Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan
itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah
Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati
daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan
karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal
kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan
agar orang lain memberikan penghormatan padanya[2].
Macam-macam Riya’
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama
menguraikannya[4]:
,سص قكاَّقن لق يقصفقعقل اصلققصربقةق إسلن سللِنناَّ س سريقاَّصء قخاَّلس ص: سقماَّسن قوقهقو قس ص
ف سمقن اصلقنوسل س قوقهقو أققخ ف س َّان ن ِلل
س و
ق س لس َّاهق ق ِل ع
ق ص
ف ق ي ن
ق َّاكق ك
ص ر
ص ش
س قوسريقاَّصء
“ riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata
hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena
niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia,
dan keduanya bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan
karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.
Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah
daging dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap
sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang
mereka kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji, hal ini sesuai dengan
isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah ayat 11-12:
ض ققاَّقلوا إسننقماَّ نقصحقن قم ص
صلِسقحوقن سقدوا سفيِ اصلقصر س قوإسقذا سقيِقل لققهصم قل تقصف س
شقعقروقن سقدوقن قولقسكصن قل يق صأققل إسننقهصم قهقم اصلقمصف س
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di
muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat
kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang sebenar-
benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa
yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari
Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas
kepada Alloh selama 40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia
berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah
sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada orang-orang yang arif, mereka
mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas
karena Allah!”[5]. Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas untuk
mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan dan pujian
manusia.
Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa
membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar), kecuali orang-orang yang benar-
benar selalu mensucikan dalam hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena
dengan kedekatan pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit
yang buruk (madzmumah)[6]:
شصرسك
ق ال ر سلِسقم سمقن الرريقاَّسء اصلقجلِسريِ قواصلقخفسريِ إسنل اصلقعاَّسرفقصوقن اصلقمقورحقدصوقن سلقنن اق ق
طنهقرقهصم رمصن قدققاَّئس س قوقل يق ص
Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:
شصر سمصثلِققكصم قيوقحىَ إسلقنيِ أقننقماَّ إسلققهقكصم إسلقهص قواسحصد
ققصل إسننقماَّ أقنقاَّ بق ق
ق ص
شسرك بسسعبقاَّقدسة قربرسه أقحددا ق فققمصن قكاَّقن يقصرقجو لسقاَّقء قربرسه فلِيِقصعقمصل قعقمل ق
صاَّلسدحاَّ قول يق ص د ص ق ق
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku,
bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian
daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya
karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:
ث اصلقسخقرسة نقسزصد لقهق سفيِ قحصرثسسه قمصن قكاَّقن يقسريقد قحصر ق
ب ِصي
س ب ق ن ن
ص م ةر خ
س ق س س ق لص ا ِفي ه ق ل َّا مو
ق سس س ق ق ق ق سَّا ه ص
ن م هت ص
ؤ ق ن َّا ِي ص
ن د
ف ال ق
ث قوقمصن قكاَّقن يقسريقد قحصر
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada
sang Ilaah, seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik
ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang
Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:
قويقصمنققعوقن اصلقماَّقعوقن, النسذيقن قهصم يققراقءوقن, ساَّقهوقن صقلتسسهصم ق النسذيقن قهصم قعصن ق, صرلِيِقن فققوصيصل لسصلِقم ق
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang
(dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan
penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa
sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang
(melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan
(memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati
manusia.[7]
Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia,
jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik
yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia
bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.Itulah yang disebut
dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang
maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah
riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR.
Ahmad).
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai
melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada
orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut
telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi
rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk
memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya
setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’[9].
Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya
akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini berlaku,
maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah
SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan keluarga karena
sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang
dapat membunuh perasaan riya’ sebagaimana firman Allah[10]:
قوقماَّ أقسمقروا إسنل لسيِقصعبققدوا اق قمصخلِس س
صيِقن لقهق الرديقن
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain[11]:
ص أققل لس الرديقن اصلقخاَّلس ق, صاَّ لنهق الرديقن
ق فقاَّصعبقسد اق قمصخلِس د إسنناَّ أقصنقزصلنقاَّ إسلقصيِقك اصلسكتقاَّ ق
ب بساَّصلقح ر
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah
dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas
kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila
sifat riya’ sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar
kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan
tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap.
Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya
dia memulainya lagi[12].
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:
س صقدققاَّتسقكصم بساَّصلقمرن قواصلققذىَ قكاَّلنسذيِ يقصنفس ق
ق قماَّلقهق سرئقاَّقء النناَّ س يقاَّ أقفيقهاَّ النسذيقن آققمقنوا قل تقصبسطقلِوا ق
“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan
perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal
sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada
manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk
mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat
bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau
melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan
Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan
ia boleh membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak
dan kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan
dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal
kebajikan yang disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh
merusakkan amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian
hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau
mengerjakan ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan
kebajikan atau ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah,wara’ atau
rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu berusaha
memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini diperingatkan Allah dalam firman-
Nya[13]:
قوقل تقتنبسسع اصلقهقوىَ فقيِق س
ضلِنقك قعصن ق
سسبيِسل اس
“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.
Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat balasan
buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri
daripada perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah
kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji
orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu
ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian
baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam
hendaklah mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati
kepentingan dan hak Allah dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan
dan dosa yang telah dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap
perbuatan dan apa jua tindakan yang akan dilakukan.Bertaubat adalah jalan terbaik bagi
mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat
dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 135:
ستقصغفققروا لسقذقنوبسسهصم سقهصم قذقكقروا اق فقاَّ ص ظلِققموا أقصنفق ق
شةد أقصو ق
قوالنسذيقن إسقذا فققعقلِوا فقاَّسح ق
صفروا قعقلِىَ قماَّ فققعقلِوا قوقهصم يقصعلِققموقن ب إسنل اق قولقصم يق س قوقمصن يقصغفسقر الفذقنو ق
“Dan orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera
ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang
mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya sedang
mereka mengetahui”.
Riya، Sum'ah، Ujub dan Takabur Adalah 4 Paket sipat Tercela yang harus dihindari
25 Agustus 2014 pukul 8:24
— Riya (ria’), Sum’ah, ujub dan Takabur adalah sifat-sifat tercela yang hampir memiliki
kesamaan, dan sifat-sifat tersebut harus kita jauhi, pengertian dan pembahasan selengkapnya
simak di bawah ini :
A. RIYA
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan
karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal
kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan
agar orang lain memberikan penghormatan padanya.
JENIS-JENIS RIYA
Riya’ dibagi kedalam dua tingkatan:
riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari
manusia,
riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga
karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan
Perbuatan riya bila dilihat dari sisi amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali
dapat dibagi atas 5 kategori, yaitu:
Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, misalnya memperlihatkan badan
yang kurus dan pucat agar disangka banyak puasa dan shalat tahajud;
Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian, misalnya memakai baju koko agar disangka
shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin sholat.
Riya dalam perkataan, misalnya orang yang selalu bicara keagamaan agar disangka ahli
agama.
Riya dalam perbuatan, misalnya orang yang sengaja memperbanyak shalat sunnah di hadapan
orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi berhaji/umroh untuk
memperbaiki citranya di masyarakat.
Riya dalam persahabatan, misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau
pergi agar disangka ia termasuk orang alim.
Jangan biarkan pahala ibadah-ibadah yang telah sulit kita kumpulkan hilang tanpa arti dan
berbuah keburukkan lantaran masih ada riya di hati kita. Allah SWT mengingatkan dalam
firmannya:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari
shalatnya, yang berbuat karena riya” (Al Maa’uun 4-6)
B. SUM’AH
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang
yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang
menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia.
Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia
melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia
membicarakan amalnya di hadapan manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
صءدءقاتسهكنم سبانلءمنن ءوانلءءذىَ ءكالنسذيِ يهننفس ه
ق ءمالءهه سرءئاءء الننا س
س ءيا أءيَيءها النسذيءن آءمهنوُا ءل تهنبسطهلوُا ء
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
اه بسسه ءوءمنن يهءراسئيِ يهءراسئيِ ن
اه بسسه ءمنن ءسنمءعّ ءسنمءعّ ن
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa
yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat.
Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi
pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
C. UJUB
“Bagi Alloh semua kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya.” (QS. Al
Maidah : 120)
Maksud dari ayat di atas adalah apapun yang kita miliki, semuanya adalah milik Alloh yang
dipinjamkan kepada kita agar kita dapat memanfaatkannya dan sebagai ujian bagi kita. Tidak
seorangpun yang memiliki sesuatu di alam semesta ini walaupun sekecil atom kecuali Alloh
3. Kekuasaan
Setiap penguasa biasanya mempunyai kebebasan bertindak tanpa ada protes dari orang yang
ada di sekelilingnya, dan banyak orang yang kagum dan memujinya. Fenomena semacam ini
akan menyebabkan hati seseorang mudah dimasuki perasaan ‘ujub. Seperti kisah Raja
Namrud yang menyebut dirinya sebagai Tuhan, karena dia menjadi seorang penguasa. Dan
seandainya di lemah dan miskin, tentulah tidak akan menyebut dirinya sebagai Tuhan.
1. Membatalkan pahala
Seseorang yang merasa ‘ujub dengan amal kebajikannya, maka pahalanya akan gugur dan
amalannya akan sia-sia. Karena Alloh tidak akan menerima amalan kebajikan sedikitpun
kecuali dengan ikhlas karena-Nya. Rosululloh n bersabda :
“Tiga hal yang membinasakan : Kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar dan
kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR. Thobroni).
Orang yang mempunyai sifat ‘ujub biasanya suka menyebut-nyebut kembali sesuatu yang
sudah diberikan.
Umar Ra pernah berkata,”Siapapun yang mengakui dirinya berilmu, maka ia seorang yang
bodoh dan siapapun yang mengaku dirinya akan masuk surga, maka ia akan masuk neraka.”
Qotadah berkata, “Barangsiapa yang diberi kelebihan harta, atau kecantikan, atau ilmu, atau
pakaian, kemudian ia tidak bersikap tawadhuk, maka semua itu akan berakibat buruk baginya
pada hari kiamat.”
6. Memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit, bahkan keadaan orang yang meninggal
dunia, ziarah kubur dan merenungkan keadaan ahli kubur
Cara semacam ini akan mendorong seseorang untuk meninggalkan perasaan kagum diri dan
panyakit hati lainnya.
D.TAKABUR
PENGERTIAN TAKABUR
Takabur berasal dari bahasa arab Takabbara-Yatakabbaru yang artinya sombong atau
membanggakan diri sendiri. Takabur semakna dengan Ta’azum, yaitu menampakkan
keagungannya dan kebesarannya dibandingkan dengan orang lain. Dalam bahasa indonesia
banyak sekali istilah lain dari takabur ini antara lain, sombong, congkak, angkuh, tinggi hati
atau besar kepala.
Secara naluri setiap orang tidak menyukai sifat takabur atau sombong. Namun disadari atau
tidak terkadang seseorang akan menampakan akan sikap sombongnya, biasanya sifat ini
timbul manakala ia merasa memiliki nilai lebih, seperti lebih pandai, lebih kaya, lebih cantik.
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya menghindari sifat takabur ini, karena teladannya
adalah Rasulullah SAW, yang meskipun penuh dengan kemuliaan dan kelebihan, namun
beliau tetap tidak merasa lebih bahkan para pengikutnya dipanggil dengan sebutan sahabat,
yang mempunyai arti kesetaraan.
Sifat takabur ini merupakan sifat tercela dan berbahaya, bahkan dibenci oleh Allah SWT,
sebagaimana firman-firmannya :
“maka masuklah pintu-pintu neraka jahanam, kamu kekal didalamnya, maka amat buruklah
tempat orang-orang yang menyombongkan diri”. (Q.S An Naml : 29) ..
“sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Q.S An Nahl : 23)
MACAM-MACAM TAKABUR
Dari segi obyek atau sasarannya takabur menjadi tiga :
1. Takabur kepada Allah SWT, yaitu keadaan seseorang yang tidak mengakui dan menerima
kebenaran yang datang dari Allah SWT, seperti perintah shalat, zakat dan yang lainnya.
2. Takabur kepada Rasulullah.
3. Takabur terhadap sesama manusia, hal ini biasannya terlihat dari hal-hal yang bersifat
lahiriah, seperti kekayaan, kedudukan, wajah atau kepandaian.
Menurut pandangan tersebut di atas, secara umum takabur dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu :
1) Takabur Batini ( Takabur dalam sikap )
Takabur batini atau batin adalah sifat takabur yang tertanam dalam hati seseorang sehingga
tidak tampak secara lahir/fisik, seperti seseorang yang mengingkari kebenaran yang datang
dari Allah swt. padahal dia mengetahui kebenaran tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari orang yang termasuk golongan takabur batin memiliki sikap,
antara lain enggan minta tolong kepada orang lain meskipun ia membutuhkan serta tidak mau
berdoa untuk memohon pertolongan Allah swt. padahal semua persoalan yang kita hadapi
tidak dapat diselesaikan sendiri tanpa pertolongan-Nya
Allah swt. berfirman :
Artinya : “Kuperkenankan (Kukabulkan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina
dina.” (QS Al Mukmin: 60)
Demikianlah dakwah mengenai 4 sifat tercela (riya’,sum’ah,ujub, dan takabur) yang harus
kita hindari, semoga kita semua dijauhkan dari sifat-sifat tercela tersebut.. Amiin
A. Definisi
Riya’ adalah seseorang beramal shalih dengan maksud untuk dilihat/dipuji oleh orang lain.
D. Macam-macam Riya’
• Seorang hamba dalam beribadah menginginkan selain Allah. Dia senang orang lain
tahu/melihat apa yang diperbuatnya. Dia tidak menunjukkan keikhlasan dalam beribadah
kepada Allah dan ini termasuk jenis nifaq.
• Seorang hamba beribadah dengan tujuan dan keinginannya ikhlas karena Allah, namun
ketika manusia melihat ibadahnya maka ia bertambah giat dalam beribadah serta
membaguskan ibadahnya. Ini termasuk perbuatan syirik tersembunyi.
• Seorang hamba beribadah pada awalnya ikhlas karena Allah dan sampai selesai keadaannya
masih demikian, namun pada akhir ibadahnya dipuji oleh manusia dan ia merasa bangga
dengan pujian manusia tersebut serta ia mendapatkan apa yang diinginkannya (dunia, missal:
dengan memperoleh kedudukan di masyarakat dll).
• Riya’ badaniyah, yaitu perbuatan riya’ dengan menampakkan badan/jasadnya kurus karena
banyaknya ibadah sehingga ia disebut sebagai orang ABID (Ahli Ibadah).
• Riya’ dari sisi penampilan atau model. Seperti orang yang berpenampilan compang-camping
agar ia dilihat seperti orang yang berlaku/berbuat zuhud 1).
• Riya’ pada ucapan, misal orang yang memberat-beratkan suaranya.
• Riya’ dengan amalan.
• Riya’ dengan teman dan orang-orang yang mengunjunginya. Misal: Teman-teman/orang-
orang yang mengunjunginya adalah para ustadz/ulama, maka ia menjadi bangga dan
mengharap pujian dari hal tersebut.
• Riya’ dengan mencela dirinya dihadapan manusia.
• Seorang beramal dengan amal ketaatan dan tidak seorangpun mengetahuinya, ia tidak ingin
tenar. Akan tetapi jika ia dilihat manusia, ia menginginkan diawali/dihormati dengan
pengucapan salam.
• Menjadikan perbuatan ikhlasnya itu sebagai wasilah terhadap apa yang dia inginkan.