiko Perilaku Kekerasan...................................................................6

2.2 Etiologi Resiko Perilaku Kekerasan...................................................................7

2.3 Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan....................................................8

2.4 Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasan......................................................9

2.5 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan.......................................................10

2.6 Komplikasi Resiko Perilaku Kekerasan..............................................................11

2.7 Mekanisme Koping Resiko Perilaku Kekerasan.................................................11

2.8 Penatalaksanaan Medis Resiko Perilaku Kekerasan...........................................12

2.9 Asuhan Keperawatan Teoritis Resiko Perilaku Kekerasan................................13

BAB III...........................................................................................................................22

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................22

3.2 Saran ..................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Klien dengan perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku tersebut yang
disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi (Kusumawati & Hartono,
2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefinisikan kekerasan sebagai
penggunaan sengaja fisik kekuatan atau kekuasaan, terancam atau aktual, melawan diri
sendiri, orang lain atau terhadap kelompok atau komunitas yang baik menghasilkan atau
memiliki kemungkinan tinggi yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis,
malfungsi pembangunan atau kekurangan.

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukaiatau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba
dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan
secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional,
marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual(merasa dirinya sangat berkuasa, tidak
bermoral). Perilaku kekerasan merupakansuatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia
akut yang tidak lebih dari satu persen (Purba dkk, 2008).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO


(2001)menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah
mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2-0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120
juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira2.400.000 orang anak yang mengalami
gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO tahun 2006
mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami
gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

4
1. Apa yang dimaksud dengan konsep dasar resiko perilaku kekerasan ?
2. Apa saja etiologi resiko perilaku kekerasan ?
3. Apa saja tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan ?
4. Apa yang dimaksud rentang respon dari resiko perilaku kekerasan?
5. Apa saja pohon masalah dari resiko perilaku kekerasan?
6. Apa saja komplikasi dari resiko perilaku kekerasan?
7. Apa mekanisme koping dari pasien dengan resiko perilaku kekerasan?
8. Apa saja penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan?
9. Apa saja asuhan keperawatan teoritis pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi resiko perilaku kekerasan


2. Untuk mengetahui etiologi resiko perilaku kekerasan
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan
4. Untuk mengetahui rentang respon resiko perilaku kekerasan
5. Untuk mengetahui pohon masalah resiko perilaku kekerasan
6. Untuk mengetahui apa komplikasi klien dengan resiko perilaku kekerasan?
7. Untuk mengetahui apa mekanisme koping dari pasien dengan resiko perilaku
kekerasan?
8. Untuk mengetahui apa saja penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan?
9. Untuk mengetahui apa saja asuhan keperawatan teoritis pada pasien dengan
resiko perilaku kekerasan ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Resiko Perilaku Kekerasan

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive behavior)


yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, termasuk kepada hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi
sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku.
Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan perasaan dendam atau
ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang
orang lain (assault), agresivitas terhadap diri sendiri (self aggression) serta
penyalahgunaan narkoba (drugs abuse). Untuk melupakan persoalan hingga tindakan
bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis. (Muhith, Abdul, 2015). Berdasarkan defenisi ini, maka perilaku
kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku secara verbal dan fisik. Sedangkan marah
tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat
perasaan marah (Stuart dan Sudden, 1995).

Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan
yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Ekspresi marah yang segera karena suatu
penyebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi
marah tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering diekspresikan secara tidak
langsung. Marah adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu dimana hasil/tujuan
yang harus dicapai terhambat. (Depkes RI, 1996). Kemarahan yang ditekan atau pura-
pura tidak marah akan mempersulit diri sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal.
Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini maka perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan

6
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan. (Dermawan,
Deden,dkk, 2013).

2.2 Etiologi Resiko Perilaku Kekerasan


a. Faktor Presisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
1. Faktor biologis
a) Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
b) Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system limbic berperan
sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
2. Faktor psikologis
a) Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi
frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku
kekerasan.
b) Behavior Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas/situasi yang mendukung
c) Eksistensial Theory (Teory Eksistensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut
tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan
memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
1. Faktor sosiokultural
a) Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)

7
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan
marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif dan
agresif
b) Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialitas.

b. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian dan
lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa
cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu lingkungan yang terlalu
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat
memicu perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).

2.3 Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan

Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya antara lain:

Data subjektif :

a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam


b. Klien mengungkapkan perasaan tidak berguna
c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa
tercekik, dada terasa sekal dan bingung
e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

Data objektif :

a. Muka merah
b. Mata melotot
c. Rahang dan bibir mengatup
d. Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal

8
e. Tampak mondar-mandir
f. Tampak bicara sendiri dan ketakutan
g. Tampak berbicara dengan suara tinggi
h. Tekanan darah meningkat
i. Frekuensi denyut nadi meningkat
j. Nafas pendek
(Kartika Sari Wijayaningsih, 2015)

2.4 Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasan

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence (Ermawati Dalami,


dkk 2014)

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan
agresif/perilaku kekerasan.

a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau


mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti
orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan
menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi
atau ketakutan (panik).

Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah bisa diekspresikan
secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif, menggunakan kata-kata
yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan

9
persaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah diekspresikan dengan
perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian
tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan
dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga
rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan destruktif yang
ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan, Deden, 2013).

2.5 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan


Resiko tinggi mencederai diri sendiri, dan orang lain

Perilaku Kekerasan Gangguan persepsi


sensori: halusinasi
pendengaran

Regiment Harga Isolasi


terapeutik diri sosial:
rendah menarik
inefektif kronis diri

Koping keluarga Berduka


tidak efektif disfungsional

(Fitria, Nita 2010)

2.6 Komplikasi Resiko Perilaku Kekerasan

Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

10
2.7 Mekanisme Resiko Perilaku Kekerasan

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998). Kemarahan merupakan
ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme
koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:

a. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu


dorongan, penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat
rasa marah.
b. Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
c. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil,
membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan dengan
berlebih-lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya
sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman-teman suaminya,
akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja
mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya, mulai
bermain perang-perangan dengan teman-temannya. (Muhith, Abdul, 2015).

2.8 Penatalaksanaan Resiko Perilaku Kekerasan

11
Antianxiaty dan sedative-hypnotics, obat-obatan ini mengendalikan agitasi yang akut.
Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam sering digunakan dalam
kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan
kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk symptom depresi. Selanjutnya,
pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari benzodiapzepines, dapat
mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspiron obat anxiety, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini
ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
demensia, dan development disability.

Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsive dan perilaku


agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan trazodone,
efektif untuk menghilangkan agresitivitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan
gangguan mental organic. Mood Stabilizer penelitian menunjukkan bahwa pemberian
lithium efektif untuk agresif karena manic.

Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk menurunkan perilaku agresif yang


disebabkan oleh gangguan lain seperti RM, cedera kepala, skizofrenia, gangguan
kepribadian. Pada klien dengan epilepsy lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku
agresif. Pemberian carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien
dengan kelainan (electroencephalograms).

Antipsyhoyic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan perilaku


agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi atau perilaku psikotik lainnya, maka
pemberian obat ini dapat membantu, namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum
efeknya dirasakan. Medikasi lainnya, banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian
naltrexone (antagonis opiat) dapat menurunkan perilaku mencederai diri. Betablockers
seperti propanolol dapat menurunkan perilaku kekerasan pada anak dan pada klien
dengan gangguan mental organic. (Muhith, Abdul, 2015).

2.9 Asuhan Keperawatan Teoritis Resiko Perilaku Kekerasan

1. Pengkajian Keperawatan

12
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien.

Tahap pengkajian terdiri atas:

1. Identitas pasien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan status


mental, suku bangsa, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat dan
alamat.

2. Alasan Masuk

Alasan yang menyebabkan pasien atau keluarga datang atau dirawat di rumah
sakit. Faktor pencetus perilaku kekerasan meliputi ancaman terhadap fisik,
ancaman internal dan ancaman eksternal.

3. Riwayat

Penyakit sekarang Keluhan saat ini pada pasien perilaku kekerasan, faktor
yang memperberat kejadian seperti putus pengobatan, melukai orang lain, diri
sendiri maupun lingkungan.

4. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah


faktor biologi (biasanya klien mempunyai keluarga yang mempunyai riwayat
perilaku kekerasan, klien pernah mengalami gangguan jiwa), psikologis
(harapan yang tidak sesuai, sering melihat perilaku kekerasan atau mengalami
perilaku kekerasan dan sosiokultural.

5. Faktor Presipitasi

Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu yang


bersifat unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik,
kehilangan, kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan
orang berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik dan lain-
lain). Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mencegah
pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan.

6. Pemeriksaan Fisik
13
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan dan tanyakan apakah
ada keluhan fisik yang dirasakan pasien.

7. Pengkajian Psikososial
 Genogram Genogram menggambarkan pasien dengan tiga generasi
keluarga dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola
asuh.
 Konsep diri
a) Gambaran diri
Menggambarkan persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang
tidak disukai, reaksi pasien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan
bagian yang disukai.
b) Identitas diri
Status dan posisi pasien sebelum pasien dirawat, kepuasan pasien
terhadap status dan posisinya, kepuasan pasien sebagai laki-laki atau
perempuan, keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis kelaminnya dan
posisinya.
c) Fungsi peran
Tugas atau peran pasien dalam keluarga atau kelompok masyarakat,
kemampuan pasien dalam melaksanakan fungsi atau perannya,
perubahan yang terjadi saat pasien sakit dan dirawat, bagaimana
perasaan pasien akibat perubahan tersebut.
d) Ideal diri
Harapan pasien terhadap keadaan tubuh ideal, posisi, tugas, peran dalam
keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan pasien terhadap penyakitnya,
bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya.
e) Harga diri
Hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan kondisi, dampak pada
pasien dalam berhubungan dengan orang lain, harapan, 20 identitas diri
tidak sesuai harapan, fungsi peran tidak sesuai harapan, ideal diri tidak
sesuai harapan, penilaian pasien terhadap pandangan atau penghargaan
orang lain.
 Hubungan Sosial

14
Menggambarkan orang yang paling berarti dalam hidup pasien, dan upaya
yang biasa dilakukan bila ada masalah, kelompok apa saja yang diikuti
dalam masyarakat, peran dalam kelompok, hambatan dalam berhubungan
dengan orang lain.
 Spiritual
Nilai keyakinan, kegiatan ibadah atau menjalankan keyakinan, kepuasan
dalam menjalankan keyakinan.
8. Status Mental
1. Penampilan
Melihat penampilan pasien dari ujung rambut sampai ujung kaki apakah
ada yang tidak rapi, penggunaan pakaian sesuai, cara berpakaian.
2. Pembicaraan
Biasanya pada klien perilaku kekerasan ketika bicara nada suara keras,
tinggi, menjerit atau berteriak.
3. Aktivitas motorik
Agitasi (gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan), kompulsif
(kegiatan berulang-ulang), grimasem (otot-otot wajah yang berubah-ubah
dan tidak terkontrol). Seperti menggepalkan tangan, merusak barang atau
benda, rahang mengatup.
4. Afek dan Emosi
a) Afek Biasanya klien labil, emosi cepat berubahrubah dan tidak sesuai,
emosi bertentangan dan berlawanan dengan stimulus
b) Emosi Biasanya klien memiliki emosi yang tidak adekuat, tidak aman
dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, bermusuhan,
mengamuk serta menuntut.
5. Interaksi selama wawancara
a) Kooperatif, berespon dengan baik terhadap pewawancara
b) Tidak kooperatif, tidak dapat menjawab pertanyaan dengan spontan
c) Mudah tersinggung
d) Bermusuhan
e) Kontak kurang, tidak menantap lawan bicara
f) Curiga
6. Persepsi sensori

15
Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan,
pengecapan, penghidu.
7. Proses pikir
a) Sirkumtansial, pembicaraan yang berbelit tapi sampai pada tujuan.
b) Tangensial, pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada
tujuan.
c) Kehilangan asosiasi, pembicaraan tidak ada hubungan antara satu
kalimat dengan kalimat yang lain.
8. Isi pikir
Biasanya klien memiliki ambang isi fikir yang wajar, dimana ia selalu
menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan dengan
keluarga dekatnya.
9. Tingkat kesadaran
Biasanya klien tampak bingung dan kacau (perilaku yang tidak mengarah
pada tujuan)
10. Memori
a) Gangguan mengingat jangka panjang, tidak dapat mengingat kejadian
b) Gangguan mengingat jangka pendek, tidak dapat mengingat dalam
minggu terakhir
11. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Menilai tingkat konsentrasi klien apakah mudah beralih atau tidak mampu
berkonsentrasi.
12. Kemampuan penilaian
Menggambarkan kemampuan pasien dalam melakukan penilaian terhadap
situasi, kemudian dibandingkan dengan yang seharusnya.
13. Daya litik diri
a) Mengingkari penyakit yang diderita : pasien tidak menyadari gejala
penyakit (perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan pasien
menyangkal keadaan penyakitnya.
b) Menyalahkan hal-hal diluar dirinya: menyalahkan orang lain atau
lingkungan yang menyebabkan timbulnya penyakit atau masalah
sekarang.
14. Kebutuhan makan dan mandi
a. Makan
16
Biasanya frekuensi makan, jumlah, variasi, macam dan cara makan,
observasi kemampuan pasien menyiapkan dan membersihkan alat
makan
b. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil
Observasi kemampuan pasien untuk Buang Air Besar (BAB) dan BAK,
pergi menggunakan WC
c. Mandi
Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi, menyikat gigi,
cuci rambut, gunting kuku, observasi kebersihan tubuh.
d. Berpakaian
Observasi kemampuan pasien dalam mengambil, memilih dan
mengenakan pakaian, observasi penampilan dadanan pasien.
e. Istirahat dan tidur
Observasi dan tanyakan lama dan waktu tidur siang,malam, persiapan
sebelum tidur dan aktivitas sesudah tidur.
f. Penggunaan obat
Observasi penggunaan obat, frekuensi, jenis, dosis, waktu, dan cara
pemberian.
g. Pemeliharaan kesehatan
Biasanya tentang perawatan lanjut yang dilakukan klien.
h. Aktivitas di dalam rumah
Observasi kemampuan pasien dalam mengolah dan menyajikan
makanan, merapikan rumah, mengatur kebutuhan biaya sehari-hari.
i. Aktivitas di luar rumah
Biasanya menggambarkan kemampuan pasien dalam belanja untuk
keperluan sehari-hari.
j. Mekanisme koping
Biasanya klien menggunakan respon maldaptif yang ditandai dengan
tingkah laku yang tidak terorganisir, marah-marah bila keinginannya
tidak terpenuhi, memukul anggota keluarganya, dan merusak alat-alat
rumah tangga.
k. Masalah psikologis dan lingkungan
Biasanya klien merasa ditolak dan mengalami masalah interaksi
dengan lingkungan.
17
2. Diagnosa Keperawatan
Dari data pengkajian subyektif dan obyektif yang didapatkan bahwa pasien sering
memperlihatkan mengancam secara fisik, verbal, emosional kepada orang lain atau
lingkungan sekitar, pasien termasuk kedalam diagnosa perilaku kekerasan sesuai
yang sudah dijelaskan. Data pengkajian dalam kasus ini menyimpulkan bahwa
perilaku pasien termasuk kepada golongan resiko perilaku kekerasan (Mukti,
2021)

3. Intervensi Keperawatan

Pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan pemberian
teknik mengontrol perilaku kekerasan dengan pemberian

1) SP I cara fisik yaitu relaksasi tarik nafas dalam serta penyaluran energi
Latihan : Melakukan cara mengontrol amarah
a. Anjurkan teknik relaksasi nafas dalam
b. Pukul bantal.
2) SP II dengan pemberian obat
Bantu pasien mengotrol resiko perilaku kekerasan dengan minum obat secara
teratur.
3) SP III verbal atau social
Bantu pasien mengontrol resiko perilaku kekerasan dengan menganjurkan
pasien berbicara yang baik bila sedang marah, dengan tiga cara :
- Meminta sesuatu dengan baik tanpa marah.
- Menolak sesuatu dengan baik.
- Mengungkapkan perasaan kesal
4) SP IV spiritual
Diskusikan bersama pasien cara mengendalikan resiko perilaku kekerasan
dengan cara beribadah dan libatkan keluarga dalam proses pengendalian resiko
perilaku kekerasan.

18
Intervensi tersebut dilakukan kepada pasien lalu pasien diberikan jadwal
kegiatan sehari dalam upaya mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan pasien (Hasannah, 2019).
Tindakan keperawatan resiko perilaku kekerasan mengacu pada SP pasien
perilaku kekerasan sebagai berikut :
 Tujuan
1) Klien dapat mengidentifikasi penyebab resiko prilaku kekerasan
2) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda resiko perilaku kekerasan
3) Klien dapat menyebutkan jenis resiko perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
4) Klien dapat menyebutkan akibat dari resiko perilaku kekerasan yang
dilakukannya
5) Klien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol resiko perilaku
kekerasannya
6) Klien dapat mencegah/mengontrol resiko perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, social, dan denga terapi psikofarmaka (kelliat, 2013)
 Tindakan Keperawatan
1. Bina hubungan saling percaya, dalam membina hubungan saling percaya
perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam
membina hubungan saling percaya adalah :
 Mengucapkan salam terapeutik
 Berjabatan tangan
 Menjelaskan tujuan interaksi
 Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu klien
 Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang
lalu.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam bentuk
intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai 10 tujuan yang telah di
tetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat pada tahap implementasi
adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan utnuk menciptakan

19
saling percaya dan saling membantu, kemampuan melakukan teknik, psikomotor,
kemampuan melakukan observasi sistemis, kemampuan memberikan pendidikan
kesehatan, kemampuan advokasi dan kemampuan evaluasi.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi kemampuan pasien mengatasi resiko perilaku kekerasan berhasil apabila


pasien dapat :
1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan, resiko
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat dari resiko perilaku
kekerasan.
2) Mengontrol resiko perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal :
a. Secara fisik : tarik nafas dalam dan pukul bantal/kasur
b. Secara sosial/verbal : meminta, menolak, dan mengungkapkan perasaan
dengan cara baik.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan makalah diatas maka dapat disimpulakan bahwa Resiko perilaku
kekerasan yakni kondisi dimana individu pernah atau mengalami riwayat mencederai dirinya
sendiri, orang lain ataupun lingkungan baik secara fisik, emosional, seksual maupun lisan
karena individu tidak mampu mengendalikan atau mengontrol amarah secara konstruktif.

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukantindakan yang


dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan
(panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri dipandang sebagai suatu rentang,
dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan(violence) di sisi yang lain.

3.2 Saran

Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan pada klien dengan masalah


perilaku kekerasan sehingga bisa membantu klien dan keluarga dalam mengatasi masalahnya.
Perawat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang kegawat daruratan psikiatrik
pada perilaku kekerasan, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga
kepuasan klien dan perawat secara bersama-sama dapat meningkat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Tristiadi Ardi. (2013). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Bandung: Karya Putra
Darwati.

Dermawan, Deden,dkk. (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Efendi, Feri. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori Dan Praktik Dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

22

Anda mungkin juga menyukai