Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Kegawatdaruratan di Bidang Kedokteran Gigi

2.1.1 Definisi Kegawatdaruratan di Bidang Kedokteran Gigi

Kegawatdaruratan adalah suatu kondisi yang mendesak yang

membutuhkan penanganan dengan segera untuk mempertahankan hidup dan

mengurangi resiko kematian dan kecacatan. Kegawatdaruratan gigi adalah

gangguan akut kesehatan mulut yang memerlukan perawatan gigi dan atau medis

dengan segera. (Douglass, 2003). Kegawatdaruratan dapat terjadi dalam praktek

dokter gigi. Dokter gigi memiliki tanggung jawab untuk mengenalinya dan

memulai prosedur pertama manajemin kegawatdaruratan dalam upaya untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas ketika kejadian tersebut terjadi (Wilson et

al., 2009).

2.1.2 Jenis-jenis Kegawatdaruratan di Bidang Kedokteran Gigi

Kegawatdaruratan gigi umum seperti: Pulpitis reversible, pulpitis

irreversible, abses, selulitis, pericoronitis, fraktur, luksasi, dan avulsi gigi

membutuhkan perawatan yang berbeda mulai dari penambalan, pemberian

antibiotik, perawatan saluran akar, splint, reimplant dan ekstraksi. (Douglass,

2003). Kebanyakan kegawatdaruratan oral berhubungan dengan nyeri, perdarahan

dan trauma orofasial. (Roberts, et al., 2000).

Tabel 2.1 Kegawatdaruratan Gigi Umum (Alan et al. 2003)


Diagnosis Definisi Presentasi Komplikasi Perawatan

Pulpitis Inflamasi Nyeri saat Abses Penambalan


reversibel Pulpa terkena periapikal,
stimulus selulitis.
panas, dingin,
manis.
Pulpitis Inflamasi Spontan, nyeri Abses PSA, ekstraksi
Ireversible Pulpa tidak periapikal,
terlokalisasi. selulitis.
Abses Infeksi bakteri Nyeri Selulitis Insisi,
terlokalisir terlokalisir, drainase,
Bengkak PSA,
Ekstraksi
Selulitis Infeksi bakteri Nyeri, Penyebaran Pemberian
yang eritema, regional antibiotik,
menyebar bengkak. PSA, ekstraksi
pada jaringan
lunak
Pericoronitis Inflamasi gusi Nyeri, Selulitis Irigasi,
pada gigi yang eritema, Pemberian
erupsi tidak bengkak. antibiotik jika
sempurna muncul
selulitis
Fraktur Gigi Gigi patah/ Pemeriksaan Pulpitis Penambalan,
retak klinis dan PSA, ekstraksi
radiografi
Lukasasi Kegoyangan Pemeriksaan Aspirasi, Splinting,
gigi klinis dan pulpitis PSA, ekstraksi
radiografi
Avulsi Kehilangan Pemeriksaan Ankilosis, Reimplant,
Gigi klinis dan resopsi splinting
radiografi
2.2 Nyeri Orofasial

2.2.1 Definisi Nyeri Orofasial

International Association Study of Pain (IASP) mendefiniskan nyeri

sebagai pengalaman emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan dan

berhubungan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi. Nyeri

orofasial adalah nyeri yang terjadi pada jaringan lunak dan keras di area kepala,

wajah, dan leher. Nyeri orofasial dapat juga didefinisikan sebagai nyeri serta

disfungsi yang memengaruhi transmisi sensorik dan motorik pada sistem nervus

trigeminal (Leeuw and Klasser, 2013; Maulina, Erwan, Anita, 2016, 2016)

2.2.2 Klasifikasi Nyeri Orofasial

Klasifikasi nyeri orofasial dapat didasarkan pada beberapa kriteria, seperti

penyebab utama, durasi nyeri orofasial, ataupun lokasi nyeri orofasial.

Berdasarkan lokasinya, nyeri orofasial dapat berasal dari beberapa lokasi di

wajah, antara lain keluhan karena adanya kerusakan pada gigi, adanya trauma

pada wajah, ataupun nyeri yang dihasilkan karena adanya kanker rongga mulut.

Sedangkan untuk durasi, keluhan nyeri orofasial dapat diklasifikasikan menjadi

nyeri orofasial akut atau nyeri orofasial kronis. Nyeri akut yaitu nyeri yang

dirasakan kurang dari 6 bulan sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang dirasakan

lebih dari 6 bulan. (Maulina, Erwan, Anita, 2016).

Menurut International Association of Study of Pain (IASP), nyeri orofasial

dapat diklasifikasikan menjadi (Merskey dan Bogduk, 2002):

1. Neuralgia pada Kepala dan Wajah


1.1 Trigeminal Neuralgia

1.2 (Trigeminal) Neuralgia Sekunder akibat Lesi pada Sistem Saraf

Pusat

1.3 Trigeminal Neuralgia Sekunder akibat Trauma Fasial

1.4 Trigeminal karena Herpes Zoster Akut

1.5 (Trigeminal) Neuralgia Postherpetic

1.6 Neuralgia Genikulata (N. kranial VII): Sindrom Ramsay Hunt

1.7 Neuralgia Nervus Intermedius

1.8 Neuralgia Glossofaringeal (N. kranial IX)

1.9 Neuralgia N. Laringeal Superior (Neuralgia N. Vagus)

1.10 Neuralgia Oksipital

1.11 Neuralgia Hipoglosal

1.12 Nyeri Glossofaringeal karena Trauma

1.13 Nyeri Hipoglosal karena Trauma

1.14 Sindroma Tolosa-Hunt (Optalmoplegia dengan Nyeri)

1.15 Sindroma SUNCT (Shortlasting, Unilateral, Neuralgiform Pain with

Conjunctival Injection and Tearing)

1.16 Sindroma Raeder (Sindroma Paratrigeminal Raeder) Tipe I dan Tipe

II

2. Nyeri Kraniofasial karena Kelainan Muskuloskeletal

2.1 Acute Tension Headache

2.2 Tension Headache: Chronic Form (nyeri kepala karena kontraksi

otot kulit kepala)


2.3 Nyeri Kelainan Temporomandibular dan Sindroma

Disfungsi/Kelainan Sendi Temporomandibular

2.4 Osteoartritis Sendi Temporomandibular

2.5 Rematoid Artritis Sendi Temporomandibular

2.6 Kelainan Distonik, Diskinesia Fasial

2.7 Crushing Injury pada Kepala atau Wajah

3. Lesi pada Telinga, Hidung, dan Rongga Mulut

3.1 Sinusitis maksilaris

3.2 Odontalgia: Nyeri gigi 1. Karena Kelainan Dentino-Enamel

3.3 Odontalgia: Nyeri gigi 2. Pulpitis

3.4 Odontalgia: Nyeri gigi 3. Periodontitis Periapikal dan Abses

3.5 Odontalgia: Nyeri gigi 4. Nyeri Gigi Tidak Terkait Lesi (Odontalgia

Atipikal)

3.6 Glossodynia and Sore Mouth (Lidah Terbakar dan Disestesia Oral)

3.7 Sindroma Gigi Retak (Cracked Tooth Syndrome)

3.8 Dry Socket

3.9 Penyakit Gingiva, Inflamasi

3.10 Nyeri Gigi tanpa Penyebab yang Jelas

3.11 Penyakit Pada Rahang, Kondisi Inflamasi

3.12 Kelainan dan Nyeri Lain pada Rahang yang Tidak Terspesifikasi

3.13 Frostbite of Face

4. Sindrom Nyeri Kepala Primer, Kelainan Vaskular, dan Sindrom Cairan

Serebrospinal
5. Nyeri pada Kepala, Wajah, dan Leher karena Kelainan Psikologis

6. Kelainan sub-oksipital dan Muskuloskeletal Servikal

7. Nyeri Viseral pada Leher

Klasifikasi lain menurut Okeson (2014) yang secara garis besar membagi nyeri

orofasial menjadi dua aksis sebagai berikut:

1. Aksis I: Kondisi Fisik

1.1 Nyeri Somatik

1.1.1 Nyeri Somatik Superfisial

1.1.2 Nyeri Somatik Profunda

1.2 Nyeri Neuropatik

1.2.1 Nyeri Neuropatik Episodik

1.2.2 Nyeri Neuropatik Non-0episodik

2. Aksis II: Kondisi Psikis

2.1 Mood Disorder

2.2 Kelainan-Kelainan karena Ansietas

2.3 Kelainan-Kelainan Somatoformis

2.4 Kondisi-Kondisi Lain

3. Nyeri Psikogenik

2.2.3 Karakteristik Nyeri (Temporal Behaviour)

Berdasarkan karakteristik temporal, maka nyeri orofasial dapat bersifat

intermiten (nyeri timbul, namun terdapat periode dimana nyeri hilang sama sekali
dan pasien merasakan periode bebas nyeri sebelum akhirnya kembali terasa oleh

pasien) dan kontinu (nyeri timbul dan terasa terus menerus oleh pasien tanpa ada

periode bebas nyeri) (Okeson, 2014; Sharaf, 2008).

2.2.4 Durasi Nyeri

Durasi nyeri orofasil dapat bervariasi dari beberapa detik (dideskripsikan

dengan kata “sesaat”) beberapa menit hingga beberapa jam (dideskripsikan

dengan kata “lama”) dan nyeri yang berlangung dari satu hari ke hari berikutnya

(dideskripsikan dengan kata “memanjang”) (Okeson, 2014).

2.2.5 Lokalisasi Nyeri

Deskripsi lokalisasi nyeri yang dirasakan oleh pasien pada proses anamnesis

dibagi menjadi (Okeson, 2014):

1. Terlokalisasi : apabila pasien dapat menunjukan area nyeri yang

dirasakan dengan jelas dan disertai batasan yang jelas

2. Difus : apabila lokasinya terasa samar

3. Menyebar : apabila nyeri berubah dengan bertahap

4. Menusuk : apabila nyeri terasa memburuk

5. Meluas : apabila nyeri melibatkan struktur anatomi disekitarnya

6. Berpindah : apabila nyeri berpindah dari satu lo0kasi ke lokasi lainnya


2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

2.2.7 Reseptor Nyeri

2.2.8 Mekanisme Nyeri

2.2.9 Skala Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri dapat dievaluasi dengan menggunakan skala numerik

visual. Terdapat beberapa skala numerik yang lazim digunakan untuk

mengevaluasi intensitas nyeri, seperti Visual Analogue Scale (VAS) atau Numeric

Rating Scale (NRS) (Maulina, Erwan, Anita, 2016)

1. Visual Analogue Scale (VAS)

Visual Analogue Scale merupakan metode pengukuran skala linier yang

menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami

seorang pasien. Metode ini menilai nyeri dengan skala kontinu terdiri dari gasir

horisontal atau vertikal. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau

peryataan deskriptif, biasanya panjangnya 10 cm (100 mm), skor nol menunjukan

tidak nyeri dan skor 100 nyeri hebat. Pengukuran nyeri dilakukan dengan

menganjurkan pasien untuk memberikan tanda pada garis lurus yang telah

disediakan dan memberikan tanda titik dimana skala nyeri pasien dirasakan.

Selanjutnya diinterprestasikan dengan menggunakan penggaris, lalu lihat dimana

skala nyeri pasien berada. Kelebihan dari metode pengukuran VAS ini adalah

pengukuran memerlukan waktu kurang dari 1 menit. Adapun kelemahannya

adalah dalam interprestasi harus melakukan pengukuran ulang dengan penggaris,


tidak bisa digunakan untuk pasien dengan gangguan kognitiv, dementsia dan

pasien dengan penurunan kesadaran. (Hawker, 2011; Evan, 2010; Powel , 2010).

Gambar : Visual Analogue Scale


(Sumber: Evan, 2010 )

2. Numeric Rating Scale (NRS)

Numeric Rating Scale merupakan alat ukur nyeri berbentuk garis horizontal

sepanjang 10 cm, 0 menunjukan tidak nyeri dan 10 nyeri sangat hebat.

Pengukuran nyeri dilakukan dengan menganjurkan pasien untuk memberikan

tanda pada angka yang ada pada garis lurus yang telah disediakan. (Hawker, 2011;

Evan, 2010; Powel , 2010).

Gambar Numeric Rating Scale


(Sumber: The National Initiative on Pain Control, 2010 )
2.2.10 Manajemen Nyeri

2.3 Aktivitas Fungsional Rahang

2.4 Infeksi Odontogenik

Definisi

Etiologi

Mekanisme

Klasifikasi

Penatalakasanaan

The eight steps in the management of odontogenic infections are as follows:

1. Determine the severity of infection. 2. Evaluate host defenses. 3. Decide on the

setting of care. 4. Treat surgically. 5. Support medically. 6. Choose and prescribe

antibiotic therapy. 7. Administer the antibiotic properly. 8. Evaluate the patient

frequently.

2.5 Trauma Dentoalveolar

3 Definisi

4 Etiologi

5 Mekanisme

6 Penatalakasanaan
Daftar Pustaka
de Leeuw R., Klasser G.D. 2013.Guidelines for assessment, diagnosis, and

management. 5th ed. Illinois: Quintessence Publishing Co, Inc;

Bell W.E. 1989. Orofacial pains classification diagnosis and Management. 4th Ed.

Year Book Medical. USA.

Evan, R. M. (2010) Pathophysiology of Pain and Pain Assessment. American Medical

Association. 1-12.

Merskey H.M., Bogduk .K., 2002. Classification of Chronic Pain: Description of

Chronic Pain Syndromes and Definitions of Pain Terms. 2nd ed. Seattle: IASP

Press

Hawker, G, A., Mian, S., Kendzerska, T., Frech, M. (2011). Measures of Adult Pain.

American College of Rheumatology.240– 252. doi:10.1002/acr.20543

Powell, R. A., Downing, J., Ddungu, H., & Mwangi-powell, F. N. (2010). Chapter 10 Pain

History and Pain Assessment. International asociation for the study of pain/ IASP.12 (67-

78)

Anda mungkin juga menyukai