PENDAHULUAN
Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar (kolon) atau
rectum relatif umum. Adenokarsinoma dari usus besar dan rektum adalah
termasuk dalam tiga keganasan yang paling umum dijumpai sebagai kanker baru
dan penyebab kematian baik pada pria (setelah prostat dan paru-paru / bronkus)
dan wanita ( setelah payudara dan paru-paru / bronkus) di Amerika Serikat.1
Diperkirakan bahwa pada tahun 2015, ada 106.100 kasus baru kanker usus besar
(552. 010 pria dan 54.090 wanita) dan 40.870 kasus baru kanker rektal (23.580
pria dan 17.290 wanita) didiagnosis. Pada tahun 2015, 49.920 orang Amerika
(25.240 pria dan 24.680 wanita) diperkirakan meninggal akibat kanker kolorektal.
Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan
20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal.1,2
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat, Amerika Utara. Di
Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan
makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi
merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan
karsinogen, bakteri dan virus. Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal
terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon
desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%), flexura hepatika
(4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%).2 Gejala klinik karsinoma
kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon asenden
biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid
dapat menyumbat lumen atau berdarah. Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa
setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap
tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan
diagnosis dini dan tindakan segera.1
Hal inilah yang melatarbelakngi pembuatan refleksi kasus tumor colon di
RSU. Anutapura Palu.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Neoplasma adalah pertumbuhan baru (atau tumor) massa yang tidak
normal akibat proliferasi sel yang beradaptasi tanpa memiliki keuntungan dan
tujuan. Neoplasma terbagi atas jinak atau ganas. Neoplasma ganas disebut
juga sebagai kanker. Jika menyerang kolon, maka disebut kanker kolon, bila
mengenai di rektum, maka disebut kanker rektum. Bila mengenai kolon
maupun rektum maka disebut kanker kolorektal.3,4
2
ganas. Gejala klinis utama adalah perdarahan spontan,
kadang disertai lendir; karena selalu bertangkai, dapat
menonjol keluar dari anus pada saat defekasi; nyeri
abdomen karena autoamputasi polip atau intussussepsi.
Karena bisa mengalami regresi spontan, terapinya tidak
perlu agresif.5
Sindroma Cronkhite-Canada
Dikarakteristikan dengan poliposis
gastrointestinal yang menyeluruh, hiperpigmentasi
kulit, alopecia, dan distrofi kuku. Kelainan ini tidak
diturunkan secara genetik. Onset rata-rata pada umur 60
tahun. Predileksi polip yang paling sering di gaster dan
colon, jarang pada oesophagus dan usus halus. Gejala
klinisnya adalah nyeri abdomen, diare, perdarahan,
anorexia sehingga terjadi penurunan berat badan,
malabsorbsi, dan anemia. Remisi terjadi spontan atau
setelah pemberian terapi medikamentosa atau
gastrectomy parsial. Penatalaksanaan dengan
polipectomy untuk diagnosis dan terapi suportif.5
Sindroma Peutz-Jeghers
Dikarakteristikan dengan poliposis
gastrointestinal yang menyeluruh dan area pigmentasi
pada mukokutan. Sindroma ini diturunkan melalui gen
autosomal dominan. Seluruh traktus gastrointestinal
dapat terkena, namun paling sering di usus halus.
Onsetnya pada usia muda, antara 10-30 tahun. Gejala
klinik berupa muntah, perdarahan, nyeri abdomen.
Pembedahan merupakan terapi konservatif untuk
mengatasi gejala sekunder akibat ulserasi polip,
obstruksi atau intussussepsi. Progresifitas ke arah
keganasan jarang terjadi. Beberapa pasien mempunyai
3
kecenderungan timbulnya keganasan pada organ lain
seperti pankreas, payudara, dan ovarium.4,5
b. Polip hiperplastik
Merupakan polip kecil yang berdiameter kurang
dari 5 mm yang berasal dari epitel mukosa yang
hiperplastik. Dikenal juga sebagai polip metaplastik. Tipe
ini merupakan polip colon yang paling sering. Polip
hiperplastik sendiri adalah non-neoplastik, namun sering
ditemukan pada pasien carcinoma colon. Etiologinya belum
jelas, diduga karena infeksi virus. Umumnya polip ini tidak
bergejala, tetapi disarankan dilakukan polypectomy dan
dibiopsi untuk diagnosis histologik.5
c. Polip inflamasi
Tipe polip ini dapat singel atau multipel. Bila
multipel, biasanya terdapat inflammatory bowel disease.
Polip sebaiknya dibuang dan diperiksa secara patologis.
Jika terdapat colitis ulseratif aktif maka harus diterapi.4,5
2. Polip neoplastik
a. Polip adenomatous
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial
berdegenerasi maligna dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai
tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh
puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular
adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma
dibawah 5%.5
Adenoma Tubular
Adenoma tubular pada umumnya pedunculated tetapi dapat
pula tumbuh flat. Mikroskopis berupa proliferasi kripti yang
dilapisi epitel kolumner yang displastik. Pada perjalanannya bentuk
tubular dapat dapat membentuk cabang-cabang. Lamina propria
bersebukan pada limfosit, sel plasma dan eosinofil.5
4
Gambar 5 Adenoma Tubular
Adenoma Villosum
Berupa proliferasi kelenjar yang membentuk pola seperti
jari-jari atau berupa papilla-papilla runcing.Papilla dilapisi sel
epitel yang displastik.6
Adenoma Tubulovillosum
Merupakan bentuk campuran bentuk tubular dan villi,
dapat juga berupa struktur adenoma villosum yang mengandung
struktur tubuler.Pada adenoma tipe ini struktur villi berkisar
antara 35-75 %.4
5
Gambar 7 Adenoma Tubulovillosum
6
2.2.2 Inherited Colorectal Carcinoma
a. Familial adenomatous poliposis (FAP)
7
c. Sindroma Turcot’s
Sindroma Turcot menunjukan hubungan yang
jarang antara adenoma kolon dengan berbagai tumor di
sistem saraf pusat. Polip mempunyai frekuensi trasformasi
keganasan yang tinggi. Lesi sistem saraf pusat mencangkup
medulablastoma, ependimoma dan ganglioblastoma. Cara
penularan dianggap autosom resesif walaupun hal ini belum
jelas.6
d. Penatalaksanaan3,5
8
perlu di lakukan tindakan lebih lanjut. Jika kanker telah
menembus lamina muskularis mukosa dan invasi pemuluh
limfe telah terlihat, jika kanker berdifrensiasi buruk atau
jika telah meluas ketepi eksisi pada kolonoskopi maka
laparatomi tindak lanjut dengan reseksi segmental seperti
rutin di gunakan untuk adenokarsinoma kolon adalah tepat.
5,6
2.3.2 Epidemiologi
Di dunia kanker kolon menduduki peringkat ketiga pada tingkat
insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta
insiden kanker kolon dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5%
pria penderita kanker terkena kanker kolon, sedangkan pada wanita
angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Angka
9
insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia
baru, sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika
Selatan dan Arab Israel. Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat
perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang
meningkat seiring dengan usia 2) meningkatnya insiden kanker kolon
seiring dengan kepadatan penduduk 3) rendahnya insiden pada pria
yang belum pernah menikah.6,7
Kanker kolon merupakan salah satu dari lima kanker yang paling
sering terdapat pada pria maupun wanita. Di Indonesia terdapat
kenaikan jumlah kasus kanker kolon, data di Departemen Kesehatan
didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun 1994-2003,
terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker
Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan
247 penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria
dan 169 (43,45%) wanita berusia antara 20-71 tahun.4,6
10
2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko
1. Kelainan di kolon
a. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah
proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel
mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi
onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion
memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif
karsinoma.7
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial
berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan
sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous
adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,
dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.7
11
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara
histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan
dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal. Polip
yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan
meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker
meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm,
dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip.
Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung
beratnya derajat displasia.6,7
12
dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.8
2. Faktor Genetik
a. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien
dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat.
Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker
kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya.7
b. Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi
dari normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah
dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam
menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma
yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan
pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang
utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah
dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).7,8
3. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet
rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal
13
pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang
tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal.
Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan
antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah
pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi
insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan
resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida
dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah
pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang
hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara
signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari
daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan
adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya
mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci.
Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan.
Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan
melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan
secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.6,7
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai
risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak
14
untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan
dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan
dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.6
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara
aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada
percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah
menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan
aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan
bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya
adenoma.7
5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn)
pria dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria
berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan
pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-
64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai
dengan usia.8
Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :
1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis (familial, hamartomatous
poliposis dan Peutz jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal
15
2.3.4 Letak
Sekitar 75% carcinoma colorectal ditemukan di rectosigmoid.2,7
Letak ` Persentase
Caecum dan colon ascendens 25
Colon transversum 10
Colon descendens 15
Rectosigmoid 50
Tabel 1. carcinoma colon
2.3.5 Klasifikasi
Sistem Dukes
16
Gambar 10 Kanker stadium 0
17
stadium IIb, sel kanker telah menyebar melewati kolon atau rektum.
Kanker belum menyebar ke limfpnodi terdekat (T4, N0, M0).5
18
Pada stadium IIIb, sel kanker telah tumbuh melewati dinding
saluran cerna atau organ sekitar dan terdapat pada satu sampai tiga
limfonodi, tetapi belum menyebar ke bagian tubuh yang lain (T3 atau T4,
N1, M0).5
19
Pada stadium IV, sel kanker telah metastasis ke bagian distal tubuh,
seperti hati dan paru-paru (semua T, semua N, M1)7
Sistem TNM
20
- T2 : Tumor menginvasi muscularis propria
- T3 : Tumor menginvasi melalui muscularis propria ke dalamsubserosa
atau ke dalam perikolik nonperitonial atau jaringan perirektal
- T4 : Tumor secara langsung menginvasi organ lain atau struktur dan
atau perforasi peritoneum viseral.
21
2.3.6 Patologi
Secara makroskopis terdapat 3 tipe carcinoma colorectal. Tipe
polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus.,
berbentuk bunga kol dan terutama ditemukan di caecum dan colon
ascendens. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi
stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di colon descendens,
sigmoid dan rectum. Bentuk ulceratif terjadi karena nekrosis di bagian
sentral, terdapat di rectum. Pada tahap lebih lanjut, sebagian besar
carcinoma colon dapat mengalami ulserasi dan menjadi ulcus maligna.2,7
2.3.7 Patofisiologi
Secara umumnya dinyatakan bahwa untuk perkembangan
karsinoma kolon merupakan interaksi anatara faktor lingkungan dan
genetik. Faktor lingkungan multiple beraksi terhadap predisposisi genetik
atau defek yang didapat dan berkembang menjadi karsinoma kolon.
Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap,
dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif
kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.6
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan
sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene =
TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi
pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel
atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok
gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan
kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan
salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53
kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi
reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas
22
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan
memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker. 5,9
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu
oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang.
Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak
berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal
pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme,
yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih
banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi
dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang
sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol
sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa
kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53).
Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa
kendali dan karsinogenesis dimulai.9
23
Gambar 17: Adenoma Carcinoma Sequences
24
Gambaran klinis tumor saecum dan kolon ascendens tidak khas.
Dyspepsia, kelemahan umum, penurunana berat badan dan anemia
merupakan gejala yang umum. Oleh karena itu penderita sering datang
dengan keadaan yang menyedihkan. Gejala akut dari pasien biasanya
adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia
lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker
kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan
total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar,
kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak
mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh
lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga
dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai
akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau
vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang
sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang
muncul dari kanker kolon.8
Secara garis besar gejala pada tumor colon terbagi menjadi tiga,
yaitu gejala local, gejala sistemik, dan gejala peyebaran (metastasis):7,8
1. Gejala lokal
a. Perubahan kebiasaan buang air
- Perubahan frekuensi buang air, konstipasi atau diare
- Sensasi seperti belum selasai buang air besar (masih ingin
tapi tidak bisa keluar)
- Feses bercampur darah atau keluar darah pada saat BAB,
feses bercampur lender, feses berwarna kehitaman
- Nyeri pada saat BAB
25
c. Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh
pasien
2. Gejala umum
- Penurunan berat badan
- Hilangnya nafsu makan
- Sering merasa lelah, pucat
3. Gejala metastase
- Pasien tampak kuning, jika terdapat metastase ke hepar
- Nyeri pada perut
26
2.3.9 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang cermat sering dapat menentukan
diagnosis. Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kelainan kolon
adalah dyspepsia, hematokezia, anemia, bemjolan, dan obstruksi. Yang
perlu ditanyakan adalah perubahan pola defekasi, frekuensi dan
konsitensi tinja.8
Pemeriksaan Fisik9
Rectal toucher untuk menilai :
a. Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
b. Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
c. Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
d. Tumor : Teraba atau tidak, lokasi, lumen yang
dapat ditembus jari, mudah berdarah atau
tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya,
jarak dari garis anorektal sampai tumor.
27
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan
anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan
mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior
rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai
akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas
eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui
bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal
examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon
yang tidak dapat begitu saja diabaikan.8,10
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah samar pada feces
Digunakan untuk tes skrining pada tumor colorectal yang
asimptomatik, pada individu dengan risiko sedang. Efikasi tes ini
berdeasarkan tes serial karena kebanyakan carcinoma colorectal berdarah
secara intermiten. Tes ini merupakan tes nonspesifik untuk peroxidase
yang terkandung dalam haemoglobin. Perdarahan traktus gastrointestinal
akan memberikan hasil positif. Beberapa makanan (daging, beberapa
buah dan sayuran, dan viamin C) dapat memberikan false positif,
sehingga pasien sebaiknya diet selama 2-3 hari sebelum tes. Tes ini dapat
ditingkatkan spesifik dan sensitivitasnya dengan menggunakan
immunochemical. Hasil positif pada tes ini sebaiknya dilanjutkan dengan
pemeriksaan colonoskopi.8
28
c. Tumor marker
Tumor marker seperti CEA, CA 19-9, dan CA-50 digunakan
untuk pasien carcinoma colorectal. Carcinoembrionic antigen (CEA)
yang paling umum digunakan, sedangkan CA 19-9 dan CA-50 tidak rutin
digunakan. CEA dapat meningkat pada 60-90% pasien dengan carcinoma
colorectal. Namun CEA bukan merupakan tes skrining yang efektif untuk
keganasan. CEA tidak spesifik karena dapat meningkat juga pada pasien
dengan carcinoma selain carcinoma colorectal. Pemeriksaan antigen
karsinoembrionik (CEA) dapat juga dilakukan, meskipun antigen
karsinoembrionik mungkin bukan indicator yang dapat dipercaya dalam
mendiagnosa kanker kolon karena tidak semua lesi menyekresi CEA.
Pemeriksaan menunjukkan bahwa kadar CEA dapat dipercaya dalam
diagnosis prediksi. Pada eksisi tumor komplet, kadar CEA yang
meningkat harus kembali ke normal dalam 48 jam. Peningkatan CEA
pada tanggal selanjutnya menunjukkan kekambuhan.9
d. Tes serum
Pemeriksaan fungsi hepar seperti alkali fosfatase, SGPT, SGOT,
SGGT, dan LDH dapat memprediksi kemungkinan metastasis ke hepar.
2. Endoskopi
a. Rectosigmoidoskopi
29
Gambar 19: Metode pemeriksaan kolonoskopi
30
Gambar 20. Kolonoskopi dan sigmoidoskopi
3. Pencitraan
a. X-ray foto polos dan colon in loop
X-ray foto polos dan colon in loop memiliki peranan penting dalam
mengevaluasi pasien yang diduga menderita carcinoma colorectal. Foto
polos abdomen (supine, tegak, dan LLD) berguna untuk mendeteksi pola
gas usus yang menunjukkan adanya obstruksi. Colon in loop berguna
untuk mengevaluasi gejala obstruktif. Colon in loop dengan double
contrast sensitif untuk mendeteksi massa yang berdiameter lebih besar dari
1 cm. Deteksi massa yang kecil sangat sulit, sehingga colonoscopy lebih
disukai untuk mengevaluasi massa colon yang nonobstruksi.9
b. CT scan
Computed Tomography (CT) digunakan untuk staging carcinoma
colorectal, karena kesensitivitasnya dalam mendeteksi metastasis.
31
Gambar 21 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang sudah
metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal
32
e. PET
Positron Emmision Tomography (PET) digunakan untuk
pencitraan jaringan dengan kadar glikolisis anaerob yang tinggi seperti
pada tumor ganas. PET digunakan sebagai tambahan pemeriksaan CT scan
dalam staging carcinoma colorectal dan dapat digunakan untuk
membedakan kanker rekuren dengan fibrosis.8
f. Endorectal ultrasound
Endorectal ultrasound digunakan untuk mengevaluasi kedalaman
invasi carcinoma recti. Dinding rectum yang normal terdiri atas 5 lapisan.
Ultrasound dapat membedakan tumor jinak dari tumor invasif berdasarkan
integritas lapiasan submukosa. Ultrasound dapat membedakan tumor
superficial T1-T2 dengan tumor yang lebih dalam T3-T4. Keakurasian
ultrasound dalam mendeteksi kedalamam invasi tumor intramural berkisar
antara 81-94%. Ultrasound juga dapat mendeteksi pembesaran nodus
limfatikus perirectal, yang menunjukkan metastasis ke nodus limfatikus,
dimana keakurasiannnya adalah 58-83%. Ultrasound juga dapat digunakan
untuk mendeteksi rekurensi lokal setelah pembedahan.9
4. Biopsi
Biopsi dilakukan melalui endoskopi. Hasil patologi dari biopsi dapat
mendeskripsikan tipe sel dan gradasi tumor. Tipe sel yang paling sering
didapat pada carcinoma colorectal adalah adenocarcinoma (95%).
2.3.10 Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas
diterima sebaai penanganan kuratif untuk kanker kolon.
Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan
fungsi dari kolon sebisanya. Tumor yang menyebabkan obstruksi
pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang
33
menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan
proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure dari
kolostomi.9
B. Penyinaran (Radioterapi)
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan
menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan
tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan
penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan
pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi
jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan
dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. 8
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation)
menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat
mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi
disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral
atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan
tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat
bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa
penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam
tubuh.8
C. Kemoterapi
Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor
sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase
pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single
agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU +
34
levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari
obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival
ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta.
Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga
39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.8
2.3.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu
k1asifikasi tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Berikut merupakan
pembagian prognosis dari karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi
dari Duke’s :5,7
Klasifikasi Duke’s
Duke’s A Terbatas pada mukosa Tidak ada Angka harapan hidup 5 tahun
>90%
Duke’s B1 Sampai stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi
limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 70-85%
Duke’s B2 Menembus stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi
limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 55-65%
Duke’s C1 Sampai stratum muscularis propia Terdapat invasi pada
limfonodi terdekat Angka harapan hidup 5 tahun 45-55%
Duke’s C2 Menembus stratum muscularis propia Terdapat invasi pada
limfonodi jauh Angka harapan hidup 5 tahun 20-30%
Duke’s D Metastase jauh Tidak dapat dipakai Angka harapan hidup 5
tahun <1%>
Prognosis hidup setelah 5 tahun dengan klasifikasi TNM
Stadium I, 72%
Stadium II, 54%
Stadium III, 39%
Stadium IV, 7%
35
BAB III
KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Mujani Tanggal Masuk : 29/01/2018
Umur : 61 tahun Ruangan : Garuda Atas
JK : Perempuan Rumah Sakit : RSU Anutapura Palu
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut kiri bawah
Anamnesis Terpimpin :
Seorang pasien perempuan usia 61 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri perut kiri bawah. Nyeri perut disertai adanya benjolan pada perut bagian
kiri bawah yang dialami kurang lebih 3 bulan yang lalu Sebelum masuk
rumah sakit. Benjolan pada perut kiri bawah semakin hari semakin membesar
dan disertai nyeri saat ditekan. Keluhan demam (-), mual (-), muntah (-).
Buang air besar (-) 4 hari dan sering kali pasien mengeluhkan susah untuk
Buang Air besar. Buang air kecil (+) lancar, kadang di sertai nyeri berkemih
(+), urine berwarna merah (-).
36
IMT : 30,41 (Obesitas)
Tanda-tanda Vital
TekananDarah: 110/70 mmHg
Nadi : 68 Kali/menit
Pernapasan : 20 Kali/menit
Suhu : 36,5 ºC
Pemeriksaan Fisik :
Kepala
Simetri muka : simetris
Bibir : Sinosis (-)
Rambut : distribusi merata, warna hitam, sulit dicabut
Mata
Konjungtiva : anemis (-)
Exophthalmus : (-)
Sklera : ikterik (-)
Visus : normal
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Peningkatan JVP (-)
Pembesarat tiroid (-)
Thorax
Inspeksi : Gerakan dada simetris bilateral
Palpasi : Vocal fremitus (N/ N), massa (-)
Perkusi :Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi: Bunyi pernafasan vesikular (N/ N), Rhonki (- / -), wheezing (- / -)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V midclavicular sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2 murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: tampak datar, kesan normal
37
Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Tympani (+)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (+) Regio inguinal sinistra, massa (+) uk.
5x5cm, mobile (+), konsistensi lunak (+)
Ekstremitas
Ekstremitas Atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas Bawah : Akral hangat, edema (-)
Pemeriksaan lain:
Rectal Toucher
a. Tonus sfingter ani : Kuat, menjepit
b. Ampula rektum : Terisi feses
c. Mukosa : Teraba halus
d. Tumor : Tidak teraba massa
- Handscoon : Terdapat feses (+), darah (-), lendir (-)
38
39
o Kesan :
Nephrolith bilateral
Moderate Hydronephrosis dextra
Susp massa intraluminer colon descendens
- Pemeriksaan CT-SCAN Abdomen
40
41
Hasil CT-scan
Kesan:
Batu Staghorn pada ren dextra
Massa soft tissue di colon descenden, dengan ukuran 9 cm x 6,5 cm
Spondylosis Lumbalis
IV. RESUME:
Seorang pasien perempuan umur 61 tahun keluhan nyeri perut regio
inguinal sinistra (+), massa abdomen regio ingunal sinistra (+) kurang lebih
3 bulan. konstipasi (+), Buang air besar (-) 4 hari. Buang air kecil (+)
kadang disertai disuria (+). Hasil pemeriksaan fisik ditemukan:
KU: sakit sedang
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi : 68 kali/menit
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,5°C
GCS: E4M6V5
Abdomen: Nyeri abdomen regio inguinal sinistra (+), Teraba Massa (+) Uk.
5 x 5 cm, konsistensi lunak (+), mobile (+), nyeri tekan (+)
Rectal Toucher:
a. Tonus sfingter ani : Kuat, menjepit
b. Ampula rektum : Terisi feses
c. Mukosa : Teraba halus
42
d. Tumor : Tidak teraba massa
- Handscoon : Terdapat feses (+), darah (-), lendir (-)
43
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
30/1/2018 - KU sedang TTV Susp. Tumor o IVFD RL 28 tpm
- Nyeri perut kiri (+) TD : 110/70 mmHg ginjal o Inj. Ketorolac 30mg/8
- BAK (+), nyeri N : 80 x/menit jam/IV
berkemih (-) R : 20 x/menit o Inj.Ranitidin1ampul/1
o
- BAB (-) 1hari S : 36,8 C 2 jam/IV
o Rencana USG
Abdomen: Abdomen
Inspeksi:Tampak
Cembung kesan
normal
Auskultasi:Peristalti
k (+)
Perkusi :Nyeri ketok
pada kuadran kiri
bawah (+), tympani
(+)
Palpasi: Teraba
massa pada regio
inguinal sinistra uk.
.+ 5 x 5 cm, mobile
(+), konsistensi
lunak (+).
44
Abdomen: o Rencana CT scan
Inspeksi:Tampak abdomen kontras
Cembung kesan
normal
Auskultasi:Peristalti
k (+)
Perkusi :Nyeri ketok
pada kuadran kiri
bawah (+), tympani
(+)
Palpasi: Teraba
massa pada regio
inguinal sinistra uk.
.+ 5 x 5 cm, mobile
(+), konsistensi
lunak (+).
1/02/2018 - KU sedang TTV Tumor o - IVFD RL 28 tpm
- Nyeri perut kiri (+) TD : 130/90 mmHg Colon + o Inj. Ketorolac 30mg/8
- BAK (+), nyeri N : 80 x/menit Nefrolhit jam/IV
berkemih (-) R : 20 x/menit bilateral o Inj.Ranitidin1ampul/1
o
- BAB (-) 4 hari S : 36,8 C 2 jam/IV
o Dulcolax susp 1x1
Abdomen:
Inspeksi:Tampak
Cembung kesan
normal
Auskultasi:Peristalti
k (+)
Perkusi :Nyeri ketok
pada kuadran kiri
bawah (+), tympani
(+)
45
Palpasi: Teraba
massa pada regio
inguinal sinistra uk.
.+ 5 x 5 cm, mobile
(+), konsistensi
lunak (+).
CT SCAN:
Batu Staghorn
pada ren dextra
Massa soft
tissue di colon
descenden,
dengan ukuran
9 cm x 6,5 cm
Spondylosis
Lumbalis
2/02/2018 - KU sedang TTV Tumor o - IVFD RL 28 tpm
- Nyeri perut kiri (+) TD : 110/70 mmHg Colon + o Inj. Ketorolac 30mg/8
- BAK (+), nyeri N : 80 x/menit Nefrolhit jam/IV
berkemih (-) R : 20 x/menit bilateral o Inj.Ranitidin1ampul/1
- BAB (+) S : 36,8o C 2 jam/IV
Abdomen:
Inspeksi:Tampak
Cembung kesan
normal
Auskultasi:Peristalti
k (+)
Perkusi :Nyeri ketok
pada kuadran kiri
46
bawah (+), tympani
(+)
Palpasi: Teraba
massa pada regio
inguinal sinistra uk.
.+ 5 x 5 cm, mobile
(+), konsistensi
lunak (+).
Hasil USG:
Nephrolith
bilateral
Moderate
Hydronephrosis
dextra
Susp massa
intraluminer colon
descendens
47
Perkusi :Nyeri ketok
pada kuadran kiri
bawah (+), tympani
(+)
Palpasi: Teraba
massa pada regio
inguinal sinistra uk.
.+ 5 x 5 cm, mobile
(+), konsistensi
lunak (+).
48
BAB III
PEMBAHASAN
49
pada perut kiri bawah. Gejala umum yang timbul berupa hilangnya nafsu makan
dan sering merasa lelah. Gejala metastasis adalah keluahan nyeri pada perut.
Salah satu faktor resiko yang ada pada kasus ini adalah faktor usia, dimana
pasien berusia 61 tahun, dimana frekuensi kanker pada wanita berusia lanjut
sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang
yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal
meningkat sesuai dengan usia.8 Selain faktor usia, masyarakat yang diet tinggi
lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk
menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga
penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal. identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan
menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini
didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Kegagalan
pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan
50
antara diet dan resiko kanker kolorektal.6,7 Dimana, pada kasus ini IMT pasien
masuk dlaam golongan obesitas.
Pada pemeriksaan fisik palpasi abdomen ditemukan adanya nyeri
abdomen regio inguinal sinistra (+), Teraba Massa (+) Ukuran 5 x 5 cm,
konsistensi lunak (+), mobile (+), nyeri tekan (+). Rectal toucher merupakan
salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menilai tonus sfingter ani,
ampula rektum, mukosa dan tumor. Hasil pemeriksaan rectal toucher pada kasus
ditemukan Spinchter ani menjepit (+), nodul (-), massa(-),darah (-), feses (+).
Pemeriksaan penunjang tumor kolon meliputi pemeriksaan laboratorium,
endoskopi, pencitraan radiologi dan biopsi (Patologi anatomi). Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan penunjang berupa
pencitraan radiologi CT scan abdomen dengan kontras. Hasil CT scan
menunjukan kesan massa soft tissue di colon descenden, dengan ukuran 9 cm x
6,5 cm. Sehingga ditegakkan diagnosis tumor colon.
Penatalaksanaan Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara
luas diterima sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolon. Pembedahan kuratif
harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional
lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya.
Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan
dekompresi.
Pentalaksanaan yang diberikan pada pasien ini berupa
medikamentosa yang bersifat konservatif. Medikamentosa berupa IVFD Ringer
Lactat 28 tpm, Injeksi. Ketorolac 30mg/8 jam/IV, dan Injeksi. Ranitidin1
ampul/12 jam/IV dimana medikamentosa tersebut bersifat symptomatic. Pada
kasus tumor colon terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan
menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua
cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi.
Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
Pada kasus ini stadium tumor colon bdapat ditentukan dengan pemeriksaan
Patologi anatomi untuk menetukan staging berdasarkan TNM dan begitupula
51
dengan penentuan prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh
berdasarkan klasifikasi dari Duke
Klasifikasi Duke’s
Duke’s A Terbatas pada mukosa Tidak ada Angka harapan hidup 5 tahun
>90%
Duke’s B1 Sampai stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi
limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 70-85%
Duke’s B2 Menembus stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi
limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 55-65%
Duke’s C1 Sampai stratum muscularis propia Terdapat invasi pada
limfonodi terdekat Angka harapan hidup 5 tahun 45-55%
Duke’s C2 Menembus stratum muscularis propia Terdapat invasi pada
limfonodi jauh Angka harapan hidup 5 tahun 20-30%
Duke’s D Metastase jauh Tidak dapat dipakai Angka harapan hidup 5
tahun <1%>
Prognosis hidup setelah 5 tahun dengan klasifikasi TNM
Stadium I, 72%
Stadium II, 54%
Stadium III, 39%
Stadium IV, 7%
52
DAFTAR PUSTAKA
5. Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, Pollock. Colon, Rectum and Anus
In Schwartz’s Principles of Surgery, 9th ed. 2010. USA : McGraw-Hill. P
1996-2012
6. Cuschieri, Grace, Darzi, Borley, Rowley. Disorders of the Colon and Rectum.
In Clinical Surgery, 2nd ed. 2003.USA : Blackwell Publishing. P 416-20.
53
REFLEKSI KASUS MARET 2018
TUMOR COLON
OLEH :
NAMA : WIHDATUL UMMAH
NIM : N 111 16005
PEMBIMBING KLINIK
dr. MUH. IKHLAS, Sp.B, M.Kes
54