1. MUHAJIRIN
2. UMY HAILAH
KONSENTRASI : MANAJEMEN LINGKUNGAN
Selandia Baru (dalam bahasa Maori disebut Aotearoa (artinya Tanah Berawan
Putih Panjang); bahasa Inggris: New Zealand, bahasa Latin: Nova Zeelandia) adalah
sebuah negara kepulauan di barat daya Samudera Pasifik; kira-kira 1.500 kilometer di
tenggara Australia, di seberang Laut Tasman; dan kira-kira 1.000 kilometer di selatan
negara-negara kepulauan Pasifik, yakni Kaledonia Baru, Fiji, dan Tonga. Negara ini
terdiri dari dua pulau besar (Pulau Utara dan Pulau Selatan) dan beberapa pulau lainnya
yang lebih kecil. Karena letaknya yang jauh, Selandia Baru merupakan kepulauan
terakhir yang didiami oleh manusia. Jumlah penduduk diperkirakan 4.619.130 jiwa.
Selandia Baru memiliki panjang (lebih dari 1.600 kilometer membujur dari utara ke
selatan) dan memiliki lebar maksimum 400 kilometer melintang dari barat ke timur,
dengan garis pantai sepanjang kira-kira 15.134 kilometer dan total luas daratan seluas
268.021 kilometer persegi Karena pulau-pulau luarnya yang terpisah jauh, dan garis
pantainya yang panjang, negara ini memiliki sumber daya kelautan yang melimpah. Zona
Ekonomi Eksklusif-nya, merupakan salah satu yang terluas di dunia, meliputi lebih dari
15 kali lipat luas daratannya.
A. Auckland Kota di Selandia Baru
Wilayah ini dapat dianggap tertutup bagi kegiatan industri pariwisata. Seolah-olah
tabu untuk diakses wisatawan, apalagi untuk tujuan pembangunan infrastruktur
pariwisata Beberapa cagar alam yang ada di Auckland, Selandia Baru memperlihatkan
keadaan sebaliknya. Kawasan konservasi semacam cagar alam ternyata dapat
dimanfaatkan oleh industri pariwisata, baik bahari (cagar alam laut atau suaka marga
satwa laut) dan pariwisata alam darat (cagar alam dan suaka margasatwa darat). Cagar
alam laut seperti Goat Island, Long Bay Marine Reserve dan Tiritiri Matangi adalah
contoh yang memperlihatkan keberhasilan perpaduan antara perlindungan habitat dan
species dengan industri wisata skala kecil di sekitar kawasan.
Dimasa lalu pulau ini merupakan habitat bagi beberapa hewan endemic Selandia
Baru. Kemudian imigran dari kawasan Eropa berdatangan dan merubahnya menjadi
daerah pertanian dan peternakan. Saat menjadi kawasan pertanian dan peternakan
hampir sebagian besar spesies asli pulau ini baik satwa maupun tumbuhan yang ada
musnah. Penggunaan pestisida, introduksi spesies asing dan pemusnahan habitat asli
adalah penyebab utama kepunahannya. Upaya awal untuk mengembalikan pulau ini ke
kondisi aslinya mulai dilakukan oleh beberapa ilmuwan dan aktivis pemerhati lingkungan
pada sekitar tahun 1970. Usaha yang panjang ini termasuk negosiasi yang alot, baik
dengan pemerintah, pemilik dan penyewa lahan.
Upaya untuk restorasi sendiri dilaksanakan sejak tahun 1984 sampai tahun 1994
dengan penanaman kembali tanaman- tanaman endemik. Termasuk juga tanaman yang
berasal dari pulau ini atau yang berasal dari wilayah- wilayah lain di Selandia Baru.
Di samping itu, dilakukan juga rehabilitasi satwa-satwa endemik di pulau ini. Hewan
endemik yang berasal dari luar Selandia Baru juga ikut direhabilitasi dan dikembangkan
dengan mengikuti aturan ilmiah yang sangat ketat. Setelah lebih dari 30 tahun proses
restorasi dan rehabilitasi habitat maupun satwa-satwanya, kondisi Tiritiri Matangi pulih
kembali. Hampir seperti kondisi semula sebelum pertanian dan peternakan
dikembangkan. Seiring dengan keberhasilan proses rehabilitasi dan restorasi kawasan,
perhatian khalayak terhadap kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata alam mulai
tumbuh kembali Minat untuk mengunjungi pulau ini semakin tinggi. Kebutuhan dana
pengelolaan yang cukup besar membuat para pengelola pulau mulai memikirkan bahwa
wilayah ini tidak saja sebagai salah tujuan wisata, tetapi juga sebagai wilayah konservasi
habitat dan biota penghuninya. Akhirnya Pemerintah melalui Departement of
Conservation membuka kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata.
pulau ini sejak diubah menjadi kawasan suaka marga satwa tidak dihuni lagi oleh
penduduk kecuali beberapa peneliti dan seorang jagawana. Akses transportasi ke pulau
dibangun bekerjasama dengan pengusaha kapal feri yang biasa melayani transportasi
antar pulau dan semenanjung di dalam wilayah Hauraki Bay. Meskipun pulau ini sangat
ramai dikunjungi para wisatawan di setiap akhir pekan, pihak pengelola menerapkan
aturan sangat ketat, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Tidak diperbolehkan
membangun fasilitas penginapan apapun. Hanya tersedia bangunan untuk toilet, pusat
studi dan informasi kawasan serta sebuah situs sejarah tua berupa mercusuar dan
bangunan pendamping yang telah berdiri sejak ratusan tahun silam. Untuk menjaga
kebersihan wilayah pulau, secara sengaja tidak disediakan tempat sampah sama sekali.
Ini sangat menarik. Setiap wisatawan yang datang dan menghasilkan sampah dilarang
membuangnya disini. Mereka harus membawa kembali sisa sampah mereka saat keluar
dari pulau ini. Dengan demikian beban pengelolaan sampah dapat berkurang dan pulau
ini terhindar dari permasalahan yang diakibatkan oleh sampah.
Aturan ketat berikutnya yang diberlakukan bagi wisatawan saat berkunjung adalah
keadaan steril. Untuk mencegah masuknya penyakit atau spesies mikro yang bisa
mengancam kehidupan di dalam eksosistem, wisatawan harus benar-benar steril
sebelum memasuki pulau ini. Sebelum menaiki kapal feri yang akan mengantar ke pulau
ini, wisatawan harus membersihkan alas kaki (sepatu atau sandal) yang dipakai. Begitu
juga saat kembali dari sana. Pengelola juga mengatur pembatasan jumlah pengunjung
per hari dan per tahun. Saat ini hanya 175 orang per hari dan maksimal setahun 35 ribu
orang. Pengaturan ini dibuat setelah mempertimbangkan daya dukung kawasan baik dari
segi ekologi maupun aspek SDM pengelola. Padahal kawasan Tiritiri Matangi memiliki
lebih dari 200 relawan Tiritiri Matangi berhasil menerapkan pola tersebut.
• Diperlukan regulasi yang ketat dan konsistensi untuk penerapan regulasi dalam
pengembangan wisata pada kawasan konservasi karena sifat kawasan yang khusus.
Sebagai lembaga nirlaba (non- profit) yang banyak memfokuskan diri pada
pendidikan lingkungan, Peter Blake Marine Education and Recreation Center
menyediakan beragam program pendidikan lingkungan dan konservasi untuk semua
tingkatan usia.
anak sekolah usia dini merupakan fokus utama mereka dalam membangun
kesadaran dan membentuk karakter cinta lingkungan dan perilaku peduli lingkungan.
Hal yang menarik adalah lokasinya yang berada di sekitar kawasan konservasi
justru memudahkan akses untuk untuk pembelajaran di lapangan bagi siswa atau
peserta didik dan latih mereka. Di samping pendidikan lingkungan, mereka juga
menyediakan program terkait.
marine center ini cukup untuk membiayai berbagai program yang mereka miliki maupun
berkontribusi juga untuk pengelolaan kawasan Jadi jelas bahwa keberadaan marine
education center dan marine center serta marine research center memiliki peran yang
penting. Pertama membantu otoritas pengelola kawasan memberikan data dan informasi
untuk mendukung kebijakan pengelolaan. Kedua sebagai pusat edukasi pengunjung dan
masyarakat pada umumnya untuk semua tingkatan usia. Ketiga, menjadi obyek wisata
edukatif yang memberikan pemahaman pengetahuan tentang konservasi secara umum
dan kawasan secara khusus. Keempat, berkontribusi bagi pendapatan untuk membantu
pembiayaan pengelolaan kawasan sehingga sebuah kawasan benar-benar mandiri.
Lepas dari besar kecilnya kontribusi berupa nilai finansial, tidak diragukan lagi
relawan memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan yang sifatnya “sosial”. Selandia
Baru adalah negara terdepan dalam hal kontribusi yang diberikan oleh para relawan.
Berdasarkan hasil studi tentang kegiatan sektor nirlaba tahun 2008 di Selandia Baru,
tenaga kerja di sector ini 67% terdiri dari relawan atau setara dengan 133.799 posisi
penuh waktu. Total kontribusi para relawan tersebut diperkirakan bernilai 270 juta jam
kerja atau sekitar NZD 3,3 milyar (hampir Rp 33 triliun) bagi organisasi-organisasi nirlaba.
Gerakan massal seperti itu memberi dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan
masyarakat. Menjadi relawan adalah sebuah kewajaran, dan itu dilakukan oleh orang-
orang dari berbagai latar belakang, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, ras dan lapisan
usia.
Untuk itulah dalam pengelolaan Pulau Tiritiri Matangi ini DoC bekerjasama
dengan kelompok relawan. Kerjasama ini mutlak dilakukan karena DoC memiliki
keterbatasan dana dan tenaga disamping kelompok relawan ini telah memiliki sejarah
yang panjang dalam pelestarian lingkungan Pulau Tiritiri Matangi.
Pembelajaran buat kita Menjadi relawan bagi kegiatan sosial, dapat dikatakan telah
menjadi budaya bagi warga negara Selandia Baru. Hal serupa juga bisa ditemukan di
kegiatan- kegiatan sosial dan keagamaan di Indonesia walaupun keragaman latar
belakang para relawan belum banyak. Selain itu, Indonesia juga memiliki para relawan
yang terorganisir seperti dari Palang Merah Indonesia, dan para relawan (walaupun
jumlahnya masih sangat kecil) dari kelompok-kelompok penyayang binatang (Animal
Welfare). Ada pula relawan yang sifatnya individu dan hanya muncul pada keadaan
darurat (bencana alam misalnya).
Beberapa macam kegiatan wisata memiliki potensi yang besar, tetapi belum
banyak dilakukan oleh para pelaku industri wisata di Indonesia saat ini. Bahkan, dalam
batas-batas tertentu, justru telah mulai dirambah oleh para pelaku industri wisata dari luar
Indonesia yaitu wisata mengamati burung (birdwatching). Ada begitu banyak pulau-pulau
kecil, terutama di kawasan Timur Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan
menjadi lokasi tujuan wisata birdwatching.
Spesies endemik Selandia Baru tersebut, dapat berkembang biak dengan sangat
baik di Pulau Tiritiri Matangi sehingga saat ini sudah ada yang mulai dipindahkan/relokasi
ke pulau- pulau lain di Selandia Baru. Secara sepintas, apa yang dilakukan ini seperti
layaknya program perlindungan dan rehabilitasi spesies terancam punah saja. Tetapi
ternyata ada efek samping yang terjadi dari program ini. Program ini ternyata menarik
perhatian publik dan menarik perhatian para birdwatcher. Spesies endemik memiliki “nilai
lebih” bagi para birdwatcher, apalagi jika spesies tersebut berstatus terancam punah
(Dalam kategori IUCN, spesies dikatakan terancam punah jika masuk ke dalam salah
satu kategori Vulnerable, Endangered atau Critical/Critically Endangered). Maka jika ada
burung endemik dengan status Critical sama halnya dengan memasang label “MUST
SEE” bagi para birdwatcher. Tidak heran jika kemudian Pulau Tiritiri Matangi ramai
dikunjungi oleh para birdwatcher dari seluruh penjuru dunia, walaupun pulau ini adalah
bagian dari sebuah Marine Park.
Selandia Baru pada beberapa hal mirip dengan Indonesia. Salah satunya adalah
negara yang terdiri dari banyak pulau atau kepulauan. Kota Auckland misalnya. Kota ini
menunjukkan pemanfaatan laut dan pesisir untuk kegiatan rekreasi dan wisata yang
sangat tinggi. Bahkan kegiatan tetap dilakukan meskipun dalam musim dingin.
Masyarakat Selandia Baru, terutama mereka yang tinggal di kota Auckland, sangat
mencintai wilayah pesisir dan lautnya.
Secara sederhana dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan/klub dan event- event
olahraga, rekreasi, dan wisata yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut seperti:
triathlon, ocean swimming, berlayar, kayak, berselancar, whale watching, memancing
dan menyelam. Bahkan untuk kegiatan wisata dan rekreasi yang tidak harus bersentuhan
langsung dengan laut sekalipun juga terjadi disekitar laut dan/ atau pulau – pulau kecil,
seperti: nature walk, bird-watching, dan camping.
perahu layar sederhana. Kemudian pelaut Eropa seperti James Cook pada tahun 1769.
Dari fakta sejarah dapat dilihat bagaimana pentingnya peranan transportasi laut di
Selandia Baru. Peran penting transportasi
laut salah satunya disebabkan oleh kondisi
transportasi darat yang relative. terbatas,
setidaknya pada waktu itu. Namun sampai
saat ini kebanyakan masyarakat Selandia
Baru masih memiliki semangat membangun
wilayah pesisir dan lautnya. Masyarakat
berjuang keras untuk memastikan akses
mereka ke wilayah pesisir dan laut terbuka dan bebas. Untuk itulah pemerintah daerah
dan pusat tidak memungut bayaran dari pengunjung baik untuk karcis masuk maupun
biaya parkir mobil misalnya.
I. Motivasi Pelaku Bisnis Rekreasi dan Pariwisata Laut dan Pesisir Berkelanjutan
Pada saat musim dingin bisnis menjadi lebih berat bagi sea kayak tour operator,
glass bottom boat tour, dan dive operator. Operasi bisnis mereka praktis mati suri selama
musim ini. Dengan demikian, sepanjang tahun operasi bisnis mereka hanya berjalan
efektif untuk empat sampai enam bulan saja. Hanya operator whale watching (wisata
observasi paus dan lumba-lumba) yang masih beroperasi di musim dingin, meskipun itu
juga tergantung pada kondisi cuaca. Jelas iklim negara Selandia Baru adalah tantangan
utama bagi para pelaku bisnis outdoor di kawasan Taman Laut Hauraki.
Modal untuk berusaha bila dibiayai oleh pinjaman bank dikenakan bunga bank
yang sangat tinggi untuk setiap pinjaman. Rata rata berkisar diatas 21% per-tahun.
Khusus untuk pebisnis baru atau pemula, selain bunga tinggi, bank akan meminta
jaminan atau kolateral untuk pinjaman yang diberikan. Kolateral atau jaminan ini bisa
berupa rumah tinggal dan sebagainya.
Faktor lain yang membuat bisnis menjadi lebih sulit disini adalah letak geografis
Selandia Baru yang berada di ujung selatan dunia. Artinya bagi target pasar yang ada di
Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang dan Cina, maka mereka harus menempuh puluhan
jam perjalanan pesawat yang mahal dan melelahkan.
Mungkin ini adalah karakteristik orang Selandia Baru yang sangat menggemari
outdoor dan mencintai alam laut dan pesisir mereka. Jelas, sebagai pebisnis mereka
tidak akan melakukan bisnis tersebut apabila rugi, tetapi kami tidak melihat keuntungan
yang luar biasa besar dari usaha mereka. Pemilik dive operator di Goat island marine
reserve mengatakan bahwa keputusan mereka untuk berinvestasi di bisnis diving dan
snorkelling di Taman Laut Teluk Hauraki Gulf disebabkan satu hal: “I want to earn happy
dollar” - “ingin mendapatkan pendapatan yang memuaskan batinnya.” Lebih lanjut
pebisnis tersebut mengatakan bahwa dia merasa prihatin melihat menurunnya ukuran
ikan di sekitar tempat tinggalnya sebelum ditetapkannya zona larang ambil beberapa
dekade sebelumnya. Sedangkan pelaku bisnis whale-watching (melihat paus dan lumba-
lumba) dengan senang hati menginvestasikan keuntungan bisnisnya ke dalam upaya
restorasi alam laut dan pesisir, dan bersama sama pelaku bisnis serupa membuat
sebuah jaringan yang menginformasikan ke otoritas pelabuhan dan konservasi
mengenai lokasi paus dan lumba-lumba yang mereka temui di jalur lintas laut Teluk
Hauraki untuk menghindari tertabraknya satwa yang terancam tersebut.
Pencitraan tentang apa yang ingin dikembangkan sangat penting untk memandu
seluruh stakeholder dalam aktivitas mereka. Bila tidak menjangkau seluruh dunia,
setidaknya untuk pasar negara atau wilayahtertentu saja. Khusus untuk wisata alam laut
dan pesisir, sudah tidak waktunya lagi mendorong menawarkan pariwisata ”triple S” yaitu
Sun, Sand and Sea – Matahari, Pasir, dan Pantai. Triple S ini sudah tidak lagi cukup
untuk membuat negara ini kompetitif. Adanya kawasan konservasi laut dan pesisir
seharusnya menjadi aset tambahan bagi Pemerintah pusat dan daerah. Bila dapat
dilakukan identifikasi keunikan dari satu daerah dibandingkan dengan daerah yang
lainnya. Sehingga dapat ditunjukkan dengan jelas perbedaan antara satu kawasan
konservasi dengan lainnya. Pelajaran dari Selandia Baru menunjukkan bahwa ada suatu
kesadaran dari lintas sector di kalangan pemerintah dan pelaku bisnis tentang brand
yang mereka tawarkan. Mereka kemudian sadar dan konsisten untuk mengembangkan
brand tersebut yang diiringi dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas produk atau
jasa yang diasosiasikan dengan Brand tersebut. Jadi ketika mereka mengatakan bahwa
Selandia Baru adalah negara yang “pure and clean” mereka harus konsisten menjaga
citra atau brand yang mereka jual.
Apa yang muncul di benak kita ketika melihat sebuah teluk, meski dikelilingi oleh
daratan yang dipadati permukiman, dengan kapal berbagai ukuran, seperti kapal pesiar
dan kapal kargo dan tanker berukuran besar berlalu lalang, tetap terllihat indah? Dari
kacamata praktisi pengelolaan kawasan konservasi perairan, pertanyaan yang muncul
adalah: bagaimana caranya mengelola kawasan teluk seperti itu agar tampak cantik di
tengah keramaian dan keruwetan kegiatan ekonomi? Pertanyaan yang sama muncul
ketika dengan mata-kepala sendiri melihat Teluk Hauraki yang berada di ‘depan’
Auckland, kota terbesar dan terpadat di Selandia Baru. Dari kamar hotel tempat
menginap, ke arah manapun mata memandang, kita akan disuguhi oleh daratan berbukit
penuh permukiman tertata rapih yang
mengelilingi Teluk Hauraki di satu sisi, dan
sekumpulan pulau-pulau kecil berwarna biru
keabu-abuan nun jauh di sisi lain Teluk. Lalu
di tengah Teluk, tampak perahu- perahu
pesiar dan kapal-kapal berukuran besar
yang membawa entah minyak atau barang
lainnya lalu-lalang memasuki Teluk sebelum
berlabuh di Pelabuhan Auckland. Yang
membuat mata kita juga nyaman
memandang adalah letak
pelabuhan yang berdampingan dengan kompleks gedung- gedung tempat kegiatan-
kegiatan ekonomi urban dan permukiman tepi pantai yang asri dan berhadapan langsung
dengan marina tempat kapal- kapal pesiar berlabuh. Jauh berbeda dari pemandangan
yang biasa kita jumpai di Indonesia bila mengunjungi kawasan di sekitar pelabuhan yang
hampir selalu berkesan kumuh dan tidak bersahabat. Pertanyaan selanj utnya,
bagaimana pariwisata dan rekreasi bisa berkembang begitu pesat di sebuah Teluk yang
dipadati oleh berbagai kegiatan seperti itu? Apalagi kegiatan rekreasi dan wisata yang
populer adalah yang berhubungan dengan olahraga seperti berperahu-layar (sailing) dan
berperahu-dayung (kayaking). Belum lagi wisata lain yang bertema konservasi seperti
pengamatan paus (whale-watching), pengamatan lumba-lumba (dolphin-watching), serta
pengamatan burung (bird- watching). Dari kacamata orang yang datang dari negara yang
penuh kerumitan seperti Indonesia, beragamnya kegiatan yang mengambil tempat di
Teluk Hauraki sebetulnya bukan hal yang baru karena penggunaan satu kawasan
perairan oleh beragam pihak juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Contoh nyata
adalah Teluk Jakarta. Seperti Teluk Hauraki, Teluk Jakarta juga digunakan untuk
berbagai macam kegiatan oleh beragam pihak. Yang membuatnya berbeda dari Teluk
Hauraki adalah ketiadaan sebuah lembaga yang mencoba untuk memaduserasikan
semua kegiatan dan para-pihak yang berkepentingan dengan Teluk Jakarta. Seolah-olah
secara alamiah kerumitan yang ada di Teluk Jakarta akan dengan sendirinya bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan, sosial, ekonomi dan politik yang
dihadapinya. Selain itu, Teluk Jakarta masih dipandang oleh para-pihak sebagai ajang
persaingan pemanfaatan daripada sebagai ajang pemanfaatan secara bersama yang
bersifat saling menguntungkan bagi para-pihak yang berkepentingan dengannya.
Jalan panjang menuju pengelolaan kolaboratif
Sebelum menjadi seperti sekarang, ada sejumlah peristiwa penting yang terjadi di
kawasan Teluk Hauraki di masa lalu. Beberapa peristiwa ini dipercaya menjadi cikal-
bakal dan pemicu berdirinya Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine Park)
beserta upaya pengelolaannya secara kolaboratif. Teluk Hauraki didirikan pada tahun
1967 dengan sebutan Taman Maritim Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Maritime Park). Boleh
dibilang tidak ada sebuah rezim pengelolaan yang khusus didirikan untuk mengelola
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Hauraki pada saat itu, meski secara
Salah satu tonggak penting bagi Teluk Hauraki adalah didirikannya Cagar Laut
(Marine Reserve) tertua di Selandia Baru, yaitu Pulau Kambing (Goat Island), pada tahun
1975 oleh pakar dari Universitas Auckland, Dr. Bill Ballantine. Pendirian ini kemudian
diikuti dengan pendirian lima cagar laut yang tersebar di Teluk Hauraki. Peristiwa penting
lainnya adalah pendirian Departemen Konservasi pada tahun 1987 menyusul
diberlakukannya Akta Konservasi pada tahun yang sama. Departemen ini
bertanggungjawab untuk melestarikan warisan alam dan sejarah Selandia Baru agar
memberikan manfaat dan dapat dinikmati oleh penduduk Selandia Baru. Teluk Hauraki
menjadi fokus karena di teluk ini dapat dijumpai beragam jenis paus dan burung yang
statusnya dilindungi, baik secara nasional maupun internasional. Peristiwa penting
lainnya adalah kerusakan lingkungan besar-besaran yang terjadi di Teluk Hauraki akibat
kegiatan eksploitasi sumberdaya hayati oleh manusia. Yang paling merusak adalah
berkembangnya industri perikanan yang mengakibatkan penangkapan- berlebih
(overfishing) dan penurunan drastis produksi perikanan dalam kurun tiga dekade.
Produksi perikanan kakap merah yang mencapai 10 ribu ton per tahun pada tahun
1970an turun menjadi sekitar 400 sampai 800 ton saja per tahun pada tahun 2000an.
Industri perikanan yang menangkap ikan dengan menggunakan pukat sangat merusak
lingkungan Teluk dan ditengarai sebagai penyebab utama tidak pernah pulihnya populasi
udang barong (lobster). Menurut para pakar,
cadangan (stock) ikan saat ini hanya
seperempat dari tingkat sebelum kedatangan
orang Eropa ke Selandia Baru pada awal
abad ke-19. Eksploitasi lain yang juga tidak
kalah merusaknya adalah pengerukan dasar
laut untuk memanen kerang hijau yang
mencapai puncaknya pada tahun 1961
dimana 15 juta ekor kerang diambil dan menimbulkan kerusakan yang tidak pernah
terpulihkan bahkan setelah 40 tahun. Pengerukan telah merusak habitat dasar perairan
sehingga tidak memungkinkan pepulasi kerang hijau untuk kembali dan pulih. Hal lain
yang juga memperparah kerusakan adalah masuknya nitrogen dalam jumlah besar ke
dalam perairan Teluk yang berasal dari lahan-lahan pertanian dan peternakan. Belum
lagi sampah tersangkut atau terserak di pantai yang mencapai volume 450.000 liter per
tahun. Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, adalah keberadaan beragam mamalia laut
di Teluk Hauraki. Diperkirakan terdapat 25 species mamalia laut yang dapat dijumpai di
Teluk Hauraki, dan sekitar sepertiga dari species mamalia laut dunia diketahui tinggal
atau mengunjungi teluk ini. Paus yang dilaporkan terlihat dan/atau bermigrasi melalui
perairan Teluk meliputi, antara lain, Paus Baleen, Paus Bungkuk dan Paus Biru Selatan.
Salah satunya, yaitu Paus Bryde (Balaenoptera brydei), yang jumlahnya diperkirakan
antara 100–200 ekor di Teluk Hauraki, sering mengalami kecelakaan dan kematian
karena ditabrak oleh atau bertabrakan dengan kapal, terutama kapal tanker, yang
berlalu-lalang di perairan Teluk.
Beragam peristiwa di atas, baik secara tunggal maupun bersama, telah memicu
dan memacu kesadaran bersama para pemangku-kepentingan untuk menyelamatkan
lingkungan Teluk Hauraki. Pertanyaannya, bagaimana upaya tersebut dapat dilakukan?
Bagaimana caranya agar para pemangku-kepentingan Teluk Hauraki dengan
kepentingannya masing-masing yang berbeda dapat bekerja sama untuk menyelamatkan
Teluk Hauraki?
1. Pemulihan lingkungan pulau kecil Tiritiri Matangi dan konservasi burung di pulau
tersebut yang dilakukan secara bersama oleh Departemen Konservasi
bekerjasama dengan organisasi masyarakat Supporters of Tiritiri Matangi (SoTM).
Departemen Konservasi yang anggarannya terbatas tetap dapat mencapai tujuan-
tujuan kerja konservasinya karena memperoleh dukungan dari SoTM dalam
pelaksanaan kegiatan konservasi dan pariwisata, sementara SoTM dapat
menggalang pendanaan sekaligus dukungan dari masyarakat luas untuk
melaksanakan kerja-kerja konservasinya. Lebih jauh lagi, kerjasama ini juga
mendorong kerjasama antara SoTM dengan pihak swasta (operator kapal cepat)
yang menjamin akses dari Auckland sepanjang tahun dan sebaliknya mendukung
operasi kapal sepanjang tahun.
Sewaktu kecil, kita sering mendengar peribahasa “bersih pangkal sehat” dan
“hemat pangkal kaya”. Peribahasa pertama maksudnya adalah kesehatan berawal dari
kebersihan, jadi kalau kita menjaga kebersihan penyakit tidak akan datang. Untuk yang
kedua, seseorang bisa menjadi kaya bila dia hemat. Untuk kasus Selandia Baru,
kelihatannya dua peribahasa tersebut dapat digabung menjadi “bersih pangkal makmur”
yang maksudnya kebersihan, kalau diterapkan secara all out alias menyeluruh, akan
menjadi dan mendatangkan kemakmuran. Bagaimana tidak, bagi semua kegiatan
pariwisata dan rekreasi kebersihan adalah prasyarat utama. Secara kasat-mata bersih
dan kebersihan menyumbang kepada estetika alias keindahan yang menjadi alasan
wisatawan datang berkunjung atau melakukan kegiatannya. Sulit membayangkan
sebuah obyek wisata dikatakan indah kalau sampah berserakan dimana- mana, atau
sekelompok penyelam dapat menikmati kegiatan selamnya karena terumbu karang yang
ingin dilihatnya dipenuhi oleh sampah dan jumlah sampah yang terlihat lebih banyak
daripada ikannya. Di Auckland, kebersihan sudah terlihat sejak pertama kali kami
menginjakkan kaki di bandara.
Kebersihan yang sama juga di tempat-tempat perbelanjaan dan toko atau
warung. Kebersihan tidak terbatas pada yang kasat mata saja, tetapi yang tak-kasat
matapun harus dipenuhi! Yang tidak kasat mata adalah standar higienis dari layanan
pariwisata. Peran pemerintah kota besar sekali dalam memberikan sertifikasi kebersihan
higienis dari layanan atau restoran atau jasa pembuatan makanan. Tidak hanya di kota
besar seperti Auckland, di semua tempat yang dikunjungi warung atau tempat makan
memiliki sertifikat Kelas A (tertinggi) agar boleh beroperasi. Ketika mengunjungi salah
satu warung seperti Alfamart di Indonesia, terpampang jelas di belakang sang kasir
sertifikat Kelas A. Secara tak-kasat mata, ada hal-hal lain yang tak kalah pentingnya.
Perairan yang bersih dapat digunakan oleh wisatawan untuk berenang, dan makanan
yang bersih (apalagi enak) akan
memastikan wisatawan tidak terkena sakit perut atau apalagi penyakit saluran
pencernaan yang kronis. Tentunya bukan iklan yang bagus bila wisatawan setelah
berenang di suau pantai kemudian kembali ke rumah atau negaranya dengan gatal-gatal
atau penyakit kulit yang sulit sembuh; apalagi bila wisatawan tersebut kemudian juga
terkena sakit perut.
Pada tahun 1990-an Bali pernah tidak dikunjungi
oleh wisatawan dari Jepang selama berbulan- bulan
karena serombongan wisatawan dari negara Matahari
Terbit tersebut terkena diare dan kolera. Di negara-
negara yang sadar-kebersihan tak-kasat mata, pantai-
pantai yang badan airnya tercemar oleh mikroba akan
segera ditutup dari kegiatan berenang yang pada
gilirannya akan menghentikan kegiatan rekreasi dan
pariwisata karena tidak ada wisatawan yang
datang karena tidak bisa berenang atau sekedar
berjemur! Pada gilirannya, masyarakat dan
pengusaha setempat yang akan menderita
karena usaha mereka tidak bisa berjalan, dan
ujung-ujungnya pemerintah juga menderita
karena tidak ada pemasukan melalui pajak.
Bagaimana kebersihan bisa menjadi sumber kemakmuran di Selandia Baru, bisa
dilihat dari contoh berikut. Secara kasat mata kebersihan memberikan rasa nyaman
karena sebuah tempat menjadi tampak indah karena kebersihannya. Semua tempat
rekreasi dan apalagi kawasan konservasi yang dikunjungi oleh rombongan Study Tour
nyaris tanpa sampah dan tidak ada bau tidak sedap yang menyebabkan orang enggan
untuk datang kembali. Salah satunya adalah Suaka Laut Long Bay (Long Bay Marine
Reserve). Suaka yang memiliki lebar 0,5 km dan panjang 5 km boleh dibilang nyaris
sempurna karena bersih secara alami. Maksudnya, pantai Long Bay memang diseraki
oleh serasah dan potongan kayu yang hanyut tetapi tidak ada sampah buatan manusia
seperti plastik. Hal serupa juga teramati di kawasan-kawasan konservasi lainnya seperti
Pulau Tiritiri Matangi dan Suaka Laut Pulau Kambing (Goat Island Marine Reserve). Hal
yang sangat menarik sekaligus unik adalah prinsip “bawa pulang sampahmu” (bring
home your rubbish) sehingga di kawasan- kawasan yang sudah disebutkan sebelumnya,
tidak ada tempat sampah bagi wisatawan dan pengunjung. Tampaknya budaya malu dan
tenggang-rasa menghormati orang lain yang kuat menjadikan program ini dapat berjalan
dengan baik. Selama kunjungan, tampak bahwa para pengunjung dan wisatawan lokal
membawa pulang sampah dari kegiatan mereka Di Suaka Laut Long Bay yang
merupakan tempat rekreasi umum, kunjungan oleh orang- orang yang membawa anjing
peliharaannya sangat dibatasi. Hanya pada waktu tertentu saja pada sore hari dan hari
tertentu mereka boleh masuk dengan
membawa anjing peliharaannya dan
diawasi ketat oleh para Park Rangers
agar tidak mengotori kawasan. Untuk
itu, para pemilik anjing harus memungut
dan membawa sendiri kotoran anjing
untuk dibuang di tempatnya kalau tidak
mau kena denda!