Anda di halaman 1dari 20

TUGAS EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

“Kemampuan Penyediaan Pangan Sagu di Indonesia

Oleh:

Ghaisani Ikramina Aiffah 101711123003


Pebriati Riski Ramadani 101711123010
Ruri Indra Ramadani 101711123056

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi.
Makalah yang berisi kemampuan penyediaan pangan Sagu Indonesia ini
telah kami susun secara sistematis dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami mohon maaf atas segala kesalahan serta menerima segala kritik dan
saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini dan bisa
lebih baik dalam pembuatan makalah ilmiah selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat terhadap pembaca.

Surabaya, 2 Februari 2018

Tim Penyusun
3

DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Daftar Tabel
Daftar Gambar
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan masalah 5
1.3 Tujuan 5
1.4 Manfaat 5
BAB II DATA SAGU DI INDONESIA
2.1 Data Produksi Sagu Domestik di Indonesia 6
2.2 Data Konsumsi Sagu di Indonesia 6
2.3 Data Ekspor Impor Sagu di Indonesia 7
2.4 Isu Ketahanan Sagu Nasional 8
2.4.1 Isu Produksi Sagu Nasional 8
2.4.2 Isu Produksi Sagu Nasional 9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pola Konsumsi Sagu di Indonesia 11
3.2 Penurunan Ketergantungan Impor Sagu dari Negara Lain 11
3.2.1 Peningkatan Panen Sagu Domestik 11
3.2.2 Pengoptimalan Produksi Sagu di Indonesia 12
3.2.3 Pemerataan Sagu se Indonesia 13
3.3 Keseimbangan Produksi dengan Konsumsi Sagu 13
3.4 Kedaulatan Sagu di Indonesia 14
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 16
4.2 Rekomendasi 16
Daftar Pustaka 17
4

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat
ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal.
Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai
makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya.
Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu belum dipandang
serius oleh pemerintah negara ini padahal sagu merupakan pontensi yang sangat
besar bagi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sebagai sumber energi.
Sedangkan negara yang tidak mempunyai potensi untuk tumbuhnya sagu seperti
Malaysia justru mengeksploitasi teknologi pengolahan sagu yang berasal dari
Indonesia.
Manfaat sagu selain sebagai bahan pangan, juga dapat digunakan sebagai
obat sakit perut seperti: perut kembung, mencret, buang air besar dengan darah,
muntah-muntah dan semua gangguan pada perut. Sagu dapat diolah dengan
bermacam-macam panganan yang selain memberikan rasa dan manfaat bagi tubuh
juga memberi nilai tambah setelah diolah seperti mi sagu, roti, biskuit, sagu, sup,
sagu, papeda dan masih banyak lagi panganan yang dapat dibuat dari tepung sagu.
Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per haktar (ha). Jumlah ini
jauh melebihi beras atau jagung. Bahkan, kadar pati kering dalam sagu yang
terkandung itu, pati beras hanya 6 ton per hektar. Sementara pati kering jagung
hanya 5,5 ton. Limbah sagu ini pun bisa digarap seperti bungkil atau pelepah
sagu untuk pakan ternak.
Indonesia memiliki lebih dari 90 persen luasan sagu di dunia, dengan 85
persennya terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan fakta tersebut,
Pemerintah seharusnya dapat melihat ini sebagai kesempatan untuk menjadikan
Indonesia sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama
untuk menyejahterakan rakyat di Indonesia bagian timur.
Sejalan dengan kondisi dan potensi sagu tersebut, maka sangat diperlukan
suatu kajian yang menghasilkan arahan dan acuan dalam menyusun strategi/
5

kebijakan peningkatan pendayagunaan potensi sumberdaya alam, manusia dan


pendukung permodalan, sosial dan finansial untuk mengembangkan sektor
agroindustri sagu agar terjadi peningkatan ketahanan pangan melalui sektor sagu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana produksi Sagu di Indonesia?
2. Bagaimana pola konsumsi Sagu di Indonesia ?
3. Bagaimana meningkatkan jumlah ekspor Sagu di Indonesia ?
4. Bagaimana strategi untuk akselerasi mewujudkan swasembada pangan Sagu
di Indonesia?
5. Apakah Indonesia mewujudkan swasembada Sagu di Indonesia?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum:
Untuk mengetahui permasalahan Sagu terhadap swasembada pangan di
Indonesia dan kemampuan Indonesia swasembada tepung terigu.
Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui produksi domestik tepung terigu.
2. Untuk mengetahui angka konsumsi Sagu di Indonesia.
3. Untuk mengetahui jumlah import Sagu di Indonesia
4. Untuk mengetahui strategi menuju swasembada Sagu di Indonesia
5. Untuk mengetahui apakah Indonesia dapat swasembada Sagu

1.4 Manfaat
1. Manfaat bagi Pembaca
Menambah ilmu dan pengetahuan serta menjadi literatur bagi pembaca dalam
memahami ilmu ekologi pangan gizi terutama bahan pangan Sagu serta
mengenai swasembada pangan Sagu di Indonesia.
2. Manfaat bagi Penulis
Menambah ilmu dan pengetahuan serta menambah wawasan bagi penulis
mengenai teori dan konsep serta informasi mengenai ilmu ekologi pangan
gizi terutama mengenai Sagu dan mengenai swasembada pangan Sagu di
Indonesia baik melalui starategi, kebijakan dan peraturan.
6

BAB 2

DATA SAGU DI INDONESIA

2.1 Data Produksi Sagu Domestik di Indonesia

Tabel 2.1 Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan per kapita sagu di


Indonesia tahun 2013-2017
Tahun/Year Rata-rata
pertumbuhan/ Average
Uraian/Items
2013 2014 2015 2016 2017 Growth 2013-2017
(%)
A. Penyediaan/Supply (000 Ton) 148 302 414 433 483 39,28
1. Produksi/Production
Masukan/Input 388 1554 1060 1101 1224 70,94
Keluaran/Output 155 311 424 441 490 38,01
2. Impor/ Import - - 0 0 0 -
3. Ekspor/ Eksport 7 9 10 8 7 2,73
4. Perubahan Stok/ Change in stock - - - - - -
B. Penggunaan/ Utilization (000 Ton) 148 301 414 433 483 39,23
1. Pakan/ Feed - - - - - -
2. Bibit/ Seed - - - - - -
3. Diolah untuk/ Manufactured for - - - - - -
Makanan/ Food - - - - - -
Bukan makanan/ Non Food 22 16 2 31 31 284,44
4. Tercecer/ Wasted 1 2 3 3 3 41,26
5. Bahan Makanan / Food 125 283 408 399 448 45,17
Ketersediaan per kapita
Percapita availability 0,05 1,12 1,60 1,54 1,71 43,53
(kg/kapita/tahun) / (kg/capita/year)
Sumber: Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan
7

Grafik 2.1 Produksi Sagu Domestik di Indonesia tahun 2013-2017

600

500
2013
400
2014
300
2015
200 2016
100 2017

0
Produksi

Sumber: Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan

Dari tabel dan grafik yang bersumber dari Neraca Bahan Makanan, BKP
Kementan di atas, diketahui bahwa produksi sagu dalam setahun mulai dari tahun
2013-2017 di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Produksi tertinggi
yaitu pada tahun 2017 sebanyak 490 ton.

2.2 Data Konsumsi Sagu di Indonesia

Tabel 2.2 Rata-rata Konsumsi per kapita Sagu di Indonesia tahun 2013-2017
Tahun/Year Rata-rata
pertumbuhan/
Jenis Makanan/ Food Items
2013 2014 2015 2016 2017 Average Growth
2013-2017 (%)
A. Konsumsi seminggu
(kg/kap/minggu)
Weekly consumption
(kg/capita/week)
Sagu/Sago flour 0,008 0,007 0,009 0,008 0,006 4,28
B. Konsumsi setahun
(kg/kap/tahun)
Yearly consumption
(kg/capita/year)
Sagu/Sago flour 0,417 0,388 0,469 0,417 0,334 4,28
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tw.I/Maret, BPS
8

Grafik 2.2 Konsumsi Sagu di Indonesia tahun 2013-2017

2013 2014 2015 2016 2017

0.469
0.417 0.417
0.388
0.334

0.008 0.007 0.009 0.008 0.006

Konsumsi seminggu Konsumsi setahun

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tw.I/Maret, BPS

Dari tabel dan grafik yang bersumber dari SUSENAS di atas, diketahui
bahwa konsumsi sagu perkapita dalam setahun di Indonesia pada tahun 2017
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu dari 0,417 kg pada tahun 2016
menjadi 0,334 kg pada tahun 2017.

2.3 Data Expor-Impor Sagu di Indonesia

Tabel 2.3 Expor-Impor Sagu di Indonesia tahun 2013-2017


Tahun/Year (Ton) Rata-rata pertumbuhan/
Uraian/Items Average Growth 2013-
2013 2014 2015 2016 2017
2017 (%)
1. Impor/Import - - 0 0 0 -
2. Ekspor/ Export 7 9 10 8 7 2,73
Sumber: Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan
9

Grafik 2.3 Expor-Impor Sagu di Indonesia tahun 2013-2017

2013 2014 2015 2016 2017

10
9
8
7 7

0 0 0 0

Impor Ekspor

Sumber: Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan

Dari tabel dan grafik yang bersumber dari Neraca Bahan Makanan, BKP
Kementan di atas, diketahui bahwa sejak tahun 2013-2017 Indonesia tidak pernah
mengimpor sagu, dan menjadi pengekspor sagu. Pada tahun 2017 jumlah ekspor
sagu Indonesia mengalami penurunan dari 8 ton pada tahun sebelumnya menjadi 7
ton. Jumlah ekspor tertinggi Indonesia yaitu 10 ton pada tahun 2015.
10

2.4 Isu Sagu di Media Massa

Sumber: Liputan6.com

Sumber: Tabloidjubi.com

Berdasarkan berita dari Liputan6.com pada 8 Juni 2016 dan


Tabloidjubi.com pada 9 Juni 2016, Indonesia adalah negara dengan area hutan
sagu terluas di dunia, namun keunggulan tersebut belum bisa dimanfaatkan secara
baik. Indonesia memiliki lebih dari 90% luasan sagu di dunia, dengan 85%
terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pohon sagu atau sago palm
(Metroxylon sagu) adalah tanaman asli Indonesia yang menjadi sumber
karbohidrat utama. Sagu juga dapat digunakan sebagai makanan sehat (rendah
kadar glikemik). Selain itu, sagu dapat dipakai untuk bioethanol, gula untuk
industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas, farmasi dan
lainnya.
11

Lahan sagu perlahan mulai terkikis oleh pembangunan jalan, rumah toko
dan pembangunan lainnya. Salah satu masalah utama pembangunan sagu di
Indonesia adalah infrastruktur. Di Papua, warga kesulitan memasok sagu rakyat
ke pabrik sagu besar dan pabrik sagu besar sulit untuk menyalurkan hasil
produksinya keluar. Ada juga permasalahan sosial ekonomi, di mana pengolahan
sagu di Papua terkena hak hutan ulayat. Artinya, masyarakat perlu mendapat
kompensasi dalam setiap pengelolaannya.

2.5 Isu Konsumsi Sagu Nasional

Sumber: Kompas.com

Sumber: Merdeka6.com
12

Berdasarkan berita dari Kompas.com pada 25 Juni 2012 dan Merdeka.com


27 Februari 2015, Sagu dan ubi-ubian bukan lagi makanan utama masyarakat
Papua. Beras kini populer, bahkan hingga wilayah pedalaman. Jika tidak
diantisipasi, ketahanan pangan bakal terancam. Masyarakat di Tanah Papua
mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sedang mengalami proses
perubahan, termasuk dalam makanan pokoknya. Makanan pokok mereka berupa
sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan
makanan asli Papua.
Semakin meningkatnya ketergantungan ini tidak lepas dari beberapa
sebab. Salah satunya adalah meningkatnya pendatang yang mencari rezeki di
tanah ini. Bahkan, di Papua Barat proporsi penduduk pendatang sudah mencapai
47 persen. Besarannya hampir berimbang dengan penduduk asli. Selain itu juga
berubahnya pola makanan penduduk asli Papua. Beras sudah menjadi makanan
pokok sehari-hari warga asli, terutama di perkotaan. Kecenderungan ini sudah
mulai terasa di wilayah Pegunungan Papua. Angka ketergantungan kalori terhadap
beras sangat tinggi, yakni sudah mencapai 80-90 persen. Artinya, ketahanan
pangan di Papua sangat mengkhawatirkan di masa mendatang karena konsumsi
beras di tingkat rumah tangga bertambah besar, sedangkan konsumsi pangan lokal
cenderung menurun.
Pemerintahan Joko Widodo kembali berencana menggalakkan program
diversifikasi pangan, mengalihkan dari kebiasaan makan nasi ke bahan pangan
lainnya agar kebutuhan beras nasional bisa ditekan.
13

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Analisa Potensi dan Permasalahan Produksi Sagu di Indonesia

Dari tabel dan grafik yang bersumber dari Neraca Bahan Makanan, BKP
Kementan, diketahui bahwa produksi sagu dalam setahun mulai dari tahun 2013-
2017 di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Produksi tertinggi yaitu
pada tahun 2017 sebanyak 490 ton.
Sagu adalah komoditi yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan
pangan alternatif maupun bahan non-pangan. Sebagai bahan pangan alternatif
yang dapat menggantikan beras, sagu merupakan penghasil karbohidrat yang
sangat baik yang juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan mie, roti,
biskuit, kue, sinoli manis, sagu gula, ongol-ongol, kerupuk sagu, makanan
penyedap, dan berbagai jenis minuman sirup yang berkadar fruktosa tinggi.
Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kalori yang didalamnya rata-rata
terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium,
1,2 mg besi, serta lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah yang
sangat kecil.
Sagu adalah satu-satunya komoditi alternatif yang paling berpotensi untuk
mengurangi impor gandum yang selama ini terus meningkat. Sebagai pengganti
gandum untuk memproduksi bahan makanan tertentu, sagu tidaklah lebih buruk
dibandingkan gandum. Hal ini terlihat dari adanya hasil suatu penelitian yang
menyatakan bahwa mie hasil olahan tepung sagu memiliki nilai gizi yang lebih
baik jika dibandingkan dengan mie dari tepung terigu (Humas, 2006). Sagu
Indonesia juga laku di pasaran internasional dengan adanya ekspor sagu sebesar
2.354.872 Kg pada tahun 2006. Adanya nilai ekspor ini telah membuktikan bahwa
produksi sagu di Indonesia memang telah melebihi kebutuhan pangan pokok
untuk penduduk yang menjadikan komoditi tersebut sebagai makanan pokok.
Namun minimnya teknologi yang mampu memberi nilai tambah terhadap
komoditi sagu telah menjadikan komoditi ini tidak begitu berarti di Indonesia.
Padahal bahan yang diekspor tersebut nantinya akan diimpor kembali dalam
bentuk produk pangan maupun non-pangan yang diolah dari sagu.
Sagu adalah salah satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di
beberapa bagian negara di dunia. Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama
di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Jambi, Sumatera Barat ( Mentawai), dan Riau. Namun sayangnya, meski sebagai
sumber pangan utama di Papua dan Maluku, pengembangannya belum ditangani
secara intesif. Hal itu, dikarenakan politik pangan Indonesia sangat bertumpu pada
14

tanaman padi. Padi atau beras menjadi tolak ukur untuk menentukan tingkat
konsumsi karbohidrat. Padahal tidak semua daerah di Indonesia dapat ditanami
padi atau penduduknya terbiasa menanam padi atau secara tradisi tidak
mengandalkan padi sebagai bahan pangannya.

3.2 Anallisa Potensi dan Permasalahan Pola Konsumsi Sagu di Indonesia

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menyatakan bahwa


konsumsi sagu perkapita dalam setahun di Indonesia pada tahun 2017 mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya yaitu dari 0,417 kg pada tahun 2016 menjadi
0,334 kg pada tahun 2017. Hal ini disebabkan oleh kurang beragamnya pola
konsumsi pangan penduduk Indonesia.
Sagu adalah salah satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di
beberapa bagian negara di dunia. Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama
di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Jambi, Sumatera Barat ( Mentawai), dan Riau. Namun sayangnya, meski sebagai
sumber pangan utama di Papua dan Maluku, pengembangannya belum ditangani
secara intesif. Hal itu, dikarenakan politik pangan Indonesia sangat bertumpu pada
tanaman padi. Padi atau beras menjadi tolak ukur untuk menentukan tingkat
konsumsi karbohidrat. Padahal tidak semua daerah di Indonesia dapat ditanami
padi atau penduduknya terbiasa menanam padi atau secara tradisi tidak
mengandalkan padi sebagai bahan pangannya.
Sagu dan ubi-ubian bukan lagi makanan utama masyarakat Papua. Beras
kini populer, bahkan hingga wilayah pedalaman. Masyarakat di Tanah Papua,
mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sedang mengalami proses
perubahan, termasuk dalam makanan pokoknya. Makanan pokok mereka berupa
sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan
makanan asli Papua.
Data tahun 2010 menunjukkan, asupan kalori penduduk Papua Barat
mayoritas (46 persen) berasal dari biji-bijian yang di dalamnya termasuk beras.
Sebaliknya, makanan lokal yang berasal dari umbi-umbian ternyata asupan
kalorinya hanya 9,65 persen. Sementara itu kondisi di Provinsi Papua konsumsi
beras dan makanan lokal hampir berimbang. Asupan kalori biji-bijian dan umbi-
umbian antara 28 persen dan 29 persen.
Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya pendatang. Di Papua Barat
proporsi penduduk pendatang sudah mencapai 47 persen. Besarannya hampir
berimbang dengan penduduk asli. Selain itu juga berubahnya pola makanan
penduduk asli Papua. Beras sudah menjadi makanan pokok sehari-hari warga asli,
terutama di perkotaan.
15

3.3 Analisa Potensi dan Permasalahan Distribusi Sagu di Indonesia

Papua memiliki luas lahan sagu 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari
luas hutan sagu nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat,
Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang
belum terinventarisasi. Jika ditambah Papua dan Papua Nugini, luas hutan sagu
seluruhnya sekitar 4,5 juta hektar. Meski potensi sagu begitu besar, namun
permintaan domestik tepung sagu belum dapat dipenuhi hingga 5 juta ton. Ini
bahkan diluar dari permintaan pasar manca negara yang juga tak kalah besar.
Indonesia, yang kaya akan potensi sagu, justru terancam Malaysia yang sudah
jauh lebih dulu mengembangkan industri sagu di Kuching sejak 1969.
Permasalahan pada distribusi sagu di Indonesia disebabkan oleh
terbatasnya infrastruktur. Tidak adanya infrastruktur jalan menjadi tantangan
tersendiri baik bagi investor maupun masyarakat setempat untuk mengembangkan
perekonomian. Pabrik sagu Perhutani di Kais, bisa diakses melalui dua jalur, darat
dan air. Perjalanan melalui air memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam.
Sementara dari darat, bisa memakan waktu 2,5 jam hingga 3 jam, dari
Teminabuan. Teminabuan sendiri bisa dicapai dari kota Sorong setelah
menempuh perjalanan darat sekitar enam jam. Jalanan licin, sebagian besar tak
beraspal, dan berkelok-kelok dengan tebing dan jurang di kanan-kirinya. Total
perjalanan kota Sorong sampai Kais bisa mengabiskan waktu 12 jam. Tidak
tersedianya jalan yang layak di Kais juga menyulitkan warga untuk memasok
sagu-sagu mereka ke pabrik sagu Perhutani.

3.4 Solusi
3.4.1 Peningkatan Kemampuan Produksi Sagu
Peningkatan kemampuan produksi sagu dapat dilakukan dengan upaya sebagai
berikut:
1. Ekstensifikasi, yaitu perluasan produksi dengan cara menambah faktor
produksi. Contoh ekstensifikasi antara lain adalah menambah modal,
memperluas lahan, dan meningkatkan jumlah tenaga kerja.
2. Intensifikasi, yaitu perluasan produksi yang dengan cara memperbesar
kemampuan berproduksi dari faktor produksi yang sudah ada, tanpa
menambah jumlah faktor produksi. Contoh: untuk meningkatkan hasil
pertanian sagu dilakukan dengan cara memilih bibit yang unggul, memberi
pupuk dengan teratur, dan lain-lain.
3. Otomatisasi, yaitu cara perluasan produksi dengan penggunaan alat canggih
dan modern sehingga memperoleh jumlah kuantitas hasil produksi yang lebih
banyak. sehingga barang yang dihasilkan banyak dalam waktu singkat dan
tetap berkualitas.
4. Diversifikasi, yaitu perluasan produksi dengan cara menambah jenis produksi
sagu. Contoh: awalnya satu pabrik hanya memproduksi sagu kemudian pabrik
/PT tersebut memproduksi tepung dan mie sagu.
5. Normalisasi, yaitu perluasan produksi dengan cara menambah keragaman dari
satu jenis produksi. Contoh: bubur sagu di kemas dalam kemasan menarik.
16

6. Mekanisasi, yaitu perluasan produksi dengan cara menggunakan mesin-


mesin yang bisa menghemat waktu dan tenaga, sehingga hasil sagu lebih
meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
7. Memberikan fasilitas dan kemudahan, yaitu perluasan produksi sagu yang
dilakukan pemerintah sebagai suatu kebijakan umum, di antaranya dengan
cara pemberian kredit bagi usaha kecil dan menengah, deregulasi
(penyederhanaan peraturan), debirokratisasi (penyederhanaan mekanisme
perizinan), mengadakan kursus-kursus peningkatan keterampilan budidaya
dan pengolahan sagu, dan lain-lain.

3.4.2 Peningkatan Ekspor Sagu ke Negara lain


Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan, diketahui
bahwa sejak tahun 2013-2017 Indonesia tidak pernah mengimpor sagu, dan
menjadi pengekspor sagu. Pada tahun 2017 jumlah ekspor sagu Indonesia
mengalami penurunan dari 8 ton pada tahun sebelumnya menjadi 7 ton. Jumlah
ekspor tertinggi Indonesia yaitu 10 ton pada tahun 2015.

Strategi pemerintah meningkatkan ekpor sagu ke luar negri antara lain:


1. Sosialisasi
Mensosialisasikan manfaat sagu selain sebagai bahan pangan, juga dapat
digunakan sebagai obat sakit perut seperti perut kembung, mencret, buang air
besar dengan darah, muntah-muntah dan semua gangguan pada perut. Sagu
dapat diolah dengan bermacam-macam makanan yang selain memberikan
rasa dan manfaat bagi tubuh juga memberi nilai tambah setelah diolah seperti
mi sagu, roti, biskuit, sagu, sup, papeda dan masih banyak lagi panganan yang
dapat dibuat dari tepung sagu. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga
25 ton per haktar (ha). Jumlah ini jauh melebihi beras atau jagung. Bahkan,
kadar pati kering dalam sagu yang terkandung itu, pati beras hanya 6 ton per
hektar. Sementara pati kering jagung hanya 5,5 ton. Limbah sagu ini pun bisa
digarap seperti bungkil atau pelepah sagu untuk pakan ternak.
2. Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu
Kapasitas diri pengolah sagu tradisional dipengaruhi secara langsung oleh
profil sosial ekonominya dan dukungan kelembagaan, sedangkan kapasitas
usaha dipengaruhi secara langsung oleh kapasitas diri dan dukungan
kelembagaan. Penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional sebaiknya
dilakukan secara bertahap, didahului dengan penguatan kapasitas diri dan
diikuti dengan penguatan kapasitas usaha dan bukan sebaliknya. Penguatan
kapasitas diri diprioritaskan untuk peningkatan kemampuan mengidentifikasi
dan memecahkan masalah, mencari dan memanfaatkan peluang serta
menyusun perencanaan usaha,sedangkan penguatan kapasitas usaha terutama
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyediakan teknologi,
tenaga kerja,dan modal usaha.
17

3. Investasi asing
Salah satu tujuan investasi yaitu mendorong ekspor. Realisasi proyek
investasi baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia mulai membuahkan hasil.
Sebanyak 54 proyek investasi baru dan pengembangan investasi lama senilai
US$ 13,6 miliar dalam proses konstruksi. Ditargetkan, 54 proyek investasi
bisa menghasilkan produk untuk ekspor mulai 2015 hingga 2016. Produk
yang akan diekspor seperti sagu, alumina, onderdil otomotif hingga makanan.

3.4.3 Keseimbangan antara Kemampuan Konsumsi dan Produksi Sagu


Berdasarkan data Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan per kapita
sagu di Indonesia tahun 2013-2017, dapat disimpulkan bahwa jumlah produksi
dan konsumsi sagu di Indonesia tidak seimbang. Pada tahun 2017, jumlah
produksi sagu sebanyak 490 ton. Jumlah ini tidak diimbangi dengan konsumsi
sagu yang hanya 0,334 kg/kapita/tahun.
Hal ini disebabkan oleh politik pangan di Indonesia yang berfokus kepada
beras sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat. Penduduk di Papua juga
mengalami pergeseran makanan pokok dari sagu menjadi beras.
3.4.4 Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Sagu
Proses produksi sagu masih didominasi cara-cara tradisional. Hal ini
dinilai kurang mampu menjawab tantangan tidak hanya dari sudut kualitas tetapi
juga kuantitas. Daya saing produk yang dihasilkan semakin melemah dengan semakin
meningkatnya tuntutan konsumen terhadap produk-produk sagu dan semakin tingginya
daya saing produk sagu dengan produk pangan lain.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pengelola sagu dalam
memanfaatkan sagu adalah dengan mengembangkan kapasitas pengelola sagu.
Kapasitas merupakan kata kunci kualitatif untuk menilai kinerja, kemampuan dan
potensi yang dimiliki seseorang.
Ada 4 komponen kemampuan yang termasuk dalam kapasitas pengelola sagu,
yaitu: (1) mengolah sagu, (2) mengembangkan pemasaran, (3) mengidentifikasi dan
memecahkan masalah, dan (4) menjaga keberlanjutan sumber daya sagu. Keempat
komponen kapasitas ini dibutuhkan pengelola sagu agar dapat memanfaatkan sagu
secara optimal yang tidak hanya akan meningkatkan pendapatan usaha sagu, tetapi juga
meningkatkan ekonomi daerah, mendukung pencapaian ketahanan pangan, serta
melestarikan norma budaya masyarakat yang berkaitan dengan sagu.
Strategi yang dapat digunakan terkait dengan pengelolaan sagu yaitu
dengan penyiapan kondisi pengelola sagu dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
potensi sumber daya alam sagu, penyiapan penyuluh/tenaga pendamping yang
berkompeten di bidang pengelolaan sagu, penguatan kesadaran dan pengakuan
masyarakat terhadap fungsi sosial dan budaya sagu untuk menjamin keberlanjutan
usaha pemanfaatan sagu sebagai bagian dari budaya, dan pemantapan koordinasi
18

dan sinkronisasi kebijakan perencanaan program pengembangan sagu antar


lembaga pemerintah dengan pihak-pihak terkait.
Tiga tahap program pengembangan kapasitas pengelola sagu yaitu:
1. Program jangka pendek terdiri dari:
a) Penyiapan pengelola sagu sehingga dapat aktif dalam pengembangan
kapasitas,
b) Penyiapan penyuluh/tenaga pendamping yang memiliki kompetensi di bidang
Pengelolaan sagu dilengkapi dengan penyusunan peta potensi pengelolaan
sagu,
c) Koordinasi dan sinkronisasi fungsi antar lembaga pemerintah dengan pihak-
pihak terkait untuk mempercepat pencapaian tujuan program jangka pendek.
2. Program jangka menengah terdiri dari:
a) Penguatan kesadaran dan pengakuan masyarakat termasuk pengelola
sagu akan fungsi sosial dan budaya sagu untuk menjamin keberlanjutan
usaha pemanfaatan sagu sebagai salah satu budaya
b) Pengembangan kapasitas pengelola sagu untuk optimalisasi pemanfaatan
potensi sumber daya alam sagu
c) Koordinasi dan sinkronisasi fungsi antar lembaga pemerintah dengan pihak-
pihak terkait untuk mempercepat pencapaian tujuan program jangka
menengah.
3. Program jangka panjang terdiri dari:
a) Upaya pemantapan kapasitas pengelola sagu dan koordinasi dan
sinkronisasi fungsi antar lembaga pemerintah dengan pihak-pihak terkait
untuk meningkatkan kontribusi sagu dalam bidang pangan, non pangan
termasuk energi di dalam dan luar negeri.

3.4.6 Kedaulatan Sagu di Indonesia


Kedaulatan pangan menempatkan individu atau masayarakat tani dalam
memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan. Keputusan dan
kebijakan pangan berpihak pada masayarakat tani bukan pada korporasi atau
importir. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan
yang bernilai gizi baik dan sesuai dengan budaya, diproduksi dengan sistem
pertanian yang berkelanjutan, ramah lingkungan, menjunjung tinggi prinsip
diversifikasi pangan, dan menyesuaikan dengan budaya lokal.
Untuk mempercepat kedaulatan sagu di Indonesia, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan:
1. Keseimbangan Harga
Pemerintah wajib mengatur harga sagu di Indonesia agar baik petani sagu
dan produsen sagu merasa diuntungkan. Apabila saat harga sagu menurun drastis,
pemerintah dapat melakukan intervensi seperti membeli sagu kepada petani
dengan harga tinggi dan menjualnya ke produsen sagu dengan harga yang rendah.
Apabila pengusaha sagu dan pengusaha sagu nasional dapat terus memasok
19

kebutuhan nasional atau bahkan bisa dikembangkan hingga ekspor internasional,


maka kedaulatan Indonesia akan sagu cepat tercapai.
2. Peningkatan Kualitas Keamanan Pangan Nasional
Untuk mempercepat kedaulatan sagu di Indonesia, pemerintah juga harus
meningkatkan kualitas keamanan pangan dari hasil panen hingga diterima di
tangan konsumen. Peraturan mengenai standar penyimpanan, perlakuan dan
distribusi bahan makanan harus diterapkan serta dilakukan pengawasan yang ketat
agar tidak ada bahan makanan yang rusak atau gagal untuk dikonsumsi. Hal ini
akan membuat siklus pertumbuhan pangan khususnya dalam hal sagu menjadi
optimal.
3. Peningkatan Ekspor Produk Makanan dengan Sagu
Peningkatan ekspor produk pangan berbahan sagu bisa melalui
peninggakatan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Diperlukan kerja sama
dengan kementrian koperasi dan UMKM untuk mengawasi kualiatas produk
UKM yang berstandart dan berdaya saing internasional. Mempermudah perizinan
pembentukan UKM, dan mempermudah birokrasi sistem ekspor. Memberikan
bantuan dana untuk UKM dengan suku bunga yang ringan.

3.4.7 Strategi Akselerasi Mewujudkan Kemandirian Pangan


1. Membangun kerja sama lintas sektoral dengan instansi terkait dan pelibatan
pelaku usaha besar lainnya dalam rangka menambah baku lahan khusus untuk
sagu dalam rangka peningkatan produksi sagu.
2. Memaksimalkan peran tenaga penyuluh pertanian dalam membantu petani
meningkatkan produktivitas sagu dan penggunaan teknologi pasca panen
untuk memaksimalkan produksi.
3. Subsidi pemerintah untuk harga sagu sehingga semakin banyak peminat sagu
sebagai bahan makanan pokok.
4. Membangun kemitraan antara petani dengan kalangan industri untuk
mengatasi masalah pascapanen sehingga tercipta kepastian berproduksi dan
harga yang layak bagi petani.
5. Spesialisasi lokasi sentra produksi sagu nasional untuk mengatasi masalah
pemasaran dan distribusi yang disebabkan karena sentra produksi sagu yang
letaknya di Indonesia Timur.
6. Penyediaan sarana/prasarana produksi oleh pemerintah untuk menjamin
keberhasilan pengembangan sagu di Indonesia.
7. Optimalisasi pelaksanaan rencana strategis (renstra) pembangunan pertanian
sagu oleh Kementerian Pertanian perlu lebih di tingkatkan sehingga Indonesia
mampu berswasembada sagu pada tahun-tahun kedepannya.
20

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai
makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya.
Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu belum dipandang
serius oleh pemerintah negara ini padahal sagu merupakan pontensi yang sangat
besar bagi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sebagai sumber energi.
Sedangkan negara yang tidak mempunyai potensi untuk tumbuhnya sagu seperti
Malaysia justru mengeksploitasi teknologi pengolahan sagu yang berasal dari
Indonesia.
Dari data BKP Kementan tahun 2013-2017 di Indonesia penyediaan sagu
dan penggunaan sagu meningkat namun ketersediaan perkapitanya naik turun. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya lahan sagu perlahan mulai
terkikis oleh pembangunan jalan, rumah, toko dan pembangunan lainnya. Salah
satu masalah utama pembangunan sagu di Indonesia adalah infrastruktur. Pada
tahun 2015, makanan pokok mereka berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-
lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan makanan asli Papua. Beras kini
populer, bahkan hingga wilayah pedalaman. Jika tidak diantisipasi, ketahanan
pangan di Papua sangat mengkhawatirkan di masa mendatang karena konsumsi
beras di tingkat rumah tangga bertambah besar, sedangkan konsumsi pangan lokal
cenderung menurun. Pemerintahan Joko Widodo kembali berencana
menggalakkan program diversifikasi pangan, mengalihkan dari kebiasaan makan
nasi ke bahan pangan lainnya agar kebutuhan beras nasional bisa ditekan.
Rencana akselerasi dalam mewujudkan kemandirian pangan antara lain
dengan membangun kerja sama lintas sektoral dengan instansi terkait,
memaksimalkan peran tenaga penyuluh pertanian, subsidi pemerintah,
membangun kemitraan antara petani dengan kalangan industri, penyediaan
sarana/prasarana produksi dan optimalisasi pelaksanaan rencana strategis (renstra)
pembangunan pertanian sagu oleh Kementerian Pertanian

4.2 Rekomendasi
Pemerintah harus mendukung peningkatan infrasturktur di Papua agar
sistem pangan gizi komoditas sagu dapat berjalan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai