Anda di halaman 1dari 11

Daftar Isi

I. Trail Smelter Arbitration (1941) ........................................................................................ 2

Kasus .................................................................................................................................. 2

Analisis .............................................................................................................................. 2

II. The Corfu Channel Case (1949) ........................................................................................ 4

Kasus .................................................................................................................................. 4

Analisis .............................................................................................................................. 4

III. The Lake Lanoux Arbitration (1957) .............................................................................. 6

Kasus .................................................................................................................................. 6

Analisis .............................................................................................................................. 7

IV. The Nuclear Test Case (1973) ........................................................................................ 8

Kasus .................................................................................................................................. 8

Analisis .............................................................................................................................. 8

V. The Cosmos (1979) .......................................................................................................... 10

Kasus ................................................................................................................................ 10

Analisis ............................................................................................................................ 10

1
I. Trail Smelter Arbitration (1941)
United States v Canada

Kasus

The Trail Smelter merupakan kasus pencemaran lingkungan yang menyebabkan


banyak kerusakan, baik kerusakan pohon maupun kerusakan area pertanian.
Pencemaran ini disebabkan oleh sebuah perusahaan asal Kanada, yang mana
kerugiannya dirasakan sampai ke negara bagian Washington, Amerika Serikat. Kedua
pihak yang bertikai yakni Consolidated Mining and Smelting Company of Canada
(COMINCO) yang berlokasi di British Columbia, Kanada, dengan para petani dari
negara bagian Washington, Amerika Serikat yang membentuk aliansi bernama Citizens'
Protective Association (CPA). CPA membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase
lantaran protes yang mereka keluarkan langsung kepada COMINCO tidak kunjung
mendapat respon.

Konsekuensi dari arbitrase tersebut adalah: 1) kompensasi dalam bentuk ganti


rugi kepada pihak-pihak yang dirugikan (dalam hal inipara petani); dan 2) memberi
dampak pada hukum tentang pencemaran udara yang sifatnya transboundary.

Analisis

Dalam Draft Articles yang diadopsi oleh International Law Commission (ILC)
pada 2001, dinyatakan bahwa dalam menetapkan pertanggungjawaban negara, terdapat
empat kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar, yaitu subjective fault criteria,
objective fault criteria, strict liability criteria, serta absolute liability1. Dalam kasus ini,
kriteria yang digunakan adalah strict liability criteria. Kriteria ini menyebutkan bahwa
negara dibebani pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang
terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di

1
Sharon A, Williams, Public International Law Governing Trans-boundary Pollution. University of Queensland
Law Journal, vol. 13, 1984.

2
wilayah negara lain, meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah
diterapkan. Dalam konsep ini terdapat alasan dua alasan pemaaf, yaitu force majeure
dan tindakan dari pihak ketiga.

Apa yang dilakukan COMINCO sangat sesuai dengan apa yang tertulis dalam
teori tersebut. Pencemaran yang dilakukan oleh COMINCO telah menyebabkan
kerugian di negara lain, sehingga COMINCO memiliki kewajiban yang secara ketat
harus dipenuhi, yaitu berupa ganti rugi. Namun bukan hanya ganti rugi; COMINCO
juga harus memperbaiki sistem pembuangan limbah yang dihasilkan pabrik mereka
sehingga di masa yang akan datang, tidak akan terjadi kasus serupa yang menyebabkan
pencemaran lingkungan lagi.

Sumber:

Wirth, John D. (1996). The Trail Smelter Dispute: Canadians and Americans Confront Transboundary
Pollution, 1927-41. Environmental History.

https://www.casebriefs.com/blog/law/international-law/international-law-keyed-to-damrosche/chapter-
18/trail-smelter-arbitration-united-states-v-canada/2/ (Diakses pada 4 Maret 2019)

https://www.lawteacher.net/free-law-essays/international-law/trail-smelter-case.php (Diakses pada 4


Maret 2019)

3
II. The Corfu Channel Case (1949)
The Great Britain & Northern Ireland v Albania

Kasus

Kasus ini muncul karena insiden yang terjadi pada 22 Oktober 1946 di Selat
Corfu. Dua buah kapal destroyer milik United Kingdom sedang melintasi perairan
Albania yang diklaim sudah disapu bersih dana man dari ranjau. Namun, salah satu
kapal destroyer yaitu Saumarez, menabrak ranjau dan menyebabkan kerusakan parah,
hingga korban jiwa. Kapal destroyer lain, Volage, dikirim untuk menarik Saumarez
tetapi malah terkena ranjau juga sampai rusak. Insiden ini mengakibatkan 45 perwira
Inggris meninggal dunia sementara 42 lainnya terluka. Inggris membawa kasus ini ke
Dewan Keamanan PBB yang menyarankan kedua belah pihak untuk membawa kasus
ini ke Mahkamah Internasional.

Di Pengadilan, Inggris meminta Albania bertanggungjawab atas kerugian yang


dideritanya. Inggris menuding Albania sengaja meletakkan ranjau tersebut, atau
Albania berkonspirasi dengan Yugoslavia meletakkan ranjau tersebut dengan tujuan
tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa tudingan tersebut tidak mempunyai cukup
bukti. Namun Pengadilan menyetujui bahwa siapa pun yang meletakkan ranjau tersebut
di perairan yang merupakan teritori Albania, seharusnya pemerintah Albania
mengetahuinya. Kasus ini ditutup dengan keputusan bahwa Albania harus membayar
kerugian yang diderita Inggris.

Analisis

Ini sesuai dengan maxim hukum Romawi “sic uteretuotalienum non laedas”
yang dapat dimaknai bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak
menggunakan atau mengizinkan digunakannya wilayahnya sedemikian rupa sehingga
menyebabkan timbulnya bahaya atau kerugian terhadap lingkungan orang, harta benda,
dan atau hak-hak negara lain, atau daerah di luar wilayahnya

4
Menurut saya walaupun Albania mengaku tidak meletakkan ranjau di
perairannya dan bahwa Albania mengklaim semua ranjau di perairannya telah disapu
bersih pada tanggal 13 November, jika terdapat ranjau di perairan Albania, terlepas dari
kepemilikan ranjau tersebut yang belum jelas, Albania pasti mengetahuinya. Sebab
tentu Albania memiliki kapal-kapal yang berlayar di dalam perairannya sendiri, kiranya
sangat mustahil bila kapal-kapal itu dibiarkan tidak mengetahui bahwa ada ranjau di
perairan tersebut.

Namun walaupun memasang ranjau di perairan sendiri merupakan hak mutlak


Albania, seharusnya Albania dapat memberitahu kapal milik Inggris yang hendak
melintas bahwa di perairan tersebut terdapat ranjau aktif sehingga Inggris paling tidak
dapat menghindarinya. Pun kalau ranjau tersebut ditanam di hari yang sama seperti
ketika kapal Inggris melintas, Albania tetap mempunyai cukup waktu untuk
memperingatkan Inggris. Tetapi Albania tidak melakukannya. Artinya, Albania telah
lalai dalam kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian bagi negara lain. Dengan
demikian, Albania telah melakukan sebuah kesalahan dengan membawa kerugian
kepada Inggris, sehingga Inggris berhak atas ganti rugi.

Sumber:

https://www.iilj.org/wp-content/uploads/2016/08/Summary-of-and-extract-from-Corfu-Channel-Case-
United-Kingdom-v.-Albania.pdf: SUMMARY OF RELEVANT ASPECTS OF CORFU CHANNEL
CASE (MERITS) Judgment of 9 April 1949. (Diakses pada 4 Maret 2018)

5
III. The Lake Lanoux Arbitration (1957)
France v Spain

Kasus

Kasus ini terjadi terkait penggunaan air Danau Lanoux oleh Prancis. Pemerintah
Prancis mengusulkan sebuah proyek yang berkaitan dengan pemanfaatan air danau dan
membuat pemerintah Spanyol lantas keberatan, karena merasa bahwa proyek tersebut
bisa mempengaruhi hak dan kepentingan Spanyol seperti yang tertuang dalam Traktat
Bayonne antara Spanyol dan prancis pada 26 Mei 1866 beserta Pasal Tambahan. Dalam
traktat tersebut dikatakan bahwa proyek sejenis itu tidak dapat dilakukan tanpa
persetujuan dari kedua belah pihak.

Pada tanggal 21 September 1950, Electricité de France mengajukan


permohonan kepada Kementerian Perindustrian untuk sebuah konsesi, berdasarkan
sebuah skema yang melibatkan pengalihan perairan Danau Lanoux ke arah Sungai
Ariège. Air yang dialihkan itu harus benar-benar dikembalikan ke Sungai Carol dengan
menggunakan terowongan yang mengarah dari jalur paling atas Ariège pada titik di
Carol di atas pintu keluar ke Kanal Puigcerda. Pemerintah Prancis, bagaimanapun,
sambil menerima prinsip bahwa air yang ditarik harus dikembalikan, menganggap
dirinya terikat hanya untuk mengembalikan jumlah air yang sesuai dengan kebutuhan
aktual pengguna Spanyol. Akibatnya, Prancis akan melanjutkan untuk
mengembangkan Danau Lanoux dengan mengalihkan perairannya ke arah Ariege
namun aliran air terbatas yang sesuai dengan kebutuhan sebenarnya dari fronthouse
Spanyol akan terjamin di tingkat outlet ke Terusan Puigcerda. Spanyol khawatir hal
tersebut dapat merusak sungai-sungai yang ada di wilayah Spanyol karena sungai-
sungai tersebut bersumber pada danau itu. Kegiatan yang dilakukan Perancis tersebut
mengakibatkan pencemaran yaitu akibat limbah kimia dan perubahan suhu yang
dihasilkan oleh teknologi yang digunakan, yang mana membahayakan keanekaragaman
hayati sungai itu sehingga Spanyol membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase.

Pengadilan yang memeriksa kasus tersebut mempertanyakan apakah Prancis


telah memperhatikan hak-hak Spanyol ketika membuat proyek tersebut. Kemudian

6
Pengadilan menyimpulkan bahwa Prancis telah memenuhi kewajibannya yaitu
mempertimbangkan kepentingan pihak terkait, melakukan negosiasi, menyajikan
jumlah total kepentingan, dan lain-lain, sehingga dalam kasus ini Prancis telah
mematuhi Pasal 11 Pasal Tambahan. Pengadilan lalu memutuskan bahwa Prancis tidak
melakukan pelanggaran terhadap Traktat Bayonne maupun Pasal Tambahannya.

Analisis

Seperti yang telah dikatakan Pengadilan bahwa “according to the rule of good
faith, the state is under the obligation to take into consideration the various interest
involved. To seek to give them every satisfaction compatible with the pursuit of its own
interest..” yang maksudnya negara hulu mempunyai kewajiban untuk
mempertimbangkan seluruh kepentingan yang terkait dengan setiap kegiatan yang ia
lakukan di dalam wilayahnya. Intinya dalam perspektif good faith, setiap negara
seharusnya melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi negaranya serta negara lain.

Saya merasa bahwa walaupun tidak ada indikasi bahwa Prancis telah melanggar
Traktat Bayonne beserta Pasal Tambahannya, Prancis telah lalai dalam menerapkan
prinsip good faith tersebut karena jika Spanyol tidak melaporkan kegiatan Prancis ke
Pengadilan Arbitrase, Prancis tentu akan melanjutkan kegiatannya yang mungkin akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Walaupun kedua belah pihak memiliki
kepentingan, saya merasa bahwa kepentingan yang harus diutamakan adalah
kepentingan pihak yang lebih ramah lingkungan karena sekali saja lingkungan sudah
tercemar, akan sulit sekali mengembalikannya seperti keadaan semula. Pun jika Prancis
ingin melanjutkan kegiatannya, sebaiknya Prancis memastikan dengan benar bahwa
limbah yang dihasilkan tidak akan membawa pencemaran baik bagi negaranya maupun
Spanyol.

Sumber:

LAKE LANOUX ARBITRATION (FRANCE v. SPAIN) (1957) 12 R.I.A.A. 281; 24 I.L.R. 101 Arbitral
Tribunal.1 November 16, 1957. (Petrén, President; Bolla, De Luna, Reuter, De Visscher).

7
IV. The Nuclear Test Case (1973)
New Zealand v France

Kasus

Kasus ini terjadi karena Prancis melakukan serangkaian uji coba nuklir di
wilayah Pasifik Selatan. Selandia Baru meminta Pengadilan untuk menyatakan bahwa
uji coba nuklir bawah tanah Prancis di wilayah Polinesia Prancis merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak Selandia Baru berdasarkan hukum internasional dan,
lebih jauh atau alternatifnya, bahwa pengujian semacam itu tidak sah sampai Prancis
melakukan apa yang disebut dampak lingkungan penilaian sesuai standar internasional
yang berlaku. Pengadilan kemudian menolak tindakan Selandia Baru, dengan
menyatakan bahwa hal itu tidak diizinkan oleh Pengadilan 1974 karena keputusan
tersebut hanya ditangani dengan pengujian di atmosfer. Selandia Baru mengajukan
klaimnya atas permintaan permohonan untuk Pemeriksaan Situasi berdasarkan paragraf
63 Pengadilan Tinggi tahun 1974. Ayat 63 menyebutkan: “Once the Court has found
that a State has entered into a commitment concerning its future conduct it is not the
Court's function to contemplate that it will not comply with it.”

Dalam pengadilan 1974, Pengadilan mengatakan bahwa klaim Selandia Baru


bahwa Prancis telah melanggar hukum internasional dengan melakukan uji coba nuklir
di wilayah Pasifik Selatan, yang menyebabkan penyangkalan dampak radioaktif di
wilayah Selandia Baru, menjadi dipertanyakan setelah Prancis mengumumkan bahwa
percobaan tersebut adalah yang terakhir dari delapan uji coba senjata nuklir bawah
tanah di atol Mururoa dan Fangataufu. Karena merasa tidak akan melakukan uji coba
lain, Prancis meminta New Zealand untuk menarik permohonannya dari ICJ.

Analisis

Menurut saya, jika telah terdapat indikasi bahwa uji coba nuklir yang dilakukan
oleh Prancis membawa kerugian kepada pihak Australia dan New Zealand, sudah
sepatutnya Prancis mengganti kerugian. Namun dalam kasus tersebut tidak disebutkan
8
adanya kerugian materiil jadi saya merasa bahwa Prancis tidak masuk dalam kriteria
keempat yang menjadi dasar pertanggungjawaban negara, yaitu absolute liability.
Dalam kriteria tersebut disebutkan bahwa kegiatan yang menggunakan nuklir jika
membawa dampak yang merugikan harus dan wajib dipertanggungjawabkan. Sehingga
jika Prancis belum membawa dampak apa-apa terhadap siapa-siapa, saya kira langkah
Prancis untuk melakukan penghentian uji coba nuklir adalah hal yang benar. Dengan
begitu Prancis bisa mencegah terjadinya kerugian bagi negara lain dan bagi lingkungan.

Sumber:

Request for an Examination of the Situation in Accordance with Paragraph 63 of the Courts Judgment
of 20 December 1974 in the Nuclear Tests (New Zealand v. France)
Case Author(s): Judith Hippler Bello and Peter H. F. Bekker
Source: The American Journal of International Law, Vol. 90, No. 2 (Apr., 1996), pp. 280-286
Published by: Cambridge University Press Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/2203690
Accessed: 04-03-2018 05:45 UTC

9
V. The Cosmos (1979)
Uni Soviet v Canada

Kasus

Pada 24 Januari 1978, satelit milik Uni Soviet yang bernama Cosmos 954 jatuh
dari luar angkasa dan masuk ke dalam teritori Kanada. Komponn-komponen dari satelit
bertenaga nuklir ini terpisah-pisah dan meninggalkan puing-puing yang bersifat
radioaktif di bagian barat laut Kanada. Kejadian tersebut telah menyebabkan banyak
kerugian baik secara materiil maupun korban jiwa. Kanada kemudian meminta ganti
rugi kepada Uni Soviet sebanyak 6.041.174,70 dolar Kanada atas kerusakan yang
terjadi. Permintaan ganti rugi ini sesuai dengan Convention on International Liability
for Damage caused by Space Objects tahun 1972.

Analisis

Dalam Pasal II Convention on International Liability for Damage caused by


Space Objects dikatakan bahwa "A launching State shall be absolutely liable to pay
compensation for damage caused by its space object on the surface of the earth..”
Dengan demikian, Uni Soviet selaku pihak yang meluncurkan satelit tersebut
sepenuhnya berkewajiban untuk membayar kompensasi kepada Kanada atas kerusakan
yang disebabkan oleh satelit tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan kriteria keempat
dari pertanggungjawaban negara, yakni absolute liability yang muncul apabila ada
kaitannya dengan kegiatan yang menggunakan nuklir.

Menurut saya, sudah jelas bahwa Uni Soviet harus membayar kerugian. Sesuatu
benda atau warga dari sebuah negara yang membawa kerugian bagi negara lain harus
diminta pertanggungjawabannya. Apalagi dalam hal ini melibatkan nuklir, yang
dampaknya jelas-jelas sangat merugikan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, Uni
Soviet berkewajiban penuh untuk membayar kompensasi kepada Kanada. Namun
bukan hanya itu, Uni Soviet pun perlu memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi, agar
tidak ada kerugian-kerugian seperti ini di kemudian hari.
10
Sumber:

CANADA: CLAIM AGAINST THE UNION OF SOVIET SOCIALIST REPUBLICS FOR DAMAGE
CAUSED BY SOVIET COSMOS 954
Source: International Legal Materials, Vol. 18, No. 4 (JULY 1979), pp. 899-930
Published by: Cambridge University Press Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/20692062
Accessed: 04-03-2018 05:44 UTC
Eilene Galloway, Nuclear Powered Sattelites: The U.S.S.R Cosmos 954 and the Canadian Claim. Akron
Law Review.

11

Anda mungkin juga menyukai