Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Hiperurisemia adalah keadaan peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Secara
biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang
batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat di atas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal.1,2 Namun secara pragmatis berdasarkan berbagai studi
epidemologi dapat digunakan patokan kadar asam urat > 7 mg/dL pada laki-laki, dan > 6 mg/dL
pada perempuan. Keadaan hiperurisemia akan berisiko timbulnya arthritis gout, nefropati urat,
atau batu ginjal. Hiperurisemia bisa terjadi akibat peningkatan metabolism asam urat, penurunan
ekskresi asam urat urin, atau gabungan keduanya.1,3 Sedangkan gout merupakan kelompok
penyakit heterogensebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan, akibat
gangguan metabolisme berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis
gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati urat.1
Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6 – 47,2% yang bervariasi pada berbagai populasi.
Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1 – 15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidens
gout 4,9% pada kadar asam urat darah > 9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7 – 8,9 mg/dL, dan 0,1%
pada kadar <7 mg/dL.1 Prevalensi gout di Jawa Tengah bagian Utara sebesar 1,7% di daerah
rural dan 4,8% di daerah urban.4 Hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi, kelainan
vaskular dan gagal ginjal, namun mekanisme cedera ginjal langsung akibat hiperurisemia masih
kontroversial. Hiperurisemia merupakan faktor independen kelainan ginjal pada nefropati IgA,
namun bukan prediktor penurunan fungsi ginjal menurut studi MDRD. Jika hiperurisemia
merupakan faktor independen gagal ginjal, tentunya usaha untuk menurunkan kadar plasma asam
urat akan menurunkan prevalensi gagal ginjal.

PEMBAHASAN
Metabolisme Asam Urat1-3,5,7
Asam urat adalah hasil akhir metabolisme purin. Pada keadaan normal, 90% metabolit
nukleotid (adenin, guanin dan hipoxantin) dipakai kembali untuk membentuk AMP, IMP dan
GMP oleh adenine phosphoribosyltransferase (APRT) dan hypoxanthin guanine
phosphoribosyltransferase (HGPRT). Hanya 10% sisanya diubah menjadi xantin kemudian
menjadi asam urat oleh xanthine oxidase (XO). Kelarutan urat yang rendah, terutama asam
urat adalah alasan mengapa hiperurisemia menimbulkan gout. Eksresi asam urat oleh ginjal
mencapai 10% jumlah yang difi ltrasi, sehingga pada hasil akhir urin kadarnya 10 – 20 x kadar
plasma. Hiperurisemia terjadi pada 10% populasi di negara maju, 1 di antara 20 menderita gout
(laki-laki lebih banyak dari pada perempuan), 90% pasien gout adalah gout primer dengan
predisposisi genetik. Hiperurisemia primer terjadi karena ekskresi ginjal baru dapat meningkat
sesuai dengan produksinya jika kadarnya dalam plasma dan filtrat glomerularnya meningkat
(hiperurisemia asimptomatik). Jika terjadi peningkatan asupan purin, terjadi penumpukan kristal
monosodium urat. Peningkatan kadar asam urat dalam urin menyebabkan terjadinya batu saluran
kemih. Alkohol, obesitas dan beberapa obat seperti diuretik meningkatkan metabolisme adenin
nukleotida sehingga memudahkan terjadinya penumpukan kristal. Pada gout kronik, serangan
berulang menimbulkan kerusakan sendi, serta penumpukan urat (tofus) pada daun telinga dan
ginjal (nefropati urat).
Obat urikosurik seperti benzbromaron dan benziodaron meningkatkan ekskresi asam urat
sehingga menurunkan kadar plasmanya. Sedangkan alopurinol adalah suatu anti xantin oksidase
(XO), menurunkan produksi asam urat lewat blokade enzim tersebut.

Penanganan urat oleh ginjal 8


Stone dan Simmonds menyimpulkan bahwa pengikatan urat in vivo sangat rendah, antara
4 – 5% saja dan urat tidak difi ltrasi di glomerulus. Di tubulus, sekitar 90% urat direabsorbsi,
sehingga FEur (Fractional Excretion of uric acid) mencapai 10% (Wyngaarden dan Kelley;
Wortman). Reabsorbsi pada laki-laki lebih tinggi (92%) dibandingkan perempuan (88%), lebih
rendah pada anak-anak (70 – 85%). Hal ini menjelaskan lebih tingginya kadar asam urat plasma
pada laki-laki dan jarangnya gout klasik pada perempuan dan anak-anak. Ras juga merupakan
faktor yang mempengaruhi kadar asam urat plasma. Laki-laki dan perempuan Polinesia memiliki
kadar asam urat plasma lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.

Faktor endogen atau eksogen yang mempengaruhi penanganan urat oleh ginjal
Banyak faktor yang memengaruhi penanganan urat atau asam urat oleh ginjal dan
memengaruhi kadar urat plasma. Pada beberapa kasus, hal ini nampaknya efek langsung
terhadap transporter urat, namun pada kasus lainnya merupakan efek sekunder akibat kontraksi
atau ekspansi volume plasma atau efek terhadap hemodinamik ginjal. Beberapa obat memiliki
efek bifasik terhadap ekskresi urat, pada dosis rendah meningkatkan retensi sedangkan pada
dosis tinggi bersifat urikosurik. Obat tersebut antara lain salisilat, fenilbutazon dan inhibitor
siklooksigenase lainnya, pirazinamid, probenesid, dan nikotinat.

Faktor yang menurunkan klirens asam urat


Beberapa agen fisiologis dan patologis dapat menurunkan ekskresi urat dan menyebabkan
peningkatan kadar urat plasma, yang juga dapat mencetuskan serangan akut gout pada individu
yang kadar urat plasma sudah di batas atas karena penurunan proporsi ekskresi urat terhadap
LFG. Kontraksi volume plasma karena asupan yang tak adekuat, kehilangan cairan karena diare,
muntah atau diuretik dapat meningkatkan reabsorbsi urat bersama senyawa lain di tubulus
proksimal seperti Na+ and HCO3–. Gout pada pasien yang mendapatkan pengobatan kombinasi
obat anti hipertensi seperti diuretik mencapai 50% pasien baru yang berobat untuk gout.
Vasokonstriktor ginjal seperti adrenalin, noradrenalin, angiotensin dan beberapa inhibitor
siklooksigenase menurunkan klirens urat. Siklosporin juga merupakan vasokonstriktor kuat dan
menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan insidens hiperurisemia dan gout pada resipien
transplantasi. Senyawa fi siologik yang menurunkan ekskresi urat adalah asam organik seperti
laktat, asetosetat dan β-hidroksi butirat; yang produksinya meningkat pada status epileptikus dan
konsumsi alkohol berlebihan bersamaan dengan asupan makanan tak adekuat. Intoksikasi timbal
kronik menyebabkan penurunan ekskresi urat lewat mekanisme yang belum dapat ditentukan.
Obat-obat pirazinamid dan etambutol serta obat urikosurik benzbromaron menyebabkan
peningkatan kadar urat plasma.

Faktor yang meningkatkan klirens asam urat


Peningkatan volume plasma menyebabkan peningkatan ekskresi urat sebagai akibat
sekresi ADH (antidiuretic hormone) yang tak sesuai, yang terjadi pada pasien dengan keganasan,
awal kehamilan. Obat urikosurik seperti probenesid, sulfi npirazon dan benzbromaron
menurunkan kadar urat plasma dengan meningkatkan ekskresi asam urat. Hal tersebut dapat
menimbulkan gagal ginjal akut karena presipitasi asam urat pada tubulus. Vitamin C dosis besar
juga bersifat urikosurik dan menyebabkan kristaluria atau batu campuran antara oksalat dan urat.
Obat yang biasanya tak memengaruhi ekskresi urat kadang juga menyebabkan urikosuria, seperti
radiokontras, warfarin dan kortikosteroid, antibiotik, seperti ampisilin, serta asam amino, seperti
glisin.

Penyebab Hiperurisemia dan Gout1-3


Penyebab hiperurisemia dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagianbesar kasus,
serta penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak ada penyakit atau
penyebab lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan penyebab lain, baik genetik
maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia dengan penyebab primer, ditemukan
kelainan molekuler yang tidak jelas meskipun diketahui adanya mekanisme penurunan sekresi
pada 80-90% dan produksi berlebihan pada 10-20% kasus. Sedangkan pada kelompok
hiperurisemia dan gout sekunder, terjadi melalui mekanisme produksi berlebihan, seperti
gangguan metabolism purin pada defi siensi enzim glucose-6- phosphatase atau fructose-1-
phospate aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark miokard, status epileptikus,
penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan mieloproliferatif dan
limfoproliferatif; yang meningkatkan pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel. Mekanisme
penurunan sekresi dapat ditemukan pada keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi, diabetes
insipidus, alkoholisme, myxodema, hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan berilium. Selain
itu juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis rendah, pirazinamid,
etambutol dan siklosporin. Hiperurisemia diketahui juga berkaitan dengan berbagai keadaan
gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom metabolik,
dan hipotiroidisme. Sebaliknya hiperurisemia diduga menjadi faktor risiko hipertensi,
aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.

Definisi Nefropati Urat


Penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam urat atau penumpukan kristal urat, terbagi
menjadi 3 jenis, yaitu nefropati asam urat akut, nefropati urat kronik dan nefrolitiasis asam
urat.6,7,8 Dalam tinjauan pustaka ini, yang akan dibahas adalah nefropati urat kronik.
Gouty nephropathy atau chronic uric acid nephropathy atau nefropati urat kronik adalah
suatu keadaan asam urat atau kristal urat terdeposit pada parenkim dan lumen tubulus secara
independen dan menyebabkan cedera langsung pada ginjal selama suatu periode waktu sehingga
menyebabkan gagal ginjal.6,7 Nefropati urat kronik adalah suatu bentuk penyakit ginjal kronik
yang diinduksi oleh penumpukan monosodium urat pada interstitial medula, yang menyebabkan
respons infl amasi kronik, serupa dengan yang terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian
tubuh lain, yang berpotensi menyebabkan fi brosis interstitial dan gagal ginjal kronik.8
Nefropati urat kronik yang pada masa lalu sering ditemukan pada pasien dengan
tophaceous gout, saat ini jarang ditemukan. Namun demikian pasien penyakit ginjal kronik
dengan sedimen urin serta hiperurisemia yang tak sesuai dengan derajat gangguan ginjalnya
memenuhi kriteria nefropati urat kronik. Studi pada hewan menunjukkan bahwa pada penyakit
ginjal kronik terjadi hiperurisemia ringan, yang terjadi lewat dua mekanisme yang
mengkompensasi penurunan efi siensi ekskresi ginjal yaitu peningkatan ekskresi asam urat usus
dan penurunan produksi karena penurunan aktivitas xantin oksidase.8 Peningkatan kadar urat
plasma yang tidak sesuai dengan derajat gangguan ginjal didefinisikan sebagai berikut:8
 Kadar urat plasma > 9 mg/dL (535 μmol/L) jika kadar kreatinin plasma ≤ 1,5 mg/dL (132
μmol/L)
 Kadar urat plasma > 10 mg/dL (595 μmol/L) jika kadar kreatinin plasma 1,5 – 2,0 mg/dL
(132 to 176 μmol/L)
 Kadar urat plasma > 12 mg/dL (714 μmol/L) dengan gagal ginjal yang lebih berat

Sejarah Nefropati Urat Kronik


Istilah nefropati urat kronik serta keberadaannya telah menjadi subjek perdebatan selama
bertahun-tahun. Salah satu penyebab kebingungan adalah bahwa di masa lalu beberapa varian
pasien gout digolongkan menjadi 1 kelompok. Pada satu spektrum ditemukan pada laki-laki usia
pertengahan yang disebut gout primer, yang produksi asam uratnya normal namun mengalami
peningkatan ekskresi asam urat tergantung dari diet tinggi purin, fungsi ginjalnya normal untuk
umurnya dan tetap normal. Pada spektrum lain ditemukan pasien usia muda atau bahkan anak-
anak dari kedua jenis kelamin dengan gout familial onset prekoks, yang mengalami penurunan
fungsi ginjal secara cepat, walaupun produksi dan ekskresi asam uratnya normal bahkan rendah.
Lalu ditemukan pasien intoksikasi timbal dan pasien dengan peningkatan produksi asam urat
dengan ekskresi asam urat sangat meningkat dan pada ginjal terjadi penumpukan kristal.8
Foley dan Weinman (1984) serta Beck (1986) menentang entitas nefropati urat kronik.
Namun, saat ini hubungan antara hiperurisemia dan penyakit ginjal kronis tidak diragukan lagi
walaupun pola hubungannya yang masih diperdebatkan. Gambar 2 menunjukkan kemungkinan
pola hubungan tersebut.6

Spektrum pasien gout meliputi yang saat ini telah diketahui, terdiri dari:
Gout primer 8
Sekitar 30–40 tahun yang lalu, penyakit dan gagal ginjal merupakan hal yang umum pada
pasien laki-laki gout usia pertengahan serta merupakan penyebab utama kematian. Keterlibatan
ginjal mencapai 100% dan antara 20 – 80% kematian disebabkan uremia. Saat ini, setelah gout
jarang dijumpai pada gagal ginjal, ternyata gagal ginjal juga menjadi jarang pada pasien gout
primer atau klasik, yang berusia 50 – 60 tahun. Fungsi ginjal pasien hampir selalu normal untuk
usianya dan tetap stabil walaupun terdeteksi abnormalitas sedimen urin dan proteinuria ringan.
Penurunan konsentrasi asam urat mendekati normal tidak mempengaruhi perjalanan penyakit.
Kelainan ginjal yang ditemukan hanyalah FEur yang rendah (ratarata 5,4%) yang menunjukkan
bahwa gout primer adalah kelainan ginjal dengan dasar kelainan genetik mayor.
Alasan tingginya prevalensi gagal ginjal pada gout primer di masa lalu tidak jelas.
Diperkirakan kerusakan ginjal mengikuti penyakit vaskular pada gout, atau adanya penumpukan
asam urat atau kristal urat dalam ginjal. Demikian pula tidak mungkin mencari penyebab
penurunan mortalitas, namun disimpulkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan penurunan
asupan purin, pengobatan yang lebih efektif dengan agen urikosurik dan alopurinol, serta
penurunan insidens intoksikasi timbal. Saat ini tophaceous gout sudah jarang dan hipertensi
yang terkait juga sudah menjadi normotensi dengan pengobatan yang efektif.
Asal tofus interstitial monosodium urat juga kontroversial. Hal tersebut diperkirakan
merupakan hasil tingginya konsentrasi asam urat plasma dengan penumpukan primer pada
interstitial ginjal sebagai monosodium urat. Studi lain menyimpulkan bahwa hal tersebut terjadi
akibat erosi kristal asam urat pada tubulus ke dalam interstitial yang menyebabkan terbentuknya
monosodium urat. Saat ini masih dipertanyakan penyebab kerusakan ginjal apakah monosodium
urat atau asam urat. Pada interstitial ginjal, Ph 7,37 dan karena pK disosiasi gugus hidroksil
asam urat adalah 5,44, bentuk utama purin adalah monosodium urat monohidrat berbentuk
jarum. Sedangkan di tubulus, pH dapat mencapai 5,0 bahkan lebih rendah, dan bentuk utama
adalah asam urat amorf. Kedua mekanisme dapat terjadi pada nefropati urat kronik, asam urat
dan monosodium urat dapat menyebabkan infl amasi jaringan ikat sekunder.
Gout juvenilis 8
Penurunan jumlah pasien dengan keterlibatan ginjal pada gout primer menyebabkan
munculnya kelompok pasien baru, berusia muda (antara 10 – 35 tahun) dengan onset prekoks
hiperurisemia sehingga disebut sebagai familial juvenile hyperuricaemic nephropathy (FJHN)
atau medullary cystic kidney disease type 2 (MCDK2). Kelainan ini adalah kelainan autosom
dominan dengan hiperurisemia dan gout pada awal perjalanan penyakit dengan gangguan ginjal
yang progresif. Masih diperdebatkan apakah hiperurisemia atau kelainan ginjalnya yang
merupakan faktor primer. Walaupun gagal ginjal umum ditemukan, biopsi ginjal dan nefrektomi
menunjukkan nefropati interstitial dengan atrofi tubular dan glomerulosklerosis, dan kristal urat
jarang ditemukan.

Nefropati terinduksi kristal 8


Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa dalam jangka waktu singkat, penumpukan
kristal dapat menyebabkan kerusakanawalnya terjadi kerusakan epitel tubular diikuti erosi
membran basal, perpindahan kristal ke interstitial, dan terpicunya respons inflamasi. Walaupun
kristal perlahan menghilang, fokus infl amasinya menetap. Pada akhirnya didapatkan ginjal yang
mengecil, sklerosis glomerulus dengan garis-garis fibrosis dari korteks ke medula. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ditemukannya kristal pada nefritis interstitial nonspesifik tidak
meniadakan nefropati kristal sebagai penyebab lesi ginjal.

Patogenesis Nefropati Urat Kronik


Data histopatologis menunjukkan infl amasi interstitial dan fi brosis bersamaan dengan
deposit kristal asam urat. Beberapa studi menunjukkan indeks ginjal dan fungsi endotel yang
abnormal pada pasien hiperurisemia asimptomatik. Studi Heinin dan Johnson pada binatang
pengerat membuktikan bahwa hiperurisemia meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan lesi
pada mikrovaskular ginjal, glomerular dan tubulointerstitial, namun mekanismenya masih belum
diketahui. Walaupun demikian, data pada manusia belum dapat membuktikannya.6 Studi lain
pada otopsi 79 – 99% pasien gout menunjukkan lesi histologis pada nefropati urat kronik berupa
glomerulosklerosis, fi brosis interstital, arteriosklerosis dan seringkali disertai penumpukan
kristal urat interstitialfokal.9-12
Walaupun terlihat ada hubungan antara gout dengan kelainan ginjal, masih terdapat
kontroversi apakah asam urat merupakanm etiologinya, karena sulit menggambarkan cedera
ginjal karena penumpukan kristal urat secara umum, banyaknya pasien gout juga menderita
hipertensi yang gambarannya serupa, serta apakah penurunan kadar asam urat dapat
memperlambat penurunan fungsi ginjal.8
Weiner dkk.13 menemukan bahwa kadar asam urat pada awal studi berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya penyakit ginjal pada model berdasarkan LFG (OR 1,07 (95% CI
1,01 – 1,14)) dan kadar kreatinin (OR 1,11 (95% CI 1,01 – 1,21)), disimpulkan bahwa
peningkatan kadar asam urat adalah faktor risiko independen timbulnya penyakit ginjal pada
populasi umum. Studi Domrongkitchaiporn dkk.14 menunjukkan bahwa OR terjadinya
penurunan fungsi ginjal adalah 1,82 pada kadar asam urat > 6,29 mg/dl dibandingkan dengan
kadar asam urat <4,5 mg/dl. Pada studi ini, hiperurisemia bukan merupakan hasil dari penurunan
fungsi ginjal, karena semua pasien yang diteliti memiliki LFG > 60 ml/min per 1,73 m2 pada
awal studi. Studi Obermayr dkk.7 selama 7 tahun terhadap 21.000 pasien dengan berbagai kadar
asam urat dan laju fi ltrasi glomerulus yang sepadan menunjukkan bahwa setelah dilakukan
penyesuaian terhadap LFG, OR menderita gangguan ginjal yang berhubungan dengan kadar
asam urat meningkat 17% pada pasien dengan kadar asam urat 7,0 – 8,9 mg/dL dan 25% pada
pasien dengan kadar > 9,0 mg/dL. Dengan penyesuaian jenis kelamin dan umur, OR pada 2
kelompok meningkat 11% dan 19%. Hasil ini menunjukkan efek toksik langsung atau tak
langsung asam urat pada perkembangan CKD stage 3. Studi ini juga menemukan adanya
interaksi antara kadar asam urat dengan hipertensi pada timbulnya CKD stage 3. Hal tersebut
terlihat pada gambar 2. Pengaruh kadar asam urat pada timbulnya gangguan ginjal baru adalah
linear pada kadar 6 – 7 mg/dL pada perempuan dan kadar 7 – 8 mg/dL pada laki-laki, kemudian
OR meningkat tajam pada kadar di atasnya. Pengaruh peningkatan kadar asam urat terhadap OR
timbulnya gangguan ginjal baru meningkat tajam pada pasien hipertensi dan perempuan.
Studi Darmawan dkk.4 menunjukkan bahwa hiperurisemia, kadar ureum dan kreatinin
serum, klirens kreatinin membaik setelah terapi dengan prednison dan obat anti infl amasi non
steroid (OAINS). Fungsi ginjal, kadar kolesterol dan trigliserida serum, kadar glukosa puasa
dan fungsi hati juga mengalami perbaikan dengan diet rendah kalori, rendah purin dan rendah
lemak. Secara umum disimpulkan tidak terjadi urolitiasis dan perburukan fungsi ginjal jika kadar
asam urat serum dipertahankan di bawah 5 mg/dL. Persentase pasien dengan kadar serum
kreatinin > 5 mg/dL menurun secara bermakna setelah kontrol hiperurisemia selama 10 tahun,
dan tidak ada lagi pasien dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit. Studi Iseki dkk.15 terhadap
6.400 subjek dengan fungsi ginjal normal, didapatkan bahwa kadar asam urat > 8,0 mg/dL
dibandingkan dengan < 5,0 mg/dL berhubungan dengan peningkatan risiko timbulnya gangguan
ginjal dalam 2 tahun sebesar 2,9 kali pada laki-laki dan 10 kali pada perempuan. Hal ini tak
terpengaruh usia, indeks massa tubuh, tekanan darah sistolik, kolesterol total, albumin serum,
kadar gula darah, merokok, alkohol, kebiasaan olahraga, proteinuria dan hematuria. Malah,
peningkatan kadara asam urat lebih prediktif dibandingkan proteinuria terhadap timbulnya
gangguan ginjal.
Studi Kang dkk.16 pada tikus menemukan beberapa hal penting dalam pathogenesis
nefropati urat kronik. Asam urat adalah mediator penting terjadinya kelainan ginjal,
hiperurisemia meningkatkan tekanan darah, proteinuria, disfungsi ginjal dan pembentukan
jaringan ikat pada ginjal serta memacu kelainan vaskular lewat jalur COX-2. Salah satu peran
asam urat adalah melalui aktivasi sistem renin-angiotensin, mediator penting pada gangguan
ginjal lewat efek hemodinamik yang meningkatkan tekanan sistemik dan glomerular, serta efek
fibrogenik pada sel ginjal dan vaskular. Pada tikus percobaan, peningkatan kadar asam urat
meningkatkan ekspresi rennin jukstaglomerular dan pemberian enalapril mengendalikan tekanan
darah, memperbaiki arteriolopati serta mencegah cedera ginjal. Pemberian alopurinol dan
benziodaron untuk mencegah hiperurisemia menurunkan kadar renin yang mengurangi cedera
ginjal. Pada tikus hiperurisemia terjadi vaskulopati preglomerular berat, terlihat adanya
penebalan dan peningkatan jumlah sel otot polos vaskular serta infi ltrasi makrofag pada
subendotel, media dan adventisia. Perubahan ini menimbulkan arteriopati obliterasi yang
memperberat cedera ginjal karena iskemia sirkulasi postglomerular. Menyempitnya lumen juga
meningkatkan ekspresi renin dan menyebabkan hipertensi. Selain itu ditemukan mekanisme baru
yang berhubungan dengan COX-2, yang meningkat ekspresinya pada sel otot polos aorta dan
preglomerular akibat peningkatan kadar asam urat dan proliferasi sel otot polos. Peningkatan
ekspresi COX-2 meningkatkan kadar tromboksan. Namun masih belum jelas apakah peningkatan
ekspresi rennin merupakan efek langsung peningkatan kadar asam urat atau berhubungan dengan
stimulasi COX-2 pada makula densa dan arteriol atau efek tak langsung kelainan vaskular yang
menyebabkan penurunan perfusi ginjal. Pada pokoknya, angiotensin II menyebabkan proliferasi
dan hipertrofi sel otot polos vaskular dan infi ltrasi sel radang. Vaskulopati akibat hiperurisemia
dapat dicegah dengan inhibisi sistem rennin angiotensin dan proliferasi sel otot polos vaskular
diinhibisi sebagian dengan blockade reseptor AT1. Perubahan pembuluh darah preglomerular
bukan hanya disebabkan oleh peningkatan tekanan darah, yang terlihat pada tikus hiperurisemia
yang mengalami perubahan pembuluh darah yang lebih dibandingkan tikus dengan tekanan
darah yang setara namun kadar asam urat lebih rendah. Studi Zocalli dkk.17 menunjukkan
bahwa hiperurisemia ringan merupakan faktor yang mempengaruhi disfungsi endotel pada pasien
hipertensi yang belum terkomplikasi dan tidak diterapi. Inflamasi merupakan jalur yang cukup
penting dalam kerusakan endotel yang ditimbulkan oleh asam urat, di mana asam urat
menstimulasi sintesis C-Reactive Protein (CRP). Data studi ini menunjukkan bahwa paparan
kronik hiperurisemia ringan merupakan factor yang menimbulkan infl amasi mikro dan
peningkatan CRP pada pasien hipertensi esensial. Studi lain oleh Forman dkk.18 menunjukkan
kadar asam urat berhubungan dengan aliran plasma ginjal basal yang lebih rendah dan
perlambatan refleks vasokonstriksi ginjal, yang mendukung hipotesis bahwa asam urat
mengaktifkan sistem renin angiotensin. Selain itu, proliferasi sel otot polos vaskular dan infl
amasi akibat asam urat menyebabkan kerusakan ireversibel pada pembuluh darah kecil ginjal,
yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi dan sensitivitas garam. Namun mekanisme ini
kurang berperan pada usia lanjut jika kekakuan aorta adalah mekanisme utama, diikuti aktivasi
sistem renin angiotensin yang meningkat pada usia lanjut. Studi pada tikus oleh Patschan dkk.19
menunjukkan bahwa asam urat adalah mediator mobilisasi endothelial progenitor cells (EPC)
terhadap iskemi jaringan. Pada keadaan hiperurisemua kronik terjadi penurunan mobilisasi EPC
dan efek proteksinya terhadap ginjal.
Studi Kang dkk.20 menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam urat berhubungan
dengan peningkatan produksi CRP pada human vascular smooth muscle cells (HVSMC) dan
human umbilical vein endothelial cells (HUVEC), yang menunjukkan bahwa masuknya asam
urat ke intrasel bertanggung jawab untuk ekspresi CRP. Asam urat juga meningkatkan migrasi
HVSMC dan menghambat migrasi HUVEC, serta menghambat pembebasan nitric oxide (NO)
pada HUVEC. Pemberian antibody anti-CRP membalik efek asam urat terhadap proliferasi dan
migrasi HVSMC dan pelepasan NO pada HUVEC, yang menunjukkan pula peran asam urat
pada remodeling vaskular.
Tata Laksana Nefropati Urat Kronik
Seperti penatalaksanaan penurunan asam urat pada gout lainnya, harus dipertimbangkan
kemungkinan interaksi obat dan efek samping serta kondisi komorbid. Gout bukanlah suatu
penyakit yang selalu progresif. Kadar asam urat kadang kembali normal tanpa penggunaan obat
antihiperurisemik jika pasien berhenti mengonsumsi alkohol, jika obat antihipertensi diganti
dengan diuretic tiazid, atau pasien obesitas menurunkan berat badan. Diet rendah purin kadang
tidak dapat dilaksanakan dan hanya dapat sedikit menurunkan kadar asam urat. Suatu studi
menunjukkan bahwa diet rendah kalori yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin berhasil
menurunkan berat badan 7,7 kg dan hiperurisemia sebesar 17%.21
Berdasarkan studi-studi di atas, obat urikosurik seperti benzbromaron dan benziodaron
serta anti xantin oksidase (XO) seperti alopurinol dapat digunakan untuk mencegah nefropati
urat kronik. Penggunaan alopurinol untuk menurunkan kadar asam urat ternyata mencegah
gangguan ginjal, proteinuria, hipertensi, kelainan vaskular, dan hipertrofi ginjal; diperkirakan
lewat kemampuannya menurunkan kadar asam urat serum. Benziodaron, obat urikosurik, kurang
efektif menurunkan asam urat dan hanya sebagian menurunkan ekspresi renin. Namun,
benziodaron lebih efektif mencegah perubahan glomerular (proteinuria dan glomerulosklerosis)
dibandingkan perubahan vaskular dan interstitial. Hal ini mungkin karena perubahan glomerular
berhubungan dengan kadar asam urat, atau karena cedera interstitial tidak dicegah secara efektif
akibat efek urikosurik benziodaron.15
Dua faktor harus dipertimbangkan pada tata laksana nefropati urat kronik. Faktor pertama
adalah metabolit aktif alopurinol, yaitu oksipurinol, mengalami perjalanan yang sama dengan
asam urat, yang direabsorbsi, secara aktif di tubulus. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal,
klirensnya dipengaruhi semua hal yang mempengaruhi klirens urat, terutama kontraksi volume
termasuk akibat diuretik, akan meningkatkan konsentrasi plasma oksipurinol dan
memperpanjang waktu paruhnya. Oleh karena itu, pada pasien gagal ginjal, dosis alopurinol
harus diturunkan menjadi 100 mg perhari atau bahkan 100 mg seminggu 3 kali.
Faktor kedua adalah klirens urat harus diperhitungkan independen terhadap LFG.
Oksipurinol direabsorpsi secara aktif oleh ginjal, sehingga pada semua derajat gangguan ginjal,
retensi oksipurinol terjadi lebih besar pada pasien dengan FEur yang menurun. FEur menurun
lebih besar dengan penggunaan diuretik, seperti benzbromaron atau azapropazon, sedangkan
furosemid malah menurunkan kadar urat plasma. Kedua faktor tersebut menjadi pertimbangan
bahwa alopurinol tidak selalu obat pilihan pada pasien gagal ginjal. Obat urikosurik, seperti
probenesid, malah mengganggu transpor tubular diuretik.
BAB 4
PENUTUP

KESIMPULAN

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa hiperurisemia adalah faktor risiko independen
terjadinya kelainan ginjal, yang disebut nefropati urat kronik. Namun dalam berbagai studi juga
disebutkan berbagai kelemahan, di antaranya tidak dapat disingkirkannya semua faktor perancu
seperti keadaan metabolik, hipertensi dan usia. Masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk
memastikan hiperurisemia sebagai faktor independen kelainan ginjal, sehingga dapat dilakukan
usaha untuk menurunkan insidens gagal ginjal akibat nefropati urat kronik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
Rudy S, Sergen JS, (eds.) Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8th ed.
Philadelphia:Saunders; 2009.hal.1481 - 506.

2. Edward NL. Gout: Clinical features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Croff ord LJ, White
PH (eds.) 3rd ed. New York:Springer; 2008.hal.241 – 9.

3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1213 – 7.

4. Poor G, Mituszova M. History, Classifi cation and epidemology of crystal related


artropathies. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman
MH, Editors. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg: Elsevier; 2003.hal.1893 – 901

5. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The Eff ect of Control and Self-Medication of
Chronic Gout in a Developing Country. Outcome After 10 Years. J Rheumatol
2003;30:hal. 2437 – 43.

6. Orson W. Moe. Posing the Question Again: Does Chronic Uric Acid Nephropathy Exist?
J Am Soc Nephrol 2010;21: 395 – 7.

7. Obermayr RP, Temml C, Gutjahr G, Knechtelsdorfer M, Oberbauer R, Klauser-Braun R.


Elevated uric acid increases the risk for kidney disease. J Am Soc Nephrol 2008;19: 2407
– 13.

8. Cameron JS, Moro F, Simmonds HA. Uric acid and the kidney. Dalam: Davison AM,
Cameron JS, Grunfeld JP, Kerr DNS, Ritz E, et.al. Oxford Textbook of Clinical
Nephrology. 2nd ed.: Oxford University Press, 1998; hal. 1267 – 79.

9. Talbott JH, Terplan KL. The kidney in gout. Medicine 1960;39: 405 – 67.

10. Gonick HC, Rubini MD, Gleason IO, Sommers SC. The renal lesion in gout. Ann Int
Med 1965;62: 667 – 74.

11. Siebernagl S . Gout. Dalam: Siebernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. 1st
Edition. 2000 Georg Thieme Verlag. Stuttgart. Hal. 250 – 1.

12. Johnson RJ, Segal MS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W,et.al.. Essential Hypertension,
Progressive Renal Disease, and Uric Acid: A Pathogenetic Link? J Am Soc Nephrol
2005;16: 1909 –19.
13. Weiner DE, Tighiouart H, Elsayed EF, Griffi th JL, Salem JN, Levey AS. Uric Acid and
Incident Kidney Disease in the Community. J Am Soc Nephrol 2008;19: hal. 1204–11.

14. 14. Domrongkitchaiporn S, Sritara P, Kitiyakara C, Stitchantrakul W, Krittaphol V, et.al..


Risk Factors for Development of Decreased Kidney Function in a Southeast Asian
Population: A 12-Year Cohort Study. J Am Soc Nephrol 2005;16: 791 – 9.

15. Iseki K, Oshiro S, Tozawa M, Iseki C, Ikemiya Y, Takishita S. Signifi cance of


hyperuricemia on the early detection of renal failure in a cohort of screened subjects.
Hypertens Res 2001;24: 691-7.

16. Kang D, Nakagawa T, Feng L, Watanabe S, Han L. et.al. A Role for Uric Acid in the
Progression of Renal Disease. J Am Soc Nephrol 2002;13: 2888 – 97.

17. Zoccali C, Maio R, Mallamaci F, Sesti G, Perticone F. Uric Acid and Endothelial
Dysfunction in Essential Hypertension. J Am Soc Nephrol 2006;17: 1466 – 71.

18. Forman JP, Choi H, Curhan GC. Plasma Uric Acid Level and Risk for Incident
Hypertension Among Men. J Am Soc Nephrol 2007;18: 287–92.

19. Patschan D, Patschan S, Gobe GG, Chintala S, Goligorsky MS. Uric Acid Heralds
Ischemic Tissue Injury to Mobilize Endothelial Progenitor Cells. J Am Soc Nephrol
2007;18: 1516–24.

20. Kang DH, Park SK, Lee I, Johnson RJ . Uric Acid–Induced C-Reactive Protein
Expression:Implication on Cell Proliferation and Nitric Oxide Production of Human
Vascular Cells. J Am Soc Nephrol 2005;16: 3553–62.

21. Terkeltaub RA, Gout. N Engl J Med 2003;349: 1647 – 55.

Anda mungkin juga menyukai