Anda di halaman 1dari 40

REFERAT THT

DISFAGIA

PEMBIMBING:

dr. Nurlina M. Rauf, Sp. THT

Disusun oleh:

Vonny Gosali

406162084

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT

RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta

Periode 13 Agustus 2018- 16 September 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

DISFAGIA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Vonny Gosali - 406162084

Telah dipresentasikan tanggal: 31/08/2018

Pembimbing Referat

Dr. Nurlina, Sp. THT-KL dr. Tenty, Sp. THT-KL,M.Kes

Ciawi, Agustus 2018

Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan

Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmatnya dan karuniaNya referat yang berjudul “Disfagia” ini dapat diselesaikan
pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.

Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Nurlina M. Rauf,


Sp. THT dan dr. Tenty, Sp. THT-KL serta perawat yang bertugas di Poliklinik THT
di RSUD Ciawi, atas bantuan dan bimbingannya, serta kepada semua pihak yang
turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan
referat ini.

Dalam penyusunan referat ini, penulis berusaha mendapatkan informai dan


referensi dari buku ajar yang berhubungan dengan tema referat ini. Adapun
demikian penulis menyadari masih banyak kekurangan dari referat ini, baik dari
segi penulisan maupun segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap referat ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Jakarta, 31 Agustus 2018

Penulis

Vonny Gosali

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

BAB I. PENDAHULUAN 5

BAB II.PEMBAHASAN

2.1 Definisi 7
2.2 Anatomi faring 7
2.2.1 Anatomi orofaring 8
2.2.2 Anatomi hipofaring 9

2.3 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi esofagus 11

2.4 Vaskularisasi faring dan esofagus 16

2.5 Persarafan faring dan esofagus 17

2.6 Aliran limfatik 18

2.7 Fisiologi menelan 20

2.8 Epidemiologi 23

2.9 Etiologi 23

2.10 Manifestasi klinis 25

2.11 Klasifikasi 26

2.12 Diagnosis 28

2.13 Penatalaksanaan 33

2.14 Prognosis 38

BAB III.KESIMPULAN 39

Daftar Pustaka 40

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dysphagia berasal dari bahasa Yunani dys yang berarti kesulitan atau
gangguan, dan phagein berarti makan. Keluhan kesulitan menelan (disfagia)
merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di orofaring dan esofagus.
Disfagia dapat terjadi pada semua kelompok usia akibat dari kelainan kongenital,
kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Keluhan ini akan timbul
apabila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi
makanan dari rongga mulut ke lambung. Disfagia umumnya dapat disertai dengan
keluhan lain, seperti odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa
mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk
dan berat badan yang cepat berkurang. Manifestasi klinik yang sering ditemukan
ialah sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan
dan/atau regurgitasi (1,2).

Masalah dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara


orang berusia lanjut, dan insiden disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut dan
pasien stroke. Kurang lebih 50-75% pasien stroke menderita disfagia. Penyebab
lain dari disfagia adalah keganasan kepala leher, penyakit neurologik progresif
seperti penyakit parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis,
skleroderma, akalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal (Schatzki) ring,
striktur esofagus, dan keganasan esofagus (2).

Disfagia biasanya dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, di antaranya pemeriksaan radiologi
dengan barium, CT scan, dan MRI. Anamnesis secara menyeluruh dan pemeriksaan
fisik secara teliti sangat penting dalam mendiagnosis dan mengobati disfagia.
Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan leher, mulut, orofaring, dan laring.
Pemeriksaan neurologis juga perlukan. Pemeriksaan endoskopi serat optik pada
proses menelan mungkin diperlukan. Gangguan menelan pada mulut dan faring

5
biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan pelatihan teknik
dan manuver menelan. Pembedahan jarang di indikasikan untuk pasien dengan
gangguan menelan (2).

Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan dapat


meningkatkan risiko terjadi aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, dan
sumbatan jalan nafaas. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan
pengetahuan mengenai disfagia sehingga diharapkan dokter umum dapat berperan
dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari disfagia.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Disfagia adalah sensasi subjektif akan adanya abnormalitas organik selama
pasase makanan cair atau padat dari rongga mulut ke lambung. Keluhan disfagia
bervariasi mulai dari ketidakmampuan menelan (orofaringeal dysphagia) sampai
adanya sensasi terhambatnya makanan saat melewati esofagus sampai ke lambung
(esophageal dysphagia) (3).

2.2 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari basis cranii terus menyambung ke
esofagus setinggi vertebra servikal VI. Di superior, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, di anterior berhubungan dengan cavum oris melalui
isthmus orofaring, sedangkan dengan laring di inferior berhubungan melalui aditus
laring dan di inferior juga berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior
faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fascia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia bucofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring
meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.

7
Gambar 2.1 Anatomi faring potongan sagital

2.2.1 Anatomi Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas superiornya adalah palatum


mole, batas inferior adalah tepi atas epiglotis, ke anterior adalah cavum oris,
sedangkan ke posterior adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsila palatina, fossa tonsil serta arcus
(4)
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum .

8
Gambar 2.2 Otot Faring potongan tampak posterior
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan membran mukosa di atasnya saling tumpang tindih.
Nervus glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus memasuki faring pada
perbatasan antara konstriktor superior dan media (4).

2.2.2 Anatomi Hipofaring


Batas laringofaring (hipofaring) di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lingua ialah valecula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glossoepiglotica medialis dan ligamentum glossoepiglotica lateralis pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat
epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya
akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini
tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi/menutup

9
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus (2).

Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring (Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fascia faringobasilaris dan otot-
otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang, fascia prevertebralis dan kelenjar-
kelenjar limfa. Kelenjar limfa ini berfungsi untuk mendrainage faring,cavum nasi,
sinus paranasal, dan telinga tengah. Kelenjar limfa ini sangat jelas pada anak-anak
sedangkan pada orang tua mengalami atrofi. Ruang ini mulai dari basis cranii di
bagian superior sampai batas paling inferior dari fascia servikalis. Serat-serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang
ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (pharyngomaxillary fossa), ruang ini berbentuk kerucut
dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya pada cornu majus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian medial oleh m.
konstriktor faring superior, batas lateralnya adalah ramus ascenden mandibula yang
melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fossa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot
yang melekat padanya.
Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat
mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari caries dentis. Bagian yang lebih sempit di
bagian posterior (post styloid) berisi a. carotis interna, v. jugularis interna, n. vagus
yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath).
Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.

10
2.3 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Esofagus

Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang


menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Pada
orang dewasa, panjang esofagus apabila diukur dari incivus superior ke otot
krikofaringeus sekitar 15-20 cm, ke arkus aorta 20-25 cm, ke v. pulmonalis inferior,
30-35 cm, dan ke kardioesofagus joint kurang lebih 40-45 cm.

Dari perjalanannya dari faring menuju gaster, esofagus melalui tiga


kompartemen dan dibagi berdasarkan kompartemen tersebut, yaitu leher (pars
servikalis), sepanjang 5 cm dan berjalan di antara trakea dan columna vertebralis
thoraks (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di mediastinum
posterior mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu
membelok ke kanan bawah di samping kanan depan aorta thorakalis bawah.
Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari
diafragma dan berakhir di kardia lambung, panjang berkisar 2-4 cm.4

1. Cervical, dimulai dari bagian bawah kartilago cricoid (setinggi C6)


sampai suprasternal notch
2. Upper Thoracis, dari suprasternal notch sampai carina (setinggi T4-T5)
3. Mid Thoracis, dari bifurcatio trakea sampai esofagus junction
4. Lower Thoracis, 8 cm panjangnya, meliputi abdominal esofagus

Secara histologis dinding esofagus terdiri atas 4 lapis, yaitu:

1. Mukosa
Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring
bagian atas, dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi
lambung yang sangat asam.
2. Submukosa
Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari
cedera akibat zat kimia.
3. Muskularis

11
Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh
bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari campuran
antara otot rangka dan otot polos.
4. Serosa
Terdiri dari jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan
struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan penyebaran
sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor setelah
operasi lebih besar.

Gambar 2.3 Gambaran histologi dari upper esophagus potongan transversal

12
Gambar 2.4 Gambaran histologi dari lower esophagus potongan transversal

Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke
lambung. Refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter bawah esofagus dan
masuknya udara ke esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh sfingter atas esofagus,
sfingter atas normalnya selalu tertutup akibat kontraksi tonik otot krikofaringeus.

Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke lambung


oleh gerakan peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada besarnya
bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri dari
gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerak peristaltik
primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan peristaltik
pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan kecepatan
3-4 cm/detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong makanan ke
lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh adanya makanan dalam
esofagus. Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan pada esofagus
yang merangsang reseptor regang pada esofagus, maka akan terjadi gelombang
peristaltik sekunder. Gelombang peristaltik sekunder berakhir setelah semua
makanan meninggalkan esofagus. Esofagus dipisahkan dari rongga mulut oleh
sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas esofagus (upper esopaheal spinchter/
UES), dan dipisahkan dengan lambung oleh sfingter esofagus distal atau sfingter
bawah esofagus (lower esophageal spinchter/ LES). Sfingter esofagus proksimal
terdiri dari otot rangka dan diatur oleh n. vagus. Tonus dari otot ini dipertahankan

13
oleh impuls yang berasal dari neuron post ganglion n. vagus yang menghasilkan
asetilkolin.3,4

Sfingter esofagus distal yang terletak 2-5 cm di atas hubungan antara esofagus
dan lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak berbeda
dengan esofagus tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam keadaan normal
sfingter selalu konstriksi (4).

Gambar 2.5 Anatomi Esophagus

Esofagus berjalan di belakang trakea dan jantung, di depan tulang belakang.


Tepat sebelum memasuki lambung, esofagus melewati diafragma. Sfingter
esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di bagian atas esofagus.
Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (volunter), digunakan ketika
bernapas, makan, bersendawa, dan muntah. Sfingter esofagus bagian bawah (Lower
esophageal sphincter/LES) adalah sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus,
yang mana berbatasan langsung dengan gaster. Ketika LES tertutup dapat

14
mencegah asam dan isi gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES bekerja
involunter (4).

Gambar 2.6. Vaskularisasi dan Innervasi Esophagus

2.4 Vaskularisasi Faring dan Esofagus


2.4.1 Faring
Pasokan darah ke faring berasal dari cabang dari arteri karotis eksterna.
Kontribusi utama adalah dari arteri faring ascenden, yang berasal dari arteri karotis
eksterna yang tepat berada di atas bifurcatio (percabangan) karotis dan melewati
posterior selubung karotis, memberikan cabang ke faring dan tonsil (4).
Cabang arteri palatina memasuki faring tepat diatas dari muskulus konstriktor
faring superior. Arteri fasialis juga bercabang menjadi arteri palatina ascenden dan
arteri tonsilaris yang membantu pasokan untuk muskulus konstriktor faring superior
dan palatum. Arteri maksilaris bercabang menjadi arteri palatina mayor dan cabang
pterygoideus, dan arteri lingualis dorsalis berasal dari arteri lingual memberi sedikit
kontribusi (4).

15
Gambar 2.7 Vaskularisasi Esophagus
Darah mengalir dari faring melalui pleksus submukosa interna dan pleksus
faring eksterna yang terkandung dalam fasia buccopharyngeal terluar. Pleksus
mengalir ke vena jugularis interna dan vena fasialis anterior. Hubungan yang luas
terjadi antara vena yang terdapat di tenggorokan dan vena-vena pada lidah,
esofagus, dan laring (4)

2.4.2 Esofagus

Bagian atas esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah
dari a. thiroidea inferior beberapa cabang dari arteri bronkialis dan beberapa arteri
kecil dari aorta. Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari
a. phrenica inferior sinistra dan cabang a. gastrika sinistra.3,4

Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosal esofagus. Di esofagus


bagian atas dan tengah, aliran vena dari plexus esofagus berjalan melalui vena
esofagus ke v. azigos dan v. hemiazigos untuk kemudian masuk ke vena kava
superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena
koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena
lambung tersebut. (4).

16
2.5 Persarafan Faring dan Esofagus

Gambar 2.8 Innervasi Tractus Digestivus


2.5.1 Faring
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf aferen dan eferen faring dan
dibentuk oleh cabang dari nervus glossopharingeus, nervus vagus, dan serat
simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus stylopharyngeus, yang dipersarafi
oleh nervus glossopharingeus, semua otot-otot faring dipersarafi oleh nervus vagus.
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang nervus
vagus, kecuali untuk otot krikotiroid yang menerima persarafan dari cabang
eksternal dari nervus laringeus superior, juga dari cabang nervus vagus. Pleksus
faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan nervus glossopharingeus untuk
persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring, menerima baik
sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus glossopharingeus. Otot krikofaringeus
(UES) menerima persarafan parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan
persarafan simpatis untuk kontraksi dari serabut post ganglionik dari ganglion
servikalis superior (5).

17
2.5.2 Esofagus
Persarafan motorik esofagus didominasi melalui nervus vagus. Esofagus
menerima persarafan parasimpatis dari nucleus ambiguus dan inti motorik dorsal
nervus vagus dan memberikan persarafan motor ke mantel otot esofagus dan
persarafan secretomotor ke kelenjar. Persarafan simpatis berasal dari servikal dan
rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan pembuluh darah, kontraksi
sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas kelenjar dan
peristaltik. Pleksus Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan
longitudinal dan melingkar dari tunika muskularis myenteric bekerja mengatur
kontraksi lapisan otot luar. Pleksus Meissner, yaitu ganglia yang terletak dalam
submukosa bekerja mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik dari mukosa
muskularis (5).

2.6 Aliran Limfatik

Gambar 2.9 Aliran Limfatik Secara Umum

18
Gambar 2.10 Aliran Limfatik pada regio servikal

2.6.1 Faring
Aliran limfatik faring mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) servikalis
profunda (deep cervical lymph node) sepanjang selubung karotis. Aliran limfatik
pada hipofaring juga dapat mengalir ke KGB paratrakeal. Pembuluh limfatik laring
mengalir ke kelenjar servikalis profunda, nodus pretracheal, dan nodus prelaryngeal
(4)
.

2.6.1.1 Esofagus

Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,


lapisan otot dan tunika adventitia. Di bagian sepertiga kranial, pembuluh ini
berjalan seara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari faring ke kelenjar
di leher sedangkan dari bagian dua per tiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus,
seperti pembuluh limfe dari lambung. Duktus thorakikus berjalan di depan tulang
belakang.

Limfatik dari sepertiga proksimal esofagus mengalir ke kelenjar getah bening


servikal profunda, dan kemudian menjadi duktus toraksikus. Limfatik dari sepertiga
tengah esofagus mengalir ke nodus mediastinum superior dan posterior. Limfatik

19
sepertiga distal esofagus mengikuti arteri gaster kiri ke kelenjar getah bening gaster
dan celiac. Ada interkoneksi yang cukup besar antara ketiga wilayah drainase
terutama karena asal embryologic ganda jalur limfatik dari branchiogenic dan
mesenkim tubuh. Aliran getah bening dua arah di daerah ini bertanggung jawab
untuk penyebaran keganasan dari esofagus bawah ke kerongkongan bagian atas (4).

2.7 FISIOLOGI MENELAN :

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut :

1. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik.


2. Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan.
3. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring saat respirasi
4. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring.
5. Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung
6. Usaha untuk membersihkan kembali esofagus.
Proses menelan di mulut, faring, laring, dan esofagus secara keseluruhan
akan terlibat secara berkesinambungan (1).

Fase Oral

Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari rongga
mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik
lidah (1,6).

Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan


dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior
faring (passavant’s ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai
akibat kontraksi oleh m. levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.
palatoglosus yang menyebabkan istmus faucium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.
palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut (1,6).

20
Fase Faringeal

Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
karena kontraksi m. stilofaring, m. salphingofaring, m. tirohioid dan m.
palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring,
yaitu plica ariepiglotica, plica ventrikularis dan plica vocalis tertutup oleh kontraksi
m. ariepiglotica dan m. aritenoid obliqus. Bersamaan dengan ini akan terjadi
penghentian udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga
bolus makanan tidak akan masuk kedalam saluran napas. Selanjutnya bolus
makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis
sudah dalam keadaan lurus (1).

Fase Esofageal

Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke


lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka akan terjadi relaksasi
m. krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke
dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi
lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat sehingga makanan
tidak akan kembali ke faring dengan demikian refluks dapat dihindari (1,6).
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. constrictor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan
istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8
mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi
isi lambung. Pada akhir fase esofageal, sfingter ini akan terbuka secara refleks
ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup
kembali (1).

21
Gambar 2.11 Fisiologi Menelan

22
2.8 Epidemiologi
Disfagia dapat terjadi pada semua kelompok usia akibat dari kelainan
kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam
menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut, dan
insiden disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut dan pasien stroke. Sekitar 50-
75% pasien dengan stroke mengalami disfagia, yang merupakan fakto resiko
bermakna berkembangnya pneumonia. Oleh karenanya, deteksi dini dan
pengobatan disfagia pada pasien yang telah mengalami stroke adalah sangat penting
(2)
.

2.9 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya :

1. Disfagia mekanik

Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh


massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa
esofagus, striktur lumen esofagus, serta akibat penekanan lumen esofaus dari luar.
Letak arteri subclavia dextra yang abnormal dapat menyebabakan disfagia Lusoria
(1)
. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus. Pada keadaan
normal lumen esofagus orang dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan
disfagia mulai timbul bila dilatasi tidak mencapai diameter 2,5 cm (1).

2. Disfagia motorik

Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang


berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus glossopharingeus, nervus
vagus dan nervus hipoglossus, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan
peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia (1).

Kelainan otot polos esofagus yang dipersarafi oleh komponen parasimpatik


nervus vagus dan neuron non kolinergik pasca ganglion di dalam ganglion
mienterik akan menyebabkan gangguan kontraksi dinding esofagus dan relaksasi
sfingter esofagus di bagian bawah sehingga dapat timbul keluhan disfagia.

23
Penyebab utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus,
kelumpuhan otot faring dan skleroderma esofagus (1).

Gambaran klinik gangguan saraf yang menyebabkan disfagia

Gangguan menelan ringan dapat disebabkan oleh paresis n. Fasialis atau n.


Hipoglossus dimana makanan susah dipindahkan-pindahkan untuk dapat dijamah
gigi geligi dari kedua sisi. Lagi pula tekanan dalam mulut tidak bisa ditingkatkan
sehingga bantuan untuk mendorong bahan makanan ke orofaring tidak ada.
Kesukaran menelan yang berat dapat disebabkan oleh gangguan pada
n.glossopharingeus dan n. Vagus. Makanan sukar ditelan karena palatum molle
tidak bekerja dan apa yang hendak ditelan keluar lagi melalui hidung. Epiglotis
tidak bekerja sehingga makanan tiba dilaring dan menimbulkan efek batuk.

Gangguan menelan dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme patologis.


Pada infark serebri yang menimbulkan hemiparesis, disfagia menjadi gejala awal.
Dalam hal ini kelumpuhan upper motor neuron (UMN) pada otot-otot yang di
persarafi n. Glosopharingeus dan n. Vagus mendasari gangguan menelan.

3. Disfagia oleh gangguan emosi.


Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan
jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal dengan globus histerikus (1).

2.6 Patogenesis

Proses menelan merupakan proses yang kompleks karena setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan menelan yaitu (1):

a) ukuran bolus makanan


b) diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
c) kontraksi peristaltik esofagus
d) fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
e) kerja otot rongga mulut dan lidah.

24
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-muskular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan
uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot esofagus
bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar. Apabila terjadi
kelainan pada salah satu unsur diatas akan menyebabkan disfagia.(1).

2.10 Manifestasi klinis

Manifestasi klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan yang


tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Lokasi rasa sumbatan di
daerah dada dapat menunjukkan kelainan di esofagus bagian torakal. Tetapi bila
sumbatan berada di leher, kelainannya terletak di faring atau esofagus bagian
servikal.

Pembagian gejala dapat menjadi dua macam yaitu disfagia orofaring dan
disfagia esophagus. Gejala disfagia orofaringeal adalah kesulitan mencoba
menelan, tersedak atau menghirup air liur ke dalam paru-paru saat menelan, batuk
saat menelan, muntah cairan melalui hidung, bernapas saat menelan makanan, suara
lemah, dan berat badan menurun. Sedangkan gejala disfagia esofagus adalah
sensasi tekanan dalam dada tengah, sensasi makanan yang menempel di
tenggorokan atau dada, nyeri dada, nyeri menelan, rasa terbakar di dada yang
berlangsung kronis, belching, dan sakit tenggorokan. Berdasarkan fase letaknya
disfagia terbagi atas oropharyngeal dysphagia dan esophageal dysphagia :

25
Tabel 2.1 Dysphagia berdasarkan letak(3)
Oropharyngeal dysphagia: Esophageal Dysphagia:
Neurologic disease: Neuromuscular disorders:
1. Cerebrovascular accident 1. Achalasia
2. Parkinson disease 2. Diffuse esophageal
3. Multiple sclerosis spasm
4. Multiple sclerosis Structural lesion (intrinsic):
5. Brain neoplasma 1. Benign peptic stricture
6. Alzheimer’s disease 2. Esophageal rings and
Myopathic disease : Webs
1. Myositis 3. Esophageal diverticula
2. Myasthenia gravis 4. Esophageal carcinoma
Metabolic disease: 5. Eosinophilic esophagitis
1. Hyperthyroidism 6. Esofagitis korosif
Inflammatory/autoimmune disease : Structural lesion (extrinsic):
1. Amyloidosis 1. Vascular compression
2. Sarcodosis 2. Mediastinal lesion
3. SLE 3. Cervical osteoarthritis
Infectious disease:
1. Meningitis
2. Viral (coxsackie, herpes)
Structural disease :
1. Congenital webs
2. Plummer-Vinson
Syndrome
3. Neoplasma
4. Cricopharyngeal bar
5. Zenker divertikulum
6. Extrinsic compression
7. Poor dentition
Iatrogenic disease:
1. Medication side effect
2. Surgical resection
3. Radiation induced

2.11 Klasifikasi

Disfagia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia


orofaring (atau transferdysphagia) dan disfagia esofagus (1,3)

2.11.1 Disfagia orofaring


Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus,
dapat disebabkan oleh stroke, penyakit parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia,

26
masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik (keganasan, osteofi,
meningkatnya tonus sfingter esofagus bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-
obatan (sedatif, antikejang, antihistamin). Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan
menelan, termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran
meletakkan makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan
dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan tersedak
saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya, perubahan
kebiasaan makan, pneumonia berulang, perubahan suara (suara basah), regurgitasi
nasal. Setelah pemeriksaan, dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural,
swallowing maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensory
awareness technique, vitalstim therapy, dan pembedahan1. Bila tidak diobati,
disfagia dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, atau dehidrasi (1,3).
2.8.2 Disfagia esofagus
Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus
bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur esofagus,
keganasan esofagus, esophageal rings and webs, akhalasia, skleroderma, kelainan
motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus
nonspesifik. Makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan
berada setinggi suprasternal notch atau dibelakang sternum sebagai lokasi
obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan
pneumonia berulang. Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair, kemungkinan
besar merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada awalnya pasien mengalami
disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair, maka
kemungkinan besar merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat dibedakan
antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik, penting untuk memperhatikan
apakah disfagianya sementara atau progresif (1).
Disfagia motilitas sementara dapat disebabkan spasme esofagus difus atau
kelainan motilitas esofagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat
disebabkan skleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang
kronis, regurgitasi, masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia
mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring dan disfagia mekanik
progresif dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan esofagus. Bila

27
sudah dapat disimpulkan bahwa kelainannya adalah disfagia esofagus, maka
langkah selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan barium atau endoskopi bagian
atas. Pemeriksaan barium harus dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi
untuk menghindari perforasi. Bila dicurigai adanya akhalasia pada pemeriksaan
barium, selanjutnya dilakukan manometri untuk menegakkan diagnosa akhalasia.
Bila dicurigai adanya striktur esofagus, maka dilakukan endoskopi. Bila tidak
dicurigai adanya kelainan-kelainan seperti di atas, maka endoskopi dapat dilakukan
terlebih dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi yang normal, harus
dilanjutkan dengan manometri; dan bila manometri juga normal, maka
diagnosanya adalah disfagia fungsional. Foto thorax merupakan pemeriksaan
sederhana untuk pneumonia. CT scan dan MRI memberikan gambaran yang baik
mengenai adanya kelainan struktural, terutama bila digunakan untuk mengevaluasi
pasien disfagia (1,2).

2.12 Penegakan diagnosis


Penilaian disfagia dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
2.12.1 Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis perlu anamnesis yang cermat untuk
menentukan penyebab disfagia.
- Jenis makanan
- Disfagia mekanik : sulit menelan makanan padat, biasa
dapat dibantu dengan minum air (apabila masih ringan)
- Disfagia motorik : sulit menelan makanan padat dan cair
dalam waktu bersamaan. Terjadi pada pasien akalasia dan
spasme difus esofagus.
- Waktu dan perjalanan penyakit
- Disfagia hilang dalam beberapa hari  kemungkinan
disebabkan oleh peradangan.
- Disfagia akibat sumbatan yang semakin progresif dalam
beberapa bulan disertai penurunan berat badan 
kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus.

28
- Disfagia berlangsung bertahun-tahun untuk makanan padat
perlu dipikirkan adanya kelainan esofagus bagian distal
(Lower esophageal muscular ring)
- Penyakit sebelumnya
Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum
penderita. Riwayat neurologik yang mungkin berhubungan dengan
beberapa penyakit yang dapat menyebabkan disfagia seperti
multiple sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer
harus ditanyakan.
Operasi yang pernah dialami penderita pada kepala dan leher
juga perlu ditanyakan. Semua pengobatan (ES : sedasi, kelemahan
otot dan disorientasi) yang sedang dijalani harus dicatat. Selain itu
dapat ditanya mengenai penggunaan obat atau faktor psikososial
yang dapat mempengaruhi proses menelan, terutama pada orang tua.
- Lokasi daerah sumbatan
- Di dada  kelainan esofagus bagian thorakal
- Di leher  kelainan dapat di faring, atau esofagus bagian
servikal.
Keluhan subjektif penderita dapat membantu menegakkan diagnosa
disfagia, antara lain : air liur mengalir berlebihan, batuk atau tersedak saat
makan, terkumpulnya makanan pada pipi, di bawah lidah atau pada
palatum durum, suara serak, suara cegukan setelah makan atau minum,
susah mengontrol gerakan lidah, kelemahan otot wajah, slurred speech,
adanya perasaan makanan seperti tertahan di leher atau dada.

2.12.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk melihat


adanya penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal, atau neurologik yang
dapat mempengaruhi fungsi menelan. Pemeriksaan dilakukan juga terhadap
status mental, kemampuan bekerjasama, dan fungsi bahasa penderita. Saraf
kranialis harus dinilai secara teliti. Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan
meliputi tanda-tanda obstruksi atau restriksi seperti takipnea, stridor,

29
penggunaan otot pernapasan tambahan, dan pergerakan dinding dada yang
asimetris (3).

Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan


leher perlu dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara bilateral, juga
kekuatan otot-otot wajah. Otot masseter dan temporalis dipalpasi saat
penderita diminta menggigit atau mengunyah. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada saat pemeriksaan saraf kranialis (3).

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan inspeksi intraoral untuk


melihat lesi, sisa makanan, atau kelainan struktural. Palpasi dengan sarung
tangan pada dasar mulut, gusi, fossa tonsiler, bahkan lidah, untuk
menyingkirkan adanya tumor. Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi
lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur dengan menempatkan jari pada
pipi bagian luar dan menahan lidah penderita yang diminta untuk menekan
pipi dari dalam. Palatum diinspeksi untuk melihat posisi simetris pada saat
istirahat dan saat fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi untuk menimbulkan
refleks muntah, sambil memperhatikan apakah palatum mole dan dinding
faring berkontraksi secara simetris. Adanya refleks primitif (sucking,
biting, dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya refleks-refleks ini pada orang
dewasa mengindikasikan adanya kerusakan pada kedua hemisfer atau lobus
frontalis yang menyebabkan kelemahan oral motor control (3).

2.12.3 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan penunjang foto polos esofagus dan yang memakai zat kontras
dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan esofagus. Pemeriksaan ini tidak
invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan dinding
esofagus, adanya gangguan peristaltic, penekanan lumen esofagus dari luar, isi
lumen esofagus dan kadang-kadang kelainan mukosa esofagus (1).
Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma stadium dini.
Untuk memperlihatkan adanya gangguan motilitas esofagus dibuat cine-film atau
video tapenya. Tomogram dan CT scan dapat mngevaluasi bentuk esofagus dan

30
jaringan disekitarnya. MRI dapat membantu melihat kelainan di otak yang
menyebabkan disfagia motorik (1).

Gambar 2.9.3.1. Gambar rontgen Akalasia (bird’s beak sign) dan striktur
esofagus
2. Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen
esofagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang kaku (rigid
esophagoscope) dam esofagoskop yang lentur (flexible fiberoptic esophagoscope).
Karena pemeriksaan ini bersifat invasif maka perlu persiapan yang baik. Dapat
dilakukan anestesi local atau umum (1).
3. Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik esofagus.
Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter esofagus
dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif (1).

31
Gambar 2.17 Pemeriksaan Manometrik
4. Esofagogram
Tujuan tes ini adalah melacak perjalanan barium di saluran pencernaan atas.
Setelah barium melewati saluran pencernaan atas, tes pun selesai. Prosedur ini bisa
berlangsung selama 15-30 menit, tergantung pada kondisi pasien.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang bisa digunakan untuk mendiagnosis
gangguan menelan ialah: videofluorographic swallowing study (VFSS) dan
fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) (1,3).

1. Videofluorographic swallowing study (VFSS)

Videofluorographic swallowing study merupakan baku emas untuk


mengevaluasi proses menelan. Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk duduk
dengan nyaman dan diberikan makanan yang dicampur barium agar tampak
radiopak. Saat penderita sedang makan dan minum dilakukan observasi gambaran
radiologik pada monitor video dan direkam (1).

2. Fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES)

FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat digunakan untuk


mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu hipofaringeal, dan
mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop dimasukan melalui hidung

32
melewati nasofaring dan ditempatkan di dalam laringofaring di atas pita suara
palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi warna hijau sehingga mudah dilihat (1).

Gambar 2.18 Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing

2.13 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan disfagia dapat dilakukan jika penyebab disfagia sudah


ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat diberikan. Pengobatan dapat
melibatkan latihan otot untuk memperkuat otot-otot facial atau untuk meningkatkan
koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat melibatkan pelatihan menelan dengan
cara khusus. Sebagai contoh, beberapa orang harus makan dengan posisi kepala
menengok ke salah satu sisi atau melihat lurus ke depan. Menyiapkan makanan
sedemikian rupa atau menghindari makanan tertentu dapat menolong. Sebagai
contoh, mereka yang tidak dapat menelan minuman mungkin memerlukan
pengental khusus untuk minumannya. Orang lain mungkin harus menghindari
makanan atau minuman yang panas ataupun dingin.

Untuk beberapa orang, bagaimanapun juga, mengkonsumsi makanan dan


minuman lewat mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan
metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

Penatalaksanaan pada pasien disfagia juga dapat diberikan penanganan


rehabilitasi medis maupun terapi alternatif lainnya (1,3).

33
Penanganan Rehabilitasi Pada Penderita Disfagia

Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu:


teknik postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi
diet, compensatory swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral sensory
awareness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan yang
digunakan (3).

1. Teknik postural

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan


tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya
terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang
dialami penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural
yang digunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt,
dan lying down. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan. Pada
penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang besar
akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami gangguan
fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan untuk setiap bolus. Pemberian
makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan menyebabkan
terkumpulnya bolus di dalam laring dan menyebabkan aspirasi sedangkan
pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan mengurangi
terjadinya aspirasi (3,8).

2. Terapi dietetik

Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya


aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah
menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum
terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih
aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil. Selain itu,
bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu
mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal (3).

34
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan.
Penderita juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan
makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan
pilihan (3).

3. Compensatory swallowing manuver

Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses


menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi (3):

- Effortful swallow : bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah posterior


selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan menggerakan
lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu perjalanan bolus melewati
rongga faring (3).

- Supraglotic swallow : bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama proses
menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau minuman di
tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas dalam kemudian
ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk
dengan segera setelah menelan (3).

- Super-supraglotic swallow : dirancang untuk menutup pintu masuk jalan napas


secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian dasar
dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara
palsu (3).

- Mandehlson maneuever : penderita diminta untuk merasakan adanya sesuatu


bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian melakukan proses
menelan kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta
untuk menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks (3).

4. Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness

Terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi (3):

35
a. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian makanan ke
dalam mulut.
b. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti bolus dingin,
bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat seperti jus
lemon
c. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah tersebut
akan memberikan stimulasi oral.
d. Memberikan volume bolus yang besar.
e. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking pada
arkus faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca laring
berukuran 00 (telah dimasukan dalam es selama ±10 detik) pada arkus
faringeus anterior dari bagian dasar ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau (3).
Terapi ini diangap bisa memberikan stimulus sensorik ke batang otak dan
korteks sehingga saat penderita sudah mulai fase oral, maka fase faringeal akan
terpicu lebih cepat (3).
5. Stimulasi elektrikal

Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan


stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini
menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman
untuk penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES
ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada kepala
dan leher, serta multipel sklerosis (3).

36
Gambar 2.19 Neuromuscular electrical stimulation

6. Terapi latihan

Terapi latihan digunakan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup


gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan
pita suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang,
latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode Shaker
(3)
.

Terapi Alternatif

Gastrostomi

Gastrostomi adalah prosedur membuat lubang sebagai jalur masuk bagi


sebuah tabung dengan menghubungkan lambung dengan kulit. Prosedur ini
umumnya dilakukan karena dua alasan yaitu untuk memasukkan makanan atau
mengurangi tekanan (dekompresi) pada lambung. Gastrostomi dapat bersifat
sementara dan permanen. Pasien yang mengalami disfagia atau terjadi
penyumbatan pada saluran pencernaan maupun pasien dengan demensia dan stroke
yang mengalami disfagia. Pasien tidak akan makan melalui mulut, dapat diberi
makanan halus, formula khusus, dan obat-obatan, yang langsung dimasukkan ke
lambung melalui tabung gastrostomi.

37
2.10 Komplikasi

Komplikasi disfagia dapat berupa aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,


obstruksi jalan napas bila bolus berukuran cukup besar yang memasuki jalan napas,
dan kematian (7).

2.14 Prognosis

Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain injury
memiliki potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan bahwa sekitar 87%
penderita stroke kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi hasil videofluroskopi
menunjukkan terdapat 51% penderita yang tetap menunjukkan adanya gangguan
pada proses menelan. Penderita dengan kondisi yang statis atau progresif seperti
amyothropic lateral sclerosis, multipel sklerosis, muskular distrofik, dan
parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan mempertimbangkan
pemberian non-oral feeding (3).

38
BAB III

KESIMPULAN

 Disfagia dapat terjadi pada semua kelompok usia akibat dari kelainan
kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu
 Disfagia dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
 Penatalaksanaan disfagia dapat dilakukan jika penyebab disfagia sudah
ditemukan sehingga pembedahan, medika mentosa atau rehabilitasi dapat
diberikan sesuai indikasi

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Tank PW. Clemente CD. Anatomy Dissector. Thirteenth Edition. Baltimore


: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2005.
2. Soepardi EA, Tamin S, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7.
Jakarta: FKUI; 2012.h.244-252.
3. Fauci AS. Harrison Internal Medicine, 17 th edition. USA, McGraw-Hill.
2008. p.239-42.
4. Pandaleke J. Sengkey LS. Angliadi Engeline. Rehabilitasi Medik Pada
Penderita Disfagia. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3,
November 2014, h. 157-164.
5. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta : EGC, 2011.
6. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi Ke-6.
Jakarta : EGC, 2011.
7. Gonzalez-Fernandez M, Brodsky MB, Palmer JB. Poststroke
Communication Disorders and Dysphagia. Phys Med Rehabil Clin N Am.
2015 Nov;26(4):657-70.
8. Gonzalez-Fernandez M, Friedman JD. Physical Medicine and
Rehabilitation: Pocket Companion. Demos. New York. In press, Jan 2011
9. Soetikno RD. Pencitraan Disfagia. Bandung : FK UNPAD; 2007
10. Hirano I, et al. Dysphagia. In: Longo DL, et al., eds. Harrison's Principles
of Internal Medicine. 18th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Medical
Companies; 2012.

40

Anda mungkin juga menyukai