Anda di halaman 1dari 31

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3

BAB II. ACUTE KIDNEY INJURY ....................................................................................... 4

II.1 EPIDEMIOLOGI ................................................................................................... 5

II.2 ETIOLOGI ............................................................................................................. 5

II.3 PATOGENESIS .................................................................................................... 6

II.4 DIAGNOSIS .......................................................................................................... 7

II.5 TATALAKSANA ................................................................................................ 12

II.6 KOMPLIKASI & PROGNOSIS .......................................................................... 13

BAB III. CHRONIC KIDNEY DISEASE .............................................................................. 14

III.1 EPIDEMIOLOGI ................................................................................................ 15

III.2 ETIOLOGI .......................................................................................................... 16

III.3 PATOGENESIS .................................................................................................. 16

III.4 DIAGNOSIS ....................................................................................................... 19

III.5 TATALAKSANA ............................................................................................... 21

III.6 KOMPLIKASI & PROGNOSIS ........................................................................ 27

BAB IV. PENUTUP ............................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 30

1|AKI & CKD


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
rahmat-Nya dalam penyelesaian referat berjudul “Acute Kidney Injury and Chronic Kidney
Disease” sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD
Cengkareng.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Budi Kurniawan Januardi,
Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna maka dari itu kami mohon maaf atas segala kekurangan dalam
pembuatan referat ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
memperbaiki kekurangan kami dalam pembuatan referat dikemudian hari.

Akhir kata semoga referat ini bisa dimengerti dan dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Atas perhatian yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.

Cengkareng, 20 Februari 2017

2|AKI & CKD


BAB I. PENDAHULUAN

Ginjal merupakan salah satu organ dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai
pengatur homeostasis. Selain mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh, fungsi penting
lain dari ginjal adalah sebagai organ ekskresi, yaitu organ yang berperan mengeluarkan sisa-
sisa zat metabolisme dari dalam tubuh. Setiap manusia normalnya memiliki 2 buah ginjal yang
berbentuk seperti biji kacang, terletak dibelakang peritoneum bagian kiri dan kanan dibawah
hati dan limpa setinggi T12 hingga L3.

Seperti yang sudah disebutkan sebagian diatas, ginjal berfungi sebagai pengatur
homeostasis dalam tubuh karena fungsinya yang mempertahankan keseimbangan cairan dalam
tubuh sekaligus osmolalitasnya. Selain itu ginjal juga membantu mengatur keseimbangan asam
basa dan menagatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Tidak hanya berfungsi sebagai organ
yang mengekskresikan sisa-sisa metabolisme dan zat asing dalam tubuh, ginjal juga memiliki
fungsi sekresi. Fungsi sekresinya adalah memproduksi eritropeietin dan renin serta mengubah
vitanin D ke dalam bentuk aktif.

Ginjal terdiri dari jutaan unit nefron yang terdiri dari glomerulus dan tubulus renalis
yang bekerja sebagai penyaring darah dan juga menyerap serta mengeluarkan produknya dalam
bentuk urin. Urin akan dialirkan ke uretra lalu ditampung dalam vesika urinaria lalu
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ureter.

Fungsi ginjal diatas dapat saja berkurang hingga tidak terjalankan sama sekali. Hal
tersebut tentunya dikarenakan ada kerusakan yang terjadi pada ginjal ataupun bagian tubuh lain
yang menginduksi kerusakan ginjal. Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai
Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease, 2 penyakti yang berhubungan dengan fungsi
ginjal dan banyak dijumpai.

Acute Kidney Injury (AKI) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gangguan
ginjal akut adalah kerusakan mendadak dari ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat
bekerja dengan baik. Kerusakan tadi dapat meyebabkan sedikit gangguan fungsi hingga
kegagalan fungi total ginjal. AKI sering dikaitkan dengan komplikasi dari penyakit serius yang
lain. Sedangkan Chronis Kidney Disease (CKD) atau dalam bahasa Indonesia gagal ginjal
kronis adalah kondisi dimana terjadi kerusakan fungsi ginjal bertahap dalam jangka waktu
tertentu.

3|AKI & CKD


BAB II. ACUTE KIDNEY INJURY

Acute Kidney Injury (AKI) didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum ≥0.3
mg/dl (≥26,5 µmol/l) dalam 48 jam atau peningkatan kadar kreatinin serum sebesar ≥1.5 kali
dari baseline, yang diketahui atau diduga telah terjadi dalam kurun waktu 7 hari, atau volum
urin <0.5 ml/kg/h dalam 6 jam.1 AKI dibagi berdasarkan tingkat keparahannya dalam beberapa
tahan berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut:

Tahap Kreatinin Serum (SCr) Volum Urin (U.O)


1 1.5-1.9 kali baseline <0.5 ml/kg/h dalam 6–12 jam
atau
meningkat ≥0.3 mg/dl (≥26,5 µmol/l)
2 2.0-2.9 kali baseline <0.5 ml/kg/h dalam ≥12 jam
3 3.0 kali baseline <0.3 ml/kg/h dalam ≥24 jam
atau atau
peningkatan SCr ≥4.0 mg/dl (≥ 353.6 µmol/l) Anuria dalam ≥12 jam
atau
inisiasi terapi pengganti ginjal
atau, pada pasien usia <18 tahun terjadi penurunan
GFR <35 ml/min per 1.73 m2

Tabel 1. Tahapan AKI berdasarkan KDIGO

Gambar 1. Perbandingan Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi AKI antara RIFLE dan AKIN.1

4|AKI & CKD


Gambar 2. Skema Tahapan AKI menurut RIFLE dan AKIN.

II. 1 EPIDEMIOLOGI

Jumlah insiden AKI secara pasti masih sangat jarang dilaporkan diakibatkan banyaknya
variasi dari definisi AKI itu sendiri sebelum ditentukannya batasan diagnosis. Baik di negara
berkembang dan negara maju, AKI merupakan sebuah masalah besar. Di negara berkembang,
AKI lebih banyak terjadi pada usia muda atau anak-anak dengan etiologi dehidrasi, infeksi,
toksik, atau kasus-kasus obstetri.2,3 Sedangkan pada negara maju AKI umumnya terjadi pada
usia lanjut atau paska operasi jantung. Pada 2014 dilaporkan sebanyak 1562 atau 9% dari
pasien HD di Indonesia memiliki diagnosa utama AKI.4 Dengan pasien terbanyak dilaporkan
ada di Jawa Barat, kedua di Jawa Timur dan diikuti oleh DIY dan Sulawesi.4

II. 2 ETIOLOGI

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan letak gangguan terjadi, yaitu pre-
renal, renal atau intrinsik dan post-renal. Berikut beberapa etiologi AKI:5

1. Gangguan pre-renal
- Hilangnya atau deplesi volume intravascular yang dapat disebabkan oleh pendarahan,
poliuria, diare, muntah, atau keringat berlebihan.

5|AKI & CKD


- Vasodilatasi perifer yang dapat disebabkan oleh sepsis, syok anafilaksis atau obat
antihipertensi.
- Curah jantung berkurang yang dapat disebabkan oleh gagal jantung, syok kardiogenik,
perikarditis, tamponade jantung, ataupun emboli paru berat.
- Peningkatan resistensi renovaskular yang dapat disebabkan oleh sidrom hepatorenal,
obat vasokontriktor, atau anestesi.
- Berkurangnya tekanan intraglomerular akibat penggunaan obat ACE-I.
2. Gangguan renal / intrinsik
- Gangguan pada pembuluh darah besar yang dapat disebabkan oleh stenosis arteri renalis,
trombosis, atau emboli.
- Gangguan pada pembuluh darah kecil yang dapat disebabkan oleh vaskulitis,
ateroemboli, atau mikroangiopati trombotik.
- Gangguan pada glomerulus yang dapat disebabkan oleh glomerulonephritis dan atau
sindroma nefrotik.
- Gangguan pada interstitial yang dapat disebabkan oleh interstitial nefritis akut akibat
obat-obatan seperti antiobiotik, diuretik, NSAID, allopurinol.
- Gangguan pada tubulus (nekrosis tubular akut) yang dapat disebabkan oleh iskemia
(pendarahan, syok, trauma, infeksi, pankreatitis), obat nefrotoksik (antibiotik,
antineoplatik, anestesi, zat kontras), endogen (mioglobin, hemoglobin, asam urat).
3. Gangguan post-renal
- Batu saluran kemih (urolitiasis)
- Hiperplasia prostat jinak
- Striktur uretra

II. 3 PATOGENESIS

Gangguan akut ginjal pre-renal dimulai dari respon ginjal pada kekurangan cairan atau
hipovolemi. Berkurangnya perfusi ginjal dan volume efektif arterial menyebabkan fungsi
ginjal yang semula normal menstimulus lebih aktivitas sistem saraf simpatis dan RAAS (Renin-
Angiotensin Aldosteron System).6 Selanjutnya, stimulasi RAAS akan meningkatkan kadar
angiotensin II yang akan menimbulkan vasokontriksi pada arteriol efferent post-glomerulus
ginjal serta meningkatkan produksi hormon vasodilator prostaglandin pada arteriol afferent
pre-glomerulus. Vasokontriksi pada arteriol post-renal berfungsi mempertahankan tekanan
kapiler intra-glomerulus serta laju filtrasi glomerulus (LFG) agar tetap normal.

6|AKI & CKD


Peningkatan kadar angiotensin II akan merangsang sistem saraf simpatis serta sekresi
hormon aldosteron dan vasopresin (antidiuretik) sehingga tejadi reabsorbsi air, garam dan urea
berlebih di tubulus proksimal ginjal.6 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sebagai respon
fisiologis terhadap gangguan hipoperfusi ginjal yang ringan, terjadi retensi urin dan natrium
sehingga urin menjadi pekat dengan kadar natrium yang rendah untuk mempertahankan LFG.

Respon ginjal terhadap hipoperfusi umumnya berakhir pada 2 keadaan, yaitu azotemia
prerenal atau iskemik. Jika terjadi azotemia prerenal, hipoperfusi hanya akan mengganggu
fungsi ginjal saja dan kelainan dapat kembali normal jika hipoperfusi diperbaiki (reversibel).
Apabila hipoperfusi semakin berat atau berkelanjutan, maka akan terjadi kerusakan pada sel-
sel tubulus (nekrosis dan apoptosis) disertai gangguan fungsi ginjal.

Pada gangguan ginjal akut intrinsik, nekrosis tubular akut (NTA) menjadi penyebab
utama. NTA secara garis besar disebabkan oleh 2 hal, yaitu iskemik dan proses nefrotoksik.
Namun pada umumnya NTA terjadi akibat multifaktorial yang biasanya terjadi pada keadaan
penyakit akut dengan sepsis, hipotensi atau penggunaan obat-obatan nefrotoksik.

Sedangkan pada gangguan ginjal akut post-renal biasanya disebabkan adanya sumbatan
pada sistem traktus urogenitalis. Sumbatan dapat berupa striktur ureter kongenital bilateral
yang sering terjadi pada anak-anak, sumbatan oleh batu saluran kemih ataupun pembesaran
atau keganasan pada prostart pada laki-laki dan atau keganasan didaerah retroperitoneal pada
wanita.

II. 4 DIAGNOSIS

Sebenarnya penegakan diagnosis AKI tidak memerlukan alat canggih dan mahal
bahkan dapat dengan cepat dilakukan namun memerlukan daya analisa yan cermat serta
pengetahuan mengenahi etiologi yang dapat mendasari AKI. Untuk itu diperlukan kemampuan
anamnesis untuk menggali informasi guna melengkapi data-data hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang. Telah dibahas sebelumnya bahwa etiologi dari AKI dibagi menjadi 3, yaitu pre-
renal, intrinsik dan post-renal.

Pada anamnesis, perlu ditanyakan obat-obat yang digunakan sebelumnya seperti


diuretik, NSAIDS, ACE-inhibitor, atau ARB. Juga, perlu diperhatikan faktor-faktor resiko
pada penderita Acute Kidney Injury seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, diabetes,
Multiple Myeloma, infeksi kronik, dan kelainan mieloproliferatif.6

7|AKI & CKD


Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan untuk mengetahui etiologi dari gagal ginjal akut.
Seperti apabila pada kulit didapati petekie, purpura, ecchymosis menandakan kemungkinan
gagal ginjal akut yang berhubungan dengan pembuluh darah. Sedangkan apabila ditemukan
uveitis mengindikasikan adanya nefritis interstitial dan necrotizing vasculitis. Ocular palsy
menandakan keracunan etilen glikol atau necrotizing vasculitis.6

Gejala Klinik pre-renal AKI mencakup rasa haus, hipotensi orthostatik, penurunan
tekanan vena jugularis, berkurangnya turgor kulit, dan membran mukosa yang kering. Untuk
gangguan sirkulasi yang menyebabkan pre-renal ARF, dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
penyakit hati kronik, gagal jantung lanjut, sepsis, dan sebagainya (tergantung etiologi).

Pemeriksaan lanjutan untuk gagal ginjal akut berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan biasanya adalah
pengukuran BUN dan kreatinin serum, darah rutin, urinalisa, dan elektrolit urin. Sedangkan
pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah USG dan Doppler USG.

Meningkatnya BUN merupakan pertanda khas untuk gagal ginjal. Namun, pada pasien
dengan intake protein yang tinggi, akan ditemukan juga nilai BUN yang tinggi. BUN juga
mungkin meningkat pada pasien dengan perdarahan pada mukosa dan saluran pencernaan, dan
pengobatan steroid. Apabila didapati rasio BUN dengan kreatinin adalah 20:1 (terjadi kenaikan
absorpsi urea) menandakan prerenal AKI.

Pada urinalisa, ditemukan sel darah merah dalam darah merupakan hal yang patologis.
Apabila ditemukan, sel darah merah dalam keadaan eumorfik maka kemungkinan perdarahan
yang terjadi pada sistem pengumpul, sedangkan apabila ditemukan sel darah merah yang
dismorfik atau ditemukan RBC cast, hal ini menunjukkan adanya inflamasi glomerulus atau
glomerulonefritis. Adanya sel darah putih atau WBC cast menunjukkan pielonefritis atau
nefritis interstitial akut. Proteinuria menunjukkan adanya gangguan pada glomerular atau
interstitial.

Pada gagal ginjal, ultrasonografi digunakan untuk evaluasi penyakit ginjal yang telah
ada sebelumnya dan mengetahui apakah terjadi obstruksi pada tubulus pengumpul. Selain itu,
apabila didapati ukuran ginjal yang lebih kecil biasanya adalah temuan yang sugestif untuk
gagal ginjal kronik. Doppler ultrasonografi untuk mengetahui aliran darah ginjal. Doppler
ultrasonografi berguna pada AKI yang disebabkan emboli atau penyakit pembuluh darah renal.

8|AKI & CKD


Pemeriksaan Informasi yang dicari
Anamnesa dan Pemeriksaan Tanda-tanda penyebab, beratnya gangguan
Fisik metabolik, perkiraan status volume (hidrasi)
Mikroskopik urin Pertanda inflamasi, ISK, Kristal
Biokimia darah Ukur GFR, gangguan metabolic
Biokimia urin Membedakan GGA renal dan prerenal
Darah perifer lengkap Anemia, leukositosis, trombositopenia
Ukuran ginjal, obstruksi, kelainan parenkim
USG ginjal
ginjal
Bila diperlukan
CT scan abdomen Struktur abnormal ginjal dan salurannya

Pemindaian radionuklir Perfusi ginjal yang abnormal

Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi


Menentukan penyakit ginjal berdasarkan
Biopsi ginjal
patologi

Tabel 2. Evaluasi pada Pasien dengan Acute Kidney Injury5

Etiologi Menifestasi Klinis

Kehilangan volume cairan tubuh - badan lemas, rasa haus berlebih


Melalui: dehidrasi (muntah, diare), - hipotensi ortostatik, nadi cepat
perdarahan, kulit (luka bakar), dll dan dangkal, bibir kering, turgor
buruk
- oligo-anuria
Penurunan volume efektif pembuluh - sesak nafas
darah (curah jantung) - normotensi / hipotensi
Misal: infark miokard, kardiomiopati, (tergantung autoregulasi cairan
perikarditis, disfungsi katup, gagal tubuh)
jantung, emboli paru, hipertensi - oligo-anuri
pulmonal, dll
Redistribusi cairan - edema paru
Misal: sindroma nefrotik, sirosis hepatis, - edema tungkai
syok vasodilator, peritonitis,

9|AKI & CKD


pankreatitis, rhabdo-miolisis, obat
vasodilator, dll

Obstruksi renovaskular - biasanya produksi urin normal,


Misal: arteri renalis (stenosis bila terjadi oligo-anuri dapat
intravaskuler, emboli, laserasi trombus), menyebabkan gejala edema paru
vena renalis (trombosis intravaskuler, - edema tungkai
infiltrasi tumor)
Vasokontruksi intra-renal primer
Misal: AINS, siklosporin, sindrom
hepatorenal, hipertensi maligna, pre-
eklamsi, skleroderma

Tabel 3. Diagnosis Klinik AKI dengan Etiologi Pre-Renal5

Etiologi Menifestasi Klinis

Nekrosis Tubular Akut Anamnesis:


- obat-obatan (aminoglikosida, - konsumsi obat-obatan jangka
cisplatin, amphotericin B) panjang
- iskemia (apapun sebabnya) - penggunaan radiokontras
- syok sepsis (apapun sebabnya) - riwayat infeksi (demam)
- obstruksi intratubuler Pemeriksaan Fisik:
(rhabdomiolisis, hemolisis, - hipotensi (syok, dehidrasi)
multipel mieloma, asam urat, - JVP menurun (dehidrasi)
kalsium oksalat) - peningkatan suhu (infeksi)
- toksin (zat kontras radiologi, - ikterik (sepsis, hepatitis)
karbon tetraklorida, etilen glikol, - nyeri ketok CVA, hidronefrosis,
logam berat) asistes,
Nefritis Intersisial Akut Anamnesis:
- obat-obatan (penisilin, AINS, - konsumsi obat-obatan jangka
ACE-inhibitor, alupurinol, panjang
simetidine, penghambat - riwayat infeksi (demam)
histamin-2, inhibitr pompa - riwayat keluarga dengan
proton) penyakit idiopatik

10 | A K I & C K D
- infeksi (streptokokus, difteri, Pemeriksaan Fisik:
leptospirosis) - hipotensi (syok, dehidrasi)
- metabolik (hiperureiemia, - JVP menurun (dehidrasi)
nefrokalsinosis) - peningkatan suhu (infeksi)
- toksin (etilen glikol, kalsium - butterfly rush (SLE)
oksalat) - ikterik (sepsis, hepatitis)
- penyakit autoimun (SLE, - nyeri ketok CVA, hidronefrosis,
cryoglubulinemia) asistes,
Glomerulonefritis Akut Anamnesis:
- paska infeksi (streptokokus, - riwayat infeksi (demam)
hepatitis B, HIV, abses viseral) - riwayat keluarga dengan
- vaskulitis sistemik (SLE, penyakit idiopatik
Wagener’s granulomatosus, Pemeriksaan Fisik:
polioatritis nodusa, HSP, nefritis - peningkatan suhu (infeksi)
IgA, dll) - butterfly rush (SLE)
- purpura (vaskulitis)
- ronki (edema paru, Wagener’s)
- nyeri ketok CVA, hidronefrosis,
asistes,
Oklusi mikrokapiler/glomerular dan Anamnesis:
nekrosis kortikal akut - riwayat keluarga dengan
ITP, homolitic uremic syndrome, DIC, penyakit idiopatik
emboli kolesterol - sesak nafas pada gagal jantung
- riwayat transfusi darah
Pemeriksaan Fisik:
- hipertensi (gagal jantung)
- JVP meningkat (gagal jantung)
- purpura (vaskulitis)
- takikardi, murmur (gagal
jantung)
- nadi ireguler (infark)
- ronki (edema paru, Wagener’s)

11 | A K I & C K D
- nyeri ketok CVA, hidronefrosis,
asistes,

Tabel 4. Diagnosis Klinik AKI dengan Etiologi Intrinsik5

Etiologi Menifestasi Klinis


Obstruksi ureter (bilateral/unilateral) - nyeri kolik abdomen
Misal: tumor, batu, bekuan darah, dll - disuria, obstruksi urin
Obstruksi kantung kemih / uretra - demam
Misal: tumor, hipertrofi prostat, neurogenic - pembesaran ginjal, vesika urinaria
bladder, prolaps uteri, batu, bekuan darah, - pembesaran prostat
obstruksi kateter

Tabel 5. Diagnosis Klinik AKI dengan Etiologi Post-Renal5

II. 5 TATALAKSANA

Penatalaksanaan prerenal AKI pada pasien yang dehidrasi dapat diberikan cairan.
Namun, bila pasien masih hipotensi dapat diberikan dopamin 1-5 µg/kg/BB. Dopamin dalam
dosis rendah akan membuat dilatasi pembuluh darah renalis, meningkatkan perfusi ginjal.
Dopamin juga mengurangi absorpsi natrium sehingga meningkatkan aliran urin yang akan
membantu menghambat obstruksi thoraks tubulus.

Penggunaan diuretik berguna untuk homeostasis. Namun, penggunaannya dengan


cairan natrium klorida isotonik masih diperdebatkan. Natrium klorida berfungsi untuk
membuat pasien dalam keadaan euvolemik atau hipervolemik. Diuretik yang digunakan
biasanya adalah furosemid. Furosemid bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan
klorida pada bagian ansa henle tebal yang menaik dan tubulus kontortus distal. Diuretik
digunakan karena dapat menjaga output urin.

Penatalaksanaan AKI intrinsik yaitu mengeradikasi infeksi yang ada dengan


antimikroba yang sesuai, pemakaian obat immunosuppresan untuk penyakit autoimun yang
mendasari terjadinya AKI, menghindari bahan-bahan toksik. Sedangkan tatalaksana untuk
post-renal AKI adalah menghilangkan sumbatan yang ada.

Apabila terjadi hiperkalemia, perlu diberikan sodium bikarbonat, kayexalate 25–50


gram, glukosa dan insulin secara intravena, dan pemberian kalsium secara intravena untuk

12 | A K I & C K D
mencegah irrabilitas jantung. Peritoneal dialisis atau hemodialisis juga dapat digunakan untuk
menghindari atau mengurangi gejala uremia, hipokalemia atau hipervolemia.

Gambar 3. Tatalaksana Komplikasi AKI.7

II. 6 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi yang terjadi pada penderita AKI dapat berupa oligouria, anuria,
hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH200 mg/dl), edema paru, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat
(Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), dan hipertermia. Prognosis, baik AKI maupun CKD,
berhubungan dengan ada tidaknya penyakit penyerta. Mortalitas AKI sendiri 7-50% (survival
rate bisa mencapai 90%) dan meningkat bila penderita juga menderita sepsis maupun gangguan
kardiovasular. Prognosis AKI lebih baik dari CKD sebab kerusakan ginjal masih bersifat
reversibel.

13 | A K I & C K D
BAB III. CHRONIC KIDNEY DISEASE

Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi
ginjal, terjadi selama >3 bulan yang berakibat pada kesehatan.8 Diagnosis CKD ditegakkan
dengan beberapa kriteria, sebagai berikut (salah satu dari yang dibawah terjadi selama > 3
bulan):

Tanda kerusakan ginjal (1 atau lebih) Albuminuria (AER ≥30 mg/24 hours; ACR ≥30
mg/g [≥3 mg/mmol])
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan abnormalitas lain
disebabkan oleh penyakit tubular
Abnormalitas yang terdeteksi pada histologi
Abnormalitas struktur yang terdeteksi dengan
gambaran radiologi
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG <60ml/min/1.73 m2 (GFR kategori G3a-G5)

Tabel 6. Kriteria Diagnosis CKD.8

KDIGO merekomendasikan tahap CKD ditentukan berdasarkan penyebab, kategori


laju filtrasi ginjal (LFG/GFR) dan kategori albumin.8 Menetapkan penyebab CKD berdasarkan
ada tidaknya penyakit sistemik dan lokasi kerusakan dalam ginjal yang diamati atau diduga
pada temuan patologi-anatomis.

Gambar 4. Kategori LFG pada CKD.8

14 | A K I & C K D
Gambar 5. Kategori Albumin pada CKD.8

National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-DOQI)


pada tahun 2002 telah menetapkan stadium dalam CKD, yaitu sebagai berikut:
Stadium Deskripsi GFR(ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR >90
normal atau meningkat
2 Penurunan GFR ringan 60-89
3 Penurunan GFR sedang 30-59
4 Peningkatan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau memerlukan
dialysis

Tabel 7. Tahap CKD menurut NKF-DOQI

III. 1 EPIDEMIOLOGI

Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika Serikat.


NHANES III memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di
Amerika Serikat adalah 11% (19,2 juta) dengan 3,3% (5,9 juta) CKD tahap 1, 3% (5,3 juta)
CKD tahap 2, 4,3% (7,6 juta) CKD tahap 3, 0,2% (400.000) CKD tahap 4, dan 0,2% (300.000)
CKD tahap 5.

Prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun 1988-1994
menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian dijelaskan oleh peningkatan
prevalensi diabetes dan hipertensi, yang merupakan penyebab paling umum dari penyakit
ginjal kronis. Data dari Amerika Serikat Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa
prevalensi gagal ginjal kronis meningkat 104% antara tahun 1990-2001.

15 | A K I & C K D
Menurut ketiga Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi, diperkirakan bahwa
6,2 juta orang (yaitu 3% dari total penduduk AS) lebih tua dari 12 tahun memiliki nilai kreatinin
serum di atas 1,5 mg / dL; 8 juta orang memiliki GFR kurang dari 60 mL / menit, mayoritas
dari mereka berada di populasi medicare senior (5,9 juta orang). Tingkat kejadian stadium akhir
penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat secara internasional sejak tahun 1989. Amerika
Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang.

III. 2 ETIOLOGI

Etiologi atau penyebab dari CKD dapat dibagi menjadi 2 sub-bagian, yaitu etiologi
yang berasal dari kelainan parenkim ginjal dan etiologi yang disebabkan obstruksi ginjal.10

Penyebab CKD

Kelainan parenkim ginjal Penyakit obstruktif ginjal


(prevalensi termasuk 10% pada lain-lain)
- Glomerulonefritis 50% - Urolithiasis
- Nefropati diabetik 27% - BPH
- Hipertensi 13% - Striktur uretra
- Lain-lain 10%
(Penyakit ginjal polikistik, SLE, TBC)

CKD juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, yaitu penyakit ginjal


diabetik, penyakit ginjal non-diabetik seperti penyakit glomerular, penyakit vaskular, penyakit
tubulointerstisial, serta penyakit kistik dan penyakit ginjal pada transplantasi seperti rejeksi
kronik, keracunan obat, dan penyakit rekuren.

III. 3 PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya CKD tergantung dari etiologinya. Pada intinya, etiologi yang
beragam tadi menyebabkan kerusakan pada ginjal hingga ginjal kehilangan fungsinya.
Awalnya, kelainan yang terjadi pada sebagian jaringan ginjal menyebabkan sebagai jaringan
ginjal tadi kehilangan fungsinya.11 Jaringan lain yang masih normal dapat meningkatkan
kinerjanya sebagai kompensasi (adaptasi fungsional ginjal). Apabila dibiarkan, kerusakan 75%
dari jaringan ginjal menyebabkan penurunan GFR hanya 50% dari normal.11 Kerusakan ginjal
tadi akan menimbulkan menifestasi yang beragam pada CKD. Berikut patogenesis terjadinya
menifestasi klinis pada CKD.11

16 | A K I & C K D
a. Edema

- Hipernatremia, hipertensi dan kerusakan ginjal  peningkatan tekanan hidrostatik


dan permeabilitas kapiler  edema.

- Proteinuria  hipoalbuminuria  cairan intravaskular merembes ke interstitial 


edema.

- Cairan merembes ke interstitial menyebabkan cairan di intravaskular berkurang


(hipovolemia). Hipovolemia akan merangsang sistem RAA  retensi air dan natrium
 memperburuk edema.

b. Hipo atau Hiperkalemia

Hipokalemia terjadi bila terapi diuretik berlebihan disertai dengan kurangnya asupan K.
Biasanya, penderita CKD mengalami hiperkalemia sebab GFR yang menurun.
Hiperkalemia tampak bila GFR sudah turun dibawah 15 ml/menit. GFR diatas 15
ml/menit masih memungkinkan kompensasi sekresi K+ oleh aldoteron pada tubulus
distal.

c. Hiperfosfatemia dan Hipokalsemia

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia berkaitan dengan PTH dan tulang. Mulai tampak sejak
stadium 2. Fosfat meningkat akibat defek ekskresi dan kebutuhan kompensasi untuk
asidosis metabolik. Fosfat dan PTH akan menurunkan absorpsi kalsium dan
menyebabkan berbagai gangguan pada tulang, seperti osteomalasia, osteodistrofi.
Keadaan ini diperburuk dengan defek aktivasi vitamin D oleh ginjal yang rusak.
Gangguan keseimbangan magnesium minimal sebab terjadi mekanisme sekresi di
tubulus distal dan collecting duct.

d. Metabolik Asidosis.
Pada keadaan gagal ginjal, tubulus tidak dapat menyekresikan ion hidrogen (H+) dari
tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan asam dalam tubuh. Keadaan metabolik
asidosis ditandai dengan kurangnya ion basa bikarbonat (HCO3-) akibat terus digunakan
untuk mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh.

e. Gangguan Hematologik

17 | A K I & C K D
Anemia normokromatik normositik biasanya baru tampak pada stadium 3 CKD, tetapi
anemia telah ada sejak awal progresi CKD. Anemia bisa disebabkan gangguan produksi
eritropoetin (EPO), defisiensi zat besi atau folat atau vitamin B12, serta gangguan faktor
III pada CKD tahap 5. PTH yang meningkat menyebabkan fibrosis pada sumsum tulang.
Toksin uremik dapat mensupresi fungsi sumsum tulang  anemia  pucat, sel darah
putih ↓  sistem imun berkurang  infeksi ↑. Trombosit juga berkurang 
trombositopenia  gangguan koagulasi. Anemia menyebabkan hipertropi ventrikel
eksentrik sebab pada anemia, selain ventrikel kanan (VK) harus bekerja memompa lebih
kuat, disertai dengan vasodilatasi perifer sebagai mekanisme kompensasi akibat
oksigenasi yang berkurang. Akibatnya, venous return bertambah sehingga penebalan VK
diikuti dilatasi VK. Jadi, koreksi dan diagnosis anemia secara dini dapat memperlambat
penurunan fungsi ginjal.

f. Gangguan kardiovaskular

30 hingga 45% pasien ESRD mengalami gangguan kardiovasular. Komplikasi akibat


gagal ginjal terbanyak pada sistem kardiovaskular adalah hipertensi. Gangguan
kardiovaskular sendiri merupakan gangguan terbanyak yang menyebabkan mortalitas
dan morbititas pada pasien gagal ginjal.

Gambar 6. Bagan Patogenesis CKD.

18 | A K I & C K D
III. 4 DIAGNOSIS

Diagnosa defenitif untuk CKD adalah biopsi ginjal. Dari biopsi ginjal, dapat ditentukan
diagnosa, pengobatan apa yang akan dilakukan dan prognosa penyakit. Namun, pemeriksaan
ini berisiko tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi. Untuk itu berdasarkan anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain seharusnya sudah dapat mendiagnosa
CKD.

Pada anamnesa pasien biasanya ditemukan keluhan seperti mual, muntah, diare, nyeri
perut, hilangnya nafsu makan, penurunan produksi urin, bengkak-bangkak di tubuh, lesu,
mudah lelah, hingga masalah berkonsentrasi dan kebingungan.12 Kejang dan koma juga dapat
dijumpai pada pasien CKD yang telah parah. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga yang
mengalami CKD, sedangkan pada pasien remaja muda akan dikeluhkan gangguan
pertumbuhan. Selain itu juga dapat ditanyakan riwayat konsumsi minuman berenergi dalam
jumlah besar dan jangka waktu yang lama dan juga penyakit kronis yang sedang diderita seperti
DM, hipertensi dan gagal jantung.12

Gambar 7. Menifestasi Klinis CKD.

19 | A K I & C K D
Pada pemeriksaan fisik, biasanya gagal ginjal kronik bersifat asimptomatik apabila
tahap yang dialami baru 1-3. Gejala gagal ginjal kronik baru akan terlihat jika sudah mencapai
tahap 4 atau 5, gejala kliniknya dapat berupa pernapasan dan detak jantung yang cepat, fatigue,
berkurangnya berat badan, anoreksia, nokturia, dan pruritus. Gejala ini terjadi akibat dari
akumulasi bahan-bahan yang bersifat toksin yang tidak dapat dibuang oleh tubuh. Namun,
gejala klinis yang muncul sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, ISK,
nefrolithiasis, hipertensi, dan lainnya. Umumnya pemeriksaan fisik pada CKD tidak begitu
membantu namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah terjadi.

Apabila CKD sudah menimbulkan komplikasi, maka gejala yang akan muncul adalah
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
untuk membantuk menegakkan diagnosa CKD antara lain urinalisa, hitung darah lengkap serta
pengukuran BUN dan kreatinin serum.12,13 Pemeriksaan elektrolit juga merupakan
pemeriksaan yang rutin dilakukan pada penderita CKD.12,13

Pada urinalisa, apabila didapati hasil positif pada pemeriksaan proteinuria dengan
menggunakan dipstick menunjukkan kemungkinan adanya gangguan pada glomerulus atau
tubulus dengan interstitium ginjal. Sedangkan pada sedimen urin apabila ditemukan sel darah
menunjukkan dan RBC cast menunjukkan proliferatif glomerulonefritis. Piuria dan/atau WBC
cast menunjukkan adanya nefritis interstitial atau adanya infeksi saluran kemih.12

Serum BUN dan kreatinin akan meningkat pada pasien dengan CKD. Selain itu, juga
dapat didapati serum albumin turun pada pasien yang dikarenakan kehilangan protein melalui
urin atau malnutrisi.12 Pada hitung darah lengkap, dapat ditemukan anemia normokromik
normositik, sering juga ditemukan disfungsi platelet akibat uremia.12

Pemeriksaan elektrolit akan dijumpai hiperkloremia yang disebabkan uremia. Biasanya


akan dijumpai normokalemia, kecuali jika GFR mencapai dibawah 5 ml/menit, diabetik
nefropati, penyakit interstitial ginjal, dan gouty nefropati. Juga dapat ditemukan peningkatan
serum fosfat dan penurunan kalsium. Ini disebabkan karena pada ginjal terjadi penurunan
pembentukan kalsitriol. Pemeriksaan lipid juga sebaiknya dilakukan pada semua pasien CKD
karena pasien CKD juga beresiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler.

Sedangkan untuk pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk membantu


pemeriksaan adalah foto polos abdomen KUB (Kidney Ureter Bladder), USG ginjal, CT scan,

20 | A K I & C K D
dan MRI.12 Tidak semua pemeriksaan ini dilakukan mengingat keterbatasan di Indonesia. Foto
polos abdomen biasanya dilakukan untuk melihat adanya batu radioopaq. Ultrasound renal
biasanya digunakan untuk mengetahui ukuran ginjal. Ginjal kecil ditemukan pada CKD.
Sedangkan pada diabetik nefropati lanjut ditemukan ukuran ginjal yang normal, namun
awalnya ginjal akan membesar karena terjadi hiperfiltrasi. Selain itu, ultrasound ginjal
digunakan untuk skrinig hidronefrosis yang tidak tampak pada awal obstruksi.

CT scan berguna untuk menentukan masa renal dan kista dengan lebih baik
dibandingkan USG. CT scan juga merupakan test yang paling sensitif untuk mengetahui batu
ginjal. Penggunaan kontras iv untuk CT scan tidak dianjurkan pada penderita gangguan ginjal
(pada kasus ini gagal ginjal kronik dengan tingkat sedang sampai berat) karena dapat
menyebabkan gagal ginjal akut. MRI sangat berguna pada pasien yang membutuhkan
pemeriksaan CT scan tetapi tidak dapat menggunakan kontras intravena. MRI bisa juga untuk
mendiagonsa terjadi trombosis vena renalis seperti pada CT scan. Namun, perlu diketahui
bahwa pemeriksaan MRI sangat mahal.

Tes lainnya seperti penghitungan dengan rumus Cockcroft-Gault digunakan untuk


mengukur fungsi residu ginjal pada semua pasien dengan CKD.12 Perhitungan ini memerlukan
pemeriksaan serum creatinin pasien. Rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut:

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛


CrCl (pria) = 72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎

CrCl (wanita) = CrCl (pria) x 0.85

III. 5 TATALAKSANA

Tatalaksana pasien CKD meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,


pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid, memperlambat perburukan fungsi ginjal,
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.9,14
Penatalaksanaan yang dilakukan tadi dapat disebut sebagai terapi konservatif, dan dilakukan
sampai pasien merasa tidak dapat melakukan hidupnya seperti biasa.

Terapi spesifik pada penyakit dasar CKD paling tepat dilakukan jika belum terjadi
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Untuk itu pemeriksaan

21 | A K I & C K D
penunjang berupa USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan indikasi
terapi spesifik. Selanjutnya pada semua stadium CKD, dianjurkan untuk dilakukan pengukuran
fungsi ginjal dan tes laboratorium lainnya tergantung tingkat rusaknya ginjal untuk follow up
dan evaluasi.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid seperti gangguan keseimbangan


cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. Untuk itu dibutuhkan
penatalaksanaan non farmakologis yang mencakup beberapa hal. Pertama, untuk kesehatan
secara umum pasien disarankan untuk menghentikan merokok, kurangi berat badan, lakukan
olah raga yang bersifat aerobik, membatasi konsumsi alkohol, dan kurangi konsumsi sodium.
Kemudian, pasien CKD juga harus bahan-bahan yang bersifat nefrotoksik seperti agen
radiokontras intravena, NSAID, aminoglikosida, dan bahan-bahan lainnya.

Menghambat perburukan fungsi ginjal dengan cara mengurangi hiperfiltrasi


glomerulus. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pembatasan asupan protein (0.5
g/kg/hari), potassium, dan fosfor, juga pembatasan asupan natrium. Selain itu, perlu
pemantauan tekanan darah. Antihipertensi diberikan apabila:14

 Ratio protein dan kreatinin urin di bawah 100 mg/mmol: dengan ambang hipertensi 140/90
mmHg, diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 130/80 mmHg.
 Ratio protein dan kreatinin urin di atas 100 mg/mol, ambang hipertensi 130/80 mmHg,
diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 125/75 mmHg.

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB)


diberikan apabila:14

 Ratio protein dan kreatinin urin di atas 100 mg/mmol.


 Pada pasien diabetes dengan mikroalbuminuria.
 Serum kreatinin dan kalium harus diperiksa sebelum diberikan pengobatan. Jika
hiperkalemia (serum kalium di atas 6 mmol/L) ACE-i atau ARB harus dihentikan.

Untuk mencegah efek gagal ginjal kepada jantung, pasien dengan resiko penyakit
jantung lebih dari 20% untuk 10 tahun diberikan aspirin dan obat-obat penurun kadar lipid.
Jika Hb di bawah 11 g/dL dan semua penyebab anemia sudah dieksklusi, pasien diberikan
eritropoiesis-stimulating agents dan preparat besi. Pemberian ini dihentikan apabila serum

22 | A K I & C K D
ferritin telah melebihi 500mcg/L. Pemberian eritropoietin secara cepat akan mencegah
timbulnya hipertrofi ventrikel kiri.

Jika hiperfosfatemia diberikan fosfat binder dan restriksi fosfat seperti lanthanum
karbonat yang bekerja dengan cara mengikat fosfor pada traktus pencernaan sehingga
menghambat absorpsi fosfor. Hipokalsemia diobati dengan suplemen kalsium dan kalsitriol.
Hiperparatiroidisme diobati kalsitriol atau analog vitamin D. Dari penelitian yang dilakukan
Fishbane dkk diketahui bahwa pemberian paricalcitriol dapat menurunkan proteinuria
sebanyak 10% dari kelompok kontrol.

Asidosis pada penderita CKD harus diobati secepat mungkin Apabila terjadi keadaan
asidosis yang kronik dapat menyebabkan hiperkalemia, menghambat sintesa protein, dan
mempercepat hilangnya kalsium dari tulang. Untuk asidosis yang diderita pasien bisa diberikan
bikarbonat. Pencegahan osteodistrofi uremik dan hiperparatiroidisme sekunder dengan
pengawasan terhadap keseimbangan kalsium dan fosfor.

Renal Replacement Therapy (RRT) mencakup hemodialisa, peritoneal dialisis, CAPD


(Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau transplantasi renal. Indikasi untuk dilakukan
RRT adalah sebagai berikut:15

a. Kreatinin di atas 500 mmol/L


b. Ada gejala-gejala uremia seperti perikarditis, encefalopati, neuropati
perifer, gagal tumbuh, dan malnutrisi.
c. Asidosis metabolik berat: bikarbonat kurang dari 12 mmol/L
d. K serum > 6mEq/L
e. Ureum darah > 200 mg/dL
f. pH darah < 7.1
g. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
h. Kelebihan cairan.

Untuk terapi pengganti ginjal, terdiri dari dua jenis yaitu dialisis dan transplantasi
ginjal. Adapun terdapat dua jenis dialisis, dialisis peritoneal dan hemodialisis. Transplantasi
ginjal dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah.16

Sebelum dilakukan hemodialisa, dilakukan dulu penyambungan antara vena dan arteri
(akses vaskular). Terdapat 3 jenis akses vaskular yaitu fistula (cimino), graft, dan kateter

23 | A K I & C K D
(CDL).16 Fistula dan graft merupakan akses yang permanen sedangkan kateter merupakan
akses yang sementara dan digunakan sampai pasien siap untuk membuat fistula atau graft.

Tujuan dibuatnya akses ini agar vena tidak kolaps ketika dilakukan dialisis. Karena
vena mempunyai dinding yang lemah. Beberapa minggu atau bulan sebelum dialisis, ahli bedah
akan membuat akses ini.

Gambar 8. Prinsip Fistula Cimino-Brescia

Graft adalah penggabungan vena dan arteri dengan menggunakan pipa atau potongan
vena pada kaki. Graft dilakukan apabila fistula tidak dapat dilakukan. Pada saat akan
dilakukan dialisis, dua jarum yang telah dimasukkan ke pipa dimasukkan ke dalam akses
vaskular. Jarum yang satu berfungsi menarik darah ke mesin, sedangkan yang lain berfungsi
untuk mengembalikan darah. Dialisis dilakukan 3 kali seminggu dan dilakukan seumur hidup
atau dilakukan sampai transplantasi ginjal.

Prinsip kerja hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan atau disebut juga dialiser yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.15
Masing-masing dari kompartemen tersebut dipisahkan oleh selaput semipermeabel buatan.
Kemudian darah pasien dialirkan ke salah satu kompartemen, sedangkan kompartemen yang
lain, yaitu kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang berisi larutan dengan komposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.

Selanjutnya, karena perbedaan konsentrasi zat terlarut di kedua kompartemen, akan


terjadi perpindahan zat terlarut secara difusi, dari cairan konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah (dari darah ke cairan dialisat). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan

24 | A K I & C K D
hidrostatik negatif dan reverse osmosis pada kompartemen cairan dialisat. Proses ini disebut
ultrafiltrasi.15

Cairan dialisat yang digunakan tidak perlu steril. Karena selaput semipermeabel akan
menyaring endotoksin dan bakteri. Tetapi perlu juga diingat bahwa kuman harus dijaga kurang
dari 200 koloni/mL. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar antara 135-145 mEq/L. Bila
kadar natrium rendah, maka akan terjadi resiko gangguan hemodinamik karena berpindahnya
natrium. Sebaliknya, jika natrium tinggi, akan meningkatkan kadar natrium pascadialisis
sehingga akan membuat pasien haus dan minum lebih banyak.

Dialiser dapat didaur ulang untuk mengurangi biaya pengobatan. Untuk mendaur
ulang, perlu dibersihkan terlebih dahulu dengan cairan dialisat yang banyak untuk
menghilangkan bekuan darah yang ada. Selanjutnya, dialiser disimpan dengan cairan antiseptik
(formaldehid 4%). Jika ingin dipakai kembali, cuci kembali dengan cairan dialisat. Dialiser
dapat dipakai bila volume dialiser masih 80%.15

Cairan dialisat yang digunakan ada 2 macam, asetat dan bikarbonat. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk gagal ginjal kronik, biasanya dipakai cairan
bikarbonat karena dapat menetralkan asidosis, juga tidak menimbulkan vasodilatasi yang dapat
ditimbulkan oleh cairan asetat. Selain itu, perlu diingat pemberian heparin pada pasien yang
akan menjalani dialisis karena pada saat aliran darah berada pada luar tubuh, akan terjadi
aktivasi sistem koagulasi.15

Untuk peritoneal dialisis, dimanfaatkan membran peritoneal yang bersifat


semipermeabel. Keuntungan dialisis peritoneal secara teknik lebih sederhana, cukup aman dan
efisien, serta tidak memerlukan fasilitas khusus. Prinsip dasar peritoneal dialisis adalah
dipasang kateter stylet (kateter peritoneum) pada abdomen di dalam kavum peritoneum, ujung
kateter berada di dalam kavum Douglasi. 2 liter cairan dialisis akan dimasukkan ke dalam
kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran
dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah
dalam pembuluh darah di peritoneum.

Setelah pengisian rongga peritoneum dengan cairan dialisat, maka larutan dialisat
dibiarkan di rongga abdomen selama 4 – 6 jam untuk dibiarkan terjadinya dialisis. Sisa-sisa
metabolisme pada penyakit ginjal kronik akan berada dalam konsentrasi tinggi dalam darah
akibat tidak dapat dibuang oleh ginjal. Karena tingginya kadar ini, maka zat-zat ini akan

25 | A K I & C K D
berpindah secara difusi ke cairan dialisat. Setelah ditunggu selama 4 – 6 jam, dengan bantuan
gravitasi cairan dikeluarkan dari dalam tubuh. Cairan yang dikeluarkan akan berwarna kuning
jernih. Waktu pengeluaran cairan sekitar 10 – 20 menit.

Komposisi elektrolit dialisat seperti pada plasma darah normal. Pada umumnya cairan
dialisat, tidak mengandung kalium karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium. Namun, jika
pasien dengan kadar kalium normal maka kadar kalium dalam dialisat dapat disamakan dengan
plasma. Indikasi pemakaian dialisis peritoneal:

1. Gagal ginjal akut


2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa
3. Intoksikasi obat atau bahan lain
4. Gagal ginjal kronik

Prinsip Rehabilitasi Gagal Ginjal

Rehabilitasi adalah suatu proses yang menghasilkan pemulihan fungsi dan prestasi
individu ke tingkat maksimal yang diharapkan. Bagi orang-orang dengan penyakit ginjal,
rehabilitasi mencakup restorasi kesejahteraan, kinerja fisik, kestabilan emosi, penyesuaian
sosial dan kapasitas kerja.

Seorang yang divonis menderita gagal ginjal pasti akan mengalami penurunan percaya
diri yang mengakibatkan penurunan prestasi dalam aktivitas, perkerjaan dan pergaulan sosial.
Berbagai gangguan elektrolit maupun organ, khususnya anemia menyebabkan penurunan
ketahanan tubuh. Ketahanan tubuh yang berkurang akan mengakibatkan pasien CKD dianggap
seperti pasien cacat yang tidak dapat bekerja lagi. Secara psikis, penderita penyakit kronik
seperti gagal ginjal akan merasa depresi, marah dan merasa bersalah. Sehingga, perlu
rehabilitasi untuk meningkatkan fungsi fisik dan psikis penderita CKD.16

Prinsip rehabilitasi pada penderita gagal ginjal meliputi restorasi kesejahteraan


(mengembalikan tubuh pada keadaan yang lebih sehat, misalnya dengan olahraga aerobik
rutin), kestabilan emosi (berpikir positif), penyesuaian sosial (menikmati pergaulan sosial
dengan keluarga maupun teman) dan kapasitas kerja (tetap berpikir diri sendiri berguna). Selain
itu, penderita CKD harus tetap menjaga pola makan diet dan menurunkan resiko penyakit
penyerta. Hendaknya, pasien CKD diperhatikan oleh pemerintah dengan memberikan
pelayanan kompensasi dalam pekerjaan, seperti yang diterapkan di negara maju.

26 | A K I & C K D
CKD termasuk sillent killer karena pada tahap awalnya, bahkan sebelum kerusakan
nefron 70% kerap kali tidak menimbulkan gejala apapun. CKD tidak dapat dicegah, tetapi
ginjal dapat dilindungi dari kerusakan dan memperlambat progresivitas kerusakan. Prinsip
prevensi di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi menderita gagal ginjal
dan kemudian lakukan skrining teratur serta menatalaksana penyakit yang menjadi faktor
resiko tersebut.

Skrining meliputi pemeriksaaan secara teratur dan kontrol tekanan darah (diet dan
olahraga, usahakan TD ≤130/80 mmHg), periksa secara teratur proteinuria dan
mikroalbuminuria, periksa secara teratur dan kontrol kadar gula darah, diet rendah protein
hewani dan hentikan merokok bagi yang memiliki riwayat keluarga menderita gagal ginjal;
cegah dan atasi infeksi saluran kemih serta pantau kadar obat-obatan nefrotoksik yang
dikonsumsi.

Anjuran Diet

Pasien dengan CKD disarankan merubah pola diet untuk menjaga keseimbangan
elektrolit, mineral dan cairan dalam tubuh. Rekomendasi untuk pasien dengan CKD adalah diet
cukup kalori, rendah protein dan membatasi asupan cairan. Mengganti protein dengan
karbohidrat untuk mendapat energi dapat dilakukan, pilih konsumsi lemak nabati dibanding
lemak hewani untuk mengurangi resiko komplikasi kardivaskular, konsumsi makanan tinggi
protein jika sudah menjalani HD, kurangi konsumsi produk-produk yang mengandung tinggi
fosfor dan meminum vitamin D, dan juga pasien dengan CKD perlu membatasi asupan garam
dan juga buah-buahan dan sayur-sayuran yang tinggi kalium, serta perlunya memakan produk-
produk makanan yang dapat meningkatkan zat besi.

III. 6 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi CKD dapat berupa anemia. Anemia yang terjadi dapat mengakibatkan
LVH (left ventricular hypertrophy), kelelahan, gangguan fungsi kognitif. Selain itu juga dapat
terjadi komplikasi berupa hipertensi.9 Hipertensi juga dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel
kiri, gagal jantung, stroke, dan penyakit jantung lainnya.

Selain itu, akan terjadi juga gangguan neurologis akibat penumpukan urea, seperti
ensefalopati uremik, neuropati perifer. Penyakit Ginjal Kronik juga dapat menyebabkan
gangguan koagulopati, renal osteodistrofi, overload cairan, malnutrisi, intoleransi glukosa
akibat resistensi insulin, dan perubahan struktur tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.9

27 | A K I & C K D
Prognosis CKD, biasanya pasien berakhir pada ESRD (End-Stage Renal Disease).
Kecepatan perubahan tergantung diagnosa, keberhasilan tindakan preventif sekunder, dan
tergantung pada individu pasien. Kebanyakan kerusakan oleh CKD terjadi secara awal
sehingga intervensi yang dini akan lebih memperbaiki prognosa.9

Pasien dengan dialisis kronik mempunyai insidens tinggi akan morbiditas dan
mortalitas. Pasien dengan ESRD yang menjalani transplantasi ginjal akan bertahan lebih lama
daripada dengan dialisis kronik. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang
paling umum pada CKD. Tidak ada medikamentosa yang dapat mengembalikan kerusakan
irreversibel nefron pada CKD, pengobatan hanya untuk memperlambat progresifitas
perburukan penyakit dan penyakit penyerta. Tatalaksana secara dini ditemukan dapat
meningkatkan harapan hidup sebanyak 5-8 tahun dibandingkan gagal ginjal yang baru
diketahui pada stadium lanjut.9

28 | A K I & C K D
IV. PENUTUP

Acute Kidney Injury (AKI) didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum ≥0.3
mg/dl (≥26,5 µmol/l) dalam 48 jam atau peningkatan kadar kreatinin serum sebesar ≥1.5 kali
dari baseline, yang diketahui atau diduga telah terjadi dalam kurun waktu 7 hari, atau volum
urin <0.5 ml/kg/h dalam 6 jam. Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan
struktur atau fungsi ginjal, terjadi selama >3 bulan yang berakibat pada kesehatan. Diagnosis
CKD ditegakkan dengan beberapa kriteria, salah satunya adalah penurunan LFG hingga
<60ml/min/1.73 m2.

Baik AKI maupun CKD merupakan masalah serius yang dialami oleh pasien.
Anamnesis yang tepat dan terarah dapat membantu kita mengetahui penyebab dari
gangkityguan fungsi ginjal yang dialami pasien. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan
gangguan ginjal kebanyakan sama, dapat seperti penyakit yang mendasari atau dapat
menyerupai komplikasi yang dialami jika sudah mencapai CKD stadium lanjut. Semua pasien
yang datang dengan sesak, tampak pucat, ada pembengkakan pada tungkai, memiliki riwayat
penyakit yang merupakan etiologi dari AKI ataupun CKD baiknya dicurigai sedang mengalami
gangguan ginjal. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
berupa pemeriksaan laboratorium darah rutin, urinalisa lengkap, penilaian fungsi ginjal hingga
pemeriksaan radiologi seperti USG untuk mengetahui ada tidaknya perubahan bentuk pada
ginjal. Dan jika memungkinkan biopsi ginjal juga diperlukan untuk mendiaknosis pasien.

Terapi pada AKI dan CKD pada dasarnya adalah menjaga fungsi ginjal agar tidak
semakin menurun dan sebisa mungkin mengembalikan fungsi ginjal. Dari terapi simptomatik
hingga mengobati kondisi penyerta atau komorbid hingga terapi pengganti ginjal untuk
menggantikan kerja ginjal sementara dapat dilakukan. Pada AKI, terapi hemodialisa biasanya
digunakan untuk mencegah perburukan kondisi ginjal dan akan dapat dihentikan jika fungsi
ginjal telah kembali ke keadaan semula. Sebaliknya, pada CKD terapi hemodialisa adalah
sebagai terapi konservatif. Hemodialisa dilakukan untuk memperpanjang masa hidup pasien
hingga pasien sudah merasa cukup. Diagnosis dini AKI maupun CKD akan membantu
memperbaik prognosis pasien, terutama jika ditemukan pada tahapan awal. Edukasi yang tepat
juga dapat membantu pasien terutama dari segi emosional.

29 | A K I & C K D
DAFTAR PUSTAKA

1. KDIGO Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury. Maret; 2012.
2. Cerda J and friends. Epidemiology of Acuter Kidney Injury. CJASN May 2008. vol.3.
no.3. 881-6.
3. Hoste E.A and Schurgers. Epidemiology of acute injury: how big is the problem? Cri
Care Med April 2008. 146-52.
4. Dikutip dari 7th Report of Infonesian Renal Registry; 2014.
(http://www.indonesianrenalregistry.org)
5. Mahendra Ahagrarkar: Acute Renal Failure: Overview, Differential Diagnose, and
Workup, Treatment & Medication. Emedicine medscape. 2010 June 29
6. Surachno RG dan Bandiara R. Gangguan ginjal akut (acute kidney injury) dalam
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, dan Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. jilid 2. ed.4. Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.2149-60.
7. Sinto R dan Nainggolan G. Acute kidney injury: pendekatan klinis dan tata laksana.
Maj Kedokt Indon, vol: 60, nor: 2, Februari 2010.
8. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Januari; 2013.
9. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadribata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. jilid 2. ed.4. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. h.2161-7.
10. Andreoli TE, Bennett JC, Carpenter CJ, Plum F. Acute renal failure; Chronic renal
failure. In: Abdulezz SR, Bunke M, Singh H, Shah SV, editors. Cecil essentials of
medicine 4th edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001. p. 231-251.
11. Campbell MF. Etiology, pathogenesis, and management of renal failure. In: Walsh PC,
Vaughan, Wein AJ, editors. Campbell urology 8th edition. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2002. p. 273-303.
12. Chronic kidney disease, NICE Clinical Guideline (September 2008); Early
identification and management of chronic kidney disease in adults in primary and
secondary care.
13. Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, 4th edition;
Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, Renal
Association (December 2007)

30 | A K I & C K D
14. The Renal Association; UK Guidelines for the management of Chronic Kidney Disease.
January 2009.
15. Haemodialysis – a treatment option. National Renal Resource Centre and KHA Kidney
and Urinary Advisory Group: March 05;1-5
16. Ingram RH, Brady HR, Brenner BM, Karl S, Jacob G, Singh AK. Dyspnea; Acute renal
failure; Chronic renal failure; Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo LL, Jameson JL, editors. Harrison’s
principles of internal medicine 16th edition. New York: Mc-Hill Company; 2005. p. 201-
204, 1653-67.
17. S Amend WJ, Vincenti FG. Acute renal failure; Chronic renal failure & dialysis. In:
Tanagho EA, McAninch JW, editors. Smith’s general urology 17th edition. New York:
McGraw-Hill Company; 2008. p. 520-32,539-45

31 | A K I & C K D

Anda mungkin juga menyukai