Anda di halaman 1dari 5

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifat Amilografi
Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan
konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Sifat amilografi
menunjukkan sifat pecahnya granula pati setelah proses gelatinisasi pati yang
disebabkan karena adanya panas dan air (Indrastuti dkk, 2012). Sifat gelatinisasi
dan pembengkakan dari suatu pati, salah satunya ditentukan oleh struktur
amilopektin, komposisi pati dan ukuran granular pati. Di samping itu, perbedaan
sifat gelatinisasi juga dipengaruhi oleh berat molekul granula pati. Makin besar
berat molekul, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang berat molekulnya lebih rendah.
Saat larutan pati dipanaskan di atas temperatur gelatinisasinya, pati yang
mengandung amilopektin lebih banyak akan membengkak lebih cepat
dibandingkan dengan pati lain. Sebaliknya tepung-tepungan dengan kandungan
amilosa yang lebih tinggi, seperti tepung beras dan tepung terigu, memerlukan
temperatur yang lebih tinggi agar patinya tergelatinisasi (Imanningsih, 2012). Pada
uji amilografi terdapat beberapa parameter yang dapat diamati yaitu suhu
gelatinisasi, viskositas puncak serta viskositas balik. Menurut Muhandri (2006)
karakterisasi sifat ini diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah
identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau
proses, pendugaan sifat tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk
keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung.
Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati
dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) yang merupakan
viskometer dengan pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur
resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. RVA dapat
memberikan simulasi proses pengolahan pangan (Jacobs dan Delcour, 1998). Pati
berdasarkan profil gelatinisasinya ada 4 jenis yaitu tipe A, B, C dan D. Kurva tipe
amilografi dapat dilihat pada Gambar 1. Profil tipe A menunjukkan pati yang
memiliki kemampuan mengembang yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya
viskositas maksimum serta terjadi penurunan selama pemanasan (mengalami
breakdown) contohnya pati kentang dan tapioka. Profil tipe B mirip pati tipe A
tetapi dengan viskositas maksimum lebih rendah contohnya pati dari serealia. Profil
tipe C adalah pati yang mengalami pengembangan yang terbatas, yang ditunjukkan
dengan tidak adanya viskositas maksimum dan viskositas breakdown
(menunjukkan ketahanan panas yang tinggi) contohnya pati kacang hijau dan pati
yang dimodifikasi dengan ikatan silang dan Heat Moisture Treatment (HMT). Profil
tipe D adalah pati yang mengalami pengembangan terbatas yang ditunjukkan
dengan rendahnya viskositas misalnya pati yang mengandung amilosa lebih dari
55% (Collado et al., 2001).

Gambar 1. Beberapa Tipe Kurva Amilografi


(Chen, 2003 dalam Mandasari, 2012).
2.2 Sifat Fungsional
Sifat fungsional yang ada pada sistem pangan adalah kelarutan, viskositas,
daya ikat air, gelasi, kohesi dan adesi, elastisitas, emulsifikasi, daya buih,
pembentuk adonan, kemampuan membentuk tekstur dan kemampuan mengikat
lemak dan flavor (deMan, 1997). Sifat fungsional dalam sistem pangan dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Sifat Fungsional Protein dalam Sistem Pangan
Sifat Fungsional Cara Kerja Sistem Makanan
Kelarutan Solvasi Protein Minuman
Pengikatan Air Pengikatan Hidrogen Daging, sosis, roti
dengan Air
Kekentalan Pengentalan; pengikatan Sup, kuah
air
Sifat Fungsional Cara Kerja Sistem Makanan
Kekenyalan Pengikatan hidrofob Daging, produk rpti
dalam gluten; ikatan
disulfide dalam gel
Pengemulsian Pembentukan dan Sosis, sup dan kue
penstabilan emulsi lemak
Penyerapan Lemak Pengikatan Lemak Bebas Daging dan sosis
Pengikatan Bau Rasa Adsorpsi, Produk Roti
pemerangkapan dan
pelepasan
Pembuihan Membentuk film stabil Angle Cakes
untuk memerangkap gas
Sumber: deMann (1997)
Sifat fungsional telur adalah sifat fisik dan sifat kimia yang ada pada telur
selain dari sifat gizinya yang berperan dalam proses pengolahan (Siregar, dkk.
2012). Sifat fungsional protein ini mencerminkan suatu interaksi komplek antara
komposisi, struktur, bentuk, sifat fisik dan kimia, serta komponen pangan lain yang
tergabung menjadi satu (Kinsella, 1976). Pembentuk dan penstabil buih, pemberi
warna, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi adalah sifat fungsional telur yang
berperan dalam proses pengolahan pangan (Aini, 2009). Sifat fungsional protein
pada telur berperan menentukan kualitas produk akhir dalam industri pangan.

2.2.1 Buih
Kemampuan protein pada telur sebagai pembentuk buih dan penstabil buih
merupakan sifat fungsional protein pada telur yang berperan dalam proses
pengolahan pangan. Buih merupakan dispersi koloid dimana fase gas terdispersi
pada fase cair. Buih pada putih telur terbentuk karena proses pengocokan yang
mengakibatkan gelembung udara terperangkap dalam putih telur.
Stabilitas buih menunjukkan kemampuan dari buih yang dibentuk untuk
bertahan dalam waktu tertentu. Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan
buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat
pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah
(Stadelman dan Cotterill, 1973).
Faktor-faktor yang mempengaruhi buih putih telur adalah lapisan putih
telur, umur telur, pengocokan, pH putih telur, suhu, penambahan bahan lain dan
protein putih telur. Ramanoff dan Ramanoff (1963) menyatakan bahwa umur telur
mempengaruhi daya dan kestabilan buih putih telur.

2.2.2 Emulsi
Emulsi merupakan suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan
yang lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi
saling antagonistik (Winarno, 2004). Kuning telur merupakan suatu emulsi minyak
yang terdispersi dalam air (Stadelman dan Cotterill, 1973). Kuning telur juga
merupakan suatu emulsifiying agent alami yang mempunyai daya emulsifier yang
kuat karena kandungan lesitinnya yang terdapat dalam bentuk kompleks sebagai
lesitin-protein (Winarno, 2004). Protein kuning telur memudahkan terjadinya
despersi minyak dalam berbagai komponen penyusun suatu adonan sehingga sifat
dan rasa adonan menjadi lezat, dan empuk (pada produk akhir) karena protein
dalam telur tersebut (lipoprotein) bersifat koloid hidrofil yang dapat mengabsorbsi
lapisan antar muka dan menstabilkan emulsi minyak dalam air.

2.2.3 Gelasi
Kemampuan protein untuk membentuk gel sangat penting dalam proses
pengolahan pangan. Pada telur, sifat gelasi atau pelekatan yang kuat dari protein
telur memberikan kekompakan antar bahan dalam produk bakery. Protein telur
dapat menyerap dan memperangkap berbagai bahan pencita rasa, mengikat butiran
lemak, memperangkap air, dan gas/udara. Sifat elastis protein dan memperangkap
berbagai bahan lain memberikan tekstur yang lembut (Murwati, 2013). Faktor-
faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah panas, pH, kekuatan ion dan
konsentrasi protein.

2.2.4 Water Holding Capacity


Water holding capacity adalah kemampuan protein untuk mengikat air yang
berada dalam bahan pangan atau air yang sengaja ditambahkan ke dalam bahan
pangan tersebut (Sikorski, 2001). Kemampuan protein untuk mengikat air
disebabkan oleh adanya gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi daya ikat air dari protein adalah pH, garam, dan suhu.
2.2.5 Viskositas
Viskositas adalah gaya hambat atau fraksi internal yang mempengaruhi
kemampuan mengalir suatu bahan (Andarwulan, dkk., 2011). Viskositas berperan
dalam produk pangan seperti minuman, sup, dan saos. Viskositas dapat digunakan
sebagai petunjuk adanya kandungan zat-zat tertentu dalam bahan, petunjuk adanya
kerusakan, penyimpangan atau penurunan mutu pada beberapa produk pangan.
Pada beberapa produk pangan jika kekentalannya menurun (encer) seperti pada
gelatin dan bubur, maka akan memberikan petunjuk adanya kerusakan atau
penyimpangan mutu. Namun, pada produk yang lain seperti susu, perubahan susu
segar yang encer menjadi kental merupakan petunjuk bahwa susu sudah mengalami
kerusakan.

2.2.6 Kelarutan
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat untuk bisa larut. Kelarutan
merupakan salah satu karakretistik penting dari protein karena kelarutan dapat
mempengaruhi sifat fungsional lain. Kelarutan yang baik diperlukan pada sifat
fungsional lain seperti emulsi, buih, gel dan viskositas karena protein terlarut
memberikan penyebaran molekul yang homogen dalam sistem koloid dan
meningkatkan sifat antar muka. Kelarutan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pH, kekuatan ion, suhu dan solven organik. Kelarutan protein pada berbagai pH
merupakan sifat fungsional protein yang sering diukur pertama kali karena sifat ini
menentukan tahapan preparasi dan proses selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai