Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ............................................................................................................ 1
B. Desain Penelitian Eksperimen................................................................................. 1
1. Desain Single Group................................................................................................... 1
1.1.One-Shot Case Study............................................................................................ 1
1.2.One-Group Pretest-Posttest Desain....................................................................... 2
1.3.Time-Series Desain.............................................................................................. 2
2. Control Group Desain dengan Random Assignment.................................................. 2
2.1.Pretest-posttest Control Group Design................................................................. 2
2.2.Posttest only Control Group Desain...................................................................... 4
2.3.One Variabel Multiple-Condition Desain............................................................. 4
3. Quasi-Experimental Desain......................................................................................... 5
3.1.Static-Group Comparison Desain......................................................................... 5
3.2.Nonequivalent Control-Group Desain.................................................................. 6
4. Factorial Design........................................................................................................... 6
4.1.Two-Faktor Eksperimen........................................................................................ 6
4.2.Three-Faktor Eksperimen..................................................................................... 9
4.3.Jenis-jenis Variabel treatmen................................................................................ 10
4.4.Aptitude-Treatment Penelitian Interaksi............................................................... 11
4.5.Solomon Four Goup Desain ................................................................................. 11
5. Single-Case Desain..................................................................................................... 12
5.1.Pertimbangan desain umum................................................................................... 14
5.2.Desain A-B-A ....................................................................................................... 16
5.3.Desain Multiple Baseline ...................................................................................... 18
5.4.Analisis Statistik Data Single-Case....................................................................... 19
5.5.Desain eksperimen lain......................................................................................... 20
5.6.Pengukuran perubahan.......................................................................................... 20
C. Penutup....................................................................................................................... 21
Kesimpulan.................................................................................................................. 21
Referensi............................................................................................................................ 23
1

PENELITIAN KUANTITATIF:
BERBAGAI DESAIN PENELITIAN EKSPERIMEN

A. Pendahuluan

Sebuah desain eksperimen merupakan pendekatan tradisional untuk melaksanakan


penelitian kuantitatif, pada sebuah eksperimen, anda menguji ide (atau praktek atau prosedur)
untuk menentukan apakah ide tersebut mempengaruhi hasil atau variabel terikat. Hal pertama
yang ditentukan adalah gagasan untuk dieksperimenkan, menentukan individu yang akan
mengalami gagasan (dan individu lainnya mengalami gagasan yang berbeda), kemudian
menentukan apakah individu yang mengalami gagasan (atau praktek atau prosedur)
memperoleh hasil yang lebih baik dari individu yang tidak mengalami gagasan tersebut.
Eksperimen digunakan ketika ingin menyusun kemungkinan sebab dan akibat antara variabel
terikat dan variabel bebas. Sehingga semua variabel yang mungkin mempengaruhi hasil harus
dikontrol kecuali variabel terikat. Karena eksperimen terkontrol, maka desain penelitian yang
sebaiknya digunakan adalah desain penelitian kuantitatif untuk menentukan kemungkinan
sebab akibat (Creswell, 2012).

Desai penelitian dapat dianggap sebagai yang kuat dan tahan terhadap serangan,
serangan yang dimaksud dengan serangan adalah kritik yang mencari cara untuk tidak
menerima hasil penelitian; kritikus penelitian akan melihat kelemahan penelitian. (Schreiber,
2011).

Pada tahun 1963, Campbell dan Stanley telah mengidentifikasi tipe-tipe utama desain
ekperimen. Mereka menteapkan 15 tipe yang berbeda dan mengevaluasi setiap desain dalam
hal kemungkinan ancaman sampai validitas. Desain itu masih populer sampai sekarang.
Kemudian pada tahun 1979, Cook dan Campbell menjabarkan tipe-tipe desain, memperluas
diskusi mengenai ancaman validasi. Pada tahun 2002, Shadish, Cook, and Campbell telah
menghaluskan desain-desain eksperimen utama. Buku tersebut menetapkan desain dasar,
notasi, representasi visual, dan kemungkinan ancaman bagi desain, dan prosedur-prosedur
statistik eksperimen pendidikan. (Creswell, 2012)

Pada makalah ini akan dibahas mengenai tipe-tipe desain penelitian eksperimen,
diantaranya Desain Single Group, Control Group, Desain dengan Randon Assignment,
Quasi-Experimental Desain Factorial Desain, dan Single-Case Desain.

B. Desain Penelitian Eksperimen


1. Desain Single Group
1.1.One-Shot Case Study
The one shot case study tidak memenuhi syarat desain eksperimental. Dalam desain
ini, perlakuan eksperimental adalah diatur, dan kemudian postest diberikan untuk mengukur
2

efek dari perlakuan. Desain rancangan ini memiliki validitas internal yang rendah. Karena
siswa diuji hanya sekali yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pengukuran
performance mereka, kita bahkan tidak dapat menentukan apakah prestasi siswa meningkat
dari waktu ke waktu, terlepas dari perubahan yang terjadi perlakukan beberapa variabel. One
shot case study meski relatif mudah dilakukan. Menghasilkan temuan yang tidak berarti.

1.2.One-Group Pretest-Posttest Desain


One group pretes dan postes mempunyai 3 langkah:

a. Pelaksanaan pretes yang mengukur variabel dependen (bebas).


b. Mengimplementasi pengalaman perlakuan (variabel independen/ terikat) untuk
partisipan.
c. Pelaksanaan postes untuk mengukur variabel dependen lagi. Pengaruh dari
eksperimen perlakuan ditentukan oleh perbandingan pretes dan postes.

Analisis statistik, data dalam studi Semel dan Wiig dianalisis dengan uji chi-square
yang menentukan apakah ukuran yang diamati dari gain sebelum dan sesudah tes
memperoleh kenaikan secara signifikan dari distribusi gain. yang didapat, split 50-50. Jika
data dalam bentuk skor terus-menerus, t tes untuk korelasi digunakan. Tes ini menentukan
apakah perbedaan antara pretest dan posttest secara statistik signifikan. Jika salah satu skor
pretes dan postes menunjukkan penyimpangan dari distribusi norma, uji statistik
nonparametrik untuk kepentingan statistik harus digunakan.

1.3.Time-Series Desain
Dalam seri waktu, sekelompok peserta penelitian diukur pada interval periodik,
dengan perlakuan eksperimental yang dilakukan antara dua interval ini. Efek dari perlakuan
eksperimental ditunjukkan oleh ketidaksesuaian pada pengukuran sebelum dan sesudah
penampilannya. Campbell dan Stanley mengelompokkan seri waktu eksperimen sebagai
rancangan satu kelompok karena melibatkan satu kelompok peserta penelitian, yang
semuanya menjalani peerlakuan eksperimental. Prosedur yang digunakan untuk
memaksimalkan validitas internal jenis desain eksperimental dan untuk menganalisis data
yang serupa dengan yang digunakan dalam rancangan single subject.

2. Control Group Desain dengan Random Assignment


Kita membahas dua bagian dari desain eksperimental yaitu pretest and posttest control
group design dan posttest only control group design. Ini adalah salah satu desain yang paling
umum digunakan dalam penelitian pendidikan. Kami juga menjelaskan dua variasi pada
desain ini: pretes and posttest control group design with matching dan one variabel multiple
condistion design.
Teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data yang dihasilkan dari desain
eksperimental ini umumnya sama digunakan dalam design teknik kausal-comparative.

2.1.Pretest-posttest Control Group Desain


Hampir semua penelitian yang dapat dilakukan dengan desain kelompok tunggal
dapat dilakukan lebih baik dengan rancangan kelompok kontrol. Perbedaan mendasar antara
3

desain kelompok tunggal dan rancangan kelompok kontrol adalah yang terakhir memakai
setidaknya dua kelompok peserta penelitian, yang disebut kelompok kontrol. Kelompok
kontrol adalah kelompok peserta penelitian yang tidak menerima perlakuan , atau perlakuan
alternatif yang diberikan pada kelompok eksperimen, untuk menilai pengaruh faktor-faktor
eksternal.

Langkah-langkah berikut dilibatkan dalam menggunakan pretest and posttest control


group design:

1. Pengambilan sampel acak peserta penelitian untuk kelompok experinental dan


kelompok kontrol.
2. Pemberian pretest pada kedua kelompok.
3. Pemberian perlakuan kepada kelompok eksperimen tetapi tidak pada kelompok
kontrol.
4. Pemberian posttest pada kedua kelompok.

Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol harus diperlakukan sama dengan variabel
perlakuan. Misalnya, kedua kelompok harus diberi pretest dan posttest yang sama, dan tes
tersebut harus diuji bersamaan.

Pada beberapa eksperimen, kelompok kontrol hanya menerima pretest dan posttest
dan tidak menerima perlakuan. Namun, dalam eksperimen lain, Anda mungkin ingin
mengatur perlakuan eksperimental alternatif ke kelompok kontrol. Fitur perancangan ini
memungkinkan anda menghindari empat ancaman terhadap validitas internal yang
diidentifikasi oleh Cook dan Campbell, yaitu, penyebaran perlakuan eksperimental,
persaingan pengganti oleh kelompok kontrol, perbandingan persamaan dari perlakuan, dan
demoralisasi dari kelompok kontrol.

Analisis statistik, Langkah pertama untuk menganalisa data dari pretes and postes
control group design adalah dengan menghitung statistik deskriptif, skor rata-rata dihitung
untuk skor pretest dan posttest untuk kedua kelompok. Kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol memiliki skor rata-rata yang hampir sama pada ukuran kognitif, namun ada sedikit
perbedaan nilai rata-rata pada salah satu skor afektif pretes. Hasil ini menggambarkan prinsip
bahwa random assignment tidak menjamin kesetaraan awal antar kelompok. random
assignment hanya memastikan tidak adanya bias sistemik pada komposisi kelompok.

MATCHING, Variasi pada pretes dan postes control group desain adalah penggunaan teknik
pencocokan untuk mendapatkan ketepatan ketelitian dalam analisis statistik data. Pencocokan
mengacu pada peserta seleksi atau penelitian untuk kelompok eksperimen dan kontrol
sedemikian rupa sehingga keduanya dapat dibandingkan dengan pretest yang mengukur
variabel dependen. Pencocokan sangat berguna dalam penelitian dimana sampel kecil
digunakan dan bila ada perbedaan besar antara kelompok eksperimen dan kontrol pada
variabel dependen tidak diharapkan. Dengan kondisi ini, perbedaan kecil yang terjadi
cenderung lebih besar terdeteksi jika kesalahan sampling dikurangi dengan penggunaan
pencocokan.
4

2.2.Posttest only Control Group Desain


Desain ini sama dengan pretes dan postes control grup design kecuali pretes pada
variabel dependen tidak diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Langkah-langkah yang terlibat dalam desain kelompok kontrol posttest-only adalah sebagai
berikut:

a. Secara acak tetapkan peserta penelitian ke kelompok eksperimental dan kontrol.


b. Berikan perlakuan ke kelompok eksperimen dan tidak ada perlakuan al ternatif pada
kelompok kontrol.
c. Berikan posttest ke kedua kelompok.

Desain ini disarankan bila anda tidak dapat menemukan yang sesuai, atau bila ada
kemungkinan pretest tersebut berpengaruh pada perlakuan eksperimental. Sebelum memilih
desain eksperimental ini, Anda harus mempertimbangkan tiga kemungkinan kerugian karena
tidak mengelola pretest dari variabel dependen.

a. Random assignment mungkin tidak sepenuhnya sukses dalam menghilangkan


perbedaan awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan awal
masih ada, perbedaan yang ditemukan pada posttest dapat diberikan kepada mereka
dan bukan pada efek dari perlakuan eksperimental. Karena random assigment paling
efektif dalam kelompok equatinggroup ketika sejumlah besar peserta penelitian
terlibat, desain kelompok posttest-onlycontrol paling baik digunakan saat Anda dapat
mendaftarkan sampel yang besar.
b. Anda tidak dapat membentuk subkelompok untuk menentukan apakah perlakuan
eksperimental memiliki efek yang berbeda pada individu pada tingkat variabel yang
berbeda yang diukur dengan pretest.
c. Ketika ada perbedaan intensitas selama percobaan berlangsung. Misalnya, jika peserta
dalam diskusi dan kelompok eksperimen keluar dari percobaan sebelum selesai, ada
perbedaan pada posttest mungkin disebabkan oleh perbedaan karakteristik dari dua
kelompok dropout, bukan perlakuan eksperimental. Oleh karena itu, hanya kelompok
kontrol posttest-only yang tidak boleh digunakan saat terjadi pengelompokan cukup
besar dari peserta penelitian selama kursus berlangsung.

Analisis statistik, perbedaan skor rata-rata dapat diuji untuk signifikansi statistik oleh
t-tes. Tabel 12,7 menunjukkan Nilai F, yang mengindikasikan bahwa para peneliti memilih
untuk melakukan ANOVA. Namun, bila dua kelompok dibandingkan. T-tes dan ANOVA
menghasilkan hasil yang sama. Oleh karena itu, tidak ada konsekuensinya bahwa para
peneliti memilih untuk melakukan ANOVA daripada t-test.

2.3.One Variabel Multiple-Condition Desain


Desain multi-kondisi satu variabel merupakan perpanjangan sederhana dari desain
kelompok kontrol yang telah kita sajikan sejauh ini. Masing-masing desain ini melibatkan
pembagian sampel secara acak ke dua kelompok, namun masing-masing dapat diperluas
untuk mencakup tiga kelompok atau lebih.
5

Kami menyebut ekstensi semacam itu satu variabel dengan beberapa desain.
Penunjukan satu variabel menunjukkan bahwa kelompok hanya berbeda pada satu variabel.
Whlc h adalah jenis pengobatan yang mereka rasakan. Penunjukan multi-kondisi
menunjukkan bahwa lebih dari dua kondisi perawatan dilibatkan.

Untuk mengilustrasikan rancangan ini, kami menggunakan eksperimen tentang


keefektifan program uji coba keterampilan yang kami jelaskan di awal bab ini. Percobaan
melibatkan dua kelompok: (i) kelompok yang berpartisipasi dalam program dan (2)
kelompok itu tidak Variabel perlakuan, kemudian, adalah pelatihan, dan memiliki dua nilai:
(1) pelatihan penuh dan (2) tidak ada pelatihan. Namun, memungkinkan untuk membedakan
lebih banyak nilai variabel pelatihan. Program lengkap dalam pelatihan volved dalam sifat
kecemasan tes, teknik relaksasi, pemikiran rasional, penanggulangan citra, fokus perhatian,
dan manajemen waktu. Misalkan peneliti percaya bahwa sebagian besar manfaat program
dihasilkan dari latihan relaksasi. Mereka mungkin merancang eksperimen untuk memasukkan
tiga kelompok, masing-masing mewakili nilai variabel yang berbeda: pelatihan penuh,
pelatihan parsial (yaitu, pelatihan relaksasi saja), dan tidak ada pelatihan. Kelompok
tambahan dapat terbentuk jika para rescarchers ingin mempelajari efek variasi perlakuan
lainnya (mis., Pelatihan penuh dengan pelatihan lanjutan "pendorong" beberapa bulan
kemudian).

Analisis serupa dapat dilakukan pada percobaan antusiasme guru yang telah kami tulis
di atas. Para peneliti mempelajari efek dua tingkat variabel antusiasme guru: tinggi dan
rendah. Jika mereka menginginkan, bagaimanapun, mereka dapat membedakan tingkat
antusiasme tambahan (misalnya antusiasme moderat, antusiasme yang sangat tinggi, dan
antusiasme yang sangat rendah). Setiap tingkat akan ditunjukkan oleh kelompok partisipan
yang terpisah dalam rancangan eksperimen. Masih ada satu variabel perlakuan tunggal dalam
desain, namun akan ada tiga atau lebih kelompok tergantung pada tingkat variabel mana yang
harus dipelajari.

Analisis statistik. Percobaan dengan beberapa kondisi umumnya menghasilkan tiga


atau lebih nilai rata-rata, atau statistik deskriptif serupa. Oleh karena itu, uji signifikan
statistik dalam eksperimen ini adalah analisis varians univariat atau multivariat, analisis
kovariansi univariat atau multivariat. atau setara nonparametrik.

3. Quasi-Experimental Desain
Quasi experiment adalah penelitian yang partisipannya tidak ditetapkan secara acak.
Jenis penelitian ini, jika secara hati-hati di desain akan menghasilkan pengetahuan yang
bermanfaat. Penelitian ini mengharuskan peneliti tahu masalah khusus yang dapat muncul
ketika individu tidak ditetapkan secara acak dalam grup serta dapat menyelesaikannya. Jenis-
jenis desain quasi experiment yaitu:
3.1.Static-Group Comparison Desain
Desain ini mempunyai dua karakteristik yaitu partisipan penelitian tidak dipilih secara
acak menjadi dua grup perlakuan; dan diberikan posttest, tapi tanpa pretest pada kedua grup.
Perlakuan utama pada validitas internal dalam desain ini yaitu perbedaan posttest antara grup
6

dapat di hubungkan karakteristik grup lain dari pada kondisi ekperimen yang mereka
tetapkan. Contohnya, anggap bahwa anggota fakultas satu jurusan diberikan perlakuan
eksperimen dan posttest, dan anggota fakultas pada jurusan lain di universitas yang sama
hanya diberi posttest. Jika perbedaan pada posttest ditemukan, itu dapat di perdebatkan
bahwa perbedaan itu karena sebelumnya ada perbedaan antara anggota fakultas dalam dua
jurusan dari pada mempertimbangkan efek perlakuan eksperimen.
Desain ini menghasilkan eksperimen lemah yang tak terpisahkan. Jika suatu
penelitian menggunakan desain ini, harus mempertimbangkan kemungkinan untuk mengatur
pretest bagi subjek penelitian. Dengan faktor tambahan ini, eksperimen menjadi
nonequivalent control grup desain dan memberikan kesempulan lebih kuat mengenai efek
perlakuan pada posttest.
Analisis statistic. Data yang dihasilkan oleh desain ini dapat dianalisis dengan t test
perbedaan antara rata-rata skor posttest grup eksperimen dan kontrol. Jika skor menyimpang
dari distribusi normal, nonparametric test harus dilakukan.

3.2.Nonequivalent Control-Group Desain


Desain quasi experiment yang biasa digunakan dalam penelitian pendidikan adalah
nonequivalent control group design. Dalam penelitian ini, partisipan penelitian tidak
ditetapkan secara acak untuk dijadikan grup eksperimen dan control, serta kedua grup
diberikan pretest dan posttest.
Terdapat kemungkinan juga penggunaan nonequivalent control group desain
menggunakan lebih dari dua grup. Selanjutnya, terdapat kemungkinan juga semua grup
menerima perlakuan, dari pada mempunyai satu grup dalam kondisi tanpa control perlakuan.
Hanya ciri-ciri esensial dalam desain khusus ini, lalu, menetapkan partisipan secara tidak
acak dalam grup serta memberikan pretest-posttest pada semua grup.
Analisis statistic. Ancaman utama pada validitas internal nonequivalent control grup
eksperiment adalah kemungkinan grup itu berbeda pada posttest karena sebelumnya kedua
grup memang sudah berbeda dari pada efek perlakuan. Analysis of covariance (anacova)
sering digunakan untuk mengatasi masalah ini. Anacova secara statistic mengurangi efek
perbedaan awal grup dengan membuat kompensasi penyesuaian rata-rata posttest kedua grup.

4. Factorial Design
Eksperimen faktorial adalah eksperimen dimana peneliti menentukan pengaruh dua
atau lebih perlakuan variabel independen (contohnya faktor) semuanya satu demi satu dan
interaksi dengan yang lain_pada variabel dependen. Pengaruh masing-masing variabel
independen pada variabel dependen disebut efek utama. Interaksi pengaruh dua atau lebih
variabel independen pada variabel dependen disebut efek interaksi.

4.1.Two-Faktor Eksperimen
Tipe eksperimen factorial yang paling simple adalah desain 2 x 2. Desain 2 x 2
berarti dua variasi satu factor (A1 dan A2) dan dua variasi factor lain (B1 dan B2) di
manipulasi dalam waktu yang sama. Desain factorial ini memerlukan formasi empat grup
perlakuan, dengan masing-masing grup menerima kombinasi berbeda dua factor: A1B1,
A1B2, A2B1, dan A2B2. Partisipan penelitian harus ditetapkan secara acak menjadi empat
grup penelitian. Jika prosedur penetapan secara acak tidak digunakan, desainnya dinamakan
7

quasi eksperimen. Data hasil dari quasi eksperimen factorial sulit untuk diinterpretasikan,
karena kesulitan dalam menetapkan efek utama dan dari kemungkinan perbedaan awal
diantara partisipan grup perlakuan yang berbeda.
Contoh eksperimen dua factor yaitu Walter Saunders dan Joseph Jesunathadas
menyelenggarakan eksperimen factorial untuk mengidentifikasi factor yang mempengaruhi
kemampuan siswa untuk menggunakannya dengan alasan yang proporsional (proportional
reasoning). Mereka mendefinisikan proporsional reasoning sebagai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah memerlukan penggunaan alasan yang proporsional. Tipe reasoning
ini penting untuk keberhasilan siswa dalam kursus matematika dan juga kursus sains,
terutama fisika dan kimia.
Eksperimen sebenarnya terkait tiga factor, tapi kita akan menyederhanakan deskripsi
kita dengan mula-mula mendeskripsikannya sebagai eksperimen dua factor. Kedua factor
dijelaskan sebagai berikut.
Faktor pertama dalam eksperimen akrab dengan isi kurikulum. Peneliti tertarik
untuk mengetahui apakah siswa dapat menggunakan proporsional reasoning lebih baik jika
materinya familiar disbanding jika muatannya tidak familiar, sama seringnya di kelas sains.
Mereka memberikan alasan untuk ketertarikannya dalam faktor ini.
Faktor kedua dalam eksperimen ini adalah proporsi tingkat kesulitan terkait masalah
yang harus diselesaikan. Tiga tingkat kesulitan dimanipulasi dalam eksperimen ini: proporsi
mudah, kesulitan proporsi yang sedang, dan proporsi sulit.
Total 76 tingkat siswa mengambil tes dimana dua factor ini dimanipulasi. Tes berisi
12 proporsional reasoning problem, empat pada masing-masing tingkat kesulitan. Dua dari
empat masalah pada masing-masing level kesulitan terkait isi yang familiar di kebanyakan
siswa tingkat 9. Dua masalah lainnya terkait isi textbook yang tidak familiar. Perbedaan
kombinasi dua factor ditunjukkan gambar berikut:

Gambar 1. Perbedaan kombinasi dua factor

Karena desain eksperimen ini mempunyai 6 kombinasi factor, secara normal


diperlukan 6 grup siswa. Bagaimanapun, peneliti mengatur (memberikan) tes lengkap untuk
semua siswa karena tidak terlalu lama_total 12 item, dua dalam masing-masing kolom
ditunjukkan pada diagram diatas. Jadi, efek masing-masing kombinasi diuji dengan total 76
siswa (sampel lengkap). Jika masing-masing kombinasi factor mempunyai banyak item tes,
peneliti dapat menetapkan secara acak 76 siswa untuk masing-masing kombinasi.
Analisis Statistik. Langkah pertama dalam menganalisis hasil eksperimen factorial
adalah menghitung statistik deskriptif grup yang menggambarkan masing-masing
kombinasi factor. Skor rata-rata siswa pada ‘problem’ mewakili masing-masing 6
8

kombinasi factor yang ditunjukkan pada Table 1. juga ditunjukkan dalam total baris dan
kolom skor rata-rata tiap siswa pada masing-masing factor. Contohnya, kita lihat skor rata-
rata siswa untuk item tes mempunyai content yang familiar, mengabaikan efek item
kesulitan.

Table 1. Skor rata-rata siswa pada variasi masalah kesulitan dan kefamiliaran konten dalam
eksperimen pemberian alasan yang proporsional

Langkah selanjutnya, dalam analisis hasil eksperimen factorial adalah melakukan


Anova, Ancova, atau multiple analysis regression untuk menentukan apakah perbedaan
antara skor rata-rata signifikan secara statistik. Saunders dan jesunathadas melakukan anova
dan hasilnya ditunjukkan pada Table 2.

Tabel 2. Hasil uji Anova


Table 2 menunjukkan bahwa efek utama materi yang familiar menghasilkan secara
statistic rasio F khusus 10.03, berarti bahwa siswa secara signifikan lebih baik pada item
test dengan isi yang familiar (𝑀 = 2.69) dari pada item tes dengan isi yang tidak familiar
(𝑀 = 2.20). Efek utama proporsi kesulitan juga menghasilkan rasio F signifikan secara
statistic 37.38. Karena factor ini mempunyai tiga level (mudah, sedang, sulit), peneliti
memberikan posttest untuk menentukan skor rata-rata dalam table 1 (2.37, 1.31, dan 1.21)
secara signifikan berbeda dari yang lain. Analisis ini mengungkapkan bahwa siswa secara
9

signifikan lebih baik pada item test yang mudah dari pada sedang atau sulit. Di tengah-
tengah performen mereka pada item level sedang dan sulit tidak berbeda secara signifikan.
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa interaksi antara dua factor menghasilkan rasio F
yang secara statistic signifikan 18.58. Skor rata-rata siswa untuk masing-masing kombinasi
factor mengindikasikan bahwa siswa melakukan dengan lebih baik tes dengan konten
(materi) item tes yang familiar hanya ketika mereka menganggap proporsi yang mudah.
Mereka tidak mengerjakan dengan lebih baik pada item tes dengan konten yang tidak
familiar jika proporsi sedang atau sulit.
Penelitian interaksi efek dalam eksperimen factorial dapat meningkatkan
pemahaman kita tentang fenomena menjadi penyelidik, seperti yang kita lihat diatas. Jika
kita membandingkan prestasi siswa hanya pada item tes dengan konten familiar atau tidak
familiar, mengabaikan level kesulitan (lihat data baris Tebel 1), kita dapat menyimpulkan
bahwa siswa mengerjakan dengan lebih baik item tes dengan konten yang familiar.
Kesimpulan sederhana ini adalah situasi sebenarnya. Kesimpulan digunakan hanya untuk
memastikan tipe item tes, yakni, item tes yang solusinya terdiri atas proporsi simpel.

4.2.Three-Faktor Eksperimen
Eksperimen factorial tidak perlu dibatasi untuk memanipulasi dua factor. Kita dapat
menemukan laporan eksperimen yang diterbitkan termasuk factor tiga, empat atau lima.
Eksperimen yang termasuk lebih dari tiga factor itu tidak biasa, karena pengembangan
semua variasi perlakuan sulit dan karena sample yang besar biasanya diperlukan.
Seperti yang diungkap pada pernyataan diatas, eksperimen dengan pemberian alasan
sesuai proporsi oleh Saunders dan Jesunathadas dimasukkan dalam tiga factor. Factor ketiga
adalah gender siswa. Prestasi siswa pada item tes dianalisis secara terpisah untuk siswa laki-
laki (𝑁 = 34) dan siswa perempuan (𝑁 = 42). Skor rata-rata untuk masing-masing gender
ditunjukkan pada Table 13.4. Table 13.4 ini memuat 12 kombinasi 12 faktor. Hal ini karena
eksperimen sebenarnya termasuk 3 𝑥 2 𝑥 2 desain factorial: item tes dengan kesulitan tiga
level (mudah, sedang, dan sulit); dua level kefamiliaran konten tes (familiar dan tidak
familiar); dan dua gender (laki-laki dan perempuan). Variasi analisis ditunjukkan dalam
Table 2 yang menghasilkan empat lebih rasio F. F yang 1 untuk efek utama gender (10.33),
yang signifikan secara statistic. Ini mengindikasikan bahwa skor rata-rata dijumlahkan
persis semua item laki-laki (3) secara signifikan berbeda dari skor rata-rata perempuan
(3.60).
Tiga F rasio yang lainnya termasuk efek interaksi, yang ditunjukkan sebagai berikut:
(1) Gender dengan konten kefamiliaran 𝐹 = 1.31 (𝑝 = 0.27)
(2) Gender dengan proporsi kesulitan 𝐹 = 0.01 (𝑝 = 0.93)
(3) Gender dengan kefamiliaran dan kesulitan 𝐹 = 2.81 (𝑝 = 0.06)
Dua F rasio yang pertama, yang signifikan tidak dengan statistic, mengindikasikan
bahwa signifikansi efek utama untuk konten kefamiliaran dan proporsi kesulitan tidak
dibuat berdasarkan gender siswa. Interaksi three-way, bagaimanapun, hampir signifikan
secara statistic (𝑝 = 0.06).
Interaksi three-way dapat dideteksi dengan membandingkan hasil yang ditunjukkan
pada Table 1 dan 3. Dapat ditemukan dalam Table 3 bahwa untuk item yang mudah siswa
10

mengerjakan dengan lebih baik dengan konten yang familiar dari pada dengan konten yang
tidak familiar. Lihat sekarang pada Table 3, kita temukan bahwa pola ini dipegang
kebenarannya untuk siswa laki-laki dan perempuan.

Tabel 3. Skor rata-rata siswa laki-laki dan perempuan pada masalah dalam eksperimen
pemberian alasan yang proporsional

Selanjutnya, dalam Tabel 1. diketahui bahwa untuk item dengan tingkat kesulitan
sedang, siswa mengerjakan dengan sedikit lebih baik pada konten yang tidak familiar. Lihat
sekarang pada Tabel 3, kita temukan bahwa pola ini ditemukan untuk siswa laki-laki, tapi
tidak untuk siswa perempuan. Dengan kata lain, perbedaan prestasi pada variasi konten
kefamiliaran item (factor 1) pada tingkat kesulitan sedang (factor 2) sengaja dibuat untuk
gender siswa (factor 3).
Interaksi three-way serupa ditemukan untuk kesulitan item tes. Lihat pada Tabel 1,
kita temukan bahwa siswa mengerjakan dengan sedikit lebih baik pada item tes yang sulit
jika kontennya familiar. Lihat pada Tabel 3, kita temukan bahwa pola lagi-lagi di terapkan
untuk siswa laki-laki, tapi tidak untuk siswa perempuan. Faktanya, pola sebaliknya
diobservasi untuk siswa perempuan. Ketika item tes termasuk proporsi yang sulit, siswa
mengerjakan agak lebih baik pada item tes dengan konten tidak familiar dari pada
mengerjakan item tes dengan konten yang familiar (𝑀 = 0.33).
Interaksi three-way seringkali jumlahnya kecil dan sulit untuk diinterpretasikan.
Sama jika hasil interaksi three-way signifikan secara statistik, sering diabaikan oleh peneliti.
Kebanyakan program komputer Anova dan Ancova rutin melaporkan rasio F untuk
interaksi three-way, bagaimanapun, harus dipahami apa yang direpresentasikan. Fokus
interpretasi biasanya pada laporan rasio F pada efek utama dan interaksi two way.

4.3.Jenis-jenis Variabel Perlakuan


Campbell dan Stanley mengembangkan klasifikasi penggunaan dari jenis variable
bebas yang kemungkinan sering keluar dalam penelitian pendidikan berdasarkan demensi
yang dimanipulasi:
11

a. Variabel manipulasi, seperti model pembelajaran, dapat digunakan pada penelitian


b. Aspek potensi yang dimanipulasi, seperti sekolah yang diteliti.
c. Aspek lingungan yang relatif tetap, seperti kehadiran di sekolah, atau tingakt
ekonomi keluarga.
d. Karateristik individu, seperti usia, tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin.
e. Karatersitik respons individu, dapat dilakukan dalam tes.

4.4.Aptitude-Treatment Penelitian Interaksi


Apitude-Treatment Interaction Research adalah penelitian yang dirancang untuk
menentukan apakah efek dari metode instruksional yang berbeda dipengaruhi oleh
karateristik kognitif atau kepribadian siswa. Penelitian ini didasrakan pada asumsi bahwa
kedua faktor (model pembelajaran dan karateristik siswa) dapat berinteraksi dengan cara
yang menghasilkan hasil belajar yang lebih baik.

Pada penelitian ATI biasanya menggunakan dua variabel bebas. Variabel yang
pertama bisa model pembelajaran, jenis kurikulum, lingkungan belajar, atau variabel
instruksional yang serupa. Variable bebas lainnya adalah karateristik siswa, seperti
kemampuan siswa, gaya belajar siswa.

4.5.Solomon Four Goup Desain


Design penelitian ini adalah kasus khusus dalam design faktorial. Design ini
digunakan untuk mencapai tiga tujuan: (1) melihat pengaruh dari pelakuan eksperimen
relative terhadap perlakuan kontrol, (2) untuk mengetahui adanya sensitisasi pretest, dan (3)
menilai interaksi antara kondisi pretest dan perlakuan.

Subjek Pre-test Perlakuan Post-test


K1. Eksperimen - X O
K1. Kontrol - - O
K2. Eksperimen O X O
K2. Kontrol O - O
Gambar. Solomon Four Groub Design

Desain ini merupakan penggabungan dari desain kelompok kontrol pretes-postes dan
desain kontrol dengan hanya postes. Dalam penelitian ini ada empat kelompok yang
dilibatkan: dua kelompok kontrol dan dua kelompok eksperimen. Pada satu pasangan
kelompok diawali dengan pretes, sedang pasangan lain tidak.

4.5.1. Variasi pada design penelitian faktorial

Desain dan analisis dari desain penelitian faktorial adalah kasus yang komplek. Untuk
menentukan desain penelitian faktorial mana yang digunakan tergantung pada kondisi:

a. Jumlah dari variabel bebas.


b. Apakah variabel-vaariabel tersebut tetap atau acak
c. Apakah subjek penelitian menerima tindakan berulang dari variabel yang sama
d. Apakah jumlah subjek penelitian tidak sama dalam setiap kelompok penelitian.
12

e. Skala dan jenis distribusi nilai dari variable terikat.


f. Kebutuhan untuk mengkonvariasi perbedaan perlakuan dari masing-masing grub
g. Apakah setiap subjek penelitian membutuhkan lebih dari satu perlakuan

4.5.2. Variabel tetap atau acak

Variabel bebas yang tetap adalah variable yang tidak bisa di generalisasikan dalam
selama penelitian. Beberapa variable bebas yang tetap melemahkan semua kemungkinan
dari suatu variabel, misalnya variabel bebas dari penelitan adalah jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan). Tidak ada jenis kelamin yang dapat dibuat selain dua jenis kelamin
tersebut. Variabel lainnya tidak melemahkan, tetapi konsisten dalam penelitian. Misalnya,
peneliti mempunyai variabel bebas, status penikahan (menikah dan belum menikah),
namun secara nyata status penikahan dapat menjadi bermacam-macam. Variabel
perlakuan adalah jenis dari variabel bebas yang tetap, karena peneliti tidak berharap ada
pengaruh lain selama penelitiannya.

Variabel bebas yang acak adalah variabel yang bisa di generalisasikan sesuai dengan
penelitian. Misalanya, anggap variabel perlakuan adalah model pembelajaran baru dan
peneliti ingin mengetahui apakah perbedaan guru menghasilkan hasil yang berbeda. Disini
peneliti memilih 5 guru untuk mengggunakan model pembelajaran ini, dalam hal ini guru
dapat dijadikan variabel penelitian. Sehingga desain penelitiannya 2 x 5: variable yang
pertama adalah variabel bebas tetap (kelas eksperimen dan kontrol), dan variable yang
kedua adalah variable bebas acak (guru 1, guru 2, guru 3, guru 4, dan guru 5)

4.5.3. Kebutuhan subjek penelitian untuk mendapatkan lebih dari satu


perlakuan
Keuntungan dari pemberian suatu perlakuan adalah penilitian dapat dilakukan dengan
sampel yang lebih kecil, jadi pemilihan subjek penelitian lebih mudah dan biaya dapat
dikurangi. Keunutngan lainnya adalah analisis statistik data dapat lebih spesifik karena
setiap subjek disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan.

5. Single-Case Desain
Experimen Single-case, disebut juga eksperimen single-subject atau eksperimen time-
series, merupakan salah satu eksperimen yang melibatkan studi intensif terhadap satu
individu atau lebih dari satu individu yang diperlakukan sebagai kelompok tunggal. Seperti
yang dijelaskan Thomas Kratochwill, desain single-case melibatkan analisis intensif terhadap
perilaku organisme tunggal.

Eksperimen single-case sesuai untuk penelitan tehadap modifikasi tingkah laku.


Modifikasi tingkah laku adalah spesialisasi dalam bidang psikologi yang berusaha untuk
mengubah perilaku individu dengan menerapkan teknik yang tervalidasi secara eksperimen
seperti penguatan sosial dan token, fading, desensitization, dan pelatihan discrimination.
Sebagai strategi pendidikan, modifikasi perilaku digunakan secara luar dalam aplikasi seperti
manajemen kelas, pengembangan keterampilan, dan pelatihan individu penyandang cacat.
Juga diguanakan secara luas dalam bidang konseling, psikoterapi, pengaturan kelembagaan,
13

dan dalam penelitian narkoba. Laporan eksperimen single-case yang menarik minat edukator
muncul dalam berbagai jurnal, khususnya jurnal Applied Behavior Analysis.

Desain Single-case menggunakan beberapa prosedur untuk memperoleh kontrol


eksperimental yang dikonseptualisasikan didalam tradisi penelitian kuantitatif: memeriksa
reabilitas observasi peneliti terhadap perilaku partisipan, pengamatan yang sering pada
perubahan perilaku target, mendeskripsikan perlakuan dengan detail untuk izin replikasi, dan
pengaplikasian akibat perlakuan dalam eksperimen.

Beberapa peneliti menganggap eksperimen single-case akan menurun efektifitasnya,


versi yang lebih mudah dari satu kelompok desain penelitian yang disajikan sebelumnya. Hal
ini tidaklah benar. Peneliti yang menggunakan desain single-case juga prihatin dengan
masalah validitas internal dan validitas eksternal sama dengan peneliti yang menggunakan
eksperien control-group. Hampir semua desain single-case teliti dan memakan waktu, dan
melibatkan banyaknya pengumpulan data sebagai desain yang melibatkan kelompok kontrol
dan kelompok eksperimen.

Contoh eksperimen single-case


Penelitian oleh Hans van der Mars mengilustrasikan hakekat ekperimen single-case
dengan satu partisipan penelitian. Tujuan dari penelitian adalah untuk menguji metode
tertentu untuk meningkatkan penggunaan pujian lisan guru untuk memberikan penghargaan
perilaku siswa. Pentingnya penelitian ini ditetapkan dengan mengacu pada hasil penelitian
sebelumnya yang mengidinkasi bahwa pujian lisan meningkatkan perilaku siswa yang
diharapkan, akan tetapi guru jarang menggunakan pujian lisan kecuali jika dilatih secara
khusus untuk itu.

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa keguruan pendidikan jasmani. Intervensi


eksperimental adalah alat audiocueing, yang terdiri atas rekorder microcasette di ikat
pinggang dan earphone mini. Dengan menggunakan peralatan dengan tidak mencolok; guru
menerima audiocueing:

Subyek diisyaratkan pada keadaan manajerial dan perilaku siswa tertuntu dengan jenis
isyarat sebagai berikut (a) “ pujilah dua orang siswa yang melakukan squad dengan
cepat”; (b)” ketika aktivitas dimulai, lihatlah siswa yang mulai tercepat, pujilah
mereka” (c)” pujilah kelompok yang memperhatikan dan tenang disaat pengajaran
berlangsung”; dan (d)” carilah pekerja keras, pujilah mereka!”.

Audiorecording dibuat untuk setiap pembelajaran yang diajarkan guru. Setiap


rekaman dianalisa dan ditentukan tingkat pujian lisan guru terhadap perilaku siswa yang
diharapkan. Peringkat dihitung dengan membagi frekuensi pernyataan pujian verbal yang
diucapkan guru selama pembelajaran dalam rentang menit dalam pembelajaran.

Dalam fase eksperimen pertama, guru mengajar lima pembelajaran tanpa latihan
pujian verbal atau menggukanak alat audiocueing. kemudian guru dilatih cara mengetahui
dan memuji perilaku siswa yang diharapkan, dan diminta untuk menggunakan alat
audiocueing selama delapan pembelajaran berikutnya. Prerecorde audiocueing yang
14

disajikan setiap duamenit menuntukkan tingkat guru dalam penggunaan pujian verbal
meningkat secara substansial selama fase treatment.

Selanjutnya guru tidak diberikan audiocueing selama empat pembelajaran. Kegiatan


mencabut treatment setelah partisipan penelitian terbiasa disebut extinction oleh peneliti
perilaku. Menunjukkan bahwa tingkat pujian lisan guru menurun selama exctinction. Fase ini
serupa dengan posttest pada desain group-experiment.

Fase terakhir eksperimen melibatkan pengenalan kembali audiocues selama enam


pembelajaran. Seperti fase pada treatment pertama tingkat pujian lisan guru meningkat.

Peneliti haris menilai data dan memutuskan apakah data tersebut mengidentifikasikan bahwa
treatment memiliki dampak terhadap variabel terikat. Keputusan ini biasanya dibuat dalam
dua arah. Satu pendekatan hanya untuk membuat penilaian visual grafik dalam bentik data
grafik. Pernyataan berikutnya menurut van der Mars mengilustrasikan pendekatan ini:

Perubahan yang terbentuk ditemukan secara ekperimen signifikan pada saat (1)
baseline (tingkat guru menunjukkan perilaku yang ditargetkan selama intervensi
eksperimen) dengan variabel minimal dan stabil atau diarahkan dengan kecenderungan
menurun, (b) tidakadanya tumpang tindih antara baseline dan data treatment, dan, (c)
perubahan pada level dari sesi baseline akhir hingga sesi treatment awal.

Pendekatan lain untuk menentukan efek perlakuan adalah dengan menyusun data
sehingga dapat dianalisa menggunakan uji statistik signifikan secara konvensional. Sebagai
contoh, van den Mars menggunakan uji t untuk membandingkan nilai rata-rata gabungan dari
dua fase baseline dan dua nilai rata-rata gabungan dari dua fase perlakuan. Nilai t 3.72 secara
statistik signifikan (𝑝 < .01), mengarahkan peneliti untuk mengambil kesimpulan bahwa
perlakuan audiocueing menghasilkan efek yang sebenarnya.

Sebuah eksperimen melibatkan fase baseline-treatment-extinction-treatment adalah


salah satu desain dari banyak desain single-case.

5.1.Pertimbangan umum desain


Eksperimen single-case harus dirancang untuk memperoleh validitas internal yang
tinggi. Seperti halnya desain kelompok, validitas internal desain single-case merupakan
fungsi kemampuan peneliti untuk menyingkirkan faktor-faktor lain selain variabel perlakuan
sebagai kemungkinan penyebab perubahan pada variabel terikat. Dalam ekspeimen control-
group, validitas internal diperoleh terutama dengan penugasan acak partisipan penelitian
terhadap perlakuan eksperimen dan keadaan kontrol. Karena 𝑁 = 1 pada penelitian single-
case, tugas acak dan kelompok kontrol tidak mungkin ada. Validitas internal diperoleh
dengan teknik desain lainnya, yang akan dijelaskan di bawah ini.

5.1.1. Pengamatan yang Reliable


Desain single case khususnya membutuhkan banyak observasi. Jika observasi tidak
reliabel, makan akan mengaburkan efek perlakuan. Oleh karena itu, prosedur tertentu
harus diperhatikan dalam pengamatan, diantaranya, latihan observer yang cermat, definisi
operasional perilaku yang diamati, pemeriksaan reabilitas pengamat secara berkala, dan
15

mengontrol bias pengamat. Prosedur paling sederhana adalah menargetkan satu perilaku
untuk diamati berulang selama eksperimen. Sebagai contoh, tingkat guru dalam
memberikan pujian lisan terhadap tingkah laku yang hanya diamati pada eksperimen
audiocueing. hal ini memungkinkan memonitor perilaku tambahan, tetapi prosedur
observasional menjadi lebih rumit setiap tiap perilaku ditambahkan ke dalam desai
penelitian.

5.1.2. Pengukuran berulang


Dalam desain eksperimen kelompok biasanya, data dikumpulkan pada dua waktu,
sebelum (pretest) dan setelah (posttest) perlakuan eksperimen. Desain Single-case
membutuhkan lebih banyak pengukuran, karena perilaku individu dapat sangat bervariasi
walaupun dalam interval waktu yang singkat. Pertimbangkan fakta bahwa eksperimen
audiocueing memiliki empat fase baseline-treatment-second baseline-second treatment.
Jika perilaku guru yang diamati hanya sekali dalam setiap fase, maka tidak memungkinkan
untuk menginterpretasi apakah variasi dalam tingkat pujian merupakan fungsi variabel
perlakuan atau merupakan kejadian yang terjadi secara alami. Pengukuran berulang
memberikan deskripsi yang lebih jelas dan lebih realibel mengenai bagaimana perilaku
guru secara alami bervariasi dan bagaimana perilaku tersebut bervarisi sebagai tanggapan
dari kondisi perlakuan. Lebih jauh lagi, uji signifikan data single case lebih kuat jika
terdapat banyak pengukuran variabel terikat.

Karena pentingnya pengukuran berulang dalam desain single-case¸maka penting


menstantarisasi prosedur pengukuran. Lebih baik jika setiap kegiatan pengukuran
melibatkan pemngamat yang sama, instruksi eksperimen yang sama pada partisipan, dan
kondisi lingkungan yang sama. Jika tidak, efek perlakuan akan terkontaminasi dengan efek
pengukuran.

5.1.3. Deskripsi kondisi eksperimen


Peneliti harus memberikan deskripsi yang seksama pada setiap kondisi eksperimen
yang penting jika orang lain ingin mengulangi eksperomen. Beberapa desain single-case
perlu mengulangi kembali introduksi baseline dan variabel perlakuan. Spesifikasi yang
tidak tepat akan membuat peneliti lain sulit mengulangi eksperimen, sehingga mengancam
validitas eksternel eksperimen.

5.1.4. Baseline dan stabilitas treatment


Baseline dalam desain single-case adalah frekuensi perilaku alami target sebelum
dikenalkan pada variabel eksperimen. Jika kejadian perilaku target tidak bervariasi sama
sekali selama periode pengamatan, maka akan lebih mudah menaksir efek variabel
treatment. Akan tetapi hampir semua perilaku bervariasi. Jika variasi terlalu besar, makan
akan sulit memisahkan efek perlakuan dari perubahan alami yang terjadi pada perilaku
partisipan penelitian.

Untuk melawan efek fluktuasi natural, bisa dengan menetapkan standar untuk
menentukan kapan baseline distatilkan, sebagai contoh, tidak lebih dari 5% rentang variasi
dari nilai rata-rata selama periode 10 pengamatan. Ada keadaan tertentu, ketika jenis
16

standar ini tidak tepat. Sebagai contoh, andaikan anda berencana menggunakan intervensi
eksperimen dengan orang yang perilakunya secara sistematis memburuk atau meningkat.
Jika perilaku orang tersebut secara sistematis meningkat selama periode baseline, anda
menghadapi masalah sulit. Jika orang tersebut mengalami peningkatan selama fase
treatment, seseorang dapat menyatakan bahwa perkembangan berlanjut itu berdasarkan
beberapa kondisi yang ada selama periode baseline bukan efek dari treatment. Dalam
situasi ini anda harus mempertimbangkan untuk menunda variabel perlakuan sampai
peningkatan baseline sampai pada puncaknya dan stabil.

Perlunya stabilitas berlaku pada fase treatment desain single-base. Andaikan anda
merencanakan empat sesi perlakuan. Tidak ada efek setelah tiga sesi, tapi peningkatan
muncul pada sesi keempat. Pada situasi ini anda disarankan untuk melanjutkan treatment
sampai pola efek treatment yang stabil dan dapat diinterpretasikan muncul.

5.1.5. Lama fase baseline dan treatment


Sebagai peraturan umum, harus ada panjang waktu yang hampir sama dan jumlah
pengukuran pada setiap fase pada desain single-case. Jika tidak, ketidakseimbangan akan
merumitkan analisis statistik dan interpretasi efek perlakuan. Dalam beberapa situasi,
peraturan fase setara ini bermasalah dengan pentingnya mempertahankan kondisi baseline
atau perlakuan sampai pola stabil yang diukur muncul. Anda juga mingkin perlu menjaga
baseline atau kondisi perlakuan dalam kedaan yang lebih lama dari pada yang
direncanakan karena faktor etis institusi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan melakukan studi pilot untuk menyelidiki baseline atau kondisi perlakuan
dalam keadaan yang menarik bagi anda. Pengetahuan yang anda peroleh bisa digunakan
untuk mendesai eksperimen yang lebih teliti dimana baseline dan kondisi eksperimen
disamakan selama durasi dan jumlah pengukuran.

5.2.Desain A-B-A
Desain A-B-A digunakan dalam eksperimen single-case atau single-group yang
memiliki satu perlakuan. A merupakan kondisi baseline, dan B adalah perlakuan. Ada
beberapa desain A-B-A yang lain untuk menyelidiki efek interaksi mengenai perlakuan, akan
tetapi hanya akan kita bahas dua jenis di bawah ini.

5.2.1. Desain A-B


Desain A-B adalah desai paling sederhana dari desai single-case. Peneliti mulai
dengan memilih partisipan eksperimen, satu atau lebih perilaku target, mengukur perilaku
target, dan satu perlakuan eksperimen. Kemudian perilaku target diukur berulang selama
periode baseline (A). Akhirnya, perlakuan eksperimen (B) dikelola ketika peneliti
melanjutkan pengukuran perilaku target.

Desain A-B memiliki validitas internal yang rendah. Jika perbedaan antara nilai rata-
rata pengukuran A dan pengukuran B secara signifikan berbeda, kita dapat menyimpulkan
bahwa perubahan yang realiabel terjadi dari fase baseline sampai fase perlakuan.
Menghubungkan perubahan pada efek perlakuan akan sulit. Akan tetapi, karena pengaruh
faktor lain tidak bisa diacuhkan. Fator itu dapat dijadikan keadaan selama fase perlakuan,
17

atau efek pengujian selama periode baseline. Desain A-B seharusnya digunakan hanya
ketika tidak ada lagi alternatif lain yang lebih sesuai, atau ketika peneliti bermaksud
menggunakannya sebagai studi pilot yang akan dilanjutkan dengan eksperimen yang
menggunakan deain yang lebih teliti.

5.2.2. Desain A-B-A dan Desain A-B-A-B


Desain A-B-A mengikuti desain A-B, hanya saja ditambahkan kondisi baseline
kedua. Baseline kedua umumnya menghilangkan treatment, anda juga dapat melakukan
hal yang berkebalikan dengan treatment pada baseline kedua. Sebagai contoh , pada
eksperimen audiocueing, peneliti mungkin telah memberikan guru instruksi untuk
meminta siswa melakukan perilaku yang baik, tetapi tidak memberikan mereka pujian
verbal.

Desain A-B-A memiliki validitas internal yang tinggi. Jika perilaku target berubah
seperti yang diharapkan pada setiap fase eksperimen, seseorang dapat menyimplakan
bahwa perubahan karena efek variabel perlakuan. Akan tetapi salah satu kesulitan dengan
desain ini adalah eksperimen berakhir pada catatan negatif, karena perlakuan (dianggap
positif ) dihilangkan atau dibalikkan. Kondisi ini secara etik tidak dapat diterima peneliti
dan oleh orang-orang yang terlibat dalam eksperimen.

Desain A-B-A-B mengatasi isu etik yang muncul pada desain A-B-A. Pada desain A-
B-A-B, eksperimen disimpulkan dengan mengenalkan kembali variabel perlakuan (B).
Penelitian audiocueing yang dijelaskan diatas merupakan contoh dari desain penelitian ini.
Keempat fase A-B-A-B muncul dalam penelitian ini: periode awal pengamatan baseline,
pengenalan awal variabel eksperimen, penarikan atau pembalikan variabel perlakuan
(baseline kedua), dan pengenalan kemabali variabel perlakuan.

Batasan desain ini dan semua desain baseline adalah efek perlakuan yang diamati
bergantung pada kondisi baseline tertentu yang termasuk dalam eksperimen. Anggap
bahwa perubahan A-B yang realibel ditemukan, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa
efek tersebut secara realibel hanya terjadi pada kondisi tersebut. Oleh karena itu, kondisi
baseline harus dideskripsikan dengan tepat.

5.3.Desain Multiple Baseline


Desain time-series (A-B-A) secara umum digunakan pada kejadian alami terhadap
perilaku target sebagai kondisi kontrol untuk menilai efek perlakuan. Sebaliknya desain
Multiple-Baseline merupakan eksperimen dimana kondisi selain perilaku target yang terjadi
secara alami digunakan sebagai kontrol untuk mengukur efek perlakuan.

Desain Multiple-Baseline digunakan ketika pengembalian kondisi baseline pada jenis


desain A-B-A tidak memungkinkan. Permasalahan ini mungkin terjadi jika peneliti tidak
dapat menarik atau membalikkan perlakuan karena alasan etik. Juga tidak mungkin
mendemonstrasikan efek perlakuan menggunakan desain A-B-A. Karena perilaku target tidak
kembali pada tingkat baseline pertama setelah perlakuan ditarik atau dibalikkan. Jika hal ini
terjadi, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa perlakuan memiliki efek, walaupun perilaku
18

target berubah dari fase baseline ke fase perlakuan. Sebagai alternatif, kita dapat
menggunakan desain Multiple-Baseline untuk menyelidiki efek dari perlakuan.

Contoh eksperimen Multiple-Baseline


Dalam desain Multiple-Baseline yang umum digunakan, dua atau lebih individu
digunakan untuk mengontrol variabel asing dalam mengukur efek perlakuan. Hal inilah yang
dilakukan dalam penelitian George Stern dan Frank Kohler. Tujuan eksperimen mereka
adalah untuk menentukan efek penggunaan intervensi mediasi rekan sebaya untuk menolong
siswa yang terlibat perilaku tidak pantas. Dalam intervensi mediasi rekan sebaya, satu siswa
memonitor dan memberikan petunjuk kepada siswa lainnya untuk memberikan penghargaan
sehingga perilaku yang diharapkan meningkat dan menurunkan perilaku yang tidak
diinginkan. Sebuah pertanyaan khusus yang menari perhatian peneliti adalah apakah peran
monitor/pemberi nilai atau peran penerima nilai berdampak besar pada perubahan perilaku.

Robert dan Karen, dua siswa pada kombinasi kelas lima atau enam, dipilih sebagai
partisipan penelitian karena mereka mengganggu selama seatwork pembelajaran matematika
dan termasuk anggota kelompok dengan kinerja paling rendah pada matematika. Tiga rekan
sebaya yang lain bekerja sebagai patner mereka. Patner A dan B bekerja bersama Karen, dan
patner C bekerja abersama Robert. Observasi dilakukan setiap interval 10 detik selam
workseat pelajaran matematika setiap hari.

Tidak ada intervensin yang terjadi selama kondisi baseline, persentase perilaku yang
tidak pantas cukup tinggi pada kedua siswa selama baseline pertama. Fase intervensi dimulai
untuk karen pada hari ke enam. Pada hari yang berselang dia memonitor seatwork kedua
rekannya, A dan B, dan memberikan mereka nilai ketika kriteria perilaku yang pantas terjadi.
Jika nilai yang cukup terkumpul selama periode hari, seluruh kelas akan menerima hadiah,
biasanya berupa movie.

Persentasi perilaku tidak pantas karen menurun drastis setelah dia berperan sebagai
monitor dan pemberi nilai. Pada hari rekannya memonitor perilaku Karen dan memberi dia
nilai dengan cara yang sama, perilaku karen yang tidak pantas juga sama rendahnya.

Perlu dicatat bahwa periode baseline untuk Robert diperpanjang sampai sesi 11,
keenam sesi tambahan Robert berfungsi sebagai kontrol variabel bebas yang dapat
mengacaukan efek perlakuan yang diamati pada karen. Robert dan Karen ada pada kelas yang
sama dengan guru yang sama selama enam sesi. Perbedaannya hanya pada Karen menerima
perlakuan, oleh karena itu, kita memiliki alasan untuk percaya diri bahwa persentasi perilaku
yang tidak pantas Karen yang lebih rendah, dibandingkan dengan baseline pertamanya dan
baseline pertama Robert yang dilanjutkan, merupakan akibat dari perlakuan.

Kondisi baseline diulangi kembali untuk Karen pada sesi kelas ke 26. Dengan
pengecualian satu sesi, perilaku yang tidak pantasnya tetap berada pada tingkat yang rendah
selama baseline kedua, mengindikasikan bahwa perlakuan menghasilkan efek pemeliharaan
yang bagus. Dapat dilihat bahwa desain A-B-A akan menjadi pilihan yang buruk untuk
eksperimen ini, karena perlakuan sepertinya menghasilkan efek yang bertahan, hal ini
menyebabkan tidak mungkinnya untuk mengembalikan perilaku yang tidak pantas ke tingkat
19

baseline pertama. Akan tetapi mungkin dengan menggunakan perlakuan sebaliknya dengan
memberi petunjuk pada Karen untuk melakukan perilaku yang tidak pantas. Solusi ini
memiliki permasalahan etik yang sangat tampak.

Perhatikan bahwa baseline ke dua Robert mendemonstrasikan efek yang bertahan


yang lebih rendah dibandingkan kasus Karen. Faktanya, penelitian menyatakan bahwa

Robert merespon penarikan perlakuan dengan meningkatnya perilaku yang tidak


pantas dan bertanya berulang kali agar prosedur monitoring rekan sebaya dimulai
kembali. Karena permintaanya dan permintaan guru, kami melaksanakan kembali
intervensi dengan baseline hanya tiga hari.

Setelah treatmen dilaksanakan kembali, persentase perilaku tidak pantas Robert


menurun. Efektivitas perlakuan tampaknya tidak bergantung pada apakah Robert berperan
sebagai monitor/ pemberi poin atau sebagai penerima poin.

Peneliti tidak melaksanakan uji statistik signifikan pada datanya, melainkan mereka
bergantung pada analisis visual grafik deskriptif. efek perlakuan tetap meyakinkan karena
diuji sebanyak tiga kali (pertama pada kasus Karen, kedua pada kasus Robert, dan setiap
tingkat perilaku siswa yang tidak pantas menurun melewati kondisi baseline.

Eksperimen yang dijelaskan ini menggunakan salah satu desain multiple-baseline


yang digunakan pada situasi berbeda yang muncul pada eksperimen single-case. Beberapa
desain tersebut melibatkan multiple perilaku target atau multiple keadaan stimulus untuk
menyediakan kontrol baseline, dimana desain yang didiskusikan diatas menggunakan
multiple partisipan penelitian untuk menyediakan kontrol baseline.

5.4.Analisis Statistik Data Single-Case


Banyak peneliti yang bergantung hanya pada data mentah dan beberapa statistik
deskriptif untuk interpretasi hasil eksperimen single-case. Seperti menggunakan plot data
grafis. Dengan menggunakan plot data grafis, anda bisa menganalisis dalam setiap fase titik
data untuk nilai rata-rata tingkat perilaku target dan arah kemiringan. Dan dapat juga
membandingkan fase berdekatan untuk perubahan tingkat rata-rata, kemiringan, dan tingkat
diantara titik data terakhir untuk suatu fase dan titik data pertama fase selanjutnya.

Beberapa peneliti juga merekomendasikan menentukan besarnya efek perlakuan


dengan menghitung persentasi data yang tidak tumpang tindih. Persentase ini adalah angka
titik data perlakuan yang melampaui titik data tertinggi (atau terendah) baseline, dibagi totol
jumlah titik data perlakuan.

Penggunaan analisis visual grafik untuk menginterpretasi efek pada eksperimen


single-case telah dikritik. Salah satu kritik adalah skala ordinal grafik basa dimodifikasi
untuk menonjolkan atau menutup efek perlakuan. Kritik lainnya adalah analisis visual bahwa
studi empiris menunjukkan reabilitas interrater yang rendah jika menggunakan analisis visual
untuk menentukan apakah atau sebanyak apa efek perlakuan terjadi.
20

Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan statistik inferensial, akan tetapi juga
memperoleh kritik. Statistik inferial tidak cocok digunakan untuk melogikakan eksperimen
single-case, yang melibatkan studi intensif pada perilaku individu dari pada sampel dari
populasi. Kritik lainnya adalah statistik inferial melibatkan asumsi bahwa pengamatan
independen satu sama lain. Statistik time-series juga dapat digunakan untuk menentukan
sejauh mana keterikatan seri dari eksperimen single-case, ditambah adanya efek perlakuan.
Perhitungan pada teknik statistik ini kompleks, dan banyak titik data yang penting
memperoleh hasil yang dapat diinterpretasikan.

Kesimpulannya, peneliti dapat keliru oleh analisis visual dan statistik inferensial
dalam menginterpretasikan data dari eksperimen single-case. Oleh karena itu, anda perlu
melatih penilaian yang baik menggunakan salah satu atau kesua teknik tersebut. Penilaian
yang baik memerlukan pegangan teknis dan pemahaman menyeluruh dari teori yang relevan,
penemuan penelitian sebelumnya, dan keadaan sekitar eksperimen dilaksananakan.

5.5.Desain eksperimen lain


Campbel dan Stanley mendiskusikan desain eksperimen tambahan yang dapat
diaplikasikan dalam beberapa permasalahan penelitian pendidikan. Dalam memilih desain
eksperimen yang tersedia, anda harus mencoba memilih desain yang akan memberikan
gambaran paling jelas dari efek perlakuan eksperimen, tidak dikacaukan oleh oleh efek
variabel seperti sejarah, kedewasaan, dan lainnya. Tujuan lainnya yang pentingadalah
memilih desain yang akan menghasilkan hasil yang dapat digeneralisasi dalam situasi
lainnya.

5.6.Pengukuran perubahan
5.6.1. Nilai gain
Pada dasarnya, semua eksperimen berusaha menentukan efek dari satu atau lebih
variabel bebas pada satu atau lebih variabel terikat. Pada penelitian pendidikan variabel
bebas biasanya produk atau praktek pendidikan yang baru, dan variabel terikat biasanya
adalah penilaian pencapaian, sikap atau konsep diri siswa. Jika variabel bebas memiliki
efek, efeknya seharusnya tercermin sebagai perubahan pada nilai siswa sebelum (pretest)
dan sesudah (posttest) perlakuan eksperimen. Nilai posttest dikurangi pretest disebut nilai
gain (juga disebut perubahan atau perbedaan nilai).

Dibawah ini adalah lima permasalahan interpretasi ketika nilai mentah gain digunakan
untuk mengukur perubahan yang terjadi pada indivisu segabai hasil proses intervensi dan
pertumbuhan natural.

a. Efek ceiling
Efek ceiling terjadi ketika rentang kesulitan item tes terbatas, oleh karena itu nilai
pada akhir tertinggi dari nilai skor kontinum yang mungkin secara artifisial terbatas.
b. Penurunan menuju nilai rata-rata
Juga disebut statistikal regresi, merupakan fenomena statistik yang mendeskripsikan
kecenderungan partisipan penelitian yang memperoleh nilai sangat tinggi atau sangat
rendah dalam pengukuran skor akan dekat dengan nilai rata-rata ketika diolah.
21

c. Asumsi interval yang sama.


Penggunaan nilai gain mengasuumsikan interval yang sama pada semua titik tes, akan
tetapi asumsi ini hampur tidak pernah valid dalam pengukuran pendidikan.
d. Perbedaan jenis kemampuan
Skor yang diperoleh pada tes dapat mencerminkan perbedaan tipe dan tingkat
kemampuan siswa yang berbeda. Dengan nilai gain tidak dapat membedakan
kemampuan siswa.
e. Reabilitas yang rendah
Nilai gain biasanya tidak reliabel. Semakin tinggi korelasi antara nilai pretest dengan
posttest semakin rendah reabilitas perubahan.

5.6.2. Analisis statistik perubahan


Beberapa pengukuran perubahan perlu jika peneliti ingin membandingkan efek
perlakuan eksperimen yang berbeda. Walaupun batasan nilai gain tidak dapat diatasi
secara keseluruhan, prosedur statistik tersedia untuk mengatasi beberapa kelemahan
tersebut, yaitu korelasi bagian, multipel regresi, analisis covarian dan uji t, dan analisis
varian untuk pengukuran berulang.

C. Penutup

Kesimpulan :

Dalam desain one shot case study, perlakuan eksperimental adalah diatur, dan
kemudian postest diberikan untuk mengukur efek dari perlakuan. Desain rancangan ini
memiliki validitas internal yang rendah.

One group pretes dan postes mempunyai 3 langkah: (1) Pelaksanaan pretes yang
mengukur variabel dependen (bebas), (2) Mengimplementasi pengalaman perlakuan (variabel
independen/ terikat) untuk partisipan, dan (3) Pelaksanaan postes untuk mengukur variabel
dependen lagi. Pengaruh dari eksperimen perlakuan ditentukan oleh perbandingan pretes dan
postes.

Dalam seri waktu, sekelompok peserta penelitian diukur pada interval periodik,
dengan perlakuan eksperimental yang dilakukan antara dua interval ini. Efek dari perlakuan
eksperimental ditunjukkan oleh ketidaksesuaian pada pengukuran sebelum dan sesudah
penampilannya.

Hampir semua penelitian yang dapat dilakukan dengan desain kelompok tunggal
dapat dilakukan lebih baik dengan rancangan kelompok kontrol. Perbedaan mendasar antara
desain kelompok tunggal dan rancangan kelompok kontrol adalah yang terakhir memakai
setidaknya dua kelompok peserta penelitian, yang disebut kelompok kontrol.

Langkah-langkah yang terlibat dalam desain kelompok kontrol posttest-only adalah :


(1) Secara acak tetapkan peserta penelitian ke kelompok eksperimental dan kontrol, (2)
22

Berikan perlakuan ke kelompok eksperimen dan tidak ada perlakuan al ternatif pada
kelompok kontrol, dan (3) Berikan posttest ke kedua kelompok.

Desain multi-kondisi satu variabel merupakan perpanjangan sederhana dari desain


kelompok kontrol yang telah kita sajikan sejauh ini. Masing-masing desain ini melibatkan
pembagian sampel secara acak ke dua kelompok, namun masing-masing dapat diperluas
untuk mencakup tiga kelompok atau lebih.

Desain ini mempunyai dua karakteristik yaitu partisipan penelitian tidak dipilih secara
acak menjadi dua grup perlakuan; dan diberikan posttest, tapi tanpa pretest pada kedua grup.
Perlakuan utama pada validitas internal dalam desain ini yaitu perbedaan posttest antara grup
dapat di hubungkan karakteristik grup lain dari pada kondisi ekperimen yang mereka
tetapkan.

Desain quasi experiment yang biasa digunakan dalam penelitian pendidikan adalah
nonequivalent control group design. Dalam penelitian ini, partisipan penelitian tidak
ditetapkan secara acak untuk dijadikan grup eksperimen dan control, serta kedua grup
diberikan pretest dan posttest.
Eksperimen faktorial adalah eksperimen dimana peneliti menentukan pengaruh dua
atau lebih perlakuan variabel independen (contohnya faktor) semuanya satu demi satu dan
interaksi dengan yang lain_pada variabel dependen.

Tipe eksperimen factorial yang paling simple adalah desain 2 x 2. Desain 2 x 2 berarti
dua variasi satu factor (A1 dan A2) dan dua variasi factor lain (B1 dan B2) di manipulasi
dalam waktu yang sama.

Eksperimen factorial tidak perlu dibatasi untuk memanipulasi dua factor. Kita dapat
menemukan laporan eksperimen yang diterbitkan termasuk factor tiga, empat atau lima.
Eksperimen yang termasuk lebih dari tiga factor itu tidak biasa, karena pengembangan
semua variasi perlakuan sulit dan karena sample yang besar biasanya diperlukan.

Apitude-Treatment Interaction Research adalah penelitian yang dirancang untuk


menentukan apakah efek dari metode instruksional yang berbeda dipengaruhi oleh
karateristik kognitif atau kepribadian siswa.

Design penelitian Solomon Four Group adalah kasus khusus dalam design faktorial.
Design ini digunakan untuk mencapai tiga tujuan: (1) melihat pengaruh dari pelakuan
eksperimen relative terhadap perlakuan kontrol, (2) untuk mengetahui adanya sensitisasi
pretest, dan (3) menilai interaksi antara kondisi pretest dan perlakuan.

Experimen Single-case, disebut juga eksperimen single-subject atau eksperimen time-


series, merupakan salah satu eksperimen yang melibatkan studi intensif terhadap satu
individu atau lebih dari satu individu yang diperlakukan sebagai kelompok tunggal. Seperti
yang dijelaskan Thomas Kratochwill, desain single-case melibatkan analisis intensif terhadap
perilaku organisme tunggal.
23

Eksperimen single case harus dirancang untuk memperoleh validitas internal yang
tinggi dengan menggunakan teknik pengamatan yang reliabel, pengukuran berulang,
deskripsi kondisi eksperimen, Baseline dan stabilitas treatment, dan lama fase baseline dan
treatment

Desain A-B-A digunakan dalam eksperimen single-case atau single-group yang


memiliki satu perlakuan. A merupakan kondisi baseline, dan B adalah perlakuan. Desain A-B
adalah desain paling sederhana dari desai single-case. Peneliti mulai dengan memilih
partisipan eksperimen, satu atau lebih perilaku target, mengukur perilaku target, dan satu
perlakuan eksperimen. Desain A-B-A memiliki validitas internel yang tinggi. Jika perilaku
target berubah seperti yang diharapkan pada setiap fase eksperimen, seseorang dapat
menyimpulakan bahwa perubahan karena efek variabel perlakuan. Pada desain A-B-A-B,
eksperimen disimpulkan dengan mengenalkan kembali variabel perlakuan (B).

Multiple-Baseline merupakan eksperimen dimana kondisi selain perilaku target yang


terjadi secara alami digunakan sebagai kontrol untuk mengukur efek perlakuan. Desai
Multiple-Baseline digunakan ketika pengembalian kondisi baseline pada jenis desai A-B-A
tidak memungkinkan. Permasalahan ini mungkin terjadi jika peneliti tidak dapat menarik atau
membalikkan perlakuan karena alasan etik. Juga tidak mungkin mendemonstrasikan efek
perlakuan menggunakan desain A-B-A.

Peneliti dapat keliru oleh analisis visual dan statistik inferensial dalam
menginterpretasikan data dari eksperimen single-case. Oleh karena itu, anda perlu melatih
penilaian yang baik menggunakan salah satu atau kesua teknik tersebut. Penilaian yang baik
memerlukan pegangan teknis dan pemahaman menyeluruh dari teori yang relevan, penemuan
penelitian sebelumnya, dan keadaan sekitar eksperimen dilaksananakan.

Beberapa pengukuran perubahan perlu jika peneliti ingin membandingkan efek


perlakuan eksperimen yang berbeda. Walaupun batasan nilai gain tidak dapat diatasi secara
keseluruhan, prosedur statistik tersedia untuk mengatasi beberapa kelemahan tersebut, yaitu
korelasi bagian, multipel regresi, analisis covarian dan uji t, dan analisis varian untuk
pengukuran berulang.

Referensi :

Cresswell, J.W.2012.Educational research: planning, conducting, and evaluating


quantitative and qualitatif research (4th edition). Boston: Pearson Education, Inc.

Gall, Meredith D, Walter R Borg, dan Joyce P Gall. 2002. Educational Research: An
Introduction. Princeton, N.J.: Recording for the Blind & Dyslexic.

J. Schreiber, Kimberly Asner. 2011. Self-Educational Research. United State: -John Wiley &
Sons

Anda mungkin juga menyukai