Anda di halaman 1dari 26

DAMPAK KORUPSI TERHADAP BIROKRASI

PEMERINTAHAN

KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang

Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada

kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Dampak

Birokrasi Pemerintahan” mata kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi di

Politeknik Kesehatan Denpasar.

Penyusunan makalah ini berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak.

Untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada

rekan-rekan yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena

keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan

kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan

makalah ini.

“Om Santih, Santih, Santih, Om”

Denpasar, 9 Maret 2015


Penulis

DAFTAR ISI

Cover ....................................................................................................................... 1

Kata Pengantar ........................................................................................................ 2

Daftar Isi...................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.........................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................5

1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................5

1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................................5

1.5. Metode Penulisan ....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Birokrasi ............................................................................... 6

2.2. Fungsi Birokrasi .................................................................................... 7

2.3. Dampak Korupsi terhadap pemerintahan .............................................. 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 25

3.2 Saran ...........................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korupsi merupakan suatu tindakan yang dapat merugikan Negara .Banyak

dampak negative yang disebabkan oleh korupsi. Salah satunya Dempak Ekonomi

,Indonesia saat ini sangat dirugikan dalam hal keuangan dari tindakan korupsi

para petinggi-petinggi Negara karena sistem hokum di Indonesia yang kurang

tegas diterapkannya.

Kondisi birokrasi di Indonesia menyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi

dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna

mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru

dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik

pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral

dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah

berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan

fasilitas, program dan dana negara.

Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses

pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi. Berdasarkan pemaparan

tersebut kami selaku kelompok lima akan membahas mengenai pokok bahasan

Dampak Ekonomi Reformasi Birokrasi.

3
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Pengetian Birokrasi ?

1.2.2 Apa Fungsi Birokrasi?

1.2.3 Bagaimana dampak korupsi terhadap Demokrasi Pemerintahan ?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1 Mampu memahami dan menjelaskan Pengertian Birokrasi

1.3.2 Mampu memahami dan menjelaskan Fungsi Birokrasi

1.3.3 Mampu memahami dan menjelaskan dampak korupsi terhadap

Demokrasi Pemerintahan

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini Mahasiswa dan pembaca memperoleh

pengetahuan tambahan mengenai pokok bahasan Dampak Birokrasi Pemerintahan

dalam mata kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi.

1.5. Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini Kami menggunakan metode penulisan yaitu

penelusuran IT. Pada metode penelusuran IT, kami mencari tambahan refrensi

pada internet untuk melengkapi data-data yang telah kami peroleh pada literature.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Birokrasi


Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan

oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang akhir-

akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan leglistik

(Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar

(1996) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu:

Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat

administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang birokrasi,

dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW). Birokrasi dipandang sebagai

bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah pegawai yang besar. Konsep

inilah yang sering disebut Parkinson Law.

Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan

maksud mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut

Orwelisasi. Dengan demikian maka Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai

secara diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik

temu):

1. Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk

mencapai tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif

ini maka tujuan suatu organisasi (privat maupun publik) lebih mudah

tercapai.

5
2. Secara Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh,

mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah

sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan

struktural (structural static), tatacara yang berlebihan (ritualism) dan

penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation)

serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan

pendapat (constrain of dissent). Birokrasi seperti ini menurut Marx

bersifat parasitik dan eksploitatif.

2.2 Fungsi Birokrasi

Menurut Tjokrowinoto, sebagaimana dikutip oleh Tamin, menyatakan ada 4

(empat) fungsi birokrasi:

a. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan

kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi

jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu.

b. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran informasi, visi, dan

profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.

c. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan

kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya

di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah.

d. Fungsi Entrepreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan

inovahf dan non rutine, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang

ideal, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai

tujuan.

6
Dalam pelaksanaannya kinerja birokrasi pemerintah tersebut diperlukan

organisasi pemerintah yang solid dan kinerja tinggi. Demikian juga termasuk

aparatur negaranya masing-masing mau tidak mau harus mampu berlari dengan

lompatan berkecepatan tinggi secara terukur, rasional dan realitis dalam

keseluruhan kreatifitas dan inovasinya.

2.3 Dampak Korupsi terhadap Demokrasi Pemerintahan

2.3.1. Pelayanan publik menjadi tidak efisien

Korupsi pada birokrasi level bawah jumlahnya banyak tetapi nilai tidak

begitu besar, tetapi sangat terasa karena langsung menyangkut masyarakat

termasuk masyarakat kecil yang memerlukan pelayanan sama. Kegiatan korupsi

ditubuh birokrasi sudah menjalar kesemua jenjang/level birokrasi apalagi yang

berhubungan langsung dengan pelayanan kepada masyarakat dan perijinan,

sehingga pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien. Seluruh pelayanan public

dilakukan secara berbelit-belit dan diulur-ulur agar mendapat celah dalam

melakukan tindak korupsi. Masyarakat pun merasa frsutasi dan memilih untuk

membayar lebih (menyuap) agar mendapat pelayanan terdepan. Hal tersebut tentu

sangat merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang

sesuai tanpa membayar ekstra. Contohnya adalah masalah administrasi. penyakit

administrasi di sini adalah segala bentuk korupsi, penyalahgunaan jabatan,

penyelewengan kekuasaan, ketidak adilan pelayanan publik, atau berbelit-belitnya

pelayanan dalam birokrasi yang semua itu disebabkan oleh kepentingan-

kepentingan pribadi aparatur maupun ketidak mampuan mereka dalam mengelola

administrasi publik. Penyakit adminsitarsi terdapat dalam setiap interaksi antara

7
birokrasi dengan masyarakat umum, sejak jenjang paling atas sampai dengan

jenjang paling bawah. Praktek korupsi dalam jajaran birokrasi dan pejabatan

negara bervariasi dan tergantung levelnya. Kegiatan-kegiatan yang rawan korupsi

diantaranya:

1. Pelayanan yang bersifat administratif, surat-surat pengantar atau

rekomendasi seperti untuk pengurusan KTP/KK, Akta Kelahiran, Kartu

Kuning, SKCK (dulu Kelakuan Baik), rekomendasi ijin rame-rame,

keterangan tanah dan mutasi tanah, Serifikasi Tanah dan sebagainya.

Bahkan dibeberapa daerah Kepala Desa menentukan besaran tertentu/M2

untuk jatah Kepala Desa setiap terjadi mutasi tanah di Desanya diluar

biaya saksi PPAT.

2. Pelayanan perijinan seperti Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Tanda

Daftar Perusahaan (TDP), Surat Keterangan Domisili Usaha, Rencana

Penggunaan Lahan (RPL) dan Rencana Tapak (site plan), Analisa Dampak

Lingkungan/UKLUPL, Ijin Lokasi/Pembebasan Tanah, Ijin Mendirikan

Bangunan (IMB), Ijin Lingkungan (HO), Ijin Pengunaan Air Bawah Tanah

(Sumur Pompa Dalam) dan sebagainya.

3. Bantuan-bantuan langsung kepada masyarakat baik untuk sarana maupun

prasarana, rumah ibadah, bantuan kepada lembaga-lembaga

kemasyarakatan (bansos). Lebih diarahkan kepada kelompok-kelompok

yang mempunyai hubungan tertentu terutama berkaitan dengan sosial

politik.

2.3.2. Pelayanan publik yang mengecewakan dan terabaikan

8
Banyak aparat birokrasi melakukan korupsi. Salah satunya adalah korupsi

waktu yang merugikan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Aparat

pelayanan yang ideal seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan lain

seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu

tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan

dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar

tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.

Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk

diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakelasan pembagian wewenang, inkonsistensi

pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang

memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat

pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas

pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa

fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-

tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas

pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar

tugas pelayanan.

Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu.

Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada

masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan

oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas

pelayanan langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa

aparat birokrasi di tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan

tingkatan pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

9
2.3.2. APBN menurun, hutang Negara meningkat

Akibat dari adanya korupsi pada birokrasi pemerintahan, banyak pejabat-

pejabat yang melakukan tindak korupsi. Akibat dari itu, hutang-hutang negara pun

meningkat. Banyak terjadinya kesenjangan ekonomi.

Kita ambil saja sebagai contoh pada masa pemerintahan Susilo

Bambang Yudoyono. Pada saat itu hasil dari korupsi itu sendiri menjadi kabar

buruk bagi Indonesia yang sekitar 16 persen APBN-nya ditutup dengan

pinjaman luar negeri, termasuk penjualan obligasi. Mengingat faktor country

risk, naiknya bunga obligasi Pemerintah AS membuat Pemerintah Indonesia

harus menjual obligasi/SUN dalam dollar AS di pasar modal dengan bunga

lebih tinggi lagi agar tetap laku.

Pemerintah tampak percaya diri. Beban utang belum dianggap

ancaman. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi

ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja

asing. Meningkatnya PDB Indonesia tak hanya dibentuk oleh kinerja orang

Indonesia, tetapi juga peran asing sehingga balas jasa faktor produksi pada

pihak asing menyita PDB Indonesia. Gambaran kemajuan ekonomi Indonesia

menjadi bias. Pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, tetapi jumlah pengangguran

dan kemiskinan cenderung statis.

Menurunnya rasio utang terhadap PDB diikuti meningkatnya stok utang. Tahun

2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun. Tahun 2008

10
menjadi Rp 1.486 triliun, naik 15 persen dalam empat tahun.

Utang baru

Anatomi APBN terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, dan PNBP.

Utang dan pengeluaran berunsur biaya rutin (pembayaran gaji PNS), biaya

pembangunan, bagian daerah (dana alokasi khusus dan dana alokasi umum),

pembayaran bunga utang, dan pengembalian utang.

Dari segi APBN, beberapa tahun terakhir ini, penerimaan negara di luar

utang sudah lebih kecil dari biaya rutin dan pengeluaran pembangunan. Artinya

untuk menambah biaya rutin dan pembangunan, pemerintah membuat utang

baru. Untuk mengangsur utang lama dan bunga utang, pemerintah membuat

utang baru.

Di sini ada dua aspek berbahaya: utang baru selalu lebih besar dari

angsuran utang lama. Akibatnya, utang kita terus meningkat. Kedua, utang

baru pemerintah berbunga lebih tinggi (11 persen/tahun), berjangka lebih

pendek (5-10 tahun), dan dari pasar modal. Bunga utang pada masa lalu amat

rendah (1-3 persen/tahun), berjangka panjang (di atas 20 tahun), bersifat

antarpemerintah, dalam skema bilateral atau multilateral.

Tak relevan penjelasan Menteri Keuangan yang membandingkan situasi

kita dengan Jepang mengingat Jepang memiliki kinerja ekonomi amat maju,

aset ekonomi produktifnya tersebar di seluruh dunia, utangnya dalam yen dan

dari dalam negeri, praktis tanpa utang keluar negeri. GNP Indonesia lebih kecil

11
dari PDB. Negara-negara berekonomi kuat, GNP-nya lebih besar dari PDB.

Menyadari ada kebutuhan berutang, mestinya IMF yang telah

direformasi menjadi alternatif, bukan mengambil pinjaman berbunga tinggi.

IMF menawarkan pinjaman non-conditional dengan bunga murah, hanya 2,0

persen/tahun. Meksiko telah memanfaatkan 47 miliar dollar AS. Brasil

memakai dana IMF 35 miliar dollar AS, Korsel dan Singapura dalam antrean.

Menghambat Investasi Dalam/Luar Negeri

Tindak korupsi sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), beliau

mempertegas untuk melakukan beberapa upaya investasi. Karena keuangan

negara pada saat itu mulai melemah dan sangat mengkhawatirkan. Ini pun

berdampak pada pertumbuhan ekonomi di negara kita. Banyak penduduk yang

mengalami kesenjangan sosial.

2.3.4. Menghambat Investasi dalam/luar negeri

Douglas mengemukan jenis-jenis kebijakan pemerintah yang rentan

terhadap penyelewengan administratif anata lain:

1. Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi

syarat-syarat yang dapat menguntungkan para kontraktor.

2. Ketika pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga

mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai

imbalan pengurangan pajak.

12
3. Penetapan tarif umum industri-industri termasuk seperti kereta api, listrik

dan telepun, juga harga-harga komoditas tertentu. Ini mendorong

perusahan-perusahaan besar dan konglomerat untuk mencoba

mengendalikan tarif dan harga.

4. Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak yang

boleh memasuki suatu indistri misal pertambangan dan peleburan logam,

pertelevisian, atau juga angkutan umum

5. Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk

pabrik atau peralatan jangka pendek

6. Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki

kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah

7. Ketika subsidi pemerintah dibayar untuk proyek-proyek umum, baik

secara terbuka maupun secara diam-diam.

2.3.5. Birokrasi terkesan bukan milik masyarakat untuk memperoleh

lapangan kerja

Dewasa ini korupsi terjadi bukan hanya ada dilingkungan birokrasi dan

eksekutif saja, baru-baru ini Mentri dari Kabinet kita ditangkap KPK, beberapa

Gubernur dan Bupati/Walikota, Dirjen dan Direkturnya, Kepala Dinas beserta

stafnya. Bahkan pimpinan perusahaan Swasta yang berkolusi dengan pejabat-

pejabat tersebut turut terlibat, sampai pada pimpinan Partai Politik.Korupsi

merambah pula pada jajaran lembaga pemegang kekuasaan legislatif banyak

13
anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang mewakili

berbagai partai politik telah divonis Pengadilan bersalah melakukan tindakan

korupsi. Termasuk pada orang-orang yang berada pada lembaga penegakkan

hukum Polisi, Jaksa dan Hakim bahkan sampai pada Ketua Mahkamah Konstitusi,

yang merupakan pimpinan lembaga Tinggi Negara dalam rangka penegakkan

keadilan dan kebenaran.

Juni Safrien Jahya (2013,7) menyatakan bahwa : Pada hakekatnya,

korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai

akibat, antara lain pada anggaran belanja negara yang sumbernya sudah langka

dan menjauh dari pembangunan. Korupsi juga menghambat investasi, karena

meningkatkan berbagai risiko bagi investor, baik yang berasal dari dalam maupun

dari luar negri. Gambaran diatas menunjukan betapa merugikannya kegitan

korupsi bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas pelayanan dari pemerintah.

Disisi lain begitu merugikan masyarakat untuk memperoleh lapangan kerja dan

penghasilan dari kegiatan investasi sektor swata.

Investasi sektor swasta memiliki multiplier effect yang besar terhadap

daerah bukan hanya terbukanya lapangan kerja baru, bertambahnya masyarakat

yang memilikipenghasilan, tetapi tumbuhnya kesempatan berusaha yang

berkontribusi terhadap pendapatan negara/daerah juga. Rt. Hon Clare Shot MP

(200, 3) menyampaikan hasil jaja pendapat yang dilakukan World Bank di 40

negara yang penduduknya miskin yang hasilnya menunjukan bahwa korupsi telah

menimbulkan rasa kesal dan frustasi, karena korupsi menyebabkan segi-segi

pelayanan masyarakat (seperti jaminan kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan

bahan makanan yang cukup) menjadi terabaikan. Bahkan selama korupsi

14
berlangsung berarti kesejahtraan masyarakat tidak akan tercapai sampai kapanpun.

Untuk itu dalam menekan korupsi dijajaran birokrasi melelui reformasi birokrasi

sangat diharapkan. Reformasi birokrasi dalam lingkungan eksekutif/pemerintahan

nampaknya tidak cukup, karena setiap saat birokrasi dilembaga legislatif dan

yudikatifpun berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat,

sektor swasta dan lembaga-lembaga kekuasan lainnya. Karena itu perlu pula

dikembangkan kesadaran dari masyakat untuk tidak permisif terhadap usaha-

usaha yang dilakukan birokrasi yang mengarah pada kegiatan korupsi. Demikian

halnya sektor swasta, sebaiknya tidak lagi memanfaatkan birokrasi untuk

berkolusi dalam mendapat fasilitas kegiatan usahanya atau berkooptasi dengan

pemegang kekuasaan baik yang ada dalam jajaran eksekutif, legislatif maupun

yudikatif. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam usaha pemberantasan

Korupsi yaitu reformasi dilembaga legislatif, sementara lembaga yudikatif sudah

ditrager oleh adanya KPK. Karena birokrasi berhubungan langsung dengan

lembaga tersebut terutama pada saat pembuatan kebijakan dalam bentuk aturan

(Perundang-undangan) maupun dalam menyusun APBN/APBD, hearing evaluasi

pelaksanaan anggaran perubahan anggaran atau tambahan (ABT). Kewajiban

birokrasi sebagai pelaksana kebijakan publik harus mengutamakan kepentingan

masyarakat, memiliki moral yang tangguh, integritas dan kompeten yang mampu

melahirkan profesionalisme, berpegang teguh pada filosofi prinsip kehati-hatian

yaitu amanah dan transparan dalam setiap langkah dan perbuatan. Perlu diingat

bahwa negara kita adalah negara hukum, karena itu kebijakan harus berlandaskan

peraturan perundang-undangan, kepatutan dan adil.

15
2.3.6. Birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun milik yang

berkuasa

Menurut Muhammad (2007), tantangan reformasi birokrasi meliputi tiga

masalah pokok, yaitu pertama, faktor internal yang meliputi ketidakmampuan

birokrasi mengubah dirinya menjadi lebih baik. Kedua, faktor eksternal berkenaan

dengan tingginya intervensi politik yang membuat birokrasi kehilangan

konsentrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Ketiga, faktor keraguan publik

terhadap efektivitas kebijakan yang direncanakan dan diimplementasikan oleh

birokrasi.

Faktor pertama disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam

memperbaharui kinerjanya sesuai perkembangan lingkungan. Tingginya dinamika

masyarakat dalam menuntut pelayanan yang lebih baik tak serta merta diimbangi

oleh kemampuan birokrasi dalam mengembangkan kecerdasan, kecakapan dan

keterampilan dalam pengelolaan pemerintahan. Pola-pola pendekatan dan

pelayanan kepada masyarakat secara nyata menunjukkan indikasi perilaku

traditional. Pelayanan birokrasi disandarkan pada hubungan kekeluargaan yang

bersifat emosional, jauh dari karakter ideal birokrasi, yaitu suatu hubungan yang

bersifat impersonal. Harus diakui bahwa perbedaan kultur di dunia barat dan timur

merupakan kenyataan yang harus diakui dalam pemberian pelayanan pada

masyarakat.

16
Menyandarkan pelayanan dengan meletakkan prinsip impersonalitas

secara kaku sebagaimana dimaksud Weber tidaklah menciptakan rasa keadilan

yang memadai. Setiap masyarakat yang dilayani terdiri dari masyarakat yang

mampu dan tak mampu secara fisik dan non fisik. Mereka yang secara fisik tak

mampu, tentu saja membutuhkan pendekatan untuk dilayani secara jemput-bola.

Sedangkan mereka yang tak mampu secara non fisik, seperti masalah finansial,

harus diberikan insentif yang seimbang agar pelayanan tetap diberikan secara

merata. Sebaliknya, menyandarkan pelayanan dengan meletakkan hubungan

personalitas secara keseluruhan sama halnya dengan menciptakan diskriminasi

bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki akses secara langsung pada

pemerintah, sebab hanya mereka yang dikenal secara personal saja yang akan

dilayani. Ketidakmampuan birokrasi memahami pluralitas dalam masyarakat

seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan. Dalam konteks ini

diperlukan birokrasi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat,

serta mampu menjawab setiap persoalan tidak saja secara struktural, namun

fungsional.

Pendekatan struktural dalam pelayanan seringkali berhadapan dengan

aturan dan norma yang berlaku, sehingga sulit menyelesaikan masalah secara

tuntas. Pola penyelesaian masalah dengan menyandarkan semua pada aspek

regulasi tak selalu membawa hasil maksimal. Masyarakat seringkali merasa

frustasi karena pelayanan mereka mengalami kebuntuan hanya karena

ketidakmampuan birokrasi saat menerjemahkan aturan yang berlaku. Sebaliknya,

kelompok birokrat terkesan seperti robot yang kehilangan rasa kemanusiaan

ketika semua perkara diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku.

17
Persoalaannya, bagaimana jika tuntutan masyarakat melampaui aturan itu sendiri

yang kadangkala datang terlambat, atau bahkan terjadi kekosongan regulasi.

Apakah dengan alasan yang sama pemerintah mesti menolak pelayanan kepada

masyarakat? Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan fungsional yang dapat

menyelesaikan hingga ke akar masalah. Dalam konteks ini birokrasi seringkali

menyimpan dan merawat masalah untuk kepentingan tertentu, tidak berupaya

menyelesaikan masalah secara tuntas. Pendekatan fungsional dalam pelayanan

merupakan pola pendekatan untuk mengimbangi pendekatan struktural yang

terkadang menghambat, berbelit-belit, membutuhkan waktu lama serta

mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Perlu diingat bahwa melandaskan semua

pelayanan secara fungsional juga tidak tepat, sebab semua pelayanan pada

dasarnya membutuhkan pelembagaan formal sehingga dapat diawasi dan

dikendalikan. Dewasa ini, pola pendekatan fungsional mengalami banyak

kemajuan, khususnya di level pemerintah pusat. Lahirnya badan, lembaga dan

komisi yang bersifat mezzo-struktur disamping lembaga formal yang telah ada,

merupakan cerminan dari pola penyelesaian masalah dengan menggabungkan

pendekatan struktural dan fungsional. Sekalipun demikian bukan berarti tanpa

catatan, lembaga-lembaga tersebut tidak saja membebani anggaran birokrasi

pemerintah secara umum, namun menimbulkan overlap serta kurang produktif.

Faktor kedua yang menjadi tantangan reformasi birokrasi adalah tingginya

intervensi politik dalam birokrasi. Politisasi birokrasi mendapatkan ruang ketika

kelompok elit partai politik memanfaatkan momentum pemilukada untuk

menggerakkan birokrasi sebagai mesin politik sekaligus aktivis politik.

Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh Dwiyanto (2011), birokrasi mengalami

18
pemecahan konsentrasi, sekaligus pada saat yang sama gagal melayani

masyarakat sesuai misi yang dipikulnya. Pecahnya konsentrasi birokrasi

disebabkan sirkulasi kepala daerah setiap lima tahun sekali. Mereka yang dominan

bersandar pada calon incumbent seringkali mengalami disorientasi saat kalah

dalam kompetisi pemilukada. Politisasi birokrasi menciptakan hubungan antara

eksekutif dan legislatif mengalami dinamisasi serius kalau tidak ketegangan yang

berkesinambungan. Akibatnya, birokrasi yang mengambil jalan kompromi pada

akhirnya turut mempersubur tingkat kebocoran anggaran baik di pusat maupun

daerah, karena melakukan persengkokolan kolektif. Indikasi tersebut bisa

diketahui lewat ramainya kebocoran anggaran APBN oleh Badan Anggaran, serta

bobolnya APBD pada saat perencanaan dan penetapannya. Birokrasi yang

mengambil jarak secara tegas dengan kelompok politisi justru mengalami

ketegangan karena rentan kehilangan jabatan. Sisanya kelompok birokrat yang

mengambil sikap apatis terhadap dinamika yang terjadi dalam setiap rotasi

pemerintahan. Intervensi politik terhadap birokrasi telah merangsang nafsu aparat

untuk membangun komitmen rahasia dengan para elit dalam masa sirkulasi

kekuasaan. Komitmen tersebut berupa transaksi politik yang berujung pada

persoalan siapa dapat apa, berapa banyak dan kapan. Dalam konteks ini terbangun

koalisi efektif antara eksekutif dan legislatif dalam pembobolan anggaran.

Kekuasaan yang besar membuat birokrasi terombang-ambing serta sulit

menentukan netralitasnya sebagai pelayan masyarakat. Semua itu di dukung oleh

kemampuan kepala daerah dalam memobilisasi sumber daya melalui sebagian

anggota tim sukses yang berasal dari jajaran birokrasi. Mobilisasi sumber daya

dilakukan bahkan secara terang-benderang melalui rekrutmen pegawai

19
berdasarkan hubungan primordial dan patronase, bukan merit sistem apalagi

kompetensi. Keadaan ini jelas mengembangkan perilaku koruptif dalam birokrasi

sebagai konsekuensi dari hubungan yang bersifat transaksional. Akibatnya,

birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun elit berkuasa, yang dapat dilihat

dari sikap dan orientasinya yang cenderung melihat keatas, daripada melihat

kebawah.

2.3.7. Keraguan Masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan

oleh Birokrasi

Birokrasi pada pemerintahan daerah sebagai penyelenggara pelayanan

publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi

sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta

kinerja birokrasi yang tidak inovatif dan responsive, cenderung kaku oleh aturan

yang ada bukan pada lingkungan masyarakat. Hal ini sangat memerlukan

perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan

public itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang

diperlukannya

Kecenderungan tersebut diatas memang saat ini selalu menyertai

pelaksanaan pelayanan public di pemerintahan daerah,sebagian besar pelayanan

public di saat ini masih memiliki kekompleksan sendiri dalam menghadapi

persoalan tersebut. Upaya reformasi birokrasi yang terus digenjot untuk kemudian

menjawab persoalan tersebut, saat ini malah diperhadapkan dengan etika aparatur

birokrasi dan terutama adalah dimiliki oleh aparatur daerah, dalam memenuhi

fungsinya dalam pelayanan public yang harus bertanggung jawab secara hukum,

20
kemudian disisi lainnya memenuhi fungsinya untuk melakukan pelayanan public

yang responsive, efektif,efektif dan efisien khususnya di daerah sebagai street

level bureaucracy.

Salah satu kendala dalam pelayanan public terutama di daerah saat ini,

terkait kewenangan yang dimiliki aparat yang langsung bersentuhan dengan

pelayanan pemenuhan kebutuhan public. Karena itu kemudian, terkadang aparatur

tingkat bawah atau bias disebut street level bureaucracy diperhadapkan oleh

aturan yang ada untuk menyediakan pelayanan public, yang tuntutannya sangat

beragam dari masyarat, sehingga cerminan pelayanan public model demikian

cenderung kurang fleksibel, tidak responsive dan cenderung kaku dengan aturan

yang ada. Padahaal pelayanan harus segera dilakukan terhadap berbagai

karakteristik permasalahan masyarakat. Kecenderungan ini menyebabkan

keraguan masyarakat terhadap setiap kebijakan.

2.3.8. Meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa

dirugikan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan.

Rendahnya pendidikan serta kurangnya analisis terhadap setiap kebijakan

yang diproduk, menjadikan birokrasi tak mampu membuat kebijakan yang efektif

dalam menyelesaikan masalah. Tingginya resistensi yang ditandai oleh

meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa dirugikan

oleh setiap kebijakan yang ditetapkan menunjukkan dua alasan diatas. Keraguan

masyarakat dan pihak swasta terhadap efektivitas kebijakan birokrasi disebabkan

selain oleh dua faktor diatas, juga masalah kredibilitas birokrasi. Rendahnya

kredibilitas birokrasi dalam mendesain suatu kebijakan dapat diketahui dari

21
rendahnya keterlibatan pakar dalam bentuk asistensi, ketiadaan naskah akademik

terhadap rancangan peraturan (khususnya peraturan daerah), serta rendahnya

konsultasi publik terhadap rancangan peraturan yang dibuat. Keseluruhan indikasi

tersebut bermuara pada rendahnya kualitas rancangan kebijakan sehingga

menimbulkan resistensi dari para pemangku kepentingan (stakeholders).

Kelemahan rancangan kebijakan pada tahap perencanaan hingga tahap

implementasi tak serta merta membuat birokrasi melakukan evaluasi yang

berkelanjutan, namun berusaha menutupi kelemahan kebijakan tersebut. Sikap

ekslusivisme dan seakan tau semua masalah mendorong birokrasi pada perilaku

arogan ketika merespon setiap tuntutan masyarakat. Disamping itu, keraguan

masyarakat terhadap efektivitas kebijakan birokrasi tumbuh disebabkan oleh

melimpahnya program yang dijanjikan namun kehilangan fokus saat

implementasi. Akibatnya, lebih banyak program yang bersifat list service,

daripada realitas yang diharapkan. Masyarakat terkadang merasa muak terhadap

kelambanan dan kerakusan birokrasi sebagaimana disinyalir oleh Barzelay (1982)

dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’. Pada akhirnya, keraguan masyarakat

terhadap reformasi birokrasi secara umum tumbuh disebabkan oleh rendahnya

kepercayaan pada sistem dan sumber daya manusianya. Buruknya sistem dalam

pelayanan birokrasi membuat masyarakat tak merasa jelas dalam penyelesaian

masalahnya. Demikian pula buruknya perilaku birokrasi dalam hal pelayanan

membuat masyarakat tak percaya apa yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah.

Gambaran ini setidaknya disinggung oleh Osborne & Gaebler (1992) dalam

‘Reinventing Government, bahwa masalah pemerintah terkadang bukan pada apa

22
yang mereka kerjakan, namun bagaimana pelayanan tersebut dapat dilaksanakan

dengan baik.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Korupsi berdampak merugikan pada berbagai aspek, salah satunya

berdampak terhadap birokrasi pemerintahan di suata Negara. Birokrasi dipandang

sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan

masyarakat. Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara diametral

(bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu).Secara

Positif, birokrasi diartikan sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai

tujuan tertentu. Secara Negatif, birokrasi diartikan sebagai alat untuk memperoleh,

mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang

penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural

static), tatacara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion

goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri

terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Birokrasi sendiri memiliki

fungsi instrumental, politik, katalis public interest, dan Entrepreneurial.

Dampak korupsi terhadap birokrasi pemerintahan antara lain: pelayanan

yang tidak efisien, pelayanan public yang mengecewakan dan terabaikan, APBN

menurun dan hutang Negara meningkat, menghambat investasi dalam dan luar

negeri, merugikan masyarakat untuk memperoleh lapangan kerja, birokrasi

terkesan bukan milik masyarakat namun elite yang berkuasa, keraguan

masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi, serta

meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa dirugikan

oleh setiap kebijakan yang ditetapkan.

24
3.2 Saran

Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar para pembaca tidak
melakukan hal-hal yang termasuk ke dalam tindak korupsi yang tentunya akan
merugikan banyak kalangan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Parliamentary.2010.Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik.(Online).Available:


http://kebebasaninformasi.org/2010/10/26/kinerja-birokrasi-pelayanan-publik/
(diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 17.00 WITA)
Suryana.Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Mengikis Korupsi di Lingkungan
Birokrasi.(Online).Available: http://digilib.unpas.ac.id/download.php?id=4225
(diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 17.15 WITA)
Butuni,Al.2010. Diskresi Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik Peluang
danTantangan.(Online).Available:
http://www.academia.edu/4834674/DISKRESI_PEMERINTAH_DAERAH_DAL
AM_PELAYANAN_PUBLIK_PELUANG_DAN_TANTANGAN (diakses pada
tanggal 10 Maret 2015 pukul 10.15 WITA)
(Online) Available :
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11207&coid=1&caid=26&gid=
2 (diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 11.42 WITA)

Anonym. Birokrasi Merugikan Masyarakat Untuk Memperoleh Lapangan Kerja.


OnlineAvailable:
http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php%3Fmod%3Dbrowse%26op%3Dread%26id%3D
jbptunpaspp-gdl-suryana-4618 (Diakses pada tanggal 9 Maret 2015, pukul 23.30
WITA)

Anonym. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik. Online Available:

https://www.scribd.com./doc/120239121/Birokrasi-dalam-Era-Keterbukaan-
Informasi-Publik-pdf (Diakses pada tanggal 9 Maret 2015, pukul 23.00 WITA)

26

Anda mungkin juga menyukai