Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT bahwa saya telah menyelesaikan artikel yang
berjudul: Kekerasan pada istri dalam rumah tangga Berdampak Terhadap Kesehatan reproduksi.
Walaupun masih jauh dari kesempurnaan, namun saya bersyukur dapat selesai tepat waktu dan
untuk itu kami mengharapkan saran yang bersifat mem-bangun untuk perbaikan artikel ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ucapkan terima kasih kepada:

Ibu Rr. Tutik Sri Hariyati, SKp. MARS selaku koordinator mata ajar Sistem Keperawatan dan
pembimbing Informasi Manajemen yang telah memberi kesempatan kami belajar dalam pembuatan
artikel.

Tim Dosen yang telah memperluas wawasan kami.

Dengan segala kerendahan hati kami berharap artikel ini berguna dan bermanfaat bagi yang
memerlukannya.

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan Penulisan 5

II. PEMBAHASAN 6

A. Kekerasan Terhadap Perempuan 6

B. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan 7

C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan pada istri dalam

Rumah tangga 9
D. Dampak Kekerasan Terhadap Kesehatan Reproduksi 10

E. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.......................................................... 12

F. Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum

perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga 17

III. KESIMPULAN DAN SARAN 18

Kesimpulan .................................................................................................... 18

Saran ............................................................................................................. 18

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang
kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga
pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga,
sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman
kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja,
tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi
kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan,
pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah
tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan
keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap
wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada
istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996)

Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks
sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan
demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya
apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-
laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi
suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan
ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering
terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan
kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi
dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari
dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang
kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam
kehidupan berkeluarga.

Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang
dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang
diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan
yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak
tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan
terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat
otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.

Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang
tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam
rumah tangga. Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga
terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.

Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada
tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan
tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72%
dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.
Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan
suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah
18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan
pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan
pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang
kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri)
mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari
wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan
termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari
100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah
mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang),
kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan
lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20
responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat
antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban,
bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.

Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri
meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami,
melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri,
sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.

Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan
reproduksi masih sedikit. Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan
pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara
konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Menurut model Dixon-Mudler
(1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi;
pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan
seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan
yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada
saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.

Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai tindakan kekerasan
pada istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan serta implikasi
keperawatan yang dapat diberikan.

2. Tujuan Khusus:

a. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam rumah tangga.

b. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga.

c. Memperoleh persepsi istri terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya.

d. Dapat menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan repro-duksinya.

e. Dapat mengetahui adanya issu tentang kekerasan dalam rumah tangga


f. Dapat mengimplikasikan peran perawat dalam melakukan pendampingan korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga

II. PEMBAHASAN

A. Kekerasan Terhadap Perempuan

Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala
tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk
mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan,
baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman,
pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan
fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan
yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali
dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan yang dekat.

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa
masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah
superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi
yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap
lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan
Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan
manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.

Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan
kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa
saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut
kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri,
ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut
campur (http://kompas.com).

Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun
2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah
menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi
kekerasan dalam rumah tangga (http://kompas.com).

B. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan
senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi
patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar,
mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
istri.
4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).

C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam

Rumah tangga

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai
berikut:

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri)
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami
tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi
kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak

konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki
untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak
untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar
menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.


Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan
dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.

Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade
terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT (2000) AKI
sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002),
bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi
87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).

Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah
dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak
kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang
pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering
mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi
perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia
(1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan
reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan
tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di
Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga
menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak
kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang
tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa
sakit terus menerus.

Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri
agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak
perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.

Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan
menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat
mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan
mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.

Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh
pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi
meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi
uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat
melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.

Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga
diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir
istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu
berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil
keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki
masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban
termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular
(www.depkes.go.id).

Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu
adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga
perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan
kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi
serta ongkos perkara.

Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian
zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca
trauma dan rendahnya kepercayaan diri.

E. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan
organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of
Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan
telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan
korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia
layanan korban kekerasan.

Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal
tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi
Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan
LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang
ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja
mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan
pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana
istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi
kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep
wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk
mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di
dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran
hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan
sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi
ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem
ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara
yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini
pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak
karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang
menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT.
Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.

Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan
kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku
perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang
melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan
perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai
kekerasan.

Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian


masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku
santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga
kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara
sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada
pada derajat sangat rendah.

Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan
terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi
tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam
rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal
dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami
seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang
tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan
dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun,
nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat
penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.

Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain,
seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis
kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi
aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.

Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak
yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi
korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah
mengetahui hak-haknya.

UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan,
seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan
merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak
saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.

Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila
negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT
hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit
terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.

Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum

perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :

Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center.

Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat
berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban,
dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya
membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling
keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder
dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha
tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan
rehabilitasi.

Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.

Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.


Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga
sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian
dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual,
dan verbal serta penelantaran rumah tangga.

Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu
pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban
pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.

Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis
ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi
yang dilahirkan.

Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain
mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban
dan merekomendasikan crisis women centre.

Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan,
dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus
KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini
kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.

B. SARAN

Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan
dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang
terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang
perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak

dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.

Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.

Kes. RI
__________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari

http://www.depkes.co.id.

Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan

Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional

Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM

Yogyakarta, 6 November.

Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.

Jakarta: Ameepro.

Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.

Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil

pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of

Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The

International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.

Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of

Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,

Jakarta, Indonesia.

Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan

Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.


WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan

Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar

Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.

____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada

tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.

Anda mungkin juga menyukai