Anda di halaman 1dari 26

UJI KELAYAKAN MAKANAN PUKIS MINI

LAPORAN
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Mikrobiologi
yang dibimbing oleh Bapak Drs. Noviar Darkuni, M.Si dan
Bapak Agung Witjoro, S.Pd, M. Kes.

Oleh:
Kelompok 6

Anissa Puspitawangi 100342404256


Aprilia Dwi Safitri 100342400914
Kurratul Aini 100342400909
Nur Azizah 100342400923
Dhiessy Wahyu R. 100342404258
Maidatun Nafis 100342400917
Windri Hermadhiyanti 100342400910

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
November 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima menurut FAO didefisinikan
sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki
lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung
dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Pada
umumnya anak-anak sering membeli jajan di sekolah yang rata-rata tidak terjamin
kebersihannya sehingga dapat menimbulakan penyakit. Dari segi penyajian,
jajanan tersebut mudah terkontaminasi oleh debu, asap dan lainnya. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah segi pengolahan makanan yang sering mengalami
kontaminasi. Hal tersebut akan menjadi ancaman bagi kesehatan anak-anak.
Makanan dan jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian
masyarakat khususnya orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah karena sebagian
besar makanan sekolah berisiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang
dapat mengganggu kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang (Suci,
2009). Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi
penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan dari kualitas anak-
anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan
sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh berkembangnya anak usia
sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantiítas
yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi
atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna
(Cahyadi, 2009).
Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak
menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan
yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah
makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar
sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Kebiasaan mengonsumsi
makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah. Mengonsumsi
makanan jajanan yang tidak aman dan tidak sehat dapat menyebabkan anak
terkena penyakit dan dapat menurunkan status gizi anak (Khosam,2002).
Seringkali, hal tersebut luput dari perhatian orang dewasa, baik akibat
ketidaktahuan maupun ketidakpedulian. Saat ini, anak-anak lebih banyak
mengkonsumsi makanan yang sebenarnya tidak layak dikonsumsi, seperti jajanan
di lingkungannya. Perilaku anak sekolah yang lebih sering mengkonsumsi jajanan
daripada makanan yang dibuat di rumah disebabkan oleh kegiatan anak sekolah
saat ini yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, terutama di
sekolah, diband ingkan di rumah.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Berapakah jumlah koloni bakteri masing-masing pengenceran bahan?
1.2.2 Apakah kue Pukis Mini layak dikonsumsi berdasarkan jumlah koloni
bekteri yang ditemukan?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui jumlah koloni bakteri masing-masing pengenceran bahan.
1.3.2 Mangetahui hasil kue Pukis Mini layak dikonsumsi berdasarkan jumlah
koloni bekteri yang ditemukan.

1.4 Hipotesis Penelitian


Kue Pukis mini yang dijual di Jalan Semarang, Kota Malang tidak layak
dikonsumsi.

1.5 Kegunaan Penelitian


Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.5.1 Untuk menambah wawasan dan pengalaman khususnya bagi peneliti
sendiri dalam melakukan suatu pengujian makanan.
1.5.2 Memberikan informasi tentang layak atau tidaknya suatu makanan dapat
dikonsumsi.
1.5.3 Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dalam bidang
biologi khusunya mikrobiologi.

1.6 Asumsi Penelitian


Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa reaksi bakteri yang terdapat pada
kue Pukis Mini pada pengenceran yang berbeda sama dan reaksi bakteri terhadap
kondisi medium dalah sama.

1.7 Batasan Masalah


1.7.1 Pengenceran bahan yang dilakukan yaitu pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4,
10-5, 10-6.
1.7.2 Kue Pukis Mini yang digunakan adalah kue yang dibeli di Jalan Semarang,
Kota Malang.
1.7.3 Parameter penelitian yaitu jumlah koloni bakteri.

1.8 Definisi Istilah


1.8.1 Pengenceran adalah penambahan pelarut ke dalam suatu larutan (Alfa,
2010).
1.8.2 Pukis Mini adalah jajanan yang bahan utamanya adalah tepung terigu dan
merupakan makan yang disukai oleh anak-anak (Staneka, Tanpa Tahun)
1.8.3 Koloni adalah kumpulan dari spesies mikroba yang sejenis
(Dwidjoseputro, 1994)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Anak-anak, khususnya di tingkat sekolah dasar memerlukan makanan


yang memiliki nilai asupan gizi yang sangat tinggi. Jajanan sekolah merupakan
salah satu varian yang dikonsumsi oleh anak-anak sekolah dasar. Temuan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam lima tahun terakhir (2006-2010)
menunjukkan, sebanyak 48 persen jajanan anak di sekolah tidak memenuhi syarat
keamanan pangan karena mengandung bahan kimia yang berbahaya. Bahan
tambahan pangan (BTP) dalam jajan sekolah telah melebihi batas aman serta
cemaran mikrobiologi. Data pengujian mutu kimia dan mikrobiologi yang
dilakukan BPOM pada jenis makanan yang termasuk dish menu (olahan beras,
olahan mie dan bihun, olahan daging, unggas, ikan, telur, serta olahan sayur)
menunjukkan ada kandungan formalin (12.98 persen), boraks (9,74 persen),
bakteri S. aureus melebihi batas 32,61 persen, dan 45,8 persen memiliki nilai total
bakteri (ALT) melebih batas (Anonim, 2012).

Salah satu jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah dasar
adalah pukis mini, yang merupakan salah satu bahan makanan yang disukai anak
sekolah dasar. Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme
dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti
perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain
itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan
perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut
tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan
pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk
pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit.
Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc,
mudah tersebar melalui bahan makanan (Siagian, 2002).
Adapun setiap bahan makanan memiliki tingkat kelayakan atau toleransi
sendiri-sendiri. Untuk bahan makanan yang berbahan dasar tepung, dalam
praktikum ini pukis mini, maka tabel batas maksimum cemaran mikroba menurut
BPOM RI adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Batas maksimum cemaran mikroba jenis makanan tepung menurut
BPOM RI.
Jenis makanan Jenis Cemaran Mikroba Batas Toleransi

Tepung tapioka, tepung ALT (30oC, 72 jam 1 x 106 koloni/g


hunkwee, tepung kacang APM Escherichia coli 10/ g
hijau, tepung singkong,
Bacilllus cereus < 1 x 104 koloni/g
tepung sagu, tepung
garut, tepung jagung,
tepung gandum, tepung Kapang 1 x 104 koloni/g
beras, tepung siap pakai
untuk kue, tepung aren.

Untuk mengetahui apakah suatu makanan layak dikonsumsi atau tidak,


dapat dilihat dari jumlah mikroba yang ada pada makanan tersebut. Pertumbuhan
mikroba dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Apabila lingkungan sangat
mendukung khususnya pengaruh suhu maka populasi mikroba akan meningkat
secara tidak terbatas. Dalam ilmu pengetahuan segala pengaruh dari kegiatan
mikroba dan hubungannya dengan kehidupan serta akibat-akibat yang
ditimbulkan dipelajari di dalam ilmu mikrobiologi (Ariyani, 2011).

2.1 Ekologi Mikroba Pada Pangan


Setiap bahan pangan selalu mengandung mikroba yang jumlah dan
jenisnya berbeda. Pencemaran mikroba pada bahan pangan merupakan hasil
kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar
mikroba, seperti tanah, air, debu, saluran pencernaan dan pernafasan manusia atau
hewan. Namun demikian, hanya sebagian saja dari berbagai sumber pencemar
berperan sebagai sumber mikroba awal yang selanjutnya akan berkembang biak
pada bahan pangan sampai jumlah tertentu. Hal ini berakibat populasi mikroba
pada berbagai jenis bahan pangan umumnya sangat spesifik, tergantung dari jenis
bahan pangannya, kondisi lingkungan dan cara penyimpannya. Dalam batas-batas
tertentu kandungan mikroba pada bahan pangan tidak banyak berpengaruh
terhadap ketahanan bahan pangan tersebut. Akan tetapi, apabila kondisi
lingkungan memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat,
maka bahan pangan akan rusak karenanya (Nurwantoro, 1997).

2.2 Metode Penghitungan Bakteri


Pada pemeriksaan suatu produk, jumlah bakteri akan menggambarkan
mutu bahan baku, proses pembuatan dan tingkat kerusakan suatu bahan mekanan.
Metode perhitungan sangat banyak, hanya biasanya metode yang dipilih adalah
disesuaikan dengan kepentingan pemeriksaan, kecepatan dan ketepatan hasil
pemeriksaan. Metode perhitungan itu adalah: (1) metode hitung bakteri, metode
ini dapat dikerjakan tergantung dari jumlah bakteri yang hidup dengan aktifitas
metabolisme (a) angka lempengan total, (b) pengenceran, Most Probable Number
(MPN), (c) aktifitas metabolik. (2) Metode total bakteri hidup dan bakteri mati
meliputi (a) berat kering bakteri, (b) kekeruhan, berdasarkan jumlah sinar yang
diserap pada panjang gelombang tertentu, (c) hitung partikel elektronik, (d) hitung
dengan mikroskop langsung, (e) Volume sel (Anonim, 2007).

Dari sejumlah metode di atas angka lempeng total merupakan metode


yang sering digunakan untuk pemeriksaan rutin dengan ketentuan:
a. satu koloni bakteri dihitung satu sel bakteri hidup
b. satu sel hidup dari sampel akan mampu membentuk koloni bakteri dalam
lempeng petri dish
c. dihitung jumlah koloni antar 30-300 koloni. Apabila kurang maka dihitung
jumlah koloni yang ada, sedang apabila lebih dari 300 maka perlu dilakukan
pengenceran

2.3 Angka Lempeng Total (ALT)


Salah satu cara untuk menguji mikroba pada makanan adalah metode ALT
(Angka Lempeng Total). Metode ini merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk uji kelayakan makanan. Metode penentuan angka lempeng total
ini digunakan untuk menentukan jumlah total mikroorganisma aerob dan anaerob
(psikrofilik, mesofilik dan termofilik). Prinsip metode ini adalah jika sel mikroba
yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut
akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan
mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode ini merupakan cara yang paling
sensitif untuk menghitung jumlah kuman dengan alasan sebagai berikut :
1. Hanya sel yang masih hidup yang dihitung
2. Beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus
3. Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang
terbentuk mungkin berasal dari satu sel dengan penampakan pertumbuhan
spesifik.
Selain keuntungan-keuntungan tersebut, metode ini juga mempunyai kelemahan
antara lain :
1. Hasil hitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya,
karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni.
2. Medium dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang
berbeda.
3. Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan
membentuk koloni kompak dan jelas, tidak menyebar.
4. Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari sehingga
pertumbuhan koloni dapat dihitung.
Untuk melaporkan hasil, digunakan standar yang disebut “ Standart Plate Count”,
yang menjelaskan mengenai cara menghitung koloni. Cara menghitung koloni
tiap-tiap cawan petri sebagai berikut :
1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni
antara 30 – 300.
2. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan
koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan, dapat dihitung
sebagai satu koloni.
3. Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung
sebagai satu koloni.

2.4 Teknik Penanaman Bakteri


Dalam penanaman bakteri dalam media digunakan beberapa cara, yakni
Teknik spread plate (lempeng sebar) adalah suatu teknik di dalam menumbuhkan
mikroorganisme di dalam media agar dengan cara menuangkan stok kultur bakteri
atau mengapuskannya di atas media agar yang telah memadat. Bedanya dengan
pour plate adalah, pencampuran stok kultur bakteri dilakukan setelah media agar
memadat sedangkan pour plate kultur dicampurkan ketika media masih cair
(belum memadat). Kelebihan teknik ini adalah mikroorganisme yang tumbuh
dapat tersebar merata pada bagian permukaan media agar. Teknik pour plate
(lempeng tuang) adalah suatu teknik di dalam menumbuhkan mikroorganisme di
dalam media agar dengan cara mencampurkan media agar yang masih cair dengan
stok kultur bakteri. Teknik ini biasa digunakan pada uji TPC (Total Plate Count).
Kelebihan teknik ini adalah mikroorganisme yang tumbuh dapat tersebar merata
pada media agar. Pada metode cawan agar tuang, untuk menghindari
berkurangnya populasi bakteri akibat panas yang berlebihan maka media agar
yang akan dituang mempunyai suhu 45°C±1°C (Ariyani, 2011).

2.5 Teknik Pengenceran

Untuk mengisolasi bakteri dari tanah atau benda padat yang mudah
tersuspensi atau terlarut, atau zat cair, maka dilakukan serangkaian pengenceran
terhadap zat tersebut. Misalnya suatu sampel dari suatu suspense yang berupa
campuran diencerkan dalam suatu tabung tersendiri secara berkelanjutan dari
suatu tabung ke tabung lainnya (Dwidjoseputro, 1994). Pertumbuhan bakteri pada
medium agar pada umumnya berbentuk koloni berupa lendir dan mengkilap.
Pemurnian dengan inkubasi 300C selama 2 x 24 jam (Capuuuccino & Natalie,
1983).
Gambar 2.1 Teknik Dilusi. Sumber: Rachdie (2008).

Teknik dilusi sangat penting di dalam analisa mikrobiologi. Karena hampir


semua metode perhitungan jumlah sel mikroba mempergunakan teknik ini. Tujuan
dari teknik ini pada prinsipnya adalah melarutkan atau melepaskan mikroba dari
substratnya ke dalam air sehingga lebih mudah penanganannya. Sampel yang
telah diambil kemudian disuspensikan dalam akuades steril (Rachdie, 2008).
Populasi bakteri dihitung dengan cara mengencerkan sampel atau bahan uji,
dilanjutkan dengan melakukan inokulasi semua hasil pengenceran didalam media
pelat. Jumlah koloni yang dapat tumbuh pada pelat dihitung secara manual dengan
bantuan “Colony Counter”. Jumlah koloni yang memenuhi ketentuan perhitungan
adalah 25-30 sampai 250-300 koloni pada media pelat (Anita, 2008).
Gambar 2.2 Grafik jumlah koloni bakteri pada tingkat pengenceran yang berbeda-
beda. Sumber: Anita (2008).
Pengenceran 1/10 jumlah koloni yang diamati lebih kecil dari pada jumlah
koloni yang sebenarnya dalam satuan volum yang sama karena pertumbuhan
koloni yang terlalu penuh banyak dalam cawan dengan diameter yang sama.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa semakin banyak koloni yang tumbuh pada
permukaan agar, maka antar koloni dapat saling mempengaruhi baik menekan
atau menstimulus pertumbuhan koloni lainnya dan juga perebutan nutrisi dan
tempat yang semakin ketat. Oleh karena itulah banyak koloni yang “hilang”
sehingga menampakkan pengurangan koloni yang muncul pada cawan. Alasan
inilah yang membatasi kisaran hitung pada 250 atau 300 koloni (Pradhika, 2009).

Berlainan dengan sel-sel dalam pembenihan cair, sel-sel yang terletak


diatas atau dalam pembenihan padat tidak dapat bergerak. Karena itu, bila
beberapa sel ditaruh pada pembenihan padat, tiap sel akan tumbuh dan
membentuk koloni yang terpisah. Zat ideal pada pembenihan padat adalah agar-
agar, suatu polisakarida asam yang diekstrasi dari ganggang merah (Anita, 2008).
Bila agar-agar telah mengeras, sel tidak dapat bergerak lagi dan akan tumbuh
membentuk koloni. Bila suspense sel cukup encer, koloni-koloni akan terpisah
dengan baik, sehingga tiap koloni mempunyai kemungkinan besar berasal dari
satu sel. Namun untuk memastikan ini, perlu diambil satu koloni dari jenis yang
dikehendaki, dibuatkan suspense dengan air, dan ditanamkan kembali pada
lempeng agar- agar. Dengan mengulang prosedur ini, beberapa kali akan diperoleh
biakan murni (Anita, 2008).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kuantitatif karena
kami melakukan pengamatan dan perhitungan hasil. Adapun rancangan
penelitiannya adalah penelitian eksperimental dengan metode Angka Lempeng
Total (ALT) terhadap kelayakan makanan berupa kue pukis mini yang
dikonsumsi oleh anak Sekolah Dasar (SD).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada 20-24 November 2012 bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi ruang 305, jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang.

3.3 Variabel Penelitian


Variabel-variabel dalam penelitian meliputi:

3.3.1 Variabel bebas : Pengenceran sampel kue pukis mini.

3.3.2 Variabel terikat : Jumlah koloni yang terdapat pada medium agar.

3.3.3 Variabel kontrol : Meliputi variabel yang diusahakan sama untuk tiap
perlakuan, meliputi suhu inkubasi, kandungan
medium dan lama inkubasi.

3.4 Populasi dan Sampel


Populasi yang digunakan pada penelitian adalah kue Pukis Mini yang
dibeli di Jalan Semarang, Kota Malnag. Sampel yang digunakan pada penelitian
adalah kue Pukis Mini sebanyak 10 gram.

3.5 Alat dan Bahan

Laminar Air Flow (LAF), tabung reaksi, kapas, rak tabung reaksi,
mikropipet 10 ml steril, mikropipet 1 ml steril, pipet tetes, botol semprot untuk
alkohol 70%, Erlenmeyer, incubator, vortex, pistil dan motar, timbangan, kertas
label, colony counter.
Alkohol 70%, kue pukis mini, medium agar 6 buah, pepton 0,1%.

3.6 Prosedur Penelitian


3.6.1 Pembuatan Medium
Bahan yang digunakan dalam pembuatan media nutrien agar yaitu pepton
0,060 gram, beef extract 0,036 gram dan agar 0,180 gram. Ketiga bahan tersebut,
dicampur ke dalam akuades 12,03 ml dalam gelas piala. Setelah itu, gelas piala
yang berisi bahan pembuatan media nutrien agar diletakkan di atas magnetic stirer
hingga larutan tercampur homogen (berwarna bening). Setalah larutan homogen,
maka dilakukan pemindah media nutrien agar pada cawan petri dengan
menggunakan mikropipet sebanyak 10 ml. Kemudian cawan petri dibungkus
dengan kertas kayu dan diikat dengan tali. Pada persiapan penggunaan autoclave,
mula-mula autocleve yang berada diatas kompor diisi dengan akuades hingga
batas yang sudah ditunjukkan pada autoclave. Setelah itu, letakkan saringan pada
bagian dasar autoclave dan meletakkab cawan petri di atas saringan tersebut.
Sebelum menutup autoclave, maka dilakukan pengolesan pada bagian permukaan
penutup autoclave dengan vaselin agar penutup dan panci autoclave tidak lengket.
Kemudian, penutup katup autoclave ditutup dan hidupkan kompor gas. Tekanan
pada skala autoclace semakin lama akan naik dan tunggu hingga tekanan menjadi
15 Psi. Usahakan tekanan sebesar 15 Psi selama 15 menit dengan mengatur besar
kecilnya nyala api. Setelah 15 menit, kompor dimatikan dan mengambil cawan
petri. Tunggu cawan petri hingga dingin dan apabila telah dingin, letakkan cawan
petri di dalam lemari es.

3.6.2 Pembuatan Larutan Stok 10-1


Menimbang 10 gram sampel kue Pukis Mini dengan timbangan. Kedalam
labu erlenmeyer dituangkan 90 ml pepton 0,1% dengan menggunakan pipet.
Setelah itu, menghaluskan sampel kue pukis mini dengan pistil dan motar dengan
menuangkan sedikit demi sedikit 90 ml pepton 0,1% menggunakan pipet tetes.
Kemidian, memasukkan sampel yang telah larut dengan pepton tersebut ke dalam
erlenmeyer kembali. Agar larutan homogen, maka letakkan labu erlenmeyer yang
berisi larutan pada vortex.

3.6.3 Pengenceran Larutan Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6
Memasukkan 9 ml pepton ke dalam masing-masing tabung reaksi (4
tabung pengenceran) dan memberi label pada masing-masing tabung reaksi
pengenceran yaitu 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6. Untuk pembuatan larutan dengan
pengenceran 10-2 dengan cara memindahkan 1 ml larutan dari tabung pengenceran
pertama (10-1) atau larutan stok ke dalam tabung pengenceran kedua (10 -2),
kemudian menutup tabung reaksi dengan kapas. Untuk pembuatan larutan dengan
pengenceran 10-3 dengan memindahkan 1 ml larutan dari tabung pengenceran
kedua (10-2) ke dalam tabung reaksi ketiga (10-3), kemudian menutup tabung
reaksi dengan menggunakan kapas. Untuk pembuatan larutan 10-4 dengan
memindahkan 1 ml larutan dari tabung pengenceran ketiga (10-3) ke dalam tabung
reaksi keempat (10-4), kemudian menutup tabung reaksi dengan menggunakan
kapas. Untuk pembuatan larutan 10-5 memindahkan 1 ml larutan dari tabung
pengenceran keempat (10-4) ke dalam tabung reaksi kelima (10-5), kemudian
menutup tabung reaksi dengan menggunakan kapas. Pada pembuatan larutan
dengan pengenceran 10-6, dengan memindahkan 1 ml larutan dari tabung
pengenceran kelima (10-5) ke dalam tabung reaksi keenam (10-6), kemudian
menutup tabung reaksi dengan menggunakan kapas.

3.6.4 Perlakuan
Memasukkan masing-masing 1 ml dari tabung pengenceran kesatu (10 -1)
sampai keenam (10-6) ke dalam medium agar di cawan petri dengan menggunakan
mikropipet 1 ml. prosedur ini dilakukan di Laminar Air Flow (LAF) yang telah
disemprot alkohol. Kemudian memasukkan 5 cawan yang sudah diinokulasi ke
dalam inkubator selama 1x24 jam. Jumlah koloni yang dihitung ialah >30 dan

<300 lalu dimasukkan rumus ALT

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Data yang diperoleh dengan cara menghitung jumlah koloni bakteri pada
tiap pengenceran dengan mengunakan colony counter. Perhitungan dilakukan
setelah diinokulasikan selama 1 x 24 jam. Hasil pengamatan dicatat pada tabel
pengamatan.
Tabel 3.7.1 Tabel pengumpulan data pengamatan
Pengenceran Jumlah Koloni Bakteri
3.8 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini adalah penghitungan jumlah koloni
bakteri >30 dan <300 lalu dimasukkan rumus:

ALT

BAB V
DATA DAN ANALISA DATA

5.1 Data Pengamatan

Tabel 5.1.1 Data hasil penghitungan jumlah koloni pada masing-masing


pengenceran

Pengenceran Jumlah Koloni Bakteri


10-1 259

10-2 243

10-3 237

10-4 42

10-5 254

10-6 292

Pengamatan 1 x 24 Jam

Pengenceran 10-1 Pengenceran 10-2

Pengenceran 10-3 Pengenceran 10-4


Pengenceran 10-5 Pengenceran 10-6
Gambar 5.1.2 Koloni yang muncul pada masing-masing pengenceran larutan.
Sumber: Dokumen Pribadi.

5.2 Analisa Data

Percobaan yang kami lakukan kali ini mengenai uji kelayakan makanan
dengan menghitung koloni bakteri. Hal pertama yang kami lakukan untuk
percobaan kali ini dengan membuat larutan stok dan pengencerannya untuk
mengetahui sejauh mana kelayakan makanan yang kami uji, bahan makanan yang
kami uji kali ini adalah pukis sebagai jajanan anak SD. Pembuatan larutan stok
kami lakukan dengan penambah larutan pepton 90 ml ditambah ke dalam bahan
yang kami uji yakni pukis sebanyak 10 ml hingga kami mendapatkan larutan stok
dengan konsentrasi 10-1. Selanjutnya kami melakukan pengenceran dengan
menambahkan 9 ml larutan pepton dengan 1 ml larutan stok pukis yang telah
diencerkan konsentrasi 10-1 hingga didapatkan pengenceran dengan konsentrasi
10-2. Pengenceran selanjutnya dengan menambahkan 9 ml larutan pepton dengan 1
ml larutan pukis dengan konsentrasi 10-2 hingga didapatkan pengencenceran
dengan konsentrasi 10-3. Dilakukan pengenceran lagi dengan menambahkan 9 ml
larutan pepton dengan 1 ml larutan pukis dengan konsentrasi 10-3 hingga
didapatkan pengenceran dengan konsentrasi 10-4. Dilakukan pengenceran lagi
dengan menambahkan 9 ml larutan pepton dengan 1 ml larutan pukis dengan
konsentrasi 10-4 hingga didapatkan pengenceran dengan konsentrasi 10-5
Pengenceran terakhir dilakukan dengan menambahkan 9 ml larutan pepton dengan
1 ml larutan pukis dengan konsentrasi 10-5 hingga didapatkan pengencenceran
dengan konsentrasi 10-6. Dengan demikian kita mendapatkan 6 konsentrasi larutan
pukis yang berbeda. Kemudian larutan pukis dengan konsentrasi berbeda tersebut
kita sprite ke dalam medium agar. Setelah 24 jam kemudian kami mengamati
pertumbuhan bakteri yang terdapat di dalam medium agar tersebut. Selanjutnya
didapatkan data sebagai berikut :
1. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi 10-1 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 259 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 1 dapat dihitung. Perhitungannya ALTnya sebagai berikut:

ALT

= 259 x 10 x

= 2,59 x 104
2. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi10-2 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 243 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 2 dapat dihitung.

ALT

= 243 x 10 x

= 2,43 x 105
3. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi10-3 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 237 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 3 dapat dihitung.

ALT

= 237 x 10 x

= 2,37 x 106
4. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi10-4 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 42 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 4 terlalu sedikit untuk dihitung.
5. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi10-5 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 254 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 5 dapat dihitung.
ALT

= 254 x 10 x

= 2,54 x 108
6. Pada pengenceran larutan pukis konsentrasi10-6 didapatkan jumlah bakteri
sebanyak 292 koloni bakteri, yang berarti bahwa koloni bakteri yang terdapat
pada medium 6 dapat dihitung.

ALT

= 292 x 10 x

= 2,92 x 109

Dari data yang kami dapatkan tersebut didapat kesimpulan bahwa ternyata
jumlah koloni bakteri paling banyak pada konsentrasi larutan pukis 10 -6 atau pada
medium 6 dengan perhitungan ALT 2,92 x 109.

BAB VI
PEMBAHASAN
Mikroba yang ada pada makanan dapat memberikan efek yang
menguntungkan dan efek yang merugikan. Kehadiran mikroba dalam bahan
makanan yang menguntungkan bagi manusia adalah dalam pembuatan makanan
fermentasi, pembuatan kecap, pembuatan anggur dan sebagainya. Kehadiran
mikroba dalam pembuatan bahan makanan seperti oncom, terasi, tempe dan
lainnya dapat meningkatkan nilai gizi dan akan lebih mudah untuk dicerna
(Tarigan, 1988). Mikroba dapat dikatakan merugikan bagi manusia apabila
kehadiran mikroba itu dapat mengakibatkan kerusakan pada makanan.Kerusakan
tersebut seperti yang dikatakan oleh Dwidjoseputro (1989), bahan makanan ini
mengalami penguraian sehingga dapat berkuranglah nilai gizi dan kelezatannya
bahkan dapat menyebabkan keracunan hingga dapat menyebabkan sakit sampai
matinya seseorang yang memakannya.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia tentang jenis dan batas maksimum cemaran mikroba
dalam makanan nomor HK.00.06.1.52.4011 tanggal 28 Oktober 2009 yang
menyangkut tentang pangan olahan lainnya menyebutkan bahwa standar makanan
untuk jumlah bakteri koloni/gram sampel adalah 1x104 koloni/gram. Sedangkan
menurut peraturan BPOM RI (2010) yang dimaksud pangan tercemar adalah
pangan yang mengandung bahan beracun; berbahaya atau dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; pangan yang mengandung cemaran
yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; pangan yang
mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan; pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau
mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai
sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia dan pangan yang
sudah kadaluarsa. Cemaran biologis adalah cemaran dalam makanan yang berasal
dari bahan hayati, dapat berupa cemaran mikroba atau cemaran lainnya seperti
cemaran protozoa dan nematoda (Ardhi, Tanpa Tahun).
Pada praktikum kali ini yang kami uji kelayakan makanan adalah pukis
mini yang dijual di salah satu sekolah dasar di daerah Kota Malang tepatnya di
jalan Semarang. Melalui studi literatur, kami mengetahui bahwa komposisi kue
pukis yakni telur ayam, gula pasir, gram, tepung terigu, garam, baking powder,
vanili, santan kental matang, susu, mentega cair, keju parut (Zavadesignart, 2012).
Penjual pukis mini terletak di pinggir jalan yang setiap harinya dilewati banyak
kendaraan dan orang berjalan. Tempat bahan mentah yang telah diolah untuk
dimasak menjadi pukis mini terbuka dan cucuran bahannya sering dijilati anak-
anak SD yang hendak membeli pukis mini tersebut.
Agar dapat dilakukan evaluasi serta untuk mengetahui layak sehat (layak dan
tidaknya) suatu makanan dapat dikonsumsi diperlukan alat ukur dan indikator yang
valid. Diantara parameter yang digunakan adalah parameter kimia dan bakteriologis.
Menurut Bibiana (1994) dalam Khairil tanpa tahun, parameter bakteriologis dapat
dijelaskan melalui beberapa hal sebagai berikut. Angka bakteria dalah perhitungan
jumlah bakteri yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel bakteri hidup dalam
suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan
dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang
tumbuh dihitung dan hasil perhitungannya merupakan perkiraan atau dugaan dari
jumlah suspensi tersebut.

Dari hasil analisis yang kami lakukan, jumlah koloni pada tiap
pengenceran kurang dari 300 koloni sehingga penghitungan nilai ALT bisa
dilakukan. Pada hasil pengamatan, pada pengenceran 10-1 memiliki nilai ALT
sebesar 2,59 x 104. Pengenceran selanjutnya, 10-2 mengandung nilai ALT sebesar
2,43 x 105 kemudian pada pengenceran 10-3 nilai ALT yang didapat adalah 2,37 x
106, nilai ALT pada pengenceran 10-4 didapati 4,2 x 106, kemudian pengenceran
selanjutnya yaitu 10-5 memiliki nilai ALT 2,54 x 108, serta pada pengenceran 10-6
memiliki nilai ALT sebesar 2,92 x 109.
Dari Zavadesignart (2012) kami mengetahui bahan pokok kue pukis
adalah tepung terigu. Dimana tepung terigu kami anggap sebagai tepung siap
pakai untuk kue, dan pada BPOM digolongkan ke dalam jenis makanan dengan
bahan pokok atau produk dari serealia. Berdasarkan standar BPOM mengenai
penetapan batas maksimum cemaran mikroba dalam makanan untuk kategori jenis
makanan dari tepung siap pakai untuk kue memiliki standar ALT 1 x 106 koloni/g.
Makanan yang memiliki nilai standar ALT kurang dari 1 x 106 koloni/g merupakan
makanan dalam kategori layak konsumsi, namun pada makanan yang kami uji
yakni pukis mini terdapat jumlah ALT yang melebihi nilai standar pada tingkat
pengenceran di atas pengenceran 10-3 hingga 10-6, secara berurutan nilai ALT dari
pengenceran10-3 hingga 10-6 yaitu 2,37 x 106; 4,2 x 106; 2,54 x 108; dan 2,92 x 109.
Makanan tersebut memiliki nilai lempeng total yang melebihi batas ambang
cemaran mikroba yang boleh masuk dalam makanan.
Seperti yang dijabarkan oleh Dwidjoseputro (1989), bakteri yang tumbuh
di dalam makanan mengubah makanan tersebut menjadi zat-zat organik yang
berkurang energinya. Disini bakteri akan memperoleh energi yang dibutuhkannya.
Namun terdapat beberapa spesies yang hasil metabolismenya merupakan
eksotoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa spesies bakteri
saproba dan patogen dapat tumbuh dengan baik jika makanan yang dihinggapinya
memilki pH, kelembapan dan temperatur yang menguntungkan bagi kelangsungan
hidupnya (Suarsini, 2010).
Berdasarkan analisis yang dijabarkan, diketahui bahwa data yang kami
dapatkan acak. Seharusnya, semakin banyak tingkat pengenceran, maka jumlah
koloni bakteri yang diperoleh semakin banyak karena antara bakteri satu dengan
bakteri lainya semakin memisah apabila larutan diencerkan terus menerus (Anita,
2008). Hasil pengamatan tidak sesuai dengan pernyataan karena pada saat
penghitungan jumlah koloni dengan menggunakan colony couter banyak koloni
bakteri yang bergabung sehingga sulit untuk menentukan satu koloni, selain itu
juga dipengaruhi oleh tingkat difusi bahan yang kami uji karena metode inokulasi
yang kami pakai adalah dengan cara menspread bahan uji dengan cara
menggoyang-goyangkan medium agar yang telah dispread oleh bahan uji, maka
belum tentu bahan yang kami spread bisa menyebar pada permukaan medium
dengan baik.
Melalui metode perhitungan cawan ini dapat diketahui jumlah mikroba
yang terdapat pada sampel dari setiap pengenceran (Hadioetomo, 1993). Setiap
kali pengenceran dilakukan, perbandingan jumlah bakteri dengan larutan yang ada
akan mengalami kesenjangan yang nyata sehingga bakteri akan berjumlah lebih
sedikit dan semakin sedikit seiring tingkat pengencerannya. Pada pengenceran
lebih lanjut, jumlah bakteri yang lebih sedikit pada medium menyebabkan
beberapa bakteri lainnya tidak terikut/ terinjeksi dengan pipet mikro. Pada
pengenceran tinggi ketika diinokulasikanpada medium tidak ada koloni yang
terbentuk (Kusnadi, 2003).

BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Hasil perhitungan jumlah koloni bakteri pada masing-masing pengenceran
yaitu, pengenceran 10-1 = 259 koloni, , pengenceran 10-2 = 243 koloni, ,
pengenceran 10-3 = 237 koloni, pengenceran 10-4 = 42 koloni,
pengenceran 10-5 = 254 koloni, pengenceran 10-6 = 292 koloni

7.1.2 Dari hasil perhitungan ALT bahan makanan yang telah diuji dan
dicocokkan dengan tabel dari BPOM mengenai Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan untuk kategori jenis
makanan dari tepung siap pakai untuk kue dapat disimpulkan bahwa Kue
Pukis Mini Sampel tidak layak untuk dimakan karena mengandung
mikroba lebih banyak dari batas yang telah ditentukan.
7.2 Saran
7.2.1 Perlu lebih banyak mengadakan pengujian bahan makanan yang biasanya
dikonsumsi oleh anak-anak sekolah.
7.2.2 Sebaiknya anak-anak sekolah melakukan seleksi terhadap jajanan yang
dikonsumsinya.
7.2.3 Perlu adanya perhatian dari orang tua mengenai jajanan yang dikonsumsi
oleh anaknya ketika di sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Alfa. 2010. Pengenceran Larutan. (Online),


(http://alfakece.blogspot.com/2010/02/pengenceran-larutan.html),
diaskes 28 November 2012.
Anita. 2008. Mikrobiologi Farmasi. (Online),
(http://anitamanulang.wordpress.com/), diakses 23 November 2012.
Ariyani. 2011. Bab I. (Online), (http://eprints.undip.ac.id/28785/2/k_BAB_I.pdf),
diakses November 2012.
Anonim. 2012. Jajanan Berbahaya di Sekitar Anak. (Online),
(http://www.bin.go.id/awas/detil/132/4/11/08/2012/jajanan-berbahaya-
di-sekitar-anak), diakses 23 November 2012.

Ardhi, Khairil. Tanpa tahun. Indikator Kualitas Bakteriologis Makanan. (Online),


(http://khairil-ardhi.blogspot.com/) , diakses 25 November 2012.

Cahyadi. 2009. Gizi Buruk dan Kemiskinan. Harian Pikiran Rakyat, hlm. 24.
Capuuuccino, J.G. & S. Natalie. 1983. Microbiology a Laboratory Manual. New
York: Addison-Wesley Publishing Company.
Dwidjoseputro. 1989. Dasar-DasarMikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan


Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Khosam, A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: Rajagrafindo


Persada.

Kusnadi, Peristiwati, dkk. 2003. Common Text Book Mikobiologi. Jakarta:


Universitas Indonesia.

Nurwantoro, Djarijah, A.S., 1997, Mikrobiologi Pangan Hewani dan Nabati.


Yogyakarta: Kanisius.

Pradhika. 2009. Prinsip Dasar Teori Menghitung Mikroorganisme Pada Cawan


(Bagian 2). (Online), (http://ekmon-
saurus.blogspot.com/2009/10/prinsip-dasar-teori-menghitung_31.html),
diakses 18 November 2012.

Rachdie. 2008. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba. (Online),


(http://rachdie .blogsome.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-
pertumbuhan-mikroba/), diakses 30 April 2012.

Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber


Pencemarannya, (Online),
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3672/1/fkmalbiner3.pd
f), diakses 18 November 2012.

Staneka, Andre. Tanpa Tahun. Resep Kue Pukis. (Online),


(http://anekakuliner.com/tag/resep-pukis-bangka-mini), diaskes 28
November 2012.

Suarsini, Endang. 2010. PenuntunPraktikumMikrobiologi. Malang:


UniversitasNegeri Malang.

Suci, Eunike. 2009. Gambaran Perilaku Jajan. (Online),


(www.psikobuana.com/doc/29-38%20-%20Jajan.pdf), diaskes 27
November 2012.

Tarigan, Jeneng. 1988. PengantarMikrobiologi. Jakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi.
Zavadesignart. 2012. Resep Kue Pukis Keju Mini. (Online),
(http://4resepmasakankita.blogspot.com/2012/06/resep-kue-pukis-keju-
mini.html), diakses tanggal 25 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai