Anda di halaman 1dari 18

Pharmaceutical Care

Kasus Pav Penyakit Dalam A2


 Patient’s Database
Nama: Ny.ML
Tgl MRS: 13 Januari 2015
Tgl KRS: 26 Januari 2015, Rencana dirujuk ke RS Dr. SOETOMO
Usia: 59 tahun Jenis Kelamin:♀ Tinggi Badan: N/A Berat Badan: N/A
Diagnosa Awal (14-1-2015):Hemangioma Hepar Multiple Mestastase + Febris +
Urticaria
Diagnosa : ISK, DVT, Hemangioma hepatic, Fraktur kompresi

Riwayat Pasien MRS (Masuk Rumah Sakit):


Gatal – gatal diseluruh tubuh > 2 minggu, luka ditungkai kaki kiri bawah sejak ± 5
minggu yang lalu ( dan dirawat di RS. Baptis Kediri). Tidak bisa berjalan sejak > 3
minggu yang lalu disertai nyeri pinggang bawah.
Riwayat Penyakit :
- HT
- Hemangioma + Mestastase v lumbalis 3-5 pada saat di RS Baptis Kediri,
sebelum dirujuk ke RSAL.
Riwayat Pengobatan:
Pengobatan dari RS. Baptis Kediri
 Cefotaxim
 Metronidazol
 Gentamicin
 Clindamicin
 Meropenem
 Salep nebocetin
 Salep ketokonazol
Family history:
-
Social history:
-
Allergic history/ Adverse drug reaction history:-

Data Vital Sign:


14/1 15/1 16/1 17/1 18/1 19/1 20/1 21/1 22/1 23/1 24/1
GSC 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
Tek 110/ 110/ 110/ 100/ 100/ 110/ 110/ 100/ 110/ 120/ 120/
Darah 80 70 80 70 70 70 80 70 70 80 80
(mmH
g)
Nadi/ 92 72 80 78 80 80 80 86 86 86 86
HR
(x/me
nit)
RR 20 20 18 20 20 20 20 20 20 20 20
x/men
it
Suhu 36 36 36 36 36,3 36 37 36,8 36 36 36
(˚C)

Data Laboratorium :
Parameter lab 15/1
Cr (0,5-1,5) 1,4
BUN (10-24) 23
Albumin (3,5-5) 2,8
Urin (candida ) +
Pemeriksaan Fisik :
- Kaki kiri pasien bengkak
- Gatal-gatal pada tubuh, muntah kembung
- Nyeri pinggang

Terapi yang diberikan

Nama Obat 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Interhistin 3x1 V stop
Pamol 3x1 V Stop
Urdafalk 3x1 V stop
Prosogan 2x1 stop
V V V V V
(lanzoprazol)
Inj. Ciprofloxacin V V V V V V V stop
Ondancentron 2 x4 V V V V V V V V V stop
Loratadin 1x1 V V V V V V V V V V V
B complex 3 x 1 V V V V V V V V V V
Paracetamol 3x1 V V V V V V stop
Fluconazol 1x 50 mg V V V V V V V V V V
Arixtra
(fondaparinux )2,5
mg x 1 sc (selama 7 V V V V V V stop
hari)
Xareltro
(Rivaroxaban) 1,5 V V V V V V V V
mg x2
Salep garamicin
2hari 1 x V V V V
Meloxicam 2 x1 V V V V
Ranitidin V V V V
TLSO V V V V

Problem List

Medical Problem DRP Pharmaceutical care

Hemangioma Belum ada terapi Management hemangioma

ISK Pengobatan tidak adekuat Dosis fluconazol dinaikkan

DVT - Monitoring pendarahan akibat


kombinasi 2 antikoagulan

Fraktur Kompresi - Terapi dilanjutkan

Mual muntah - Terapi dilanjutkan, digunakan bila


pasien mengeluhkan.

SOAP 1: Hemangioma
Subjective (symptom):
-
Objective:
MRI (massa di hepar)
Assessment:
Terapi Indikasi DRP
- TIDAK ADA TERAPI - Ada indikasi tetapi tidak
diterapi
Analysis:
Hemangioma hati raksasa, meskipun sering tanpa gejala, mungkin memerlukan
intervensi jika terjadi pertumbuhan yang cepat. Studi pencitraan termasuk computed
tomography, magnetic resonance imaging, dan ultrasonografi, dan sebagainya efektif
untuk diagnosis dan pengelolaan tumor ini; Namun, karena ukuran dan berbagai pola ,
kita perlu hati-hati mempertimbangkan metode terapi.

Hemangioma

< 1 cm 1-3 cm >3 cm

Follow up MRI CT/RBCS/MR


Dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk modalitas tersebut, baru-baru
ini dikembangkan dan disetujui Perflubutane- (Sonazoid-) agen kontras berbasis
ditingkatkan ultrasonografi wajar dan aman. Keuntungan utama adalah pengamatan
real-time dari struktur pembuluh darah dan fungsi sel Kupffer. Dengan prosedur ini, kita
bisa mengikuti pertumbuhan tumor atau perubahan karakter dalam hemangioma dan
memutuskan waktu intervensi terapi, karena sakit perut, massa abdomen, koagulopati
konsumtif, dan pertumbuhan hemangioma adalah tanda-tanda untuk intervensi
terapeutik. Kami meninjau laporan terbaru tentang peningkatan Sonazoid dan juga
menunjukkan temuan rinci dari hemangioma raksasa menggunakan Perflubutane
(Sonazoid). 1
Baru-baru ini, sorafenib, multikinase inhibitor, digunakan dalam pengelolaan
seorang pria 76-tahun dengan hemangioma kavernosa raksasa berukuran lebih dari 20
cm. Volume tumor menurun dari 1492 mL pada awalnya, kemudian menjadi 665 mL
setelah 78 hari pengobatan dengan sorafenib 600 mg / hari. 3
Pembedahan mungkin tepat dalam kasus tumor berkembang pesat. Operasi juga
dapat dibenarkan dalam kasus di mana hemangioma hati tidak dapat dibedakan dari
keganasan hati pada studi pencitraan. 2
Hemangioma hati telah diperlakukan dengan beragam terapi. Secara tradisional,
4
reseksi bedah dan enukleasi bedah adalah pengobatan pilihan. terapi minimal invasif
untuk hemangioma hati termasuk embolisasi arteri, radiofrequency ablation, dan
iradiasi hati. Transplantasi hati orthotopic telah dilakukan sebagai pengobatan dalam
keadaan langka.
Prioritas utama pada pasien dengan hemangioma hati adalah stabilisasi
hemodinamik. Beberapa penulis telah merekomendasikan ligasi bedah dari arteri
hepatika sebagai langkah berikutnya. Lain telah merekomendasikan embolisasi arteri
sebagai gantinya. Setelah pasien stabil, reseksi bedah formal hemangioma hati dapat
dilakukan. 5
Plan:
Dilakukan pembedahan (operasi)
 Referensi:

1. M. Masaki et al.,”Diagnosis and Management of Giant Hepatic Hemangioma:


The Usefulness of Contrast-Enhanced Ultrasonography,” International Journal
of Hepatology Volume 2013.

2. Farges O, Daradkeh S, Bismuth H. Cavernous hemangiomas of the liver: are


there any indications for resection?. World J Surg. Jan-Feb 1995;19(1):19-24.

3. Yamashita S, Okita K, Harada K, Hirano A, Kimura T, Kato A, et al. Giant


cavernous hepatic hemangioma shrunk by use of sorafenib. Clin J
Gastroenterol. Feb 2013;6(1):55-62.

4. Belli G, D'Agostino A, Fantini C, Cioffi L, Belli A, Limongelli P, et al. Surgical


treatment of giant liver hemangiomas by enucleation using an ultrasonically
activated device (USAD). Hepatogastroenterology. Jan-Feb 2009;56(89):236-9.

5. Jain V, Ramachandran V, Garg R, Pal S, Gamanagatti SR, Srivastava DN.


Spontaneous rupture of a giant hepatic hemangioma - sequential management
with transcatheter arterial embolization and resection. Saudi J Gastroenterol.
Apr-Jun 2010;16(2):116-9.
SOAP 2: ISK
Subjective (symptom):
Berdasarkan keadaan klinik : Sakit panggul, mual, muntah, (merupakan tanda-tanda
pada ISK bagian atas)
Objective:
URIN 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Candida + +
Leukosit 10
(0-5)

Assessment:
Terapi Indikasi DRP
- Fluconazol 1 x 50 mg ISK Pengobatan tidak adekuat,

Analysis:

Pengobatan tidak adekuat, dosis yang diberikan terlalu rendah, walapun


berdasarkan literatur dosis fluconazole pada ISK adalah 50-200 mg / hari selama .1
Dikarenakan berdasarkan hasil lab yang ke 2 pada tanggal 21 masih ditemukan candida
pada urin. Berdasarkan literatur dosis optimal flukonazol 200 mg dosis muatan diikuti
oleh 100 mg / hari selama empat hari dosis yang paling tepat untuk pengobatan
kandidiasis gejala ISK pada pasien tanpa infeksi jamur sistemik atau gagal ginjal yang
parah.2
Plan:
Dosis flukonazole dinaikkan menjadi 2 x 50 mg. Sediaan yang tersedia
dipasaran yaitu tablet 50 mg dan 150 mg.
Monitoring:
Efektivitas:
 Kondisi klinik : suhu tubuh (36,5-37,5)
 Data Lab: candida pada urin
Referensi:
1. Charles F Lacy, Lora L Armstrong, Morton P. Goldman, Leonard L.Lance. Drug
Information Handbook a comprehensive resource for all clinicians and healthcare
professionals. 18th ed. Lexi-Comp’s Drug Reference Handbooks. America; 2010.
2. Boedeker et al “ Fluconazol dose recomendation in urinary tract infection. “ Ann
Pharmacother. Mar.2001;35(3): 369-72

SOAP 3: DVT
Subjective (symptom):
Bengkak pada kaki kiri, kaki terasa sakit jika diangkat maupun ditekuk. Kemerahan
pada kaki kiri.
Objective:
HEMATOLOGI
D-dimer (< 0,3) 0,6
USG vaskuler Tidak dapat dilakukan karena fasilitas terbatas.

Assessment:
Terapi Indikasi DRP
Arixtra (fondaparinux )2,5 DVT Adanya interaksi obat,
mg x 1 sc (selama 7 hari), karena kombinasi kedua
Xareltro (Rivaroxaban) antikoagulan dapat
1,5 mg x2 menyebabkan
meningkatkan efek
antikoagulan dan
meningkatkan risk
bleeding.
Analysis:
DVT pada pasien ini merupakan akibat dari imobilisasi yang lama akibat penyakit
primer (hemangioma). Pilihan pengobatan untuk DVT meliputi : Antikoagulasi (terapi
utama) seperti heparin, warfarin, faktor penghambat Xa.
Heparin :
 Heparin molekul rendah-berat (LMWH, misalnya, enoxaparin)
 Heparin tak terpecah (UFH)
Inhibitor faktor Xa digunakan dalam pengobatan DVT adalah sebagai berikut:
 Fondaparinux - Agen ini tampaknya sebanding dengan enoxaparin sehubungan
dengan efikasi dan keamanan. 1
 Rivaroxaban - Agen ini muncul untuk mencegah VTE kekambuhan seefektif
enoxaparin diikuti dengan antagonis vitamin K dan mungkin terkait dengan
perdarahan kurang 2,3,4 di samping itu, tampaknya dapat digunakan dalam kelompok
berisiko tinggi
DVT proksimal akut atau PE akut pada pasien Komplikasi perdarahan aktif
memerlukan penghentian terapi antikoagulasi.
Pasien menerima 2 antikoagulan inhibitor faktor Xa. Yaitu fondaparinux dengan
rivaroxaban, dimana keduanya memiliki efektivitas yang sama dengan enoxaparin.
Seharusnya pasien cukup menerima satu antikoagulan saja. Serta diketahui bahwa
adanya interaksi obat, karena kombinasi kedua antikoagulan (fondaparinux dan
rivaroxaban) dapat menyebabkan meningkatnya efek antikoagulan dan meningkatnya
risk bleeding.5
Plan:
Management terapi telah disampaikan pada dokter, namun dokter tetap
memberikan 2 antikoagulan bersamaan. Maka terapi dilanjutkan, dan perlu pemantauan
ketat, terhadap pendarahan.
Monitoring:
Efek samping :
 Pendarahan : melena, darah pada urin. hematemesis
Efektivitas:
 Kondisi klinik : udem pada kaki, kemerahan pada kaki,
 Lab : D-dimer
Referensi:
1. Buller HR, Ten Cate-Hoek AJ, Hoes AW, Joore MA, Moons KG, Oudega R, et al.
Safely ruling out deep venous thrombosis in primary care. Ann Intern Med. Feb 17
2009;150(4):229-35.
2. Bauersachs R, Berkowitz SD, Brenner B, Buller HR, Decousus H, Gallus AS, et
al. Oral rivaroxaban for symptomatic venous thromboembolism. N Engl J Med.
Dec 23 2010;363(26):2499-510.
3. Büller HR, Prins MH, Lensin AW, Decousus H, Jacobson BF, Minar E, et al. Oral
rivaroxaban for the treatment of symptomatic pulmonary embolism. N Engl J Med.
Apr 5 2012;366(14):1287-97.
4. Hughes S. Rivaroxaban stands up to standard anticoagulation for VTE treatment.
Medscape Medical News. Dec 13, 2012;Accessed January 10, 2013.
5. Charles F Lacy, Lora L Armstrong, Morton P. Goldman, Leonard L.Lance. Drug
Information Handbook a comprehensive resource for all clinicians and healthcare
professionals. 18th ed. Lexi-Comp’s Drug Reference Handbooks. America; 2010.

SOAP 4: Fraktur Kompresi


Subjective (symptom):
Nyeri pada pinggang, tidak bisa bangun, tidak bisa berjalan.
Objective:
Pada hasil CT- SCAN
Assessment:
Terapi Indikasi DRP
- Meloxicam 7,5 mg Fraktur Kompresi -
(2 x1)
- TLSO
Analysis:
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri, menghasilkan
dan mempertahankan posisi yang ideal, agar terjadi penyatuan tulang kembali, untuk
mengembalikan fungsi seperti semula.. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan
pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu
yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi
eksteral, atau fiksasi internal. 1
Pasien diberikan meloxicam antiinflamasi non steroid selective pada cox 2 dan
TLSO yaitu korset tulang belakan, yang digunakan untuk fiksasi tulang belakang;
imobilisasi tulang belakang ; menyangga tulang belakang.
Plan:
Terapi dilanjutkan.
Monitoring:
Efektivitas:
 Kondisi klinik : nyeri pada pinggang
 Hasil CT-SCAN
Referensi:
1. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331 .

SOAP 5: MUAL MUNTAH


Subjective (symptom):
Pasien mengeluhkan mual dan muntah serta kembung
Objective:
-
Assessment:
Terapi Indikasi DRP
- Ondansetron 2 x 4 mg Mual muntah ≈ dyspepsia Duplikasi terapi, pasien
- Prosogan (lanzoprazol) mendapat 2 obat untuk
2 x 30 mg indikasi yang sama.
Analysis:
Dispepsia tidak memiliki definisi yang diterima secara universal. Namun, para ahli
setuju bahwa dispepsia merupakan gejala dan bukan diagnosis . Terapi farmakologi
terdiri dari proton pump inhibitor (PPI), H2RA, antasida serta terapi eradikasi
(antibiotik) bila dicurigai adanya H.Pylori. 1
Pasien diberikan Ondansetron merupakan golongan prokinetik (5HT3 Antagonis),
sedangkan lanzoprazol adalh golongan PPI. Dimana diketahui berdasrkan evidence
based medicine, PPI adalah lebih efektif secara signifikan 0,86 kali lebih besar dalam
mengurangi gejala dispepsia 9 pasien yang di terapi dengan PPI, diperoleh 1 pasien
yang merasakan manfaat PPI dalam mengurangi gejala dispepsia. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam hal efektifitas antara PPI high dose dan PPI low dose.2 PPI
monoterapi secara signifikan lebih efektif dibanding antagonis reseptor H2 + prokinetik
dalam mengontrol gejala dyspepsia. 3
Plan:
Terapi dilanjutkan . sebaiknya pasien cukup menerima lanzoprazol 2 x 30 mg.
Monitoring:
Efektivitas:
 Kondisi klinik : rasa tidak nyaman, seperti mual muntah dan kembung
Referensi:
1. Practice C. Dyspepsia and gastro-oesophageal reflux disease Investigation and
management of dyspepsia ,. 2014;(April 2007).
2. Moayyedi P, Delaney BC, Vakil N, Forman D, Talley NJ. The efficacy of proton
pump inhibitors in nonulcer dyspepsia: A systematic review and economic analysis.
Gastroenterology. 2004 Nov;127(5):1329–37.
3. Sakaguchi M, Takao M, Ohyama Y, et al. Comparison of PPIs and H2-receptor
antagonists plusprokinetics for dysmotility-like dyspepsia. World J
Gastroenterology. 2012; 18(13): 1517-1524
Pharmaceutical Care
Kasus Pav Penyakit Dalam (C2)
 Patient’s Database
Nama: Tn. AT
No. Rekam Medik: 00-00-xx-xx-xx
Tgl MRS: 9 Juli 2012
Tgl KRS: 21 Juli 2012
Usia: 67 tahun Jenis Kelamin: ♂ Tinggi Badan: N/A Berat Badan: N/A
Diagnosa Awal:
Tgl 9 Juli 2012 : ISK (Infeksi Saluran kemih)

Riwayat Pasien MRS (Masuk Rumah Sakit):


 Pasien mengeluh tidak bisa kencing dan nyeri ± 1 hari sebelum MRS, nyeri pada
bagian bawah diatas kemaluan, pasien menyangkal kencing keluar pasir, kencing
merah, rasa ingin BAK (+), badan lemah, BAB keluar sedikit
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Penyakit Ginjal
- Penyakit Jantung
- Diabetes mellitus sejak 2 bulan sebelum MRS
- Memiliki riwayat post OP batu ureter + Prostat (BPH)
Riwayat Pengobatan:
Glibenclamide, Metformin, Noperten 10 mg (1x1 pagi hari), Spironolakton

Family history:
-
Social history:
-
Allergic history/ Adverse drug reaction history: Ciprofloxacin ketika MRS hari 1
-
Data Vital Sign:
10/7 11/7 12/7 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7 20/7
Suhu (ºC) 36,5 36 36 36 36,2 36 36 36 36,2 36,4 36

Data Laboratorium :
Parameter lab 9/7 10/7 11/7 14/7 15/7 16/7 18/7 19/7
3
19,3 18,0 15,1 13,9
WBC (4-10 .10 )
Lekosit (x103) 20,5 4-6 8-10
Eritrosit 3-5
Cr (0,5-1,5) 1,7 1,62 1,29 1,32
BUN (10-24) 25,1 24,9 20,8 25,2
Albumin 3,7
GDA 121 107
SGOT 74 64
SGPT 18 43
Bakteri + + +

Data penunjang lain:


Konsul dokter Urologi :
Diagnosa kerja : retensi urin + bakteremia
Saran tindak medik : atasi bakteria  injeksi Terfacef 2x 1gram (Ceftriaxone)
Diberikan selama 7 hari

Terapi yang diberikan:


Nama Obat 9/7 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Infus RL:Amino L √ √ √ √ √ √ √ √
(2:2)
Nama Obat 9/7 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Starquin 400mg √
(Ciprofloxacin)
Pamol √
Sohobion 100 (1x1) √ √ √ √ √ √ √ √ √
Monuril 3g √
(Fosfomicin)
Methioson 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ceftriaxone inj 2x1 √ √ √ √ √ √ √
(Terfacef 1 gram)
Cefadroxil 500mg √
(3x1)

Problem List

Medical Problem DRP Pharmaceutical

ISK (Infeksi Tidak ada DRP Manajemen terapi


Saluran Kemih) ISK

SOAP 1: Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Subjective (symptom):
Tidak bisa kencing dan nyeri ± 1 hari sebelum MRS, nyeri pada bagian bawah diatas
kemaluan, rasa ingin BAK (+), badan lemah (+)
Objective:
10/7 11/7 12/7 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7 20/7
Suhu (ºC) 36,5 36 36 36 36,2 36 36 36 36,2 36,4 36

Parameter lab 9/7 10/7 11/7 14/7 15/7 16/7 18/7 19/7
3
19,3 18,0 15,1 13,9
WBC (4-10 .10 )
Lekosit (x103) 20,5 4-6 8-10
Eritrosit 3-5
Bakteri + + +
Assessment:
Terapi Indikasi DRP
Starquin 400 mg Antibiotik untuk ISK Tidak ada DRP
(Ciprofloxacin)
Monuril 3 gram Antibiotik untuk ISK bawah Tidak ada DRP
(Fosfomisin trometamol) akut nonkomplikata
Terfacef 2x 1gram Antibiotik untuk ISK Tidak ada DRP
(Ceftriaxone)
Cefadroxil 500 mg (3x1) Antibiotik untuk ISK Tidak ada DRP

Analysis:
Pasien Tn. AT telah memiliki riwayat penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) sejak tahun 2008 dimana pasien juga dengan riwayat pasca operasi batu ureter.
Berdasarkan guideline DIPIRO manajemen terapi untuk Infeksi Saluran Kemih (ISK)
untuk pasien dewasa pria adalah trimethoprim-sulfamethosazole atau quinolone.1 Pada
pasien Tn. AT dokter memberikan terapi Ciprofloxacin (antibiotik golongan quinolone),
tetapi pasien mengalami alergi saat pemberian ciprofloxacin pada 5 menit pertama (rash
pada kulit sekitar jarum infus) dimana sebelumnya sudah dilakukan tes alergi dibawa kulit
tetapi tidak menunjukkan rash. Pada saat itu juga ciprofloxacin langsung dihentikan
pemberiannya.
Setelah itu Tn. AT mendapat terapi Monuril 3 gram dosis tunggal, karena Tn. AT
termasuk pasien uncomplicated UTI (berdasarkan DIPIRO).1 Dimana setelah pengobatan
Monuril, pasien dievaluasi selama 3 hari untuk dilihat efektivitas obat dengan melihat
parameter WBC.
Dari hasil evaluasi terdapat perbaikan kondisi klinis pasien dengan pemberian
antibiotik, terlihat dari WBC pasien turun dari 19.300/mm3 menjadi 18.000/mm3.
Kemudian pasien mendapat antibiotik golongan sefalosporin (Ceftriaxone) selama 7 hari
(berdasarkan guideline DIPIRO).1 Dari hasil pemeriksaan laboratorium terdapat perbaikan
kondisi klinis pasien dengan melihat nilai WBC yang mulai turun pada tanggal 19 Juli
sebesar 13.900/mm3.
Pada saat pasien KRS, dokter memberikan antibiotik Cefadroxil 500 mg untuk
pengobatan selma 7 hari karena WBC pasien belum mencapai target normalnya
4.000/mm3-10.000/mm3. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengobatan ISK
pada Tn. AT tidak ditemukan adanya DRP.
Pemberian Sohobion dan Methioson ditujukan sebagai terapi simptomatik. Tablet
Sohobion sebagai vitamin neurotropik (kandungannya vitamin B1, B6, B12).2 Sedangkan
tablet Methioson ditujukan untuk mencegah gangguan fungsi liver seperti hepatotoksik
dan infeksi.2 Dengan demikian tidak ditemukan DRP pada kedua obat tersebut.

Plan:
Antibiotik Cefadroxil tab 500 mg 3x1 yang diresepkan dokter saat KSR harus diminum
sampai habis.
Methioson tablet yang diresepkan dokter saat KSR harus diminum, dimana tablet
Methioson untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi liver seperti hepatotoksik dan
infeksi.
Konseling pasien untuk meningkatkan kepatuhan dalam minum obat dan mengedukasi
pasien pentingnya kepatuhan untuk menghindarkan komplikasi dari penyakit serta
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Monitoring:
Efektivitas obat, dengan parameter: suhu tubuh, WBC, leukosit.
Efek Samping Obat:
 Ceftriaxone : gangguan fungsi ginjal ( peningkatan BUN dan kreatinin), gangguan
fungsi liver (peningkatan SGOT/SGPT), renal stone.2
Interaksi: tidak ditemukan interaksi
Riwayat penyakit dahulu: DM dengan monitoring gula darah  DM dapat meningkatkan
resiko terjadinya ISK (karena DM dapat menyebabkan kadar glukosa dalam urin yang
lebih tinggi dari normal  sehingga dapat mengubah mekanisme dari pertahanan
antibiotik)
Referensi:
1. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Wells GR, Posey LM. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 7th ed. USA:McGraw-Hill Companies. 2008.
2. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia, Volume 46-2011 s/d 2012, ISSN 0854-
4492
3. Lacy CF, Amstrong LL, Goldman MP, Lance LL. Drug Information Handbook.
15th. ed. Ohio. Lexicomp.2007.

Anda mungkin juga menyukai