(KDRT)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas
Dosen Pembimbing : Mas’adah, M.Kep
1. Rizki Amalia.
2. Rizky Amaliah
3. Rizkita Ayuada
4. Seni Wati
5. Sri Hajratul Aswah
6. Sulthia Hair
7. Vendi Riswanda
8. Yuliati Rokmah
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya
yang telah dllimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah
keperawatan Maternitas yang berjudul” Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Rumah Tangga (Kdrt)”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah banyak mendapatkan bantuan dan
masukan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan kepada :
1. Ibu Mas’adah,M.Kep selaku dosen pengajar mata kuliah keperawatan Maternitas yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada kami.
2. Teman-teman kelompok 5 yang telah sama-sama bekerja keras dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dan para
pembaca demi kesempurnaan laporan ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................3
C. Tujuan...............................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................4
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................................................4
B. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................................7
C. Dampak KDRT.................................................................................................................8
D. Bentuk KDRT...................................................................................................................9
E. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri Dalam
Rumah Tangga.......................................................................................................................11
F. Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT..................................................................................15
BAB III......................................................................................................................................18
A. KESIMPULAN...............................................................................................................18
B. SARAN...........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
mar-tabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban kekerasan
dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan
dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
Pembahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri, merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini
disebabkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling banyak
dijumpai dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga
juga merupakan hal yang kompleks. Tidak seperti halnya kejahatan lainnya, dimana
korban dan pelaku berada dalam hubungan personal, legal, institusional serta
berimplikasi sosial. Perempuan yang dipukul oleh suaminya juga sama-sama
membesarkan anak, mengerjakan pekerjaan dalam rumah, membesarkan keluarga,
menghasilkan uang serta terikat secara emosional dengan pelaku kekerasan tersebut.
Realitas menunjukkan bahwa di Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga
meningkat dari tahun ke tahun, dengan persentasi terbesar adalah kekerasan terhadap
isteri. Sebagaimana dilaporkan oleh Komnas Perempuan yang dikutip oleh Elsa R.M.
Toule, di Tahun 2007, dari 25.522 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebanyak
17.722 kasus atau 69,6 persen adalah kekerasan terhadap isteri. Pada tahun 2008, angka
ini me-ningkat lagi menjadi hampir 86 persen yakni sebanyak 46.884 dari ke-seluruhan
kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 54.525. Data tahun 2010 menunjukkan
bahwa jumlah kekerasan terhadap istri tahun 2009 adalah sebesar 96 persen dari seluruh
jumlah KDRT, yakni 131.375 kasus hingga menurut catatan akhir tahun 2014, terdapat
293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen
dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan
1
2
mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Selain istri, anak perempuan juga
menjadi korban terbanyak dari KDRT. Pada kasus KDRT dengan korban anak, terdapat
kasus di mana pelakunya adalah perempuan dalam status sebagai ibu. Dengan kata lain,
perempuan dapat terlibat dalam lingkaran KDRT. Pada satu pihak, perempuan menjadi
korban KDRT, tetapi di pihak lain, perempuan yang sama melakukan KDRT terhadap
anaknya.
Persoalan yang mengemuka dalam konteks ini adalah bukan saja me-ngapa
perempuan atau isteri menjadi korban yang paling dominan dalam KDRT, tetapi juga
mengapa kekerasan justru terjadi di tempat dimana seharusnya anggota keluarga merasa
aman. Kenyataannya pula, sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban ke-kerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan pertimbangan tersebut
tulisan ini hendak meneliti tiga masalah utama, yaitu pertama, apa maknanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga? Kedua, apa saja pe-nyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga? Ketiga, bagaimana pandangan
Islam mengenai kekerasan terhadap per-empuan dalam rumah tangga?
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk memahami Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Untuk mengetahui Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3. Untuk mengetahui Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4. Untuk mengetahui Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5. Untuk mengetahui Peraturan Perundang-Undangan tentang Kekerasan (Fisik)
Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga
6. Untuk mengetahui Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB II
PEMBAHASAN
C. Dampak KDRT
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka
penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-
anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita
rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks.
9
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa
takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
D. Bentuk KDRT
1. kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di
antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar,
menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku
ini sungguh membuat korban kdrt menjadi trauma dalam hidupnya, sehingga mereka
tidak merasa nyaman dan aman.
2. kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis
dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan
ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk
melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara
terus menerus.
3. kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
10
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat
dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di
antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan
dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya.
11
tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang
meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
b. Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 yaitu meliputi:
1) Penghormatan hak asasi manusia
2) Keadilan dan kesetaraan jender
3) Anti diskriminasi, dan
4) Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
c. Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam
lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
d. Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang
meliputi:
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
dan. Pelayanan bimbingan rohani.
e. Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan
14
tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah
sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
1) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga
f. Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana
tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang
terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan
pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh
rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat
sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
g. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan,
korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1) Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya (pasal 40)
2) Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib
memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban (pasal 41)
h. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53.
Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
1) Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
2) Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka
pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda
paling banyak Rp. 30.000.000,-
3) Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp.
45.000.000,-
4) Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun
untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana
15
dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,-
i. Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan
55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).
Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga–“UU KDRT”).
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan
kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT).
Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga
termasukpula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah
dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara
langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak
lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah
mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
16
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk
mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut
serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalamPasal 15 UU KDRT yang berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan
sebagai orang terdekat adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas.
UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk
lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan
oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing
rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu,
permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3],
dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan
tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk
mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah
pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15
17
juta ( Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya
adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5
juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang sering
terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan secara dini.
Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci
sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan
kasih sayang Sejak dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-
anak dirumah untuk saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK
sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada
kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan
para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan
untuk terus menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT. Supaya terkomunikasikan
hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan partisipasi media sangat penting
dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah
rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan,
kedamaian, perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
B. SARAN
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat
perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap
perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah,
mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender,
mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
DAFTAR PUSTAKA
al-Andalusi, Abu Hayan, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Beirut: Dar al-Kutub al-Imamiyyah.
Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Resco, 2011.
Barlas, Asma, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Luqman Yasin,
Perempuan.
Departemen Agama Rl, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun
Ferraro, Kathleen J., “Woman Battering: More than Family Problem,” dalam Women, Crime
California 2001.
Hajjar, Lisa, Domestic Violence and Shari’a: A Comparative Study of Muslim Societies in
the Middle East Africa and Asia, American Bar Association, 2004.
Humm, Maggi, The Dictionary of Feminist Theory, London: Harvests, Wheatsheaf, 2007.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, 1995/1996.
Indonesia, dalam Ratna Batara Munti (ed), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan:
Sosialisasi Masalah dan Draf RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK
Jakarta
19
20
2002.
Martha, Aroma Elmina, Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2013.
Muchsin, “Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga”, dalam Varia
Mudzhar, M. Atho, Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim dalam Islam dan
Mulia, Musdah, “Kekerasan terhadap Perempuan: Mencari Akar Kekerasan dalam Teologi”,
Makalah pada seminar Internasional Woman in Islam, Jakarta, Past, Present, and
Poewadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2012.
Tangga.
Wadud, Amina, Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, Oxford: Oxford