Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA

(KDRT)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas
Dosen Pembimbing : Mas’adah, M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Rizki Amalia.
2. Rizky Amaliah
3. Rizkita Ayuada
4. Seni Wati
5. Sri Hajratul Aswah
6. Sulthia Hair
7. Vendi Riswanda
8. Yuliati Rokmah

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS MATARAM
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya
yang telah dllimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah
keperawatan Maternitas yang berjudul” Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Rumah Tangga (Kdrt)”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah banyak mendapatkan bantuan dan
masukan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan kepada :
1. Ibu Mas’adah,M.Kep selaku dosen pengajar mata kuliah keperawatan Maternitas yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada kami.
2. Teman-teman kelompok 5 yang telah sama-sama bekerja keras dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dan para
pembaca demi kesempurnaan laporan ini.

Mataram, Agustus 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................3
C. Tujuan...............................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................4
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................................................4
B. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................................7
C. Dampak KDRT.................................................................................................................8
D. Bentuk KDRT...................................................................................................................9
E. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan (Fisik)  Terhadap Istri Dalam
Rumah Tangga.......................................................................................................................11
F. Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT..................................................................................15
BAB III......................................................................................................................................18
A. KESIMPULAN...............................................................................................................18
B. SARAN...........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
mar-tabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban kekerasan
dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan
dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
Pembahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri, merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini
disebabkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling banyak
dijumpai dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga
juga merupakan hal yang kompleks. Tidak seperti halnya kejahatan lainnya, dimana
korban dan pelaku berada dalam hubungan personal, legal, institusional serta
berimplikasi sosial. Perempuan yang dipukul oleh suaminya juga sama-sama
membesarkan anak, mengerjakan pekerjaan dalam rumah, membesarkan keluarga,
menghasilkan uang serta terikat secara emosional dengan pelaku kekerasan tersebut.
Realitas menunjukkan bahwa di Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga
meningkat dari tahun ke tahun, dengan persentasi terbesar adalah kekerasan terhadap
isteri. Sebagaimana dilaporkan oleh Komnas Perempuan yang dikutip oleh Elsa R.M.
Toule, di Tahun 2007, dari 25.522 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebanyak
17.722 kasus atau 69,6 persen adalah kekerasan terhadap isteri. Pada tahun 2008, angka
ini me-ningkat lagi menjadi hampir 86 persen yakni sebanyak 46.884 dari ke-seluruhan
kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 54.525. Data tahun 2010 menunjukkan
bahwa jumlah kekerasan terhadap istri tahun 2009 adalah sebesar 96 persen dari seluruh
jumlah KDRT, yakni 131.375 kasus hingga menurut catatan akhir tahun 2014, terdapat
293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen
dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan

1
2

mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Selain istri, anak perempuan juga
menjadi korban terbanyak dari KDRT. Pada kasus KDRT dengan korban anak, terdapat
kasus di mana pelakunya adalah perempuan dalam status sebagai ibu. Dengan kata lain,
perempuan dapat terlibat dalam lingkaran KDRT. Pada satu pihak, perempuan menjadi
korban KDRT, tetapi di pihak lain, perempuan yang sama melakukan KDRT terhadap
anaknya.
Persoalan yang mengemuka dalam konteks ini adalah bukan saja me-ngapa
perempuan atau isteri menjadi korban yang paling dominan dalam KDRT, tetapi juga
mengapa kekerasan justru terjadi di tempat dimana seharusnya anggota keluarga merasa
aman. Kenyataannya pula, sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban ke-kerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan pertimbangan tersebut
tulisan ini hendak meneliti tiga masalah utama, yaitu pertama, apa maknanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga? Kedua, apa saja pe-nyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga? Ketiga, bagaimana pandangan
Islam mengenai kekerasan terhadap per-empuan dalam rumah tangga?
3

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Kekerasasan Dalam Rumah Tangga ?


2. Apa saja Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
3. Apa saja Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
4. Apa saja Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
5. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan (Fisik)  Terhadap Istri
Dalam Rumah Tangga?
6. Apa Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

C. Tujuan
1. Untuk memahami Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Untuk mengetahui Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3. Untuk mengetahui Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4. Untuk mengetahui Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5. Untuk mengetahui Peraturan Perundang-Undangan tentang Kekerasan (Fisik)
Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga
6. Untuk mengetahui Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan


kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT
merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah
tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang tanggap
terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan masalah
domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur tangan.
Padahal dampak KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun keluarganya.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik,
penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan;
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang
terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ten-tang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahwa kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Menurut Mansur Faqih, kata "kekerasan" yang digunakan sebagai padanan dari
kata "violence" dalam bahasa Inggris, diartikan sebagai suatu serangan atau invasi
(assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, inilah yang
membedakan dengan yang dipahami dalam bahasa Indonesia, dimana kekerasan hanya
menyangkut serangan fisik belaka. Pandangan Mansur Faqih itu menunjukkan pengertian
ke-kerasan pada objek fisik maupun psikologis.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu beragam. Mulai dari ke-kerasan fisik,
psikologis, ekonomi, sampai kekerasan seksual. Jelasnya ke-kerasan terhadap perempuan
(istri) sebagaimana yang tertuang dalam rumusan Deklarasi PBB, yaitu tentang Deklarasi
5

Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan adalah segala tindakan berdasarkan


per-bedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi/keluarga.
Martin R. Haskell dan Lewis Yabslonswky sebagaimana dikutip oleh W.
Kusumah membagi kekerasan dalam empat kategori yang mencakup hampir semua pola-
pola kekerasan, yaitu:
1. Kekerasan legal, kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum,
misalnya kekerasan yang dibenarkan secara legal seperti tentara yang melakukan
tugas dalam peperangan.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sangsi. Suatu faktor penting dalam
menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan sangsi sosial terhadapnya, misal
tindakan kekerasan oleh masyarakat atas penzina akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional. Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak
ada sangsi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks
kejahatan, misalnya pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi.
4. Kekerasan yang tidak berperasaan, "Irrational Violence" yang terjadi tanpa adanya
provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan moti-vasi tertentu dan pada
umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya apa
yang dinamakan "Raw Violence" yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan
psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupan.
6

Menurut Harkristuti Harkrisnowo kekerasan terhadap perempuan ada-lah setiap


kekerasan yang diarahkan kepada perempuan hanya karena mereka perempuan.
Pengertian yang diberikan oleh Harkristuti Harkris-nowo, melihat apa yang terjadi pada
perempuan karena identitas kelamin-nya. Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan
dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk kekerasan yang meliputi:
1. Kekerasan fisik (physical abuse) seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak,
meludah, menusuk, mendorong, memukul dengan senjata.
2. Kekerasan psikis/emosional (emotional abuse) seperti rasa cemburu atau rasa
memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi mengancam untuk
bunuh diri, melakukan pengawasan dan mani-pulasi, mengisolasi dari kawan-kawan
dan keluarganya, dicaci maki, mengancam kehidupan pasangannya atau melukai
orang yang di-anggap dekat atau menganiaya binatang peliharaannya, menanamkan
perasan takut melalui intimidasi, ingkar janji, merusak hubungan orang tua anak atau
saudara dan sebagainya.
3. Kekerasan ekonomi (economic abuse) seperti membuat tergantung secara ekonomi,
melakukan control terhadap penghasilan, pembelanjaan.
4. Kekerasan seksual (sexual abuse) seperti memaksa hubungan seks, mendesak
hubungan seks setelah melakukan penganiayaan, meng-aniaya saat berhubungan seks,
memaksa menjadi pelacur, meng-gunakan binatang untuk hubungan seks dan
sebagainya.
Soedjono Dirdjosisworo mendefinisikan kejahatan (violence) ialah suatu istilah
yang dipergunakan bagi terjadinya cidera mental atau fisik, kejahatan kekerasan
sebenarnya merupakan bagian dari proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan,
sehingga jarang disebut sebagai kekerasan.
Sedangkan Romli Atmasasmita berpendapat, kejahatan kekerasan harus merujuk
pada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang baik
berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-
akibat kerusakan terhadap benda dan fisik atau mengakibatkan kematian seseorang.
7

B. Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan
sebagai berikut:
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian
rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik
suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki.
Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk
menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun
tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan
penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan
pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak
sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan,
ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan
tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel
maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
Jika di awal telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga
adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain,
perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan
ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
8

lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan


selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di
satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang
dan dikekang.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai
tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini
biasa terjadi pada pasangan yang :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga.
3. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau
mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan
perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi
laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi
hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP
membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia
hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat
minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

C. Dampak KDRT
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka
penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-
anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita
rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks.
9

3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa
takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
D. Bentuk KDRT
1. kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di
antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar,
menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku
ini sungguh membuat korban kdrt menjadi trauma dalam hidupnya, sehingga mereka
tidak merasa nyaman dan aman.
2. kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis
dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan
ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk
melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara
terus menerus.
3. kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
10

berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat
dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di
antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan
dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya.
11

E. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan (Fisik)  Terhadap Istri Dalam


Rumah Tangga
1. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat
dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh
masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan
atau mendatangkan korban.
Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental
berkaitan dengan pemidanaan yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata
lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga
adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan
yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu
dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya.
Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih
karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya
pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja
melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja.
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman
pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan
sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan
kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih
jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan,
disebutkan: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena
melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam
perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya
12

dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam


pasal 56 KUHP yang berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan:
mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami
meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi,
kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan
sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka
berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351,
353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan
itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga
adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal
yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara
hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara
belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender
di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis
kelamin.

2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004


UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam
pasal. Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam
rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana
13

tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang
meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
b. Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 yaitu meliputi:
1) Penghormatan hak asasi manusia
2) Keadilan dan kesetaraan jender
3) Anti diskriminasi, dan
4) Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
c.  Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam
lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
d. Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang
meliputi:
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
dan. Pelayanan bimbingan rohani.
e. Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan
14

tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah
sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
1) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga 
f. Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana
tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang
terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan
pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh
rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat
sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
g. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan,
korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1) Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya (pasal 40)
2) Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib
memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban (pasal 41)
h. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53.
Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
1) Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
2) Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka
pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda
paling banyak Rp. 30.000.000,-
3) Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp.
45.000.000,-
4) Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun
untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana
15

dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,-
i. Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan
55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).

F. Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT


Sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur
dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di
bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara
atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta
sampai dengan 500 juta rupiah. (vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Selain pidana pokok yang diatur dalam KUHP, UU PKDRT dalam Pasal 50 juga
mengatur pidana tambahan berupa: pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-
hak tertentu dari pelaku; penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.

Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga–“UU KDRT”).
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan
kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT).
Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga
termasukpula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah
dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara
langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak
lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah
mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
16

Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk
mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut
serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalamPasal 15 UU KDRT yang berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
  Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan
sebagai orang terdekat adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas.
UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk
lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan
oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing
rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu,
permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3],
dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan
tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk
mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
 Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah
pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15
17

juta ( Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya
adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5
juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang sering
terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan secara dini. 
Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci
sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan
kasih sayang Sejak dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-
anak dirumah  untuk saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK
sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada
kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan
para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan
untuk  terus menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat untuk dibangun secara  baik dan jauh dari KDRT.  Supaya terkomunikasikan
hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan partisipasi media sangat penting
dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”.  Betapapun keadaannya sebuah
rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan,
kedamaian,  perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.

B. SARAN
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat
perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap
perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah,
mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender,
mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
DAFTAR PUSTAKA
al-Andalusi, Abu Hayan, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Beirut: Dar al-Kutub al-Imamiyyah.

Anwar, Laraswati Ariadne, “Laporan KDRT Meningkat Penanganan Belum Optimal”,

Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Resco, 2011.

Barlas, Asma, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Luqman Yasin,

Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap

Perempuan.

Departemen Agama Rl, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama/

Dirdjosisworo, Soedjono, Kamus Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.

__________, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Jakarta: Gapura Media, 2014.

Ferraro, Kathleen J., “Woman Battering: More than Family Problem,” dalam Women, Crime

and Criminal Justice, Claire Renzetti (Ed,), Roxbury Publishing Company, LA

California 2001.

Hajjar, Lisa, Domestic Violence and Shari’a: A Comparative Study of Muslim Societies in

the Middle East Africa and Asia, American Bar Association, 2004.

Humm, Maggi, The Dictionary of Feminist Theory, London: Harvests, Wheatsheaf, 2007.

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, 1995/1996.

Katjasungkana, Nursyahbani, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Sistem Hukum di

Indonesia, dalam Ratna Batara Munti (ed), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan:

Sosialisasi Masalah dan Draf RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK

Jakarta

19
20

Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kekerasan terhadap Perempuan-KDRT, Jakarta,

2002.

Kusumah, Mulyana W, .Analisis Kriminologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012.

Martha, Aroma Elmina, Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2013.

Muchsin, “Peranan Putusan Hakim pada Kekerasan dalam Rumah Tangga”, dalam Varia

Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 260 Juli 2007.

Mudzhar, M. Atho, Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim dalam Islam dan

Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKIS, 2001.

Mulia, Musdah, “Kekerasan terhadap Perempuan: Mencari Akar Kekerasan dalam Teologi”,

Makalah pada seminar Internasional Woman in Islam, Jakarta, Past, Present, and

Future, 3-4 Mei 2000.

Oxford Dictionary, Oxford University Press, 1995.

Poewadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2012.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga.

Wadud, Amina, Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, Oxford: Oxford

Univ. Press, 2006.

Anda mungkin juga menyukai