Anda di halaman 1dari 12

Definisi Riya’ Dan Penjelasannya

1 Oktober 2012 pukul 8:39


Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia,
adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena demi manusia,
dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT[1].

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan
itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah
Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati
daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan
karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal
kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan
agar orang lain memberikan penghormatan padanya[2].

Sebagaimana ulama mengatakan[3]:


‫س‬ ‫ع اصلققصربقسة لسقق ص‬
‫صسد النناَّ س‬ ‫قوالرريقاَّقء إسصيققاَّ ق‬
“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat
keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram dan satu
diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya
manfaat sampai di negeri akhirat.

Macam-macam Riya’
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama
menguraikannya[4]:

,‫س‬‫ص قكاَّقن لق يقصفقعقل اصلققصربقةق إسلن سللِنناَّ س‬ ‫ سريقاَّصء قخاَّلس ص‬: ‫سقماَّسن‬ ‫قوقهقو قس ص‬
‫ف سمقن اصلقنوسل‬ ‫س قوقهقو أققخ ف‬ ‫س‬ َّ‫ا‬‫ن‬ ‫ن‬ ِ‫لل‬
‫س‬ ‫و‬
‫ق‬ ‫س‬ ‫ل‬‫س‬ َّ‫ا‬‫ه‬‫ق‬ ‫ق‬ ِ‫ل‬ ‫ع‬
‫ق‬ ‫ص‬
‫ف‬ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ن‬
‫ق‬ َّ‫ا‬‫ك‬‫ق‬ ‫ك‬
‫ص‬ ‫ر‬
‫ص‬ ‫ش‬
‫س‬ ‫قوسريقاَّصء‬
“ riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata
hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena
niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia,
dan keduanya bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan
karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.

Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah
daging dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap
sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang
mereka kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji, hal ini sesuai dengan
isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah ayat 11-12:
‫ض ققاَّقلوا إسننقماَّ نقصحقن قم ص‬
‫صلِسقحوقن‬ ‫سقدوا سفيِ اصلقصر س‬ ‫قوإسقذا سقيِقل لققهصم قل تقصف س‬
‫شقعقروقن‬ ‫سقدوقن قولقسكصن قل يق ص‬‫أققل إسننقهصم قهقم اصلقمصف س‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di
muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat
kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang sebenar-
benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.

Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa
yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari
Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas
kepada Alloh selama 40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia
berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah
sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada orang-orang yang arif, mereka
mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas
karena Allah!”[5]. Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas untuk
mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan dan pujian
manusia.

Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa
membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar), kecuali orang-orang yang benar-
benar selalu mensucikan dalam hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena
dengan kedekatan pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit
yang buruk (madzmumah)[6]:
‫شصرسك‬
‫ق ال ر‬ ‫سلِسقم سمقن الرريقاَّسء اصلقجلِسريِ قواصلقخفسريِ إسنل اصلقعاَّسرفقصوقن اصلقمقورحقدصوقن سلقنن اق ق‬
‫طنهقرقهصم رمصن قدققاَّئس س‬ ‫قوقل يق ص‬
Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:
‫شصر سمصثلِققكصم قيوقحىَ إسلقنيِ أقننقماَّ إسلققهقكصم إسلقهص قواسحصد‬
‫ققصل إسننقماَّ أقنقاَّ بق ق‬
‫ق‬ ‫ص‬
‫شسرك بسسعبقاَّقدسة قربرسه أقحددا‬ ‫ق‬ ‫فققمصن قكاَّقن يقصرقجو لسقاَّقء قربرسه فلِيِقصعقمصل قعقمل ق‬
‫صاَّلسدحاَّ قول يق ص‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ق‬ ‫ق‬
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku,
bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian
daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya
karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:
‫ث اصلقسخقرسة نقسزصد لقهق سفيِ قحصرثسسه‬ ‫قمصن قكاَّقن يقسريقد قحصر ق‬
‫ب‬ ِ‫صي‬
‫س ب‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫ص‬ ‫م‬ ‫ة‬‫ر‬ ‫خ‬
‫س ق س س‬ ‫ق‬ ‫ل‬‫ص‬ ‫ا‬ ِ‫في‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ل‬ َّ‫ا‬ ‫م‬‫و‬
‫ق سس س ق ق ق ق س‬َّ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ص‬
‫ن‬ ‫م‬ ‫ه‬‫ت‬ ‫ص‬
‫ؤ‬ ‫ق‬ ‫ن‬ َّ‫ا‬ ِ‫ي‬ ‫ص‬
‫ن‬ ‫د‬
‫ف‬ ‫ال‬ ‫ق‬
‫ث‬ ‫قوقمصن قكاَّقن يقسريقد قحصر‬
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada
sang Ilaah, seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik
ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang
Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:
‫ قويقصمنققعوقن اصلقماَّقعوقن‬, ‫ النسذيقن قهصم يققراقءوقن‬, ‫ساَّقهوقن‬ ‫صقلتسسهصم ق‬ ‫ النسذيقن قهصم قعصن ق‬, ‫صرلِيِقن‬ ‫فققوصيصل لسصلِقم ق‬
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang
(dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan
penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa
sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang
(melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan
(memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati
manusia.[7]

Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia,
jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik
yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia
bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.Itulah yang disebut
dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang
maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah
riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR.
Ahmad).

Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai
melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada
orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut
telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi
rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk
memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya
setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’[9].

Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya
akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini berlaku,
maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah
SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan keluarga karena
sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang
dapat membunuh perasaan riya’ sebagaimana firman Allah[10]:
‫قوقماَّ أقسمقروا إسنل لسيِقصعبققدوا اق قمصخلِس س‬
‫صيِقن لقهق الرديقن‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain[11]:
‫ص‬‫ أققل لس الرديقن اصلقخاَّلس ق‬, ‫صاَّ لنهق الرديقن‬
‫ق فقاَّصعبقسد اق قمصخلِس د‬ ‫إسنناَّ أقصنقزصلنقاَّ إسلقصيِقك اصلسكتقاَّ ق‬
‫ب بساَّصلقح ر‬
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”

Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah
dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas
kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila
sifat riya’ sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar
kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.

Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan
tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap.
Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya
dia memulainya lagi[12].
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:
‫س‬ ‫صقدققاَّتسقكصم بساَّصلقمرن قواصلققذىَ قكاَّلنسذيِ يقصنفس ق‬
‫ق قماَّلقهق سرئقاَّقء النناَّ س‬ ‫يقاَّ أقفيقهاَّ النسذيقن آققمقنوا قل تقصبسطقلِوا ق‬
“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan
perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal
sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada
manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk
mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat
bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau
melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan
Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan
ia boleh membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak
dan kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan
dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal
kebajikan yang disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh
merusakkan amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian
hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau
mengerjakan ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan
kebajikan atau ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah,wara’ atau
rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu berusaha
memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini diperingatkan Allah dalam firman-
Nya[13]:
‫قوقل تقتنبسسع اصلقهقوىَ فقيِق س‬
‫ضلِنقك قعصن ق‬
‫سسبيِسل اس‬
“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.

Dalam surah Muhammad ayat 16, Allah berfirman:


‫قأولقئسقك النسذيقن طقبققع اق قعقلِىَ قققلِوبسسهصم قواتنبققعوا أقصهقواقءقهصم‬
“Mereka itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa nafsunya”.

Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat balasan
buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri
daripada perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah
kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji
orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu
ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian
baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam
hendaklah mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati
kepentingan dan hak Allah dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan
dan dosa yang telah dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap
perbuatan dan apa jua tindakan yang akan dilakukan.Bertaubat adalah jalan terbaik bagi
mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat
dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 135:
‫ستقصغفققروا لسقذقنوبسسهصم‬ ‫سقهصم قذقكقروا اق فقاَّ ص‬ ‫ظلِققموا أقصنفق ق‬
‫شةد أقصو ق‬
‫قوالنسذيقن إسقذا فققعقلِوا فقاَّسح ق‬
‫صفروا قعقلِىَ قماَّ فققعقلِوا قوقهصم يقصعلِققموقن‬ ‫ب إسنل اق قولقصم يق س‬ ‫قوقمصن يقصغفسقر الفذقنو ق‬
“Dan orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera
ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang
mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya sedang
mereka mengetahui”.

Dalam surah lain Allah berfirman[14]:


‫إسنن اق يقسحفب التننواسبيِقن قويقسحفب اصلقمتق ق‬
‫طرهسريقن‬
”Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-
orang yang senantiasa mensucikan diri”.
Wallahu A’lam…
Referensi
[1] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 22, halaman 3, baris 6-8,
bisa juga dilihat dalam karangan beliau lainnya dalam kitab Abyan al-Hawaaij, Juz V, korasan
69
[2] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang,
Desember 2006, halaman 137
[3] Ibid, baris 11
[4] Ibid, Halaman 4, baris 2-3
[5] Lihat dalam “Darut Ta’arudl Al-Aql wan Naql” Karya Ibnu Taimiyyah (6/66), “Minhajul
Qasidin” halaman: 214-221, “Al-Ikhlas” karya Al-Awaiysyah halaman:24, “Al-Ikhlas wa
Asy-Syirik” Karya Dr. Abdul Aziz bin Abdul Lathif halaman: 9, dan “Ar-Riya” karya Salim
Al-Hilali halaman:17.
[6] Syeikh Ahmad Rifa’I, Riayah Akhir, Korasan 22, Halaman 9, baris 2-3
[7] Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an Juz XX halaman: 439
[8] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudry, Imam Baihaqi sama-sama
meriwatkan dengan Ibnu Majah mengenai syirik yang tersembunyi ini.
[9] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin Juz III halaman: 324
[10] Surat Al-Bayyinah ayat :5
[11] Surat Az-Zumar ayat 2-3
[12] Mukhtashar Minhajil Qishidin halaman: 209
[13] Surat Shaad ayat 26
[14] Surat Al-baqarah ayat 222

Riya، Sum'ah، Ujub dan Takabur Adalah 4 Paket sipat Tercela yang harus dihindari
25 Agustus 2014 pukul 8:24
— Riya (ria’), Sum’ah, ujub dan Takabur adalah sifat-sifat tercela yang hampir memiliki
kesamaan, dan sifat-sifat tersebut harus kita jauhi, pengertian dan pembahasan selengkapnya
simak di bawah ini :

A. RIYA

PENGERTIAN RIYA MENURUT BAHASA


Pengertian Riya menurut Bahasa: riya’ (‫ )الرياء‬berasal dari kata ‫ الرؤية‬/ru’yah, yang artinya
menampakkan
Riya ’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia.

PENGERTIAN RIYA MENURUT ISTILAH:


Pengertian Riya Menurut Istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat supaya ingin dipuji
manusia, dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”.
Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan
kepada mereka hal-hal kebaikan.
Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan
atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan
karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal
kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan
agar orang lain memberikan penghormatan padanya.

JENIS-JENIS RIYA
Riya’ dibagi kedalam dua tingkatan:
riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari
manusia,
riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga
karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.

Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan

Perbuatan riya bila dilihat dari sisi amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali
dapat dibagi atas 5 kategori, yaitu:
Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, misalnya memperlihatkan badan
yang kurus dan pucat agar disangka banyak puasa dan shalat tahajud;
Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian, misalnya memakai baju koko agar disangka
shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin sholat.
Riya dalam perkataan, misalnya orang yang selalu bicara keagamaan agar disangka ahli
agama.
Riya dalam perbuatan, misalnya orang yang sengaja memperbanyak shalat sunnah di hadapan
orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi berhaji/umroh untuk
memperbaiki citranya di masyarakat.
Riya dalam persahabatan, misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau
pergi agar disangka ia termasuk orang alim.

Jangan biarkan pahala ibadah-ibadah yang telah sulit kita kumpulkan hilang tanpa arti dan
berbuah keburukkan lantaran masih ada riya di hati kita. Allah SWT mengingatkan dalam
firmannya:

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau


menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari
shalatnya, yang berbuat karena riya” (Al Maa’uun 4-6)
B. SUM’AH

PENGERTIAN SUM’AH SECARA ETIMOLOGI/BAHASA


Kata sum’ah (‫ )السمعة‬berasal dari kata ّ‫ سممع‬samma’a (memperdengarkan)
Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya
kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.

PENGERTIAN SUM’AH SECARA TERMINOLOGI/ISTILAH


Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang
membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau
tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau
penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang
yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang
menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia.
Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia
melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia
membicarakan amalnya di hadapan manusia.

Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
‫صءدءقاتسهكنم سبانلءمنن ءوانلءءذىَ ءكالنسذيِ يهننفس ه‬
‫ق ءمالءهه سرءئاءء الننا س‬
‫س‬ ‫ءيا أءيَيءها النسذيءن آءمهنوُا ءل تهنبسطهلوُا ء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
‫اه بسسه ءوءمنن يهءراسئيِ يهءراسئيِ ن‬
‫اه بسسه‬ ‫ءمنن ءسنمءعّ ءسنمءعّ ن‬

Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa
yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat.
Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi
pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
C. UJUB

PENGERTIAN SIFAT UJUB


Ujub adalah mengagumi diri sendiri, yaitu ketika kita merasa bahwa diri kita memiliki
kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.
Ibnul Mubarok pernah berkata, “Perasaan ‘ujub adalah ketika engkau merasa bahwa dirimu
memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.”
Imam Al Ghozali menuturkan, “Perasaan ‘ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia
dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Alloh.”
Memang setiap orang mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain,
tetapi milik siapakah semua kelebihan itu ? Allohk berfirman :

“Bagi Alloh semua kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya.” (QS. Al
Maidah : 120)

Maksud dari ayat di atas adalah apapun yang kita miliki, semuanya adalah milik Alloh yang
dipinjamkan kepada kita agar kita dapat memanfaatkannya dan sebagai ujian bagi kita. Tidak
seorangpun yang memiliki sesuatu di alam semesta ini walaupun sekecil atom kecuali Alloh

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SIFAT UJUB

1. Banyak dipuji orang


Pujian seseorang secara langsung kepada orang lain, dapat menimbulkan perasaan ‘ujub dan
egois pada diri orang yang dipujinya. Makin lama perasaan itu akan menumpuk dalam
hatinya, maka ia akan semakin dekat kepada kebinasaan dan kegagalan sedikit demi sedikit.
Karena orang yang mempercayai pujian itu akan selalu merasa bangga dan dirinya punya
kelebihan, sehingga menjadikannya malas untuk berbuat kebajikan. Rosululloh pernah
terkejut ketika melihat seseorang yang memuji orang lain secara langsung, sampai-sampai
beliau bersabda, “Sungguh dengan pujianmu itu, engkau dapat membinasakan orang yang
engkau puji. Jikalau ia mendengarnya, niscaya ia tidak akan sukses.”

2. Banyak meraih kesuksesan


Seseorang yang selalu sukses dalam meraih cita-cita dan usahanya, akan mudah dirasuki
perasaan ‘ujub dalam hatinya, karena ia merasa bisa mengungguli orang lain yang ada di
sekitarnya dan tidak menyadari bahwa segala sesuatu yang diraihnya adalah atas kehendak
Alloh yang Maha Kuasa.

3. Kekuasaan
Setiap penguasa biasanya mempunyai kebebasan bertindak tanpa ada protes dari orang yang
ada di sekelilingnya, dan banyak orang yang kagum dan memujinya. Fenomena semacam ini
akan menyebabkan hati seseorang mudah dimasuki perasaan ‘ujub. Seperti kisah Raja
Namrud yang menyebut dirinya sebagai Tuhan, karena dia menjadi seorang penguasa. Dan
seandainya di lemah dan miskin, tentulah tidak akan menyebut dirinya sebagai Tuhan.

4. Tersohor di kalangan orang banyak


Tersohor di kalangan orang banyak merupakan cobaan besar bagi diri seseorang. Karena
semakin banyak yang mengenalnya, maka dia semakin kagum terhadap dirinya sendiri.
Semuanya itu akan memudahkan timbulnya perasaan ‘ujub pada hati seseorang.

5. Mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi


Orang yang mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang lebih, biasanya merasa bangga
dengan dirinya sendiri dan egois, karena merasa mampu dapat menyelesaikan segala
permasalahan kehidupannya tanpa campur tangan orang lain. Kondisi seperti itu akan
melahirkan sikap otoriter dengan pendapatnya sendiri. Tidak mau bermusyawarah,
menganggap bodoh orang-orang yang tak sependapat dengannya, dan melecehkan pendapat
orang lain.

6. Memiliki kesempurnaan fisik


Orang yang memiliki kesempurnaan fisik seperti suara bagus, cantik, postur tubuh yang ideal,
tampang ganteng dan sebagainya, lalu ia memandang kepada kelebihan dirinya dan
melupakan bahwa semua itu adalah nikmat Alloh yang bisa lenyap setiap saat, berarti orang
tersebut telah kemasukan sifat ‘ujub.

7. Lalai atau tidak memahami hakikat dirinya sendiri.


Apabila seseorang lalai atau tidak memahami hakikat bahwa dirinya berasal dari air yang hina
serta akan kembali ke dalam tanah, kemudian menjadi bangkai, maka orang seperti ini akan
mudah merasa bahwa dirinya hebat. Perasaan seperti ini akan diperkuat oleh bisikan setan
yang pada akhirnya akan muncul sifat kagum terhadap diri sendiri.

BAHAYA SIFAT UJUB


Sifat ‘ujub membawa akibat buruk dan menyeret kepada kehancuran, baik bagi pelakunya
maupun bagi amal perbuatannya. Diantara dampak dari sifat ‘ujub tersebut adalah :

1. Membatalkan pahala
Seseorang yang merasa ‘ujub dengan amal kebajikannya, maka pahalanya akan gugur dan
amalannya akan sia-sia. Karena Alloh tidak akan menerima amalan kebajikan sedikitpun
kecuali dengan ikhlas karena-Nya. Rosululloh n bersabda :
“Tiga hal yang membinasakan : Kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar dan
kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR. Thobroni).

2. Menyebabkan Murka Alloh


Nabi saw bersabda, “Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia menanti rahmat Alloh.
Sedang seseorang yang merasa ‘ujub, maka ia menanti murka Alloh.” (HR. Baihaqi)
Perasaan ‘ujub menyebabkan murka Alloh, karena ‘ujub telah mengingkari karunia Alloh
yang seharusnya kita syukuri.

3. Terjerumus ke dalam sikap ghurur (terperdaya) dan takabur.


Orang yang kagum pada diri sendiri akan lupa melakukan instropeksi diri. Bersamaan dengan
perjalanan waktu, hal itu akan menjadi penyakit hatinya. Pada akhirnya ia terbiasa
meremehkan orang lain atau merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan tidak mau
menghormati orang lain. Itulah yang disebut takabur. Nabi n bersabda, ” Tidak akan masuk
surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat perasaan sombong meskipun hanya sebesar
biji sawi. (HR. Nasa’i)

4. Menyebabkan mengumbar nafsu dan melupaka dosa-dosa


Seseorang yang mempunyai perasaan ‘ujub akan selalu menilai dirinya baik dan tidak pernah
menilai dirinya buruk dan serba kekurangan, sehingga ia selalu mengumbar keinginan hawa
nafsunya dan tidak merasa kalau dirinya telah berbuat dosa. Nabi bersabda, “Andaikan kalian
tidak pernah berbuat dosa sedikitpun, pasti aku khawatir kalau kalian berbuat dosa yang lebih
besar, yaitu perasaan ujub.” (HR. Al Bazzar).

5. Menyebabkan orang lain membenci pelakunya.


Pada umumnya, orang tidak suka terhadap orang yang membanggakan diri, mengagumi diri
sendiri dan sombong. Oleh karena itu, orang yang ‘ujub tidak akan banyak temannya, bahkan
ia akan dibenci meskipun luas ilmunya dan terpandang kedudukannya. Syeikh Mustofa As
Sibai berkata, “Separuh kepandaian yang disertai tawadhuk lebih disenangi oleh orang
banyak dan lebih bermanfaat bagi mereka daripada kepandaian yang sempurna yang disertai
kecongkakan.”

6. Menyebabkan Su’ul Khotimah dan kerugian di Akherat


Nabi bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka menyebut-nyebut kembali
pemberiannya, seorang yang durhaka, dan pecandu minuman keras.” (HR. Nasa’i)

Orang yang mempunyai sifat ‘ujub biasanya suka menyebut-nyebut kembali sesuatu yang
sudah diberikan.

Umar Ra pernah berkata,”Siapapun yang mengakui dirinya berilmu, maka ia seorang yang
bodoh dan siapapun yang mengaku dirinya akan masuk surga, maka ia akan masuk neraka.”

Qotadah berkata, “Barangsiapa yang diberi kelebihan harta, atau kecantikan, atau ilmu, atau
pakaian, kemudian ia tidak bersikap tawadhuk, maka semua itu akan berakibat buruk baginya
pada hari kiamat.”

CARA MENANGGULANGI SIFAT UJUB


Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh setiap orang muslim agar dirinya terhindar dari
penyakit ‘ujub, diantaranya adalah :

1. Selalu mengingat akan hakikat diri


Orang yang kagum pada diri sendiri hendaknya sadar bahwa nyawa yang ada dalam tubuhnya
semata-mata anugerah Alloh l. Andaikan nyawa tersebut meninggalkan badannya, maka
badan tidak ada harganya lagi sama sekali. Dia harus sadar bahwa tubuhnya pertama-tama
dibuat dari tanah yang diinjak-injak manusia dan binatang, kemudian dari air mani yang hina,
yang setiap orang merasa jijik melihatnya, lalu kembali lagi ke tanah dan menjadi bangkai
yang berbau busuk dan setiap orang tidak suka mencium baunya.

2. Selalu sadar akan hakikat dunia dan akherat


Hendaklah seseorang selalu sadar bahwa dunia adalah tempat menanam kebahagiaan
kehidupan akherat. Dia harus sadar bahwa sekalipun umurnya panjang, namun tetap akan
mati, kemudian hidup di sebuah kampung abadi yaitu akherat. Kesadaran seperti ini akan
mendorong seseorang untuk meluruskan akhlaknya yang bengkok, sebelum nafasnya
meninggalkan jasadnya dan sebelum hilang kesempatan untuk bertaubat.

3. Selalu mengingat nikmat Alloh


Alloh berfirman :
“Dan jika kamu menghitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya.”
(QS. Ibrohim : 34)
Dengan kesadaran seperti ini, seseorang akan merasa lemah dan merasa butuh kepada Alloh,
sehingga dia akan membersihkan diri dari penyakit kagum diri dan berusaha terhindar
darinya.

4. Selalu ingat tentang kematian dan kehidupan setelah mati


Kesadaran seperti ini akan mendorong seseorang meninggalkan perasaan kagum diri karena
takut akan berbagai kesengsaraan hidup setelah mati.

5. Tidak berkawan dengan orang yang kagum diri


Sebaiknya, berkawanlah dengan orang-orang yang tawadhuk dan memahami status dirinya.
Hal semacam itu sangat membantu seseorang untuk meninggalkan perangai buruk kagum
diri.

6. Memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit, bahkan keadaan orang yang meninggal
dunia, ziarah kubur dan merenungkan keadaan ahli kubur
Cara semacam ini akan mendorong seseorang untuk meninggalkan perasaan kagum diri dan
panyakit hati lainnya.

7. Selalu bermuhasabah (Introspeksi diri)


Dengan demikian, mudah dideteksi gejala awal dari segala bentuk penyakit hati, terutama
penyakit kagum diri. Dengan demikian, penyakit ini akan mudah diobati.

8. Selalu memohon bantuan dari Alloh


Dengan cara berdoa dan senantiasa memohon perlindungan dari-Nya agar terhindar dari
penyakit kagum diri dan tidak terjerumus ke dalamnya.

9. Penyembuhan dengan Al Qur’an


Al Qur’an sangat mujarab untuk mengobati berbagai penyakit hati, khususnya penyakit ‘ujub
dan berbagai sebabnya. Karena Al Qur’an telah mengenalkan diri kita kepada Alloh, dan Al
Qur’an juga telah mengenalkan diri kita kepada kita, yaitu kelemahan, kemiskinan, dan
kebutuhan kepada Alloh. Maka tidaklah pantas jika seseorang mengagumi dirinya sendiri
sementara dia adalah makhluk yang tak mampu berdiri sendiri. Al Qur’an juga telah
mengingatkan kita akan akibat dari penyakit ‘ujub, sombong, dan bangga diri. Seperti halnya
kisah Fir’aun, Qorun, dan lain sebagainya.

Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata :


“Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan
menjatuhkan martabatnya”

DAMPAK SIFAT UJUB


1. Jatuh pada sifat sombong dan terperdaya.
3. Munculnya kebencian terhadap orang lain.
4. Mendapat adzab dari Allah SWT

D.TAKABUR

PENGERTIAN TAKABUR
Takabur berasal dari bahasa arab Takabbara-Yatakabbaru yang artinya sombong atau
membanggakan diri sendiri. Takabur semakna dengan Ta’azum, yaitu menampakkan
keagungannya dan kebesarannya dibandingkan dengan orang lain. Dalam bahasa indonesia
banyak sekali istilah lain dari takabur ini antara lain, sombong, congkak, angkuh, tinggi hati
atau besar kepala.
Secara naluri setiap orang tidak menyukai sifat takabur atau sombong. Namun disadari atau
tidak terkadang seseorang akan menampakan akan sikap sombongnya, biasanya sifat ini
timbul manakala ia merasa memiliki nilai lebih, seperti lebih pandai, lebih kaya, lebih cantik.
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya menghindari sifat takabur ini, karena teladannya
adalah Rasulullah SAW, yang meskipun penuh dengan kemuliaan dan kelebihan, namun
beliau tetap tidak merasa lebih bahkan para pengikutnya dipanggil dengan sebutan sahabat,
yang mempunyai arti kesetaraan.

Sifat takabur ini merupakan sifat tercela dan berbahaya, bahkan dibenci oleh Allah SWT,
sebagaimana firman-firmannya :
“maka masuklah pintu-pintu neraka jahanam, kamu kekal didalamnya, maka amat buruklah
tempat orang-orang yang menyombongkan diri”. (Q.S An Naml : 29) ..
“sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Q.S An Nahl : 23)

MACAM-MACAM TAKABUR
Dari segi obyek atau sasarannya takabur menjadi tiga :
1. Takabur kepada Allah SWT, yaitu keadaan seseorang yang tidak mengakui dan menerima
kebenaran yang datang dari Allah SWT, seperti perintah shalat, zakat dan yang lainnya.
2. Takabur kepada Rasulullah.
3. Takabur terhadap sesama manusia, hal ini biasannya terlihat dari hal-hal yang bersifat
lahiriah, seperti kekayaan, kedudukan, wajah atau kepandaian.

Menurut pandangan tersebut di atas, secara umum takabur dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu :
1) Takabur Batini ( Takabur dalam sikap )
Takabur batini atau batin adalah sifat takabur yang tertanam dalam hati seseorang sehingga
tidak tampak secara lahir/fisik, seperti seseorang yang mengingkari kebenaran yang datang
dari Allah swt. padahal dia mengetahui kebenaran tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari orang yang termasuk golongan takabur batin memiliki sikap,
antara lain enggan minta tolong kepada orang lain meskipun ia membutuhkan serta tidak mau
berdoa untuk memohon pertolongan Allah swt. padahal semua persoalan yang kita hadapi
tidak dapat diselesaikan sendiri tanpa pertolongan-Nya
Allah swt. berfirman :
Artinya : “Kuperkenankan (Kukabulkan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina
dina.” (QS Al Mukmin: 60)

2) Takabur Zahiri ( Takabur dalam Perbuatan )


Takabur zahiri adalah sifat takabur yang dapat dilihat langsung dengan panca indra, seperti
dalam bentuk ucapan dan gerakan anggota tubuh. Contohnya, riya, angkuh, dan memalingkan
muka terhadap orang lain. Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang memalingkan muka
(sombong) sebagaimana terdapat dalam Surah Luqman Ayat 18 berikut.
Artinya : “ janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman: 18).

Demikianlah dakwah mengenai 4 sifat tercela (riya’,sum’ah,ujub, dan takabur) yang harus
kita hindari, semoga kita semua dijauhkan dari sifat-sifat tercela tersebut.. Amiin

RIYA’; DEFINISI, SEBAB, MACAM, SERTA SOLUSINYA


Oleh: Abu Muhammad Abdurrahman Sarijan

A. Definisi
Riya’ adalah seseorang beramal shalih dengan maksud untuk dilihat/dipuji oleh orang lain.

B. Sebab Timbulnya Riya’


Riya’ ditimbulkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
• Senang karena lezatnya pujian orang lain.
• Lari dari celaan.
• Rakus akan apa yang diperoleh/terdapat pada orang lain.

C. Sebab Bahayanya Riya’


• Lebih berbahaya dari fitnah Dajjal.
• Riya’ menjadi sebab azab di Neraka.
• Riya’ adalah cirri perbuatan orang-orang Munafiq.

D. Macam-macam Riya’
• Seorang hamba dalam beribadah menginginkan selain Allah. Dia senang orang lain
tahu/melihat apa yang diperbuatnya. Dia tidak menunjukkan keikhlasan dalam beribadah
kepada Allah dan ini termasuk jenis nifaq.
• Seorang hamba beribadah dengan tujuan dan keinginannya ikhlas karena Allah, namun
ketika manusia melihat ibadahnya maka ia bertambah giat dalam beribadah serta
membaguskan ibadahnya. Ini termasuk perbuatan syirik tersembunyi.
• Seorang hamba beribadah pada awalnya ikhlas karena Allah dan sampai selesai keadaannya
masih demikian, namun pada akhir ibadahnya dipuji oleh manusia dan ia merasa bangga
dengan pujian manusia tersebut serta ia mendapatkan apa yang diinginkannya (dunia, missal:
dengan memperoleh kedudukan di masyarakat dll).
• Riya’ badaniyah, yaitu perbuatan riya’ dengan menampakkan badan/jasadnya kurus karena
banyaknya ibadah sehingga ia disebut sebagai orang ABID (Ahli Ibadah).
• Riya’ dari sisi penampilan atau model. Seperti orang yang berpenampilan compang-camping
agar ia dilihat seperti orang yang berlaku/berbuat zuhud 1).
• Riya’ pada ucapan, misal orang yang memberat-beratkan suaranya.
• Riya’ dengan amalan.
• Riya’ dengan teman dan orang-orang yang mengunjunginya. Misal: Teman-teman/orang-
orang yang mengunjunginya adalah para ustadz/ulama, maka ia menjadi bangga dan
mengharap pujian dari hal tersebut.
• Riya’ dengan mencela dirinya dihadapan manusia.
• Seorang beramal dengan amal ketaatan dan tidak seorangpun mengetahuinya, ia tidak ingin
tenar. Akan tetapi jika ia dilihat manusia, ia menginginkan diawali/dihormati dengan
pengucapan salam.
• Menjadikan perbuatan ikhlasnya itu sebagai wasilah terhadap apa yang dia inginkan.

E. Solusi Agar Terhindar Dari Riya’


Diantara solusi agar kita terhindar dari perbuatan riya’ adalah sbb:
• Mengetahui jenis-jenis amalan yang diperuntukkan untuk dunia dan mengetahui jenis-jenis
riya’ serta factor-faktor pendorong perbuatan riya’
• Mengetahui keagungan Allah Azza wa Jalla.
• Mengenal/mengetahui apa yang telah Allah persiapkan untuk akhir kehidupan.
• Takut dari beramal untuk kepentingan dunia.

Bersambung, Insya Allah

Anda mungkin juga menyukai