Anda di halaman 1dari 5

Pengertian & perbedaan mengenai Sosial Forestry, Hutan Rakyat (Farm Forestry), Hutan

Kemasyarakatan (Communal Forestry), Agroforestry, Ekstensifikasi forestry, PHBM, dan


Tumpangsari.

SOSIAL FORESTRY
Social Forestry atau Perhutanan Sosial merupakan Strategi pengelolaan hutan atau
dapat didefinisikan sistem pengelolaan hutan dimana
masyarakat lokal berpartisipasi aktif didalamnya untuk mensejahterakan mereka dan sekaligus
melestarikan atau memperbaiki hutan di sekelilingnya.
Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam pengelolaan hutan
dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga diberi hak untuk
mengelola kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu. Menurut versi Departemen
Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan
dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek kelola
kelembagaan‟ menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci
penting keberhasilan pengelolaan hutan.

Ciri-ciri SF :
1. Merubah monokultur menjadi polikultur
2. Karena monokultur maka mempunyai daur ganda
3. Intensif (petak sebagai unit managemen)
4. Partisipasi masyarakat. Menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar (abad 20) dan tahun
1994 muncul stakeholders (para pihak yang berkentingan)
5. Pengelola hutan tidak hanya pemerintah tetapi para pihak (multi stake holders). Oleh karena
itu maka pelaksanaan SF menjadi rumit karena banyak komando. Merangkul para stakeholders
dan merumuskan perencanaan merupakan tantangan untuk mewujudkan SF
6. Perubahan perencanaan (perencanaan artikulatif)

Kegiatan kehutanan sosial mempunyai variant (dapat dikategorikan) ke dalam 4 (empat)


kelompok besar (Anonim, 2002a), yaitu:
(1) Farm forestry;
(2) Community forestry;
(3) Agro-forestry. dan
(4) Extension forestry;

HUTAN RAKYAT (Farm Forestry)

Di Indonesia istilah farm forestry dikenal sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang
tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan
yang dimiliki oleh rakyat (Hardjosoediro, 1980 dalam PKHR, 1999). Menurut Undang-undang
no 5 tahun 1967 tentang kehutanan, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas
tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya, dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar
dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 persen atau minimal jumlah pohonnya
500 batang setiap hektarnya. Sedangkan menurut Undang-undang no 41 tahun 1999, pengertian
hutan rakyat ini hanya disebutkan sebagai hutan hak, yang membedakannya dengan hutan
negara. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan, hutan rakyat mempunyai ciri khas:
a) Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang
subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja yang terbatas, kemudahan pemeliharaan, faktor
resiko kegagalan yang kecil dan lain sebagainya.
b) Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta
keragaman pola wanatani.
c) Basis pengelolaan berada pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan
pengaturan secara terpisah.
d) Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil
belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang
sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.
e) Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat.
f) Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat
yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
g) Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen,
sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.
h) Karakter-karakter tersebut sangat mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan rakyat akibat
adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama bahan baku kayu. Hal ini
diperparah dengan menurunnya produktivitas kayu dari hutan negara yang disebabkan oleh
penebangan liar dan kegagalan pembuatan tanaman.
i) Diperlukan upaya intervensi bagi penyelamatan hutan rakyat dari penurunan kualitas dan
kuantitas yang lebih jauh akan membawa dampak negatif bagi kualitas ekologi dan ekonomi
regional. Di sisi selanjutnya, sejumlah industri berbasis kayu rakyat yang menampung ribuan
tenaga kerja juga akan mengalami dampak ikutan (collateral damage). Pengembangan
kemampuan manajerial dalam pengelolaan hutan rakyat harus ditumbuhkembangkan untuk
memberikan kepastian kelestarian pasokan kayu untuk industri dan kepastian kontinuitas
pendapatan petani hutan rakyat.
Pertanian Oleh Petani Untuk Pertanian

HUTAN KEMASYARAKATAN (Community forestry)


Hutan Kemasyarakatan (HKM) / Community forestry. Adalah adalah hutan rakyat yang dibangun
di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak
pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat;
biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. sebuah “proses” perubahan yang
mengarah kepada keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengelolaan hutan. Sebagai
sebuah “proses”, maka konsep HKM ini juga tidak memiliki sebuah sistem atau definisi
yang baku, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat dan sistem sosial
ekonomi, serta kesepakatan-kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat. Oleh sebab itu,
adalah sah-sah saja terjadi perbedaan dalam pola pelaksanaannya di berbagai daerah sesuai
dengan evolusi sistem sosial, ekonomi dan politik setempat. Sebagai contoh, Nepal harus melalui
berbagi proses dan tahapan HKM sebelum sampai pada sistem yang ada sekarang. Sistem
sekarangpun sedang dalam proses perubahan untuk mengakomodasi berbagai perubahan sistem
sosial ekonomi masyarakat.
AGROFORESTRY
Agroforestry merupakan Teknik bercocok tanam sebagai salah satu bentuk multiple
cropping yang banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan
hutan. Lundgren dan Raintree (1982), dalam Hairiah et al. (2003) mengajukan ringkasan definisi
agroforestry dengan rumusan sebagai berikut:
Agroforestry adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan
lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan
tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian
dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau
bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang
ada.
Dari definisi di atas, agroforestry merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek
pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur yakni (a) penggunaan lahan atau
sistem penggunaan lahan oleh manusia; (b) penerapan teknologi; (c) komponen tanaman
semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan; (d) waktu bisa bersamaan atau bergiliran
dalam suatu periode tertentu dan (e) ada interaksi ekologi, sosial dan ekonomi.
Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982)
adalah:
a. Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan).
Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
b. Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun.
c. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
d. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu
bakar, buah-buahan, obat-obatan.
e. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin,
penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.
f. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry tergantung pada
penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan
sisa panen.
g. Sistem agroforestry yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun
ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.

EKSTENSIFIKASI HUTAN

Istilah extension forestry dapat diartikan sebagai ekstensifikasi hutan, analog di sektor pertanian
dengan ekstensifikasi pertanian. Anonim (2002b) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
ekstensifikasi hutan adalah penanaman tanaman keras (pohon) diluar kawasan hutan contohnya
pada sisi jalan raya, canal (terusan) dan di sisi jalan kereta api, sepanjang tidak mengganggu dan
dilakukan di tanah yang tersisa (kosong). Melihat definisi di atas, maka dapat dipastikan bahwa
ekstensifikasi hutan berada di atas lahan milik negara.

PHBM
Menurut SK Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumber daya
Hutan Bersama Mayarakat di Propinsi Jawa Tengah. PHBM adalah suatu system pengelolaan
sumberdaya hutan yang dilakukan bersama masyarakat dengan jiwa berbagi antara PT.
PERHUTANI (Persero), masyarakat desa hutan, pihak yang berkepentingan, sehingga
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutn dapat
diwujudkan secara optimal dan proporsional.
PHBM dilakukan dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau
ruang, waktu, dan berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya
hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung
berdasarkan kepada Keadilan dan demokratis, Keterbukaan dan kebersamaan, Pembelajaran
bersama dan saling memahami, Kejelasan hak dan kewjiban, Pemberdayaan ekonomi
kerakyatan, kerjasama kelembagaan, perencanaan partisipatif, Kesederhanaan system prosedur,
Kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah dan keanekaragaman social budaya,
dimanaPemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Ruang lingkup kegiatan PHBM dalam kawasan hutan meliputi : Pengembangan agroforestri
dengan pola bisnis. Pengamanan hutan melalui pola berbagi hak, kewajiban dan tanggung jawab.
Tambang galian, Wisata, Pengembangan flora dan fauna serta pemanfaatan sumber air.
Sedangkan ruang lingkup PHBM di luar Kawasan Hutan meliputi :
o Pembinaan Mayarakat Desa Hutan ;
o Pemberdayaan kelembagaan Kelompok Tani Hutan
o Pemberdayaan kelembagaan desa
o Pengembangan ekonomi kerakyatan
o Perbaikan biofisik Desa Hutan ;
o Pengembangan hutan rakyat
o Bantuan sarana dan prasarana desa hutan

TUMPANG SARI

Suatu metode agrisilvikultur pada pembangunan hutan tanaman yang bersifat sementara,
khususnya di hutan jati. Secara sederhana tumpangsari yaitu teknik penanaman agroforestri yang
diterapkan di hutan Negara. Dalam hal ini ada suatu bentuk kerja sama pekerjaan untuk periode
terbatas dimana tanaman pangan ditanam menumpang pada tanaman pohon muda. Pembangunan
hutan disini melibatkan kepentingan masyarakat yaitu masyarakat diperbolehkan menanam
tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok yang masih muda (sebelum penutupan tajuk
tanaman pokok). Petani boleh mengelola tanaman pertanian selama jangka waktu 2-3 tahun
tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dalam waktu
yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara
ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan
kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda. Untuk
dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor
lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar
matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan saat
penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan (penyerapan hara dan air) pada suatu petak lahan
antar tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara
tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran
relatif dangkal.
Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam
monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: 1). akan terjadi
peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2).
populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3). dalam satu areal diperoleh produksi
lebih dari satu komoditas, 4). tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis
tanaman yang diusahakan gagal, dan 5). kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan
stabilitas biologis sehingga dengan menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan
kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

TUMPANGSARI DIPERKENALKAN OLEH BUURMAN V. VREEDEN PADA TAHUN


1883 DI KPH PEMALANG JAWA TENGAH, SEBAGAI SISTIM PEMBUATAN TANAMAN
JATI.

Anda mungkin juga menyukai