Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

BRONKIEKTASIS

Oleh :

Nur Syazwani Abu Bakar 1010314004

Delila Maharani 1310312020

Izzatul Azmi 1310311044

PRESEPTOR :

Dr. dr. Masrul Basyar, SpP (K) FISR

dr. Yessy Susanty Sabri, SpP (K) FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL

PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bronkiektasis merupakan suatu penyakit saluran napas yang bersifat kronik dan

permanen yang ditandai dengan pelebaran dan kerusakan pada bronkus ireversibel

yang mengarah kepada keadaan infeksi saluran napas berulang.1,2 Bronkiektasis

bukan merupakan penyakit tersendiri, melainkan merupakan hasil dari berbagai

proses dan memiliki etiologi yang bervariasi.3

Diperkirakan 30 hingga 35 % kasus diawali infeksi paru yang dapat merusak

bronkus. Selain pneumonia, infeksi lain, seperti batuk rejan (pertusis) atau

tuberkulosis, dapat menyebabkan kerusakan bronkial. Meskipun infeksi yang

mengawali biasanya berat, bronkiektasis juga dapat terjadi dengan infeksi minimal.

Individu dengan sistem kekebalan tubuh yang tidak memadai berisiko tinggi terhadap

infeksi bronkial kronis, yang dapat merusak saluran pernapasan dan mengarah pada

kondisi bronkiektasis.4

Insiden bronkiektasis pada populasi tidak diketahui secara luas karena gejala yang

bervariasi dan diagnosis jarang ditegakkan. Di New Zealand prevalensi yang

dialporkan adalah 3.7/100.000 populasi, di US dilaporkan hingga 52/100.000.

Prevalensi terjadi peningjktan pada usia lebih dari 74 tahun yaitu 272/1000.000.5,6
Apapun penyebab bronkiektasis, penyakit ini akanmembuat pasien menjadi

rentan terhadap infeksi bronkial dan respons inflamasi yang menyebabkan kerusakan

paru progresif. Mengingat sifat penyakit ini proses progresif dan kronis serta

kerusakan yang ditimbulka bersifat permanen, maka penting untuk menetapkan

strategi pengelolaan yang lebih efektif dan menerapkannya agar diagnosis penyakit

sedini mungkin dapat ditegakkan.3

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014, bronkiektasis

merupakan salah satu masalah kesehatan dengan kategori 3A. Hal tersebut

mewajibkan setiap dokter umum mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan

terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat, menentukan rujukan

yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya, serta menindaklanjuti sesudah

pasien kembali dari rujukan. Oleh karena itu, perlu pembahasan lebih lanjut

mengenai masalah penegakan diagnosis cepat dan tepat yang berhubungan dengan

bronkiektasis untuk penatalaksanaan yang tepat.

1.2 Tujuan

Mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat terhadap

bronkiektasis sesuai dengan standar yang harus dikuasai oleh dokter umum menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan pada laporan kasus ini adalah tinjauan pustaka yang

merujuk pada literature yang ada.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Bronkiektasis merupakan suatu penyakit saluran napas yang bersifat kronik

dan permanen yang ditandai dengan pelebaran dan kerusakan pada bronkus

ireversibel yang mengarah kepada infeksi saluran napas berulang. 1,2Bronkiektasis

sering dimasukkan ke dalam golongan penyakit infeksi saluran napas dengan

diagnosis bronkiektasis terinfeksi.2Pelebaran dari bronkus ini mengakibatkan

kemampuan untuk membersihkan debris dan sekret menjadi berkurang sehingga

kegagalan fungsi ini mengakibatkan bakteri dan partikel terkumpul sehingga lebih

banyak sekresi dan inflamasi yang semakin memperparah kerusakan jalan napas

dan pelabaran bronkus.4

Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi:2

1. Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingual,

biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia yang berat, penyumbatan oleh

benda asing, tumor atau penekanan dari luar. Bronkiektasi bagian lobus atas

biasanya disebabkan oelh tuberculosis atau aspergilosis bronkopulmonal.


2. Menyeluruh (generalized), biasanya Karena infeksi saluran napas yang

berulang disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilliary clearance.

Penyebab lainnya adalah vasculitis, defesiensi α1-antitripsin, AIDS, sindrom

Marfan, SLE, sindrom Syorgen, sarcoidosis.


1.2 Epidemiologi
Insiden bronkiektasis pada populasi umumnya tidak diketahui secara luas

karena gejala yang bervariasi dan diagnosis jarang ditegakkan. 4,6Pada zaman

sebelum dikenal antibiotik, insiden bronkiektasis hampir menyamai bahkan

melebihi kejadian tuberkulosis dan ditemukan pada 92% kasus bronkitis

kronik.4Beberapa penelitian dari data rumah sakit dengan bronkiektasis

menunjukkan penurunana sejak 1950. Perubahan ini disebabkan sejak dikenalnya

antibiotik.6
Penggunanaan High Resolution Computed Tomography saat ini

membuatbronkiektassis dapat didiganosis lebih awal. Hal ini juga mengakibatkan

terjadinya peningkatan prevalensi dari bronkienktasis.5


Di New Zealand prevalensi yang dialporkan adalah 3.7/100.000 populasi, di

USdilaporkan hingga 52/100.000. Prevalensi terjadi peningjktan pada usia lebih

dari 74 tahun yaitu 272/1000.000.


Diperkirakan 30 hingga 35 % kasus diawali infeksi paru yang dapat merusak

bronkus. Selain pneumonia, infeksi lain, seperti batuk rejan (pertusis) atau

tuberkulosis, dapat menyebabkan kerusakan bronkial. Meskipun infeksi yang

mengawali biasanya berat, bronkiektasis juga dapat terjadi dengan infeksi

minimal. Individu dengan sistem kekebalan tubuh yang tidak memadai berisiko

tinggi terhadap infeksi bronkial kronis, yang dapat merusak saluran pernapasan

dan mengarah pada kondisi bronkiektasis.5,6

1.3 Etiologi dan Patofisiologi


Tabel 2.1 Penyebab Bronkiektasis
Berbagai mekanisme dan penyebab (table 2.1) mengarah pada perkembangan

bronkiektasis, akan tetapi perkembangan patofisiologinya serupa. Pada awalnya,

pasien akan mengalami kerusakan epitel bronkus sebagai akibat dari inflamasi.

Parenkim disekitarnya akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang. Kerusakan jaringan

sekitar akan mengakibatkan dilatasi dalam bentuk silindris, varikos, ataudistensi

kistik dengan kerusakan jaringan disekitarnya. Hal ini selanjutnya, akan mengganggu

fungsi clearance dari mukosiliar yang mengakibatkan retensi sekresi. Pada akhrinya,

retensi dari sekresi ini akan menarik kuman-kuman untuk berkolonisasi dengan

inflamasi yang kronik.5


Selanjutnya, akan terjadi penebalan mukosa bronkial yangsecara histologis

menunjukkan metaplasias epitel skuamosa yang menonjol, akan tetapi insiden

terhadap peningkatan kejadiankeganasan belum diobservasi.5

a. Penyebab postinfectious

Infeksi pernafasan yang berbeda dapat menyebabkan bronkiektasis,termasuk:

● Pertusis

● Bakteri gram negatif (Pseudomonas aeruginosa,Haemophilus influenzae)

● Virus (HIV, paramyxovirus, adenovirus, danflu)

● Tuberkulosis

● Mikobakteri atipikal.5

b. Penyebab Kongenital

Penyebab kongenital paling umum untuk bronkiektasis non-CFAdalah

primary siliary dyskinesia (PCD). Penurunan dari gerakan siliari

mengakibatkanclearance sekresi yang berkurang, sehingga memicu peningkatan laju

infeksi. Bronkiektasis kongenital sering berkaitan dengan adanya dekstrokardia dan

sinusitis. Apabila ketiga keadaan ini terjadi secara bersamaan, keadaan ini disebut

sebagai sidrom Kartagener dengan prevalensi1/20 000.5

Penyebab kongenital yang baru-baru ini ditemukan adalah mutasi gen ENaC,

yang berakibat pada kelainan kanal natrium di epitel. Hiperaktif kanal natrium ini

Memicu gangguan homeostasis pada garam dan air dari mukosa respirasi.5

c. Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Pasien dengan paru obstruktif kronik lanjut mungkin memiliki bronkiektasis;

literaturmelaporkan tingkat kejadian antara 30% dan 50%. Pasien inilebih sering
menderita dyspnea dan menunjukkan fungsi paru yang buruk. Pada pemeriksaan CT

secara morfologi, bronkiektasis pada PPOK berbeda dengan bronkiektasis klasik,

karenaektasis kurang jelas, akan tetapi infiltrasi peribronchial lebih jelas.5

d. Aspirasi Benda asing

Pada anak-anak, aspirasi benda asing ke saluran napas bawah merupakan lesi

obstruksi yang paling umum dan paling sering terjadi yang mengaibatkan

bronkiektasis.Pada dewasa bronkiektasis sekunder juga dapat terjadi akibataspirasi

benda asing meskipun hal ini jarang terjadi. Aspirasi pada orang dewasa biasanya

berhubungan dengan gangguan neurologis dengan hilangnya perlindungan jalan

nafas(trauma, penyakit saraf, kehilangan kesadaran).6

1.4 Gejala Klinik

Bronkiektasis kongenital sering asimtomatik dan baru terdeteksi saat dewasa

ketika terjadi infeksi sekunder. Penderita bronkiektasis paling sering

mengeluhkanbatuk kronis, produksi sputum, dan letargi. Hemoptisis, nyeri dada,

penurunan berat badan, bronkospasme, dyspnea, dan gangguan kinerja fisik juga

sering ditemukan. Sputum pada penderita bronkiektasis terdiri dariyaitu lapisan atas

berbusa, lapisan tengah mukus dan liquid, dan lapisan dasar purulent yang merupakan

patognomonis, tapi hal ini tidak selalu terjadi. Beberapa pasien Bebas dari gejala

dalam sehari-harinya dan klinis hanya mencolok saat eksaserbasi.5

Banyak pasien mengalami eksaserbasi, dengan rata-rata 1,5 per tahun.

Eksaserbasi didefinisikan sebagai adanya empat atau lebih gejala yang tercantum

dalam gambar2.1. Hilangnya fungsi paru pada non perokok dengan Bronkiektasis

telah dilaporkan sekitar 50 mL / tahun.5


Gambar 2.1 Gejala Eksaserbasi pada Bronkiektasis

Pada pemeriksaan fisik paru, hasil yang didapatkan tergantung pada derajat

kerusakan patologiknya. Pada bentuk ringan tanpa komplikasi, pemeriksaan fisik

tidak akan menunjukkan kelainan. Pada keadaan berat dapat terjadi ronki pada bagian

yang terkena. Jari tabuh sering ditemukan pada pasien bronkiektasis yang telah

berlangsung lama.2,3

1.5 Diagnosis

Gambaran klinis sangat bervariasi dan mungkin melibatkaninfeksi saluran

napas berulang yang bergantian dengan periode asimtomatik atau dengan produksi

sputum kronis(lendir mukus atau mukopurulen atau purulen).Bronkiektasis harus

dicurigai bila tidak riwayat paparan asap tembaka. Sputum mungkin berdarah atau

terjadi hemoptisis berulang. Selain itu, dapat ditemukan hiperresponsif bronkial dan

sesak napas dalam kaitannya dengankeparahan keterlibatan fungsi paru, dapat juga

ditemuka pleuritic chest pain jika terdapat keterlibatan dari pleura visceral kelemahan

dan penurunan berat badan. Sinusitis mungkin ada, terutama jika terdapat cystic

fibrosis, primary ciliary dyskinesia, primerDefisiensi imun primer, Young syndrome,

yellow nails syndrome, atau panbronchiolitis difus.3


Saluran napas mungkin tampak normal saat pemeriksaan atau dapat

ditemukancrackles, ronki, dan / atau wheezing. Dalam tahap lanjut, pada pasien dapat

ditemukan clubbing finger, cachexia, tanda-tandagagal napas, atau cor pulmonale.2,3

Gambar 2.1 Algoritma Diagnosis

Pada pemeriksaan penunjang, foto paru penderita bronkiektasis menunjukkan

gambaran bayangan yang disebut tram-line shadows atau honey comb appearance.

Jika pasien dengan gejala klinis yang sesuai dengan bronkiektasis, tetapi foto parunya

tidak menunjukkan kelainan yang mengarahkan pada bronkiektasis, harus dilakukan

High Resolution Computed Tomography. Perlu dilakukan uji spirometry ataupun peak
flow meters untuk mengetahui apakah terdapat obstruksi saluran napas. Uji keringat

dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat fibrosis kistik. Tes sakarin dilakukan

untuk meneliti apakah ada masalah pada mukosiliar.2

1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada bronkiektasis bertujuan untuk meningkatkan keadaan

klinis pasien dan mencegah progresivitas penyakit. 3 Tujuan dari penatalaksanaan

bronkiektasis adalah:5

1. Penatalaksanaa penyakit yang mendasari

2. Meningkatkan clearance mukosiliari atau drainase secret

3. Penatalaksanaan infeksi

4. Penatalaksanaan obstruksi jalan napas

5. Penatalaksanaan inflamasi kronik yang mengarah kepada progresif penyakit.

Penatalaksanaan etiologi

Pengobatan penyakit yang mendasari bronkiektasis harus diberikan kapan pun

etiologinya diketahui, terutama pada pasien dengan defek produksi antibodi,

aspergillosis bronkopulmoner alergi, Penyakit refluks gastroesofagus, pembatasan

aliran udara,Infeksi oleh mycobacteria, defisiensi α1-antitripsin,Cystic fibrosis,

InflamasiPenyakit usus, penyakit autoimun, panbronchiolitis.3

Pentalaksanaan untuk drainase sekret

Penatalaksaan bertujuan untuk mengupayakan pengeluaran dan mengurangi

sekresi dahak dengan cara drainase postural serta mencegah terjadinya infeksi. Upaya

drainase dahak tergantung pada jumlah dahak yang di produksi, tetapi sebaiknya

dilakukan paling tidak dua kali sehari, yaitu pada saat bangun tidur di pagi hari dan
pada saat akan tidur malam. Sering diperlukan penggetaran dinding dada agar dahak

mudah keluar, yaitu dengan cara memukul punggung.2

Pengobatan Kolonisasi Bronkial dan Infeksi

Kolonisasi bronkial awal. Tidak ada bukti yang mendukung pengobatan

antibiotik kolonisasi awal kecuali pada pasien fibrosis kistik dengan bronkiektasis,

dimana patogen yang dimaksud adalah spesies Pseudomonas. Tujuan dari pemberian

antibiotik adalah untuk mengeradikasi koloni sebelum menjadi kronis. Ciprofloxacin

oral dan terapi antibiotic inhalasi (tobramycin) dapat diberikan selama tiga minggu.
Pengobatan alternatif lainnya adalah pemberian duaantibiotik intravena selama 14

sampai 21 hari, diikuti dengan inhalasi antibiotik selama tiga sampai 12 bulan (Tabel

4). Meskipun tidak ada studi tentang etiologi lainnya, tetapi tetap direkomendasikan

pemberian Ciprofloxacin secara oral selama tiga minggu.3

Gambar 2.3 Skema penatalaksanaan Bronkiektasis

Operasi

Pengobatan kuratif untuklocalized bronkiektasis yang sulit dikelola adalah

operasi, asalkanpenyakit yang mendasari telah dikesampingkan. Operasi

diindikasikan untuk tujuan paliatif bila ada yang hemoptisi berat dengan embolisasi

atau daerah denganabses yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan

antibiotik.

1.7 Komplikasi

1. Hemoptysis
2. Amyloidosis

3. Gagal napas

BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis

2.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. J
No RM : 993099

Umur/ tanggal Lahir : 60 tahun/ 10 Juni 1957

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Padang

Agama : Islam

NIK : Ny. M

Status : Menikah

Tanggal masuk RS : 12 Oktober 2017

Jam masuk RS : 23.58

2.1.2 Keluhan Utama

Sesak napas meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit

2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang


- Sesak nafas meningkat sejak 3 hari yang lalu. Sesak nafas tidak

menciut. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, emosi dan makanan. Sesak

meningkat bila pasien batuk. Sesak tidak berhubungan dengan

aktivitas. Akibat sesak tersebut, pasien dirawat di RSUD Sawahlunto

oleh Spesialis Paru dan Spesialis Jantung, karena tidak ada perbaikan

pasien dirujuk ke RSUP Dr.M.Djamil untuk tatalaksana lebih lanjut.

Sesak sudah dirasakan lebih kurang sejak 3 bulan yang lalu. Pasien

biasa kontrol ke Spesialis Paru dan Spesialis Jantung, mendapatkan

obat Berotec dan Symbicort, dalam 3 bulan ini sudah 3 kali dirawat.
- Batuk meningkat sejak 4 hari yang lalu, tidak berdahak, bersifat

hilang timbul.
- Batuk berdarah (-).
- Nyeri dada (-).
- Demam (-). Riwayat demam (+) 3 hari yang lalu, tidak tinggi dan

tidak menggigil.
- Keringat malam (+)
- Penurunan nafsu makan (+)
- Penurunan BB (+) tapi tidak jelas berapa kg
- Mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-).
- BAB dan BAK tidak ada kelainan.

2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat minum OAT (-)


- Riwayat DM (-), riwayat Hipertensi (-)

2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat minum OAT dalam keluarga (-)


- Riwayat DM dalam keluarga (-)
- Riwayat sakit jantung dalam keluarga (-)
- Riwayat Hipertensi dalam keluarga (-)
- Riwayat keganasan dalam keluarga (-)

2.1.6 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

Pasien seorang petani dan tidak merokok. Aktivitas harian pasien sedang – berat.

2.2 Pemeriksaan Fisik

2.2.1 Status Generalis

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Suhu : 360C

Pernafasan : 25 x/menit

Tinggi Badan : 150 cm


Berat Badan : 30 kg

Keadaan Gizi : Normal (IMT = 22)

Edema : tidak edema

Anemis : tidak anemis

Ikterus : tidak ikterus

Sianosis : tidak sianosis

2.2.2 Status Lokalis

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP = 5+2 cmH2O

Trakea = tidak ada deviasi

KGB = tidak ada pembesaran KGB

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V

Perkusi : batas atas : LSD

batas kanan : LMCD RIC IV

batas kiri : LMCS RIC V

Auskultasi : S1 – S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Paru depan

Inspeksi : statis simetris kiri dan kanan

dinamis simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus simetris kiri dan kanan


Perkusi : kiri sonor, kanan sonor

Auskultasi : suara napas ekspirasi memanjang (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

Paru belakang

Inspeksi : statis simetris kiri dan kanan

dinamis simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus simetris kiri dan kanan

Perkusi : kiri sonor, kanan sonor

Auskultasi : suara napas ekspirasi memanjang (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

Perut

Inspeksi : distensi (-)

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Genital : tidak diperiksa

Anggota gerak : edema -/-, clubbing finger -/-

2.3 Pemeriksaan Penunjang

2.3.1 Pemeriksaan Laboratorium (29 Mei 2017)

Hb : 12,3 g/dl

Leukosit : 4.190/mm3

Trombosit : 143.000/mm3

Ht : 39%

Ur/Cr : 21/0,6 mg/dl


pH : 7,4

PCO2 : 95

PO2 : 120

HCO3 : 61,4

Na/K/Cl : 125 / 2,7 / 64

Calsium : 8,0 mmol/L

Total protein : 5,6 g/dl

Albumin : 3,4 g/dl

Globulin : 2,2 g/dl

Kesan labor : Asidosis respiratorik terkompensasi, Hiponatremia,

Hipokalemia, Hipoalbuminemia.

2.3.3 Rontgen Thorax


Rontgen thorak wanita Ny. J usia 60 tahun di RSUD Sawahlunto tanggal 14

September 2017. Rontgen tampak simetris, sentris, densitas sedang. Tampak

gambaran infiltrat di apex paru kanan dan kiri, tampak multicavitas pada paru bagian

basal paru kanan dan kiri dengan daerah radiolusen yang multiple menyerupai sarang

lebah atau honeycomb appearance.

Kesan : Bronkiektasis, TB Paru.


Rontgen thorak wanita Ny. J usia 60 tahun di RSUD Sawahlunto pada tanggal

22 September 2017 dan 11 Oktober 2017.

2.4. Diagnosa kerja

Bronkiektasis sekunder ec suspek TB paru + CPC + Hiponatremia + Hipokalemia

+ Hipoalbuminemia

2.5 Diagnosa banding

- Bronkitis Kronik

- PPOK
2.6 Tindakan Pengobatan

- O210 liter / menit via NRM

- IVFD Asering + Drip Aminophilin 1 amp 12 jam/ kolf

- Injeksi Ceftriaxone 1x 2 g

- Injeksi Levofloxacin 1x 750 mg

- Injeksi Metilprednisolon 2 x 125 mg

- Injeksi Nairet 3 x 0,3 cc

- Injeksi Fluimucyl nebu 2 x 1

- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg

- Nebu Combivent 6 x 1

- Ramipril 1 x 12,5 mg (malam)

2.7 Catatan Perkembangan Pasien

13/10/2017

 S/ - Sesak nafas (+)


Batuk berdahak
Nyeri dada (-)
Demam (-)
 O/ - KU: sedang, Kes: CMC, TD: 130/70mmHg, Nd: 90x/mnt, Nf: 25x/mnt,
T: Af
 Paru: A: SN ekspirasi memanjang(+), wh (-), rh(+)
 A/ - Bronkiektasis sekunder e.c susp. TB
paru+CPC+hipokalemia+hipoalbuminemia
 P/ - O2 10 lpm
IVFD Asering + drip Aminophilin 1 amp
Inj. Ceftriaxone 2 2 gr
Inj. Levofloxacine 1 750 g
Inj. Methyl prednisolone 2
Inj. Nairet 3 0.3 cc
Inj. Furosemid 2 20 g
Combivent 6 1
Ramipril 1 12.5 gr
Ambil kultur sputum, kultur jamur, BTA I,II.

14/10/2017
 S/ - Sesak napas (+)
Batuk berdahak (+)
Nyeri dada (-)
Demam (-)
Pasien gelisah
 O/ KU: sedang, Kes: CMC, TD: 130/70, Nd: 80x/mnt, Nf: 22x/mnt, T: Af
Paru: Aus: suara napas ekspirasi memanjang minimal, wh(-). Rh(+).
 A/ Bronkiektasis sekunder e.c susp. TB paru + CPC + hipokalemi +
hipoalbuminemia (post koreksi)
 P/ - O2 lpm
IVFD Asering + drip Aminophilin 1 amp 12 jam/kolf
Inj. Ceftriaxone 2 2 gr
Inj. Levofloxacine 1 750 mg
Inj. Methyl Prednisolon 2 125 mg
Inj. Furosemid 2 20 mg
Combivent 6 1
Ramipril 3 12.5 mg

15/11/2017
 S/ - Sesak napas (+)
Batuk (+)
Demam (-)
 O/ - KU: sedang, Kes: CMC, TD: 110/70 mmHg, Nd 96x/mnt, Nf 20x/mnt, T:
Af
Paru: SN ekspirasi memanjang, wh(-), rh(+)
 A/ Bronkiektasis sekunder e.c susp. TB paru + CPC + hipokalemia +
hipoalbuminemia
 P/ O2 NRM 10 lpm
IVFD Asering + drip Aminophilin 1 amp
Ceftriaxone inj. 2 2 gr
Levofloxacine 1 750 mg
Methyl prednisolone 12 mg 2 1
Furosemide inj. 2 20 gr
Ramipril 3 12.5 mg

16/10/2017
 S/ - Sesak napas (+)
Batuk (+)
Demam (-)
 O/ KU: sedang, Kes: CMC, TD: 120/70, Nd: 90x/mnt, Nf: 25x/mnt, T: Af
Paru: SN ekspirasi memanjang, rh (-), wh (-)
 A/ Bronkiektasis sekunder e.c susp. TB paru + CPC + hipokalemia +
hipoalbuminemia
 P/ - O2 10 lpm
IVFD Asering + drip Aminophilin + 1 amp/12 jam
Inj. Ceftriaxone 2 2 gr
Inj. Levofloxacine 1 750 mg
Inj. Methyl prednisolone 2 125 mg
Inj. Furosemide 1 1 amp
Combivent 6 1 dd
Ramipril 1 12.5 mg
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien berusia 60 tahun rujukan dari RSUD Sawahlunto dengan keluhan

utama sesak napas meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas

tidak menciut. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, emosi dan makanan. Sesak meningkat

bila pasien batuk. Sesak tidak berhubungan dengan aktivitas. Akibat sesak tersebut,

pasien dirawat di RSUD Sawahlunto oleh Spesialis Paru dan Spesialis Jantung,

karena tidak ada perbaikan pasien dirujuk ke RSUP Dr.M.Djamil untuk tatalaksana

lebih lanjut. Sesak sudah dirasakan lebih kurang sejak 3 bulan yang lalu. Pasien biasa

kontrol ke Spesialis Paru dan Spesialis Jantung, mendapatkan obat Berotec dan
Symbicort, dalam 3 bulan ini sudah 3 kali dirawat. Batuk meningkat sejak 4 hari yang

lalu, dahak sulit dikeluarkan, bersifat hilang timbul. Batuk berdarah, nyeri dada, dan

demam tidak ada. Riwayat demam ada 3 hari yang lalu, tidak tinggi dan tidak

menggigil. Pasien mengaku ada berkeringat malam. Terdapat penurunan nafsu makan

dan berat badan, tetapi tidak jelas berapa kg.

Riwayat minum OAT tidak ada pada pasien ini. Pasien beserta keluarga tidak

memiliki riwayat asma, penyakit DM tipe II, hipertensi, dan penyakit jantung serta

keganasan. Pasien seorang petani dan tidak merokok.

Dari keluhan di atas, dapat dicurigai pasien mengalami obstruksi pada saluran

napas sehingga muncul gejala berupa sesak napas. Obstruksi saluran napas dapat

terjadi karena adanya peradangan pada mukosa saluran napas, edema,

brokokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, dan hilangnya elastisitas recoil. Pada

kasus ini, selain sesak napas, ditemukan pula keluhan berupa batuk kering yang lama.

Bronkiektasis yang terjadi pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi yang

berulang dan peradangan kronik, hal ini merujuk pada data bahwa pasien

kemungkinan pernah mengalami TB dan mengalami PPOK serta Cor Pulmonale.

Manifestasi klinis berupa batuk merupakan mekanisme refleks untuk menjaga

jalan napas tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang

menumpuk pada jalan napas. Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan

pada infeksi saluran napas.

Pemeriksaan fisik pada pasien ini menunjukkan nafas 25 kali/menit, dinding dada

kiri dan kanan simetris, pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris. Pada

palpasi, ditemukan fremitus kiri dan kanan sama. Pada pemeriksaan perkusi
ditemukan sonor pada paru kiri dan kanan.. Auskultasi didapatkan suara napas kiri

dan kanan paru dengan ekspirasi memanjang serta adanya rhonki, tidak ada

wheezing.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan natrium 125, kalium 2,7, albumin

3,4 g/dl, pCO2 95, pO2 120, HCO3 61,4. Kesan pemeriksaan labor berupa asidosis

respiratorik terkompensasi, hiponatremia, hipokalemia, hipoalbuminemia. Hasil

pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya gambaran infiltrat di apex paru kanan dan

kiri, tampak multicavitas pada paru bagian basal paru kanan dan kiri dengan daerah

radiolusen yang multiple menyerupai sarang lebah atau honeycomb appearance.

Disimpulkan kesan foto rontgen toraks adalah bronkiektasis dan tuberkulosis paru.

Berdasarkan penjabaran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang di atas, dapat disimpulkan diagnosis kerja untuk pasien adalah

Bronkiektasis sekunder ec suspek TB paru + CPC + Hiponatremia + Hipokalemia +

Hipoalbuminemia.

Terapi yang diberikan pada pasien adalah O210 liter / menit via NRM, IVFD

Asering + Drip Aminophilin 1 amp 12 jam/ kolf , Injeksi Ceftriaxone 1x 2 g, Injeksi

Levofloxacin 1x 750 mg, Injeksi Metilprednisolon 2 x 125 mg, Injeksi Nairet 3 x 0,3

cc, Injeksi Fluimucyl nebu 2 x 1, Injeksi Furosemid 2 x 20 mg, Nebu Combivent 6 x

1, Ramipril 1 x 12,5 mg.

Pada kasus bronkiektasis penatalaksanaan yang dilakukan berupa pemberian

antibiotik yang tujuan untuk memusnahkan kuman yang nantinya akan memperparah

kondisi infeksi yang terjadi, dimana pada pasien ini juga telah diberikan antibiotik.

Pada pasien ini, karena hasil kultur sputum belum ada, maka dari itu digunakan
antibiotic empiris berupa ceftriaxon. Pemberian aminophilin yaitu untuk

bronkodilator. Flumucyl yang berisi Na acetylsistein diberikan melalui nebulizer pada

pasien dengan indikasi batuk berdahak sebagai ekspektoran melalui mukolisis.

Furosemid sebagai diuretik dan Ramipril yang merupakan ACE inhibitor diberikan

kepada pasien karena terdapat cor pulmonale. Nebu Combivent yang berisi

ipratropium bromide dan salbutamol membantu untuk meredakan gejala sesak napas

pada pasien.

Daftar Pustaka

1. Bellelli G, Chalmers JD, Sotgiu G, Dore S, McDonell MJ, Goeminne PC, et al.
Characterization of bronchiectasis in the elderly. Respiratory Medicine.2016;
119: 13-19.
2. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta:EGC, 2014; 111-114
3. Vandrell M, Gracia J, Olveira C, Martinez MA, Giron R, Maiz L et al.
Diagnosis and Treatment of Bronchiectasis. Arch Bronconeumol.
2008;44(11):629-40
4. Weycker D, Edelsberg J, Oster G, Tino G. Prevalance and economic burden of
bronchiectasis. Clin Pulm Med. 2005;12:205-209
5. Rademacher J, Welte T. Bronchiectasis-Diagnosis and Treatment (review
article). Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch Arztebl Int. 2011; 108(48):
809–15.
6. Pasteur MC, Bilton D, Hill AT. British thoracic society guidline for non-CF
bronchiectasis. Thorax. 2010;65:1-58.

Anda mungkin juga menyukai