Anda di halaman 1dari 29

NAMA KELOMOK :

1. MUHAJIRIN
2. UMY HAILAH
KONSENTRASI : MANAJEMEN LINGKUNGAN

Konsep pengelolan sumber daya pesisir khususnya daerah parawisata di


Negara Selandia Baru.

Selandia Baru (dalam bahasa Maori disebut Aotearoa (artinya Tanah Berawan
Putih Panjang); bahasa Inggris: New Zealand, bahasa Latin: Nova Zeelandia) adalah
sebuah negara kepulauan di barat daya Samudera Pasifik; kira-kira 1.500 kilometer di
tenggara Australia, di seberang Laut Tasman; dan kira-kira 1.000 kilometer di selatan
negara-negara kepulauan Pasifik, yakni Kaledonia Baru, Fiji, dan Tonga. Negara ini
terdiri dari dua pulau besar (Pulau Utara dan Pulau Selatan) dan beberapa pulau lainnya
yang lebih kecil. Karena letaknya yang jauh, Selandia Baru merupakan kepulauan
terakhir yang didiami oleh manusia. Jumlah penduduk diperkirakan 4.619.130 jiwa.

Alpen Selatan yang ditutupi salju


mendominasi Pulau Selatan, sedangkan
Semenanjung Auckland Utara di Pulau Utara
membentang ke arah subtropika. Selandia Baru
terdiri dari dua pulau utama, dan sejumlah pulau
yang lebih kecil, terletak di dekat pusat belahan
lautan. Pulau Utara dan Pulau Selatan dipisahkan
oleh Selat Cook, selebar 22 kilometer di celah
tersempitnya. Di samping Pulau Utara, dan Pulau
Selatan, lima pulau terbesar yang dihuni adalah
Pulau Stewart, Pulau Chatham, Pulau Great
Barrier (di Teluk Hauraki), Pulau d'Urville (di
Marlborough Sounds) dan Pulau Waiheke (kira-
kira 22 kilometer dari Auckland tengah). Pulau-
pulau negara ini terletak di antara 29° LS sampai
53° LS, dan 165° BT sampai 176° BT.

Selandia Baru memiliki panjang (lebih dari 1.600 kilometer membujur dari utara ke
selatan) dan memiliki lebar maksimum 400 kilometer melintang dari barat ke timur,
dengan garis pantai sepanjang kira-kira 15.134 kilometer dan total luas daratan seluas
268.021 kilometer persegi Karena pulau-pulau luarnya yang terpisah jauh, dan garis
pantainya yang panjang, negara ini memiliki sumber daya kelautan yang melimpah. Zona
Ekonomi Eksklusif-nya, merupakan salah satu yang terluas di dunia, meliputi lebih dari
15 kali lipat luas daratannya.
A. Auckland Kota di Selandia Baru

Auckland adalah kota terbesar dan pusat transportasi


utama di Selandia Baru. Pastikan Anda singgah dan menikmati
perbelanjaan, santapan, dan pesona alaminya.

Kemana pun anda pergi di Auckland, anda tidak pernah


jauh dari perairan, dari pantai selancar West Coast yang liar
hingga teluk Hauraki yang tenang, laut dan segala daya tariknya
membuat kota ini dijuluki Kota layar (City of Sails).

Dalam bahasa Maori, Fakta menariknya adalah


Auckland dikenal sebagai Tamaki Makau Rau, yang berarti
Perawan dengan ratusan pelamar, karena kawasan ini dilirik
oleh banyak suku.

Ternyata Wilayah ini (Auckland) dapat dianggap tertutup


bagi kegiatan industri pariwisata. Seolah-olah tabu untuk
diakses wisatawan, apalagi untuk tujuan pembangunan
infrastruktur pariwisata.

Beberapa cagar alam yang ada di Auckland, Selandia Baru memperlihatkan


keadaan sebaliknya. Kawasan konservasi semacam cagar alam ternyata dapat
dimanfaatkan oleh industri pariwisata, baik bahari (cagar alam laut atau suaka marga
satwa laut) dan pariwisata alam darat (cagar alam dan suaka margasatwa darat). Cagar
alam laut seperti Goat Island, Long Bay Marine Reserve dan Tiritiri Matangi adalah
contoh yang memperlihatkan keberhasilan perpaduan antara perlindungan habitat dan
species dengan industri wisata skala kecil di sekitar kawasan.

B. Pengembangan Industri Pariwisata di Kawasan Konservasi Cagar dan Suaka


Pulau Tiritiri Matangi

Wilayah ini dapat dianggap tertutup bagi kegiatan industri pariwisata. Seolah-olah
tabu untuk diakses wisatawan, apalagi untuk tujuan pembangunan infrastruktur
pariwisata Beberapa cagar alam yang ada di Auckland, Selandia Baru memperlihatkan
keadaan sebaliknya. Kawasan konservasi semacam cagar alam ternyata dapat
dimanfaatkan oleh industri pariwisata, baik bahari (cagar alam laut atau suaka marga
satwa laut) dan pariwisata alam darat (cagar alam dan suaka margasatwa darat). Cagar
alam laut seperti Goat Island, Long Bay Marine Reserve dan Tiritiri Matangi adalah
contoh yang memperlihatkan keberhasilan perpaduan antara perlindungan habitat dan
species dengan industri wisata skala kecil di sekitar kawasan.
Dimasa lalu pulau ini merupakan habitat bagi beberapa hewan endemic Selandia
Baru. Kemudian imigran dari kawasan Eropa berdatangan dan merubahnya menjadi
daerah pertanian dan peternakan. Saat menjadi kawasan pertanian dan peternakan
hampir sebagian besar spesies asli pulau ini baik satwa maupun tumbuhan yang ada
musnah. Penggunaan pestisida, introduksi spesies asing dan pemusnahan habitat asli
adalah penyebab utama kepunahannya. Upaya awal untuk mengembalikan pulau ini ke
kondisi aslinya mulai dilakukan oleh beberapa ilmuwan dan aktivis pemerhati lingkungan
pada sekitar tahun 1970. Usaha yang panjang ini termasuk negosiasi yang alot, baik
dengan pemerintah, pemilik dan penyewa lahan.

Upaya untuk restorasi sendiri dilaksanakan sejak tahun 1984 sampai tahun 1994
dengan penanaman kembali tanaman- tanaman endemik. Termasuk juga tanaman yang
berasal dari pulau ini atau yang berasal dari wilayah- wilayah lain di Selandia Baru.

Di samping itu, dilakukan juga rehabilitasi satwa-satwa endemik di pulau ini. Hewan
endemik yang berasal dari luar Selandia Baru juga ikut direhabilitasi dan dikembangkan
dengan mengikuti aturan ilmiah yang sangat ketat. Setelah lebih dari 30 tahun proses
restorasi dan rehabilitasi habitat maupun satwa-satwanya, kondisi Tiritiri Matangi pulih
kembali. Hampir seperti kondisi semula sebelum pertanian dan peternakan
dikembangkan. Seiring dengan keberhasilan proses rehabilitasi dan restorasi kawasan,
perhatian khalayak terhadap kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata alam mulai
tumbuh kembali Minat untuk mengunjungi pulau ini semakin tinggi. Kebutuhan dana
pengelolaan yang cukup besar membuat para pengelola pulau mulai memikirkan bahwa
wilayah ini tidak saja sebagai salah tujuan wisata, tetapi juga sebagai wilayah konservasi
habitat dan biota penghuninya. Akhirnya Pemerintah melalui Departement of
Conservation membuka kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata.

pulau ini sejak diubah menjadi kawasan suaka marga satwa tidak dihuni lagi oleh
penduduk kecuali beberapa peneliti dan seorang jagawana. Akses transportasi ke pulau
dibangun bekerjasama dengan pengusaha kapal feri yang biasa melayani transportasi
antar pulau dan semenanjung di dalam wilayah Hauraki Bay. Meskipun pulau ini sangat
ramai dikunjungi para wisatawan di setiap akhir pekan, pihak pengelola menerapkan
aturan sangat ketat, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Tidak diperbolehkan
membangun fasilitas penginapan apapun. Hanya tersedia bangunan untuk toilet, pusat
studi dan informasi kawasan serta sebuah situs sejarah tua berupa mercusuar dan
bangunan pendamping yang telah berdiri sejak ratusan tahun silam. Untuk menjaga
kebersihan wilayah pulau, secara sengaja tidak disediakan tempat sampah sama sekali.
Ini sangat menarik. Setiap wisatawan yang datang dan menghasilkan sampah dilarang
membuangnya disini. Mereka harus membawa kembali sisa sampah mereka saat keluar
dari pulau ini. Dengan demikian beban pengelolaan sampah dapat berkurang dan pulau
ini terhindar dari permasalahan yang diakibatkan oleh sampah.
Aturan ketat berikutnya yang diberlakukan bagi wisatawan saat berkunjung adalah
keadaan steril. Untuk mencegah masuknya penyakit atau spesies mikro yang bisa
mengancam kehidupan di dalam eksosistem, wisatawan harus benar-benar steril
sebelum memasuki pulau ini. Sebelum menaiki kapal feri yang akan mengantar ke pulau
ini, wisatawan harus membersihkan alas kaki (sepatu atau sandal) yang dipakai. Begitu
juga saat kembali dari sana. Pengelola juga mengatur pembatasan jumlah pengunjung
per hari dan per tahun. Saat ini hanya 175 orang per hari dan maksimal setahun 35 ribu
orang. Pengaturan ini dibuat setelah mempertimbangkan daya dukung kawasan baik dari
segi ekologi maupun aspek SDM pengelola. Padahal kawasan Tiritiri Matangi memiliki
lebih dari 200 relawan Tiritiri Matangi berhasil menerapkan pola tersebut.

Berdasarkan informasi pengelola, dana pengelolaan terbesar berasal dari


penerimaan tiket masuk wisatawan yang kini sudah mencapai 80% dari total anggaran
pengelolaan kawasan. Pengelolaan sebuah kawasan konservasi khususnya yang bertipe
cagar atau suaka bertujuan untuk melindungi dan melestarikan ekosistem yang ada.
Pemanfaatan kawasan, bila dilakukan dengan tepat ternyata justru dapat menyediakan
dukungan bagi pembiayaan pengelolaan. Pada akhirnya, dengan ketersediaan sumber
dana ini pengelolaan dapat dilakukan dengan optimal dan mencapai tujuannya.
• Kawasan konservasi berupa suaka atau cagar memiliki pontensi wisata yang
besar dalam menyediakan sumber pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan

• Pengembangan wisata di dalam kawasan konservasi harus mempertimbangkan


aspek pelestarian dan perlindungan
terhadap keanekaragaman hayati, habitat dan ekosistemnya.

• Diperlukan regulasi yang ketat dan konsistensi untuk penerapan regulasi dalam
pengembangan wisata pada kawasan konservasi karena sifat kawasan yang khusus.

• Kontribusi dan peran berbagai pihak dalam mengembangkan kebijakan


pengembangan

wisata di dalam kawasan konservasi menjadi hal penting dalam mengakomodir


berbagai kepentingan para pihak yang berada di sekitar kawasan.

• Kawasan konservasi mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada


masyarakat dan berbagai pihak di samping fungsi pelestarian dan perlindungan. Selain
itu juga dapat memberikan dampak berupa kesadaran dan perubahan perilaku
wisatawan untuk mendukung upaya perlindungan dan pelestarian terhadap kawasan.

C. Kawasan Suaka Perairan atau Cagar Alam Perairan

Sebagai lembaga nirlaba (non- profit) yang banyak memfokuskan diri pada
pendidikan lingkungan, Peter Blake Marine Education and Recreation Center
menyediakan beragam program pendidikan lingkungan dan konservasi untuk semua
tingkatan usia.

anak sekolah usia dini merupakan fokus utama mereka dalam membangun
kesadaran dan membentuk karakter cinta lingkungan dan perilaku peduli lingkungan.

Hal yang menarik adalah lokasinya yang berada di sekitar kawasan konservasi
justru memudahkan akses untuk untuk pembelajaran di lapangan bagi siswa atau
peserta didik dan latih mereka. Di samping pendidikan lingkungan, mereka juga
menyediakan program terkait.

pengelolaan dan pemanfaatan limbah terutama yang berada atau ditemukan di


sekitar kawasan.

Aspek menarik lainnya dari pusat


pendidikan ini adalah program untuk orang
dewasa berupa pelatihan keterampilan
membuat cindera mata kerajinan tangan yang
kemudian dijual ke pengunjung di Long Bay –
Okura Marine Reserve atau disalurkan serta
dipasarkan pada beberapa kawasan
konservasi lain di Hauraki Bay. Peserta latih
didik yang ingin belajar atau
mengembangkan keterampilan dikenakan
biaya sesuai program yang diambil. Terkait
pembiayaan peserta, lembaga ini juga melakukan subsidisi silang bagi peserta didik yang
kurang mampu di samping juga mendapat dukungan dari donor terkait. Meskipun lebih
berperan sebagai lembaga pendidikan, namun kehadirannya di dalam kawasan
konservasi juga memberikan daya tarik wisata bagi pengunjung kawasan. Meskipun
belum menjadi salah satu daya tarik utama, tetapi pada musim liburan pusat pendidikan
ini banyak mendapatkan kunjungan wisatawan. Lembaga ini juga menawarkan kegiatan
interaktif langsung dengan peserta dalam bentuk program sehari kunjungan atau
penyewaan fasilitas seperti kano atau perahu layar kecil disertai mentoring cara
penggunaannya. Penerimaan yang diterima sebagian besar dialokasikan membiayai
program pendidikan lingkungan dan sebagian kecil untuk membantu pengelolaan
kawasan.
D. Goat Island Marine Discovery Center

Pusat penelitian maritim ini memberikan banyak informasi kepada pengunjung


tentang konservasi laut dan berbagai informasi biota laut dan keterkaitannya dengan
habitat dan lingkungannya. Keberadaannya tidak saja memberikan edukasi bagi
pengunjung kawasan konservasi Goat Island, tetapi juga mengajak mereka berinteraksi
dan mempelajari perilaku biota dibantu tenaga pendidik dan relawan.

Untuk menarik pengunjung, marine


center ini dilengkap berbagai fasilitas yang
interaktif dan menarik seperti ruang display,
aquarium, perpustakaan, mini theater, serta
toko cindera mata mini. Keberadaan marine
center ini menjadi semacam obyek wisata
alternatif dalam kawasan konservasi selain
obyek utama seperti wisata bahari berupa selam, snorkeling dan wisata pantai. Dengan
jumlah pengunjung yang mencapai ratusan ribu orang dalam setahun, penerimaan

marine center ini cukup untuk membiayai berbagai program yang mereka miliki maupun
berkontribusi juga untuk pengelolaan kawasan Jadi jelas bahwa keberadaan marine
education center dan marine center serta marine research center memiliki peran yang
penting. Pertama membantu otoritas pengelola kawasan memberikan data dan informasi
untuk mendukung kebijakan pengelolaan. Kedua sebagai pusat edukasi pengunjung dan
masyarakat pada umumnya untuk semua tingkatan usia. Ketiga, menjadi obyek wisata
edukatif yang memberikan pemahaman pengetahuan tentang konservasi secara umum
dan kawasan secara khusus. Keempat, berkontribusi bagi pendapatan untuk membantu
pembiayaan pengelolaan kawasan sehingga sebuah kawasan benar-benar mandiri.

E. Pembelajaran terhadap keberadaan Education Center dan Marine Center Dalam


Kawasan Konservasi

Ada beberapa hal penting yang bisa diperoleh


jika sebuah kawasan memiliki education center dan
marine center:

 Dapat difungsikan sebagai pusat informasi


yang mudah diakses oleh semua stakeholders
termasuk khalayak umum. Informasi yang dapat
disediakan: terkait keberadaan, fungsi dan potensi
kawasan serta upaya konservasi yang di lakukan di
dalam kawasan.

 Lebih mendekatkan para pengunjung, pemerhati lingkungan serta khalayak


umum lainnya untuk dapat berinteraksi secara langsung dan memahami
pentingnya keberadaan sebuah kawasan bagi lingkungan atau ekosistem
sekitarnya.

 Bisa dikembangkan menjadi obyek penting dalam sebuah kawasan.


Keduanya dapat memberikan kontribusi bagi pengelolaan kawasan melalui
kunjungan dan program yang dirancang interaktif dan edukatif.

F. Relawan, Nyawa Bagi Kawasan Konservasi Tiritiri Matangi

Lepas dari besar kecilnya kontribusi berupa nilai finansial, tidak diragukan lagi
relawan memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan yang sifatnya “sosial”. Selandia
Baru adalah negara terdepan dalam hal kontribusi yang diberikan oleh para relawan.
Berdasarkan hasil studi tentang kegiatan sektor nirlaba tahun 2008 di Selandia Baru,
tenaga kerja di sector ini 67% terdiri dari relawan atau setara dengan 133.799 posisi
penuh waktu. Total kontribusi para relawan tersebut diperkirakan bernilai 270 juta jam
kerja atau sekitar NZD 3,3 milyar (hampir Rp 33 triliun) bagi organisasi-organisasi nirlaba.
Gerakan massal seperti itu memberi dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan
masyarakat. Menjadi relawan adalah sebuah kewajaran, dan itu dilakukan oleh orang-
orang dari berbagai latar belakang, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, ras dan lapisan
usia.

Pulau ini secara resmi dikelola oleh


Department of Conservation (DoC). Pulau ini
secara resmi dikelola oleh Department of
Conservation (DoC), yang menempatkan 2 orang
penuh waktu dan 1 orang paruh waktu di Tiritiri
Matangi. Jumlah tersebut amat sangat jauh dari
memadai jika mengingat tugas yang harus
dilakukan serta besarnya “tekanan” pengunjung
yang harus dihadapi.

Untuk itulah dalam pengelolaan Pulau Tiritiri Matangi ini DoC bekerjasama
dengan kelompok relawan. Kerjasama ini mutlak dilakukan karena DoC memiliki
keterbatasan dana dan tenaga disamping kelompok relawan ini telah memiliki sejarah
yang panjang dalam pelestarian lingkungan Pulau Tiritiri Matangi.

Pembelajaran buat kita Menjadi relawan bagi kegiatan sosial, dapat dikatakan telah
menjadi budaya bagi warga negara Selandia Baru. Hal serupa juga bisa ditemukan di
kegiatan- kegiatan sosial dan keagamaan di Indonesia walaupun keragaman latar
belakang para relawan belum banyak. Selain itu, Indonesia juga memiliki para relawan
yang terorganisir seperti dari Palang Merah Indonesia, dan para relawan (walaupun
jumlahnya masih sangat kecil) dari kelompok-kelompok penyayang binatang (Animal
Welfare). Ada pula relawan yang sifatnya individu dan hanya muncul pada keadaan
darurat (bencana alam misalnya).

G. Pengamatan Burung, Kegiatan Wisata Alternatif di Pulau-pulau kecil

Wisata seperti berlayar dan dayung, memancing, berenang, selam, berselancar


atau sekadar berjemur di pantai adalah kegiatan yang menjadi unggulan bagi wisata
perairan.

Beberapa macam kegiatan wisata memiliki potensi yang besar, tetapi belum
banyak dilakukan oleh para pelaku industri wisata di Indonesia saat ini. Bahkan, dalam
batas-batas tertentu, justru telah mulai dirambah oleh para pelaku industri wisata dari luar
Indonesia yaitu wisata mengamati burung (birdwatching). Ada begitu banyak pulau-pulau
kecil, terutama di kawasan Timur Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan
menjadi lokasi tujuan wisata birdwatching.

Spesies endemik Selandia Baru tersebut, dapat berkembang biak dengan sangat
baik di Pulau Tiritiri Matangi sehingga saat ini sudah ada yang mulai dipindahkan/relokasi
ke pulau- pulau lain di Selandia Baru. Secara sepintas, apa yang dilakukan ini seperti
layaknya program perlindungan dan rehabilitasi spesies terancam punah saja. Tetapi
ternyata ada efek samping yang terjadi dari program ini. Program ini ternyata menarik
perhatian publik dan menarik perhatian para birdwatcher. Spesies endemik memiliki “nilai
lebih” bagi para birdwatcher, apalagi jika spesies tersebut berstatus terancam punah
(Dalam kategori IUCN, spesies dikatakan terancam punah jika masuk ke dalam salah
satu kategori Vulnerable, Endangered atau Critical/Critically Endangered). Maka jika ada
burung endemik dengan status Critical sama halnya dengan memasang label “MUST
SEE” bagi para birdwatcher. Tidak heran jika kemudian Pulau Tiritiri Matangi ramai
dikunjungi oleh para birdwatcher dari seluruh penjuru dunia, walaupun pulau ini adalah
bagian dari sebuah Marine Park.

Di tengah antusiasme Pemerintah Daerah dalam pencadangan serta pengelolaan


kawasan konservasi, maka selain pelestarian keanekaragam hayati di laut juga dapat
dihubungkan dengan pembangunan wisata birdwatching di daratan yang terkait terutama
di pulau-pulau kecil. Berkembangnya wisata ini berfungsi ganda. Pertama ia akan
membuka akses yang lebih mudah ke pulau-pulau tersebut. Kedua, pemanfaatan
kawasan konservasi tidak hanya yang berkaitan langsung dengan air tetapi juga daratan.
Pada akhirnya dapat berkontribusi bagi pengembangan ekonomi wilayah tersebut.
Selanjutnya, pendapatan dari wisata ini adalah sumber daya bagi proses pengelolaan
kawasan sehari-hari. Harus diakui, tidak sama dengan dengan Selandia Baru, hambatan
terbesar yang dialami di Indonesia untuk menjelajahi pulau-pulau tersebut adalah
infrastruktur transportasi. Untuk akomodasi seperti penginapan bukanlah faktor penting.
Pada umumnya para birdwatcher tersebut sudah menyiapkan diri untuk tinggal dengan
fasilitas sangat dasar, bahkan untuk berkemah sekalipun adalah hal yang biasa bagi para
birdwatcher yang fanatik. Akan tetapi ketersediaan akses ke lokasi yang mudah adalah
hal yang tidak bisa “ditawar” dan merupakan prasyarat utama untuk mengembangkan
wisata ini.

H. Peran Masyarakat Sipil Dalam Pengembangan Pariwisata dan Rekreasi di


Kawasan Konservasi Laut

Selandia Baru pada beberapa hal mirip dengan Indonesia. Salah satunya adalah
negara yang terdiri dari banyak pulau atau kepulauan. Kota Auckland misalnya. Kota ini
menunjukkan pemanfaatan laut dan pesisir untuk kegiatan rekreasi dan wisata yang
sangat tinggi. Bahkan kegiatan tetap dilakukan meskipun dalam musim dingin.
Masyarakat Selandia Baru, terutama mereka yang tinggal di kota Auckland, sangat
mencintai wilayah pesisir dan lautnya.
Secara sederhana dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan/klub dan event- event
olahraga, rekreasi, dan wisata yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut seperti:
triathlon, ocean swimming, berlayar, kayak, berselancar, whale watching, memancing
dan menyelam. Bahkan untuk kegiatan wisata dan rekreasi yang tidak harus bersentuhan
langsung dengan laut sekalipun juga terjadi disekitar laut dan/ atau pulau – pulau kecil,
seperti: nature walk, bird-watching, dan camping.

 Kontribusi masyarakat sipil

Salah satu bentuk kecintaan dan


apresiasi masyarakat Auckland terhadap
alam laut dan pesisir dapat dilihat antara
lain di museum maritim Selandia Baru.
Disana tercatat sejarah yang
menggambarkan berbagai upaya yang
dilakukan untuk masyarakat dan
lingkungan di pesisir dan laut Selandia
Baru. Dimulai dari datangnya suku
Polinesia sekitar 700-an tahun lalu dengan

perahu layar sederhana. Kemudian pelaut Eropa seperti James Cook pada tahun 1769.
Dari fakta sejarah dapat dilihat bagaimana pentingnya peranan transportasi laut di
Selandia Baru. Peran penting transportasi
laut salah satunya disebabkan oleh kondisi
transportasi darat yang relative. terbatas,
setidaknya pada waktu itu. Namun sampai
saat ini kebanyakan masyarakat Selandia
Baru masih memiliki semangat membangun
wilayah pesisir dan lautnya. Masyarakat
berjuang keras untuk memastikan akses
mereka ke wilayah pesisir dan laut terbuka dan bebas. Untuk itulah pemerintah daerah
dan pusat tidak memungut bayaran dari pengunjung baik untuk karcis masuk maupun
biaya parkir mobil misalnya.

Secara terorganisir maupun tidak, berbagai kelompok masyarakat secara mandiri


berupaya dan bersinergi untuk memberikan jasa sosial bagi masyarakat dan lingkungan
di wilayah Taman Laut Teluk Hauraki. Contohnya dapat dilihat dari keberadaan sebuah
klub olahraga dan rekreasi berlayar (Sailing club) di wilayah Torbay (Auckland Utara),
yang dikelola secara swadaya oleh
relawan setempat. Klub ini didirikan
dengan tujuan memberikan akses dan
kesempatan bagi banyak orang,
terutama anak-anak, untuk belajar
berlayar dari usia muda. Diharapkan
pengenalan olah raga dan rekreasi layar
sejak dini dapat mengembangkan
kecintaan dan pengetahuan mereka
terhadap laut dan pesisir. Hal ini
merupakan wujud upaya pewarisan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Upaya sejenis ditunjukkan oleh organisasi nirlaba yang bernama Marine
Education and Recreation Centre/MERC (www.merc.org.nz). Kegiatannya berlokasi di
wilayah yang berbatasan langsung dengan area larang ambil (marine reserve)
Longbay- di Auckland Utara). MERC didirikan untuk untuk memberikan pendidikan dasar
tentang lingkungan laut dan pesisir melalui kegiatan rekreasi dan kegiatan outdoor.
Sasaran utamanya adalah kelompok anak dan remaja yang berasal dari keluarga yang
tidak mampu atau berasal dari wilayah sekolah dari tingkatan ekonomi terbatas.
Kelompok masyarakat lainnya yang berkontribusi adalah para ilmuwan. Kelompok
ilmuwan berkontribusi dalam pembentukan dan menjaga wilayah larang ambil untuk
kawasan laut di sekitar pulau Goat. Diawali pada tahun 1960-an kawasan konservasi ini
dibentuk pada tahun 1974, untuk wilayah seluas 550-an hektar. Meskipun pada waktu
pendiriannya mendapat banyak hambatan, namun kini area tersebut sudah menjadi bukti
dan cerita sukses mengenai pentingnya membentuk dan melindungi wilayah larang
ambil. Pengembangbiakan ikan dan hewan laut lainnnya serta ekosistem laut pada
umumnya kini menjadi tujuan wisata dan rekreasi utama pada saat musim panas. Semua
karena daya tarik biota laut yang terjaga dengan baik di wilayah yang diinisiasi oleh
kelompok ilmuwan. Pulau ini awalnya adalah wilayah pertanian yang sangat intensif.
Kemudian, atas prakarsa para ilmuwan lokal disana, pulau ini dirubah menjadi kawasan
konservasi untuk melindungi burung-burung dan vegetasi asli Selandia Baru. Saat ini
kawasan konservasi Pulau Tiritiri dikelolah oleh Departemen Konservasi dibawah
wewenang pemerintah pusat. Dukungan operasional datang dari kelompok masyarakat
yang disebut sebagai kelompok relawan (volunteer). Pulau ini sudah menjadi tujuan
wisata yang menarik di Auckland. Kesadaran dan kepedulian yang tinggi untuk menjaga
kelestarian alam lingkungan laut dan pesisir juga ditunjukkan oleh kelompok masyarakat
lainnya. Para pelaku bisnis wisata dan rekreasi di kawasan Taman Laut Teluk Hauraki.
Mereka menyadari bahwa nilai tambah dan jual Selandia Baru ada pada persepsi dunia
(atau pasar) yang melihat negara ini memiliki lingkungan yang bersih, segar dan utuh.
Tidaklah sulit bagi para pelaku bisnis ini untuk mematuhi peraturan. Namun mereka
terlibat lebih jauh. Kelompok pelaku wisata terlibat langsung dalam pengawasan
lingkungan. Secara konkrit mereka menginisiasi kegiatan pengamatan paus dan lumba-
lumba oleh para kapal pembawa wisatawan pengamat paus – terutama lumba-lumba di
jalur yang padat lalu lintas lautnya. Hasil pengamatan ini segara diinformasikan ke
pengatur lalu lintas laut. Tujuannya agar kapal yang akan melalui wilayah tersebut
diinformasikan supaya lebih berhati-hati terhadap keberadaan paus dan lumba – lumba
yang terdeteksi saat itu. Merespons kontribusi masyarakat, pihak pemerintah pusat
Selandia Baru dan pemerintah daerah juga bersinergi untuk pengembangan wilayah
dalam bentuk penerbitan kebijakan yang mendukung.

Selain membangun infrastruktur berupa fasilitas


wisata dan rekreasi, pemerintah daerah Auckland,
misalnya, memberikan ‘peppercorn rental
policy’.Kebijakan ini berupa penyewaan lahan di
kawasan wisata yang super murah untuk
dimanfaatkan kelompok masyarakat. Saat ini lahan
tersebut digunakan oleh kelompok masyarakat
Torbay.

sailing club dan MERC . Untuk memperkuat tata


kelola kawasan, sudah dibentuk forum perwakilan para pihak terkait yang diberikan
mandat oleh undang-undang untuk memberikan masukan tersebut kepada Parlemen di
Selandia Baru agar kawasan ini terkelola secara efektif dan berkelanjutan. Dalam forum
ini kelompok masyarakat termasuk ilmuwan, pelaku bisnis, relawan dan perwakilan
pemerintah ikut serta merumuskan serta menyelesaikan masalah yang timbul disana.
Keaktifan kelompok masyarakat dalam pengembangan wisata dan rekreasi di kawasan
konservasi laut Taman Teluk Hauraki adalah wujud dari suatu konstruksi sosial yang
berdampak positif bagi pengelolaan pariwisata dan rekreasi di kawasan tersebut. Bahkan
dampaknya juga dapat dirasakan di sektor
lainnya, seperti industri penyewaan yacht
atau pembuatan light boat serta olahraga
berlayar. Sebagai catatan, negara Selandia
Baru dengan populasi kurang dari 5 juta
atau kurang dari setengah populasi kota
Jakarta, adalah world leader pada sektor-
sektor ini. Yacht/Boat builder dari Selandia
Baru memiliki craftmanship yang sangat tinggi dan atlet-atlet layar dari negara ini kerap
menjuarai lomba-lomba bergengsi berlayar di dunia. Di sektor lainnya seperti budaya dan
ekonomi, terlihat jelas dengan tumbuhnya kegiatan rekreasi dan wisata inovatif dan
berkelanjutan. Contohnya adalah Lomba layar America’s Cup yang diselenggarakan
pada awal tahun 2000-an di Auckland.

Event olahraga yang meriah ini,


memotivasi kota Auckland untuk menata
daerah pelabuhannya sehingga lebih
menarik dan ramah untuk dikunjungi
masyarakat. Mereka juga membangun
Museum Maritim yang mengapresiasi
sejarah kemaritiman yang menarik untuk
wisatawan dan pelajar sekolah di kota
tersebut, kesemua hal tersebut memicu
tumbuhnya pusat rekreasi dan wisata
baru yang menarik di pinggir laut kota
Auckland. Kompleksnya masalah pengelolaan kawasan konservasi laut dan pesisir dapat
dilihat di Taman Laut Teluk Hauraki. Keberadaan kegiatan pariwisata dan rekreasi di
kawasan konservasi laut dan pesisir menambah kompleksitas pengelolaan. Pihak
pengelola kawasan konservasi laut dan pesisir dan pemimpin forum Teluk Hauraki
mengakui bahwa banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang masih belum selesai.
Namun demikian, pelajaran yang baik dan dapat diambil adalah peranan dan inisiatif
kelompok masyarakat madani di Auckland melalui keterlibatan langsung mereka melalui
kegiatan rekreasi dan wisata di laut dan pesisir di Hauraki Gulf. Peranan ini membentuk
konstruksi sosial yang terlihat pada penghargaan atau apresiasi, rasa kepemilikan, serta
rasa tanggung jawab yang besar kepada lingkungan saat ini dan generasi masa
mendatang. Konstruksi sosial masyarakat ini juga berdampak positif pada
pengembangan dan inovasi untuk pengelolaan dan tata kelola kawasan konservasi laut
dan pesisir; industri wisata dan rekreasi laut dan pesisir yang berkelanjutan; dan untuk
sektor- sektor lainnya. Pengembangan kawasan konservasi untuk kegiatan wisata dan
rekreasi di Indonesia perlu melibatkan kelompok masyarakat secara nyata dan dimulai
sejak awal. Di Auckland kegiatan rekreasi adalah jelas milik masyarakat setempat yang
menikmati alam laut dan pesisir, dan jumlah pelaku rekreasi ini sangat tinggi. Setiap
kota dan kabupaten di Indonesia perlu menyadari pentingnya manfaat rekreasi alam laut
dan pesisir.

I. Motivasi Pelaku Bisnis Rekreasi dan Pariwisata Laut dan Pesisir Berkelanjutan

Pada kunjungan studi banding USAID – MPAG semua peserta mendapat


kesempatan bertemu, mendengar, dan berdiskusi dengan para pelaku bisnis di kawasan
konservasi laut dan pesisir ini. Di Selandia Baru, hampir sebagian besar perusahaan atau
korporasi masuk dalam kategori usaha- kecil-menengah/UKM (atau small-medium-
enterprise/SME). Di sini yang tergolong sebagai UKM adalah usaha yang dikelola oleh 2-
3 orang (untuk ukuran kecil) sampai dengan hanya belasan orang (untuk ukuran
menengah). Jarang ditemui sebuah UKM di Selandia Baru yang didukung sampai
dengan puluhan karyawan atau tenaga kerja. dan pembatasan yang mereka hadapi
dalam melakukan usaha. Salah satunya adalah ketatnya peraturan yang dikeluarkan
pemerintah. Peraturan tersebut merupakan salah satu dari implementasi kebijakan
pemerintah untuk melindungi dan menjaga keamanan manusia serta lingkungan. Salah
satu bentuk peraturan yang dibuat adalah terkait dengan penerbitan izin usaha. Izin
diterbitkan setelah serangkaian persyaratan dipenuhi. Izin dikeluarkan baik oleh
Departemen Konservasi maupun pemerintah daerah kota Auckland. Selain izin,
pengusaha juga harus dilindungi dalam bentuk jaminan asuransi yang memadai.
Asuransi ini diperlukan untuk melindungi usaha mereka. Jaminan juga diperlukan dalam
bentuk modal usaha yang mencukupi untuk memulai dan menjalankan usahanya. Yang
menarik mengapa para pelaku bisnis tetap datang dan berinvestasi disana, meskipun
regulasi yang sangat ketat dan berat. Lebih mengesankan lagi beberapa pelaku bisnis
bahkan masih dapat menyisihkan keuntungannya untuk menjaga lingkungan di kawasan
ini sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa pelajaran yang
patut diingat untuk kemungkinan diterapkan atau dimulai penerapannya di Indonesia
adalah sebagai berikut: Ada kesamaan karakterisktik antara beberapa pelaku bisnis di
Taman Laut Teluk Hauraki yang membuat mereka bertahan, dan bahkan berhasil
mendirikan bisnis di kawasan dan negara yang sebenarnya tidak mudah ini. Karakter
yang sama adalah membangun sinergi dengan stakeholder yang penting ini. Beberapa
keterbatasan atau pembatasan bagi pelaku usaha disana antara lain:

Pada saat musim dingin bisnis menjadi lebih berat bagi sea kayak tour operator,
glass bottom boat tour, dan dive operator. Operasi bisnis mereka praktis mati suri selama
musim ini. Dengan demikian, sepanjang tahun operasi bisnis mereka hanya berjalan
efektif untuk empat sampai enam bulan saja. Hanya operator whale watching (wisata
observasi paus dan lumba-lumba) yang masih beroperasi di musim dingin, meskipun itu
juga tergantung pada kondisi cuaca. Jelas iklim negara Selandia Baru adalah tantangan
utama bagi para pelaku bisnis outdoor di kawasan Taman Laut Hauraki.

Regulasi yang amat ketat dalam bentuk


kewajiban untuk memiliki pelbagai sertifikasi. Untuk
memulai usaha bisnis outdoor di Selandia Baru,
semua pemilik bisnis harus memiliki asuransi yang
memadai. Dengan demikian bila terjadi kecelakaan
dan klaim dari pengunjung dapat ditanggung oleh
asuransi. Untuk dapat dikatakan layak mendapatkan
sertifikat asuransi, pelaku bisnis harus memiliki
beberapa izin dan/atau sertifikat lain dari pelbagai
pihak. Salah satunya pemerintah lokal kota Auckland lalu beberapa izin dari Departemen
Konservasi (karena usaha mereka dilakukan dalam kawasan konservasi yang dikelola
oleh pemerintah pusat). Mereka juga harus dapat menunjukkan outdoors mark
(semacam sertifikat kelayakan melakukan bisnis petualangan yang dilakukan di luar
ruangan). Sertifikat ini menunjukkan bahwa operator wisata luar ruang ini mampu dan
professional. Sertifikat lain yang harus diperoleh adalah pest-free operator. Sertifikat ini
menunjukkan bahwa bisnis mereka bebas dari bio-pest yang dapat merusak ekosistem
alam. Untuk mereka yang menyediakan jasa katering makanan kepada para tamunya,
mereka juga harus memiliki sertifikat higenis dari kota Auckland. Sertifikat ini memberikan
jaminan kesehatan atau hieginitas dari setiap makanan yang dijual di tempat ini.

Modal untuk berusaha bila dibiayai oleh pinjaman bank dikenakan bunga bank
yang sangat tinggi untuk setiap pinjaman. Rata rata berkisar diatas 21% per-tahun.
Khusus untuk pebisnis baru atau pemula, selain bunga tinggi, bank akan meminta
jaminan atau kolateral untuk pinjaman yang diberikan. Kolateral atau jaminan ini bisa
berupa rumah tinggal dan sebagainya.

Faktor lain yang membuat bisnis menjadi lebih sulit disini adalah letak geografis
Selandia Baru yang berada di ujung selatan dunia. Artinya bagi target pasar yang ada di
Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang dan Cina, maka mereka harus menempuh puluhan
jam perjalanan pesawat yang mahal dan melelahkan.

Melihat begitu berat dan banyaknya kewajiban pengusaha untuk menjalankan


bisnis mereka disini, hal menarik yang timbul adalah bagaimana mereka bisa mensiasati
kondisi tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah hal apa yang membuat mereka tertarik
untuk tetap berbisnis di lokasi sekarang. Kenapa mereka tetap tertarik untuk berbisnis
dengan tingkat kesulitan dan resiko yang tinggi?

Mungkin ini adalah karakteristik orang Selandia Baru yang sangat menggemari
outdoor dan mencintai alam laut dan pesisir mereka. Jelas, sebagai pebisnis mereka
tidak akan melakukan bisnis tersebut apabila rugi, tetapi kami tidak melihat keuntungan
yang luar biasa besar dari usaha mereka. Pemilik dive operator di Goat island marine
reserve mengatakan bahwa keputusan mereka untuk berinvestasi di bisnis diving dan
snorkelling di Taman Laut Teluk Hauraki Gulf disebabkan satu hal: “I want to earn happy
dollar” - “ingin mendapatkan pendapatan yang memuaskan batinnya.” Lebih lanjut
pebisnis tersebut mengatakan bahwa dia merasa prihatin melihat menurunnya ukuran
ikan di sekitar tempat tinggalnya sebelum ditetapkannya zona larang ambil beberapa
dekade sebelumnya. Sedangkan pelaku bisnis whale-watching (melihat paus dan lumba-
lumba) dengan senang hati menginvestasikan keuntungan bisnisnya ke dalam upaya
restorasi alam laut dan pesisir, dan bersama sama pelaku bisnis serupa membuat
sebuah jaringan yang menginformasikan ke otoritas pelabuhan dan konservasi
mengenai lokasi paus dan lumba-lumba yang mereka temui di jalur lintas laut Teluk
Hauraki untuk menghindari tertabraknya satwa yang terancam tersebut.

Pemerintah Selandia Baru bersama


dengan stakeholder bisnis pariwisata dan
rekreasi mengetahui posisi brand (citra)
negara mereka yang akan ditempatkan di
pasar utama wisatawan mereka seperti Eropa
Barat, Amerika, dan Jepang; dan juga untuk
pasar baru yang sangat potensial yaitu China
dan negara berkembang di Asia lainnya.
Brand yang dijual oleh Selandia Baru adalah negara mereka sebagai tempat yang ”pure
and clean” (atau bersih dan asli). Brand ini penting karena Selandia Baru harus
memposisikan negara mereka dengan cermat dan memiliki keunggulan komparatif
dengan pesaing mereka seperti Australia yang lebih besar dan kurang lebih memiliki
kebudayaan yang tidak jauh berbeda dan juga daya tarik lingkungan alam yang
menawan. Untuk itu, Selandia Baru berusaha keras dan cermat agar produk wisata dari
negara itu memiliki keunggulan dan keunikan yang hanya didapat disana agar para
wisatawan rela datang dari tempat yang jauh ke negara tersebut. Dan untuk menjaga
kualitas produk

wisata yang ”pure and clean”


tersebut, Pemerintah Selandia Baru
memastikan semua pelaku bisnis wisata
dan rekreasi di negara itu patuh kepada
peraturan dan memiliki sertifikasi yang
menjamin keamanandan keselamatan
manusia dan ekosistem. Selandia Baru belajar dari pengalaman buruk tentang
kecelakaan yang dialami petualang wisata dan rekreasi di alam terbuka. Untuk mereka
berita turis yang mengalamai kecelakaan dan bahkan jika mengalami kematian sewaktu
melakukan kegiatan wisata akan menjadi ancaman besar bagi kredibilitas industri wisata
negara tersebut. Sertifikasi outdoor’s mark merupakan sebuah jaminan bahwa pelaku
usaha bisnis tersebut memiliki kemampuan dasar yangmenjamin keselamatan jiwa setiap
individu yang melakukan kegiatan wisata dan rekreasi di alam terbuka. Pest free
operator, ini adalah sebuah jaminan bahwa kegiatan yang dilakukan di alam terbuka tidak
akan menularkan hama yang akan merusak ekosistem asli di Selandia Baru. Selandia
Baru belajar dari sejarah mereka bahwa datangnya manusia ke negara tersebut telah
mengakibatkan punahnya binatang dan tumbuhan asli, dan terancamnya integritas
ekosistem dalam waktu yang sangat lama. Untuk menghindari tersebarnya hama (atau
pest) ke lingkungan alam mereka, tour operator dan wisatawan diminta melakukan
prosedur tertentu seperti membersihan sepatu sebelum memasuki taman nasional,
dilarang memberikan makanan kepada ikan atau burung di dalam kawasan konservasi,
dll. Seorang pemuda yang juga pemilik bisnis sea kayak di Selandia Baru mengatakan
pada presentasinya bahwa pada awalnya dia merasakan kesulitan atas banyak nya
tantangan dan perizinan yang harus ia tempuh sebelum memulai bisnisnya. Namun,
kemudian ia menyadari bahwa produk wisata yang ia jual harus memiliki kualitas yang
tinggi dan memberikan tingkat keamanan dan kepuasan bagi para pelanggan atau
wisatawan yang menggunakan jasa bisnisnya. Sama seperti pelaku bisnis pariwisata dan
rekreasi lainnya, pemuda tersebut paham atas pentingnya menjaga keamanan manusia
dan alam untuk reputasi dan keberlanjutan bisnis dia sendiri. Negara Selandia Baru yang
memiliki populasi kecil (sekitar 5 juta jiwa) dan terletak jauh dari sumber wisatawan dunia
kelihatannya sangat tangguh dan cukup berhasil dalam menjual brand negara mereka
sebagai tempat yang “pure and clean”. Brand ini didukung oleh keseriusan mereka dalam
mengkoordinasikan upaya untuk menjaga
keamanan dan keselamatan manusia dan
alam melalui sertifikasi yang ketat bagi
semua pelaku bisnis pariwisata dan
rekreasi. Mereka pernah mengalami
kegagalan di masa lalu ketika terjadi
kecelakaan pada manusia (atau wisatawan
dan pelaku rekreasi) yang menimbulkan
cedera bahkan kematian. Juga mereka
belajar dari masa lalu mereka tentang
keteledoran mereka memperkenalkan flora
dan fauna eksotik yang berdampak buruk
kepada ekosistem alam. Pelaku bisnis
pariwisata dan rekreasi juga tidak hanya mengejar keuntungan profit tinggi dalam waktu
sekejap, melainkan juga untuk mendapatkan kepuasan batin yang mereka dapatkan
menjalankan bisnis di alam yang segar dan terjaga dengan utuh. Pelaku bisnis tersebut
mengetahui dan menyadari pentingya keselamatan manusia dan alam untuk
keberlangsungan bisnis mereka.

Pelajaran Buat Indonesia

Pencitraan tentang apa yang ingin dikembangkan sangat penting untk memandu
seluruh stakeholder dalam aktivitas mereka. Bila tidak menjangkau seluruh dunia,
setidaknya untuk pasar negara atau wilayahtertentu saja. Khusus untuk wisata alam laut
dan pesisir, sudah tidak waktunya lagi mendorong menawarkan pariwisata ”triple S” yaitu
Sun, Sand and Sea – Matahari, Pasir, dan Pantai. Triple S ini sudah tidak lagi cukup
untuk membuat negara ini kompetitif. Adanya kawasan konservasi laut dan pesisir
seharusnya menjadi aset tambahan bagi Pemerintah pusat dan daerah. Bila dapat
dilakukan identifikasi keunikan dari satu daerah dibandingkan dengan daerah yang
lainnya. Sehingga dapat ditunjukkan dengan jelas perbedaan antara satu kawasan
konservasi dengan lainnya. Pelajaran dari Selandia Baru menunjukkan bahwa ada suatu
kesadaran dari lintas sector di kalangan pemerintah dan pelaku bisnis tentang brand
yang mereka tawarkan. Mereka kemudian sadar dan konsisten untuk mengembangkan
brand tersebut yang diiringi dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas produk atau
jasa yang diasosiasikan dengan Brand tersebut. Jadi ketika mereka mengatakan bahwa
Selandia Baru adalah negara yang “pure and clean” mereka harus konsisten menjaga
citra atau brand yang mereka jual.

J. Pengelolaan Kolaboratif Sebuah Keniscayaan Bagi Para Pemangku Kepentingan


di Teluk Hauraki, Selandia Baru

Apa yang muncul di benak kita ketika melihat sebuah teluk, meski dikelilingi oleh
daratan yang dipadati permukiman, dengan kapal berbagai ukuran, seperti kapal pesiar
dan kapal kargo dan tanker berukuran besar berlalu lalang, tetap terllihat indah? Dari
kacamata praktisi pengelolaan kawasan konservasi perairan, pertanyaan yang muncul
adalah: bagaimana caranya mengelola kawasan teluk seperti itu agar tampak cantik di
tengah keramaian dan keruwetan kegiatan ekonomi? Pertanyaan yang sama muncul
ketika dengan mata-kepala sendiri melihat Teluk Hauraki yang berada di ‘depan’
Auckland, kota terbesar dan terpadat di Selandia Baru. Dari kamar hotel tempat
menginap, ke arah manapun mata memandang, kita akan disuguhi oleh daratan berbukit
penuh permukiman tertata rapih yang
mengelilingi Teluk Hauraki di satu sisi, dan
sekumpulan pulau-pulau kecil berwarna biru
keabu-abuan nun jauh di sisi lain Teluk. Lalu
di tengah Teluk, tampak perahu- perahu
pesiar dan kapal-kapal berukuran besar
yang membawa entah minyak atau barang
lainnya lalu-lalang memasuki Teluk sebelum
berlabuh di Pelabuhan Auckland. Yang
membuat mata kita juga nyaman
memandang adalah letak
pelabuhan yang berdampingan dengan kompleks gedung- gedung tempat kegiatan-
kegiatan ekonomi urban dan permukiman tepi pantai yang asri dan berhadapan langsung
dengan marina tempat kapal- kapal pesiar berlabuh. Jauh berbeda dari pemandangan
yang biasa kita jumpai di Indonesia bila mengunjungi kawasan di sekitar pelabuhan yang
hampir selalu berkesan kumuh dan tidak bersahabat. Pertanyaan selanj utnya,
bagaimana pariwisata dan rekreasi bisa berkembang begitu pesat di sebuah Teluk yang
dipadati oleh berbagai kegiatan seperti itu? Apalagi kegiatan rekreasi dan wisata yang
populer adalah yang berhubungan dengan olahraga seperti berperahu-layar (sailing) dan
berperahu-dayung (kayaking). Belum lagi wisata lain yang bertema konservasi seperti
pengamatan paus (whale-watching), pengamatan lumba-lumba (dolphin-watching), serta
pengamatan burung (bird- watching). Dari kacamata orang yang datang dari negara yang
penuh kerumitan seperti Indonesia, beragamnya kegiatan yang mengambil tempat di
Teluk Hauraki sebetulnya bukan hal yang baru karena penggunaan satu kawasan
perairan oleh beragam pihak juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Contoh nyata

adalah Teluk Jakarta. Seperti Teluk Hauraki, Teluk Jakarta juga digunakan untuk
berbagai macam kegiatan oleh beragam pihak. Yang membuatnya berbeda dari Teluk
Hauraki adalah ketiadaan sebuah lembaga yang mencoba untuk memaduserasikan
semua kegiatan dan para-pihak yang berkepentingan dengan Teluk Jakarta. Seolah-olah
secara alamiah kerumitan yang ada di Teluk Jakarta akan dengan sendirinya bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan, sosial, ekonomi dan politik yang
dihadapinya. Selain itu, Teluk Jakarta masih dipandang oleh para-pihak sebagai ajang
persaingan pemanfaatan daripada sebagai ajang pemanfaatan secara bersama yang
bersifat saling menguntungkan bagi para-pihak yang berkepentingan dengannya.
Jalan panjang menuju pengelolaan kolaboratif

Sebelum menjadi seperti sekarang, ada sejumlah peristiwa penting yang terjadi di
kawasan Teluk Hauraki di masa lalu. Beberapa peristiwa ini dipercaya menjadi cikal-
bakal dan pemicu berdirinya Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine Park)
beserta upaya pengelolaannya secara kolaboratif. Teluk Hauraki didirikan pada tahun
1967 dengan sebutan Taman Maritim Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Maritime Park). Boleh
dibilang tidak ada sebuah rezim pengelolaan yang khusus didirikan untuk mengelola
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Hauraki pada saat itu, meski secara

tradisional Kementerian Kelautan sudah mengurus soal-soal perikanan di Teluk tersebut,


Kementerian Transportasi Laut mengurus lalu-lintas kapal komersial dan pelabuhan, dan
perguruan tinggi menggunakannya sebagai tempat penelitian. Status sebagai Taman
Maritim ini bertahan sampai tahun 1990 ketika diputuskan untuk mengelola Teluk Hauraki
secara resmi karena banyaknya pemangku-kepentingan yang memanfaatkannya. Perlu
waktu 10 tahun lagi sebelum akhirnya Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine
Park) didirikan pada tahun 2000 melalui Akta Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf
Marine Park Act).

Salah satu tonggak penting bagi Teluk Hauraki adalah didirikannya Cagar Laut
(Marine Reserve) tertua di Selandia Baru, yaitu Pulau Kambing (Goat Island), pada tahun
1975 oleh pakar dari Universitas Auckland, Dr. Bill Ballantine. Pendirian ini kemudian
diikuti dengan pendirian lima cagar laut yang tersebar di Teluk Hauraki. Peristiwa penting
lainnya adalah pendirian Departemen Konservasi pada tahun 1987 menyusul
diberlakukannya Akta Konservasi pada tahun yang sama. Departemen ini
bertanggungjawab untuk melestarikan warisan alam dan sejarah Selandia Baru agar
memberikan manfaat dan dapat dinikmati oleh penduduk Selandia Baru. Teluk Hauraki
menjadi fokus karena di teluk ini dapat dijumpai beragam jenis paus dan burung yang
statusnya dilindungi, baik secara nasional maupun internasional. Peristiwa penting
lainnya adalah kerusakan lingkungan besar-besaran yang terjadi di Teluk Hauraki akibat
kegiatan eksploitasi sumberdaya hayati oleh manusia. Yang paling merusak adalah
berkembangnya industri perikanan yang mengakibatkan penangkapan- berlebih
(overfishing) dan penurunan drastis produksi perikanan dalam kurun tiga dekade.
Produksi perikanan kakap merah yang mencapai 10 ribu ton per tahun pada tahun
1970an turun menjadi sekitar 400 sampai 800 ton saja per tahun pada tahun 2000an.
Industri perikanan yang menangkap ikan dengan menggunakan pukat sangat merusak
lingkungan Teluk dan ditengarai sebagai penyebab utama tidak pernah pulihnya populasi
udang barong (lobster). Menurut para pakar,
cadangan (stock) ikan saat ini hanya
seperempat dari tingkat sebelum kedatangan
orang Eropa ke Selandia Baru pada awal
abad ke-19. Eksploitasi lain yang juga tidak
kalah merusaknya adalah pengerukan dasar
laut untuk memanen kerang hijau yang
mencapai puncaknya pada tahun 1961
dimana 15 juta ekor kerang diambil dan menimbulkan kerusakan yang tidak pernah
terpulihkan bahkan setelah 40 tahun. Pengerukan telah merusak habitat dasar perairan
sehingga tidak memungkinkan pepulasi kerang hijau untuk kembali dan pulih. Hal lain
yang juga memperparah kerusakan adalah masuknya nitrogen dalam jumlah besar ke
dalam perairan Teluk yang berasal dari lahan-lahan pertanian dan peternakan. Belum
lagi sampah tersangkut atau terserak di pantai yang mencapai volume 450.000 liter per
tahun. Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, adalah keberadaan beragam mamalia laut
di Teluk Hauraki. Diperkirakan terdapat 25 species mamalia laut yang dapat dijumpai di
Teluk Hauraki, dan sekitar sepertiga dari species mamalia laut dunia diketahui tinggal
atau mengunjungi teluk ini. Paus yang dilaporkan terlihat dan/atau bermigrasi melalui
perairan Teluk meliputi, antara lain, Paus Baleen, Paus Bungkuk dan Paus Biru Selatan.
Salah satunya, yaitu Paus Bryde (Balaenoptera brydei), yang jumlahnya diperkirakan
antara 100–200 ekor di Teluk Hauraki, sering mengalami kecelakaan dan kematian
karena ditabrak oleh atau bertabrakan dengan kapal, terutama kapal tanker, yang
berlalu-lalang di perairan Teluk.

Mengapa pengelolaan secara kolaboratif?

Beragam peristiwa di atas, baik secara tunggal maupun bersama, telah memicu
dan memacu kesadaran bersama para pemangku-kepentingan untuk menyelamatkan
lingkungan Teluk Hauraki. Pertanyaannya, bagaimana upaya tersebut dapat dilakukan?
Bagaimana caranya agar para pemangku-kepentingan Teluk Hauraki dengan
kepentingannya masing-masing yang berbeda dapat bekerja sama untuk menyelamatkan
Teluk Hauraki?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Akta


Taman Laut Teluk Hauraki Tahun 2000
menyarankan sebuah pendekatan
pengelolaan secara terpadu yang
melibatkan sebanyak mungkin pemangku-
kepentingan. Pendekatan yang kurang-
lebih serupa dengan konsep pengelolaan
kolaboratif ini dipandang sebagai sebuah
pilihan yang harus diambil mengingat begitu
banyaknya pemangku- kepentingan Teluk Hauraki. Maka dibentuklah Forum Teluk
Hauraki yang bertujuan dan diberi mandat untuk mempromosikan dan memfasilitasi
pengelolaan terpadu, perlindungan dan peningkatan Teluk Hauraki. Forum sendiri tidak
mengelola Teluk Hauraki secara teknis tetapi lebih berperan sebagai wadah yang
memastikan para pemangku kepentingan saling “menenggang rasa” dan
mempertimbangkan dalam melakukan kegiatan- kegiatannya. Jadi kesepakatan antar-
pihak karena kesadaran para pihak lah yang sebenarnya terjadi. Pada awalnya, sebelum
Forum Teluk Hauraki terbentuk, daftar pihak yang mengklaim sebagai pemangku
kepentingan mencapai jumlah yang sangat banyak, yaitu 20 ribu! Dalam proses
pembentukan forum, jumlah ini kemudian menurun drastis menjadi sekitar 400, sebelum
akhirnya diperas menjadi tinggal 14 orang. Proses pembentukan forum sendiri berjalan
tidak biasa karena sifatnya yang bottom-up dan sangat partisipatif (tidak ada ‘jalan
belakang’ atau pembajakan putusan kebijakan di tengah jalan), serta hanya orang-orang
yang memiliki pendukung terbanyak saja (setelah melalui kampanye singkat) yang dipilih
menjadi anggota forum. Anggota forum terdiri dari orang- orang yang mewakili
pemerintah pusat (Kementerian Konservasi, Perikanan/Industri Primer dan Urusan
Maori), pemerintah daerah (Dewan Kota Auckland, Dewan Daerah Waikato dan dewan-
dewan distrik), dan perwakilan dari masyarakat adat Maori (tangata whenua). Selain itu,
para pemangku-kepentingan lainnya adalah pihak swasta, terutama yang bergerak
dalam bidang pariwisata dan transportasi untuk pariwisata dan rekreasi, dan perusahaan
penangkapan ikan, Kementerian Perikanan, otoritas pelabuhan, dan perusahaan kapal
transportasi laut berukuran besar, badan promosi pariwisata Selandia Baru, LSM dan
organisasi masyarakat setempat. Dari perspektif konservasi dan pemanfaatan kawasan,

keberadaan forum ini sangat


menguntungkan bagi kegiatan
pariwisata dan rekreasi berkelanjutan.
Teluk Hauraki memiliki lima Suaka Laut
dan 25 Taman Daerah (Regional Park –
mungkin serupa dengan Taman Pesisir
di Indonesia).

Suaka Laut dikelola seluruhnya oleh


Departemen Konservasi, sementara Taman
Daerah sebagian ada yang dikelola oleh Dewan
Kota Auckland (Auckland City Council) dan
Dewan Daerah Auckland (Auckland Regional
Council – mungkin setingkat dengan pemerintah
daerah Kabupaten di Indonesia). Yang unik,
beberapa Suaka Laut ini letaknya berdampingan
langsung dengan Taman Daerah, seperti di
Suaka Laut Pulau Kambing (Goat Islands Marine
Reserve).

Dengan keberadaan forum, dapat dibangun beragam kerjasama yang saling


menguntungkan.

Beberapa di antaranya adalah:

1. Pemulihan lingkungan pulau kecil Tiritiri Matangi dan konservasi burung di pulau
tersebut yang dilakukan secara bersama oleh Departemen Konservasi
bekerjasama dengan organisasi masyarakat Supporters of Tiritiri Matangi (SoTM).
Departemen Konservasi yang anggarannya terbatas tetap dapat mencapai tujuan-
tujuan kerja konservasinya karena memperoleh dukungan dari SoTM dalam
pelaksanaan kegiatan konservasi dan pariwisata, sementara SoTM dapat
menggalang pendanaan sekaligus dukungan dari masyarakat luas untuk
melaksanakan kerja-kerja konservasinya. Lebih jauh lagi, kerjasama ini juga
mendorong kerjasama antara SoTM dengan pihak swasta (operator kapal cepat)
yang menjamin akses dari Auckland sepanjang tahun dan sebaliknya mendukung
operasi kapal sepanjang tahun.

2. Kerjasama antara Departemen Konservasi dengan Dewan Kota atau Dewan


Daerah Auckland dalam mengamankan dan mengelola Suaka Laut yang
berdampingan dengan Taman Daerah. Kerjasama ini saling menguntungkan
karena keduanya juga memiliki jumlah petugas ranger yang terbatas, sehingga
pendanaan dan kegiatan- kegiatannya dapat dilakukan secara bersama.

3. Kerjasama antara masyarakat setempat dengan Departemen Konservasi,


perguruan tinggi (Universitas Auckland) dan masyarakat adat Maori dalam
memanfaatkan Suaka Laut Pulau Kambing. Departemen Konservasi memperoleh
keuntungan karena para-pihak lainnya yang menyelenggarakan pengamanan dan
pengelolaan kawasan. Masyarakat adat Maori setempat mendapatkan pemasukan
uang secara langsung dan tidak-langung dari lokasi parkir menuju kawasan yang
terletak pada tanah adat dan kunjungan wisatawan.

Masyarakat setempat memperoleh keuntungan ekonomi dari kegiatan layanan


pariwisata dan rekreasi yang mereka selenggarakan. Perguruan tinggi dapat
mengamankan tempat penelitiannya dari gangguan manusia/pengunjung sementara
pada saat yang bersamaan juga memperoleh Meskipun demikian, tidak berarti semuanya
berjalan dengan lancar dan tampak selalu indah. Sebetulnya masih banyak persoalan
yang dihadapi oleh Teluk Hauraki. Selain tabrakan antara Paus Bryde dengan kapal yang
masih sering terjadi, kondisi habitat dasar laut Teluk masih jauh dari pulih, dan
pencemaran sebagai akibat dari kegiatan manusia di darat juga merupakan ancaman
serius bagi Teluk Hauraki. Sebuah studi yang wajib dilakukan oleh Forum Teluk Hauraki
pada tahun 2011 menunjukkan bahwa indikator- indikator lingkungan teluk masih
menunjukkan kecenderungan memburuk atau stabil tetapi pada kondisi yang belum
membaik. Dari segi pemanfaatan, meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke
obyek-obyek wisata dan rekreasi di Teluk Hauraki juga merupakan ancaman bila tidak
dikelola.

Pembelajaran apa yang bisa kita ambil ?

Apa yang terjadi di Teluk Hauraki di


masa lalu dan saat ini sebetulnya tidak jauh
berbeda dari yang terjadi di banyak tempat di
Indonesia. Pemangku kepentingan yang
memanfaatkan kawasan juga tidak jauh
berbeda, dan masalah-masalah yang
dijumpai juga mirip. Dari sejarah pengelolaannya tampak bahwa pengelolaan Teluk
Hauraki sebetulnya belum terlalu panjang dan dalam banyak hal tidak jauh berbeda
dengan sejarah perkembangan kawasan konservasi perairan, laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil di Indonesia. Ketika bicara tentang pengelolaan kolaboratif ternyata untuk
negara semaju Selandia Baru istilah ini tidak banyak dikenal orang, dan orang yang
pernah mendengarnya atau mengetahuinya pun memiliki pemahaman yang berbeda-
beda. Pendekatan bottom-up untuk membentuk Forum Teluk Hauraki yang melibatkan
semua pemangku-kepentingan secara penuh baru dilakukan pada kurun tahun 2000an.
Kata kuncinya mungkin terletak pada bagaimana menyampaikan pesan penting yang
pada gilirannya akan mendorong kesadaran para pemangku kepentingan untuk
menangani masalah (lebih) besar yang dihadapi oleh sebuah kawasan secara bersama.

K. Kebersihan dan Pengembangan Pariwisata dan Rekreasi di Kawasan


Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

Apa yang terlintas di pikiran anda ketika berkunjung


ke suatu tempat lalu kita tidak menjumpai sampah yang
berserakan atau mencium bau tidak enak yang berasosiasi
dengan sampah? Jawaban pertama, kita tidak berada di
Indonesia.
Jawaban kedua,
(kemungkinan
besar) pihak
pengelola memiliki sistem penanganan dan
pengolahan sampah yang sangat baik.
Bagaimana kalau pertanyaannya dibalik
menjadi: apa yang terlintas di pikiran anda
ketika berkunjung ke sebuah tempat wisata
yang sangat populer tetapi semrawut dan sampah berserakan dimana- mana? Jawaban
pertama, dinas atau pengurus kebersihan tempat wisata tersebut kewalahan dengan
sampah yang dihasilkan oleh para wisatawan dan pengunjung yang datang berkunjung.
Jawaban kedua, para wisatawan dan pengunjung tidak menghargai tempat wisata yang
dikunjunginya dan orang-orang lain yang juga mengunjungi tempat tersebut. dengan
rombongan Study Tour “Pemanfaatan Konservasi Perairan untuk Pariwisata” yang
didukung oleh Marine Protected Areas Governance (MPAG) Program dari USAID
Mission to Indonesia, mengamati bahwa yang namanya kebersihan di Selandia Baru ini
tidak terbatas untuk menjaga estetika/keindahan saja tetapi juga untuk menjaga
kesehatan wisatawan dan pengunjung! Tanpa kebersihan mustahil rasanya pariwisata
dan rekreasi di Selandia Baru bisa berkembang sukses seperti sekarang.

Kebersihan sumber kemakmuran!

Sewaktu kecil, kita sering mendengar peribahasa “bersih pangkal sehat” dan
“hemat pangkal kaya”. Peribahasa pertama maksudnya adalah kesehatan berawal dari
kebersihan, jadi kalau kita menjaga kebersihan penyakit tidak akan datang. Untuk yang
kedua, seseorang bisa menjadi kaya bila dia hemat. Untuk kasus Selandia Baru,
kelihatannya dua peribahasa tersebut dapat digabung menjadi “bersih pangkal makmur”
yang maksudnya kebersihan, kalau diterapkan secara all out alias menyeluruh, akan
menjadi dan mendatangkan kemakmuran. Bagaimana tidak, bagi semua kegiatan
pariwisata dan rekreasi kebersihan adalah prasyarat utama. Secara kasat-mata bersih
dan kebersihan menyumbang kepada estetika alias keindahan yang menjadi alasan
wisatawan datang berkunjung atau melakukan kegiatannya. Sulit membayangkan
sebuah obyek wisata dikatakan indah kalau sampah berserakan dimana- mana, atau

sekelompok penyelam dapat menikmati kegiatan selamnya karena terumbu karang yang
ingin dilihatnya dipenuhi oleh sampah dan jumlah sampah yang terlihat lebih banyak
daripada ikannya. Di Auckland, kebersihan sudah terlihat sejak pertama kali kami
menginjakkan kaki di bandara.
Kebersihan yang sama juga di tempat-tempat perbelanjaan dan toko atau
warung. Kebersihan tidak terbatas pada yang kasat mata saja, tetapi yang tak-kasat
matapun harus dipenuhi! Yang tidak kasat mata adalah standar higienis dari layanan
pariwisata. Peran pemerintah kota besar sekali dalam memberikan sertifikasi kebersihan
higienis dari layanan atau restoran atau jasa pembuatan makanan. Tidak hanya di kota

besar seperti Auckland, di semua tempat yang dikunjungi warung atau tempat makan
memiliki sertifikat Kelas A (tertinggi) agar boleh beroperasi. Ketika mengunjungi salah
satu warung seperti Alfamart di Indonesia, terpampang jelas di belakang sang kasir
sertifikat Kelas A. Secara tak-kasat mata, ada hal-hal lain yang tak kalah pentingnya.
Perairan yang bersih dapat digunakan oleh wisatawan untuk berenang, dan makanan
yang bersih (apalagi enak) akan

memastikan wisatawan tidak terkena sakit perut atau apalagi penyakit saluran
pencernaan yang kronis. Tentunya bukan iklan yang bagus bila wisatawan setelah
berenang di suau pantai kemudian kembali ke rumah atau negaranya dengan gatal-gatal
atau penyakit kulit yang sulit sembuh; apalagi bila wisatawan tersebut kemudian juga
terkena sakit perut.
Pada tahun 1990-an Bali pernah tidak dikunjungi
oleh wisatawan dari Jepang selama berbulan- bulan
karena serombongan wisatawan dari negara Matahari
Terbit tersebut terkena diare dan kolera. Di negara-
negara yang sadar-kebersihan tak-kasat mata, pantai-
pantai yang badan airnya tercemar oleh mikroba akan
segera ditutup dari kegiatan berenang yang pada
gilirannya akan menghentikan kegiatan rekreasi dan
pariwisata karena tidak ada wisatawan yang
datang karena tidak bisa berenang atau sekedar
berjemur! Pada gilirannya, masyarakat dan
pengusaha setempat yang akan menderita
karena usaha mereka tidak bisa berjalan, dan
ujung-ujungnya pemerintah juga menderita
karena tidak ada pemasukan melalui pajak.
Bagaimana kebersihan bisa menjadi sumber kemakmuran di Selandia Baru, bisa
dilihat dari contoh berikut. Secara kasat mata kebersihan memberikan rasa nyaman
karena sebuah tempat menjadi tampak indah karena kebersihannya. Semua tempat
rekreasi dan apalagi kawasan konservasi yang dikunjungi oleh rombongan Study Tour
nyaris tanpa sampah dan tidak ada bau tidak sedap yang menyebabkan orang enggan
untuk datang kembali. Salah satunya adalah Suaka Laut Long Bay (Long Bay Marine
Reserve). Suaka yang memiliki lebar 0,5 km dan panjang 5 km boleh dibilang nyaris
sempurna karena bersih secara alami. Maksudnya, pantai Long Bay memang diseraki
oleh serasah dan potongan kayu yang hanyut tetapi tidak ada sampah buatan manusia
seperti plastik. Hal serupa juga teramati di kawasan-kawasan konservasi lainnya seperti
Pulau Tiritiri Matangi dan Suaka Laut Pulau Kambing (Goat Island Marine Reserve). Hal
yang sangat menarik sekaligus unik adalah prinsip “bawa pulang sampahmu” (bring
home your rubbish) sehingga di kawasan- kawasan yang sudah disebutkan sebelumnya,
tidak ada tempat sampah bagi wisatawan dan pengunjung. Tampaknya budaya malu dan
tenggang-rasa menghormati orang lain yang kuat menjadikan program ini dapat berjalan
dengan baik. Selama kunjungan, tampak bahwa para pengunjung dan wisatawan lokal
membawa pulang sampah dari kegiatan mereka Di Suaka Laut Long Bay yang
merupakan tempat rekreasi umum, kunjungan oleh orang- orang yang membawa anjing
peliharaannya sangat dibatasi. Hanya pada waktu tertentu saja pada sore hari dan hari
tertentu mereka boleh masuk dengan
membawa anjing peliharaannya dan
diawasi ketat oleh para Park Rangers
agar tidak mengotori kawasan. Untuk
itu, para pemilik anjing harus memungut
dan membawa sendiri kotoran anjing
untuk dibuang di tempatnya kalau tidak
mau kena denda!

Di tempat lainnya, Tiritiri Matangi, sebuah pulau yang dikembangkan menjadi


surga bagi para penggemar burung dan pencinta jalan-kaki, hal serupa juga diterapkan.
Di pulau tersebut diterapkan prinsip “tak ada tempat sampah” (no bins) dan “tak ada
sampah” (no rubbish) karena semua sampah harus dibawa sendiri oleh pengunjung
ketika keluar dari pulau. Dari tulisan ringkas ini jelas bahwa kebersihan adalah modal
dasar untuk mengembangkan pariwisata dan rekreasi. Semuanya tentu saja
membutuhkan proses dan kerjasama antar berbagai pihak, termasuk perubahan tingkah
laku dan gaya hidup bersih dan tidak merusak atau mengotori lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai