Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH ISLAM DAN MODERNITAS

ISLAM DAN MODERNITAS

DISUSUN OLEH :

NAMA : MELIA ANGGRAINI


NIM : 120 STYC 12

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu
permasalahan krusial yang dihadapi oleh kaum Muslimin dewasa ini. Secara
historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya sudah berlangsung
lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam
pada abad ke-18 M.
Negara-negara Eropa tidak sekedar melakukan kolonialisasi tetapi
lebih dari itu, mereka juga membawa misi untuk menancapkan mega proyek
yang disebut “modernisasi”, berupa paket besar dari Barat yang di dalamnya
terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama bahkan budaya. Akibat
modernisasi yang kadang-kadang terlihat sengaja dipaksakan itu, telah
menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dunia Islam khususnya Timur
Tengah.
Uniknya, ketegangan teologis ini secara tak terduga telah melahirkan
reaksi intelektual dari kaum Muslimin yang berupa aliran-aliran pemikiran
keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah intelektual-
keagamaan Islam. Di antaranya, apa yang terkenal dengan sebutan
Modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam, Neo
Modernisme Islam, Neo Fundamentalisme Islam dan Post Tradisionalisme
Islam.

B. Latar Belakang Masalah


Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau
dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, terdari dari :
1. Apa pengertian modernisasi?
2. Bagaimana Akar Historis Pergulatan Islam Dan Modernitasn?
3. Bagaimana Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia?
C. Pembahasan
1. Pengertian Modernisasi
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan
istilah original melainkan “diekspor” dari bahasa asing (modernization),
berarti “terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang
tertentu (baru). Akan tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi
selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan
pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim,
dalam menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim mengartikan
modernisasi adalah mencakup “pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan
sebagainnya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Di kalangan orientalis sendiri menilai reaksi modernisasi yang
dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap
Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan
misioneris Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban
barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “romantisisme” atas
kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia
Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat
mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama
dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk
modernisasinya.
Sehingga dengan demikian jelas dari perspektif historis harus
diakui bahwa istilah modernisasi ini untuk pertama kali diperkenal bukan
oleh sarjana Muslim didunia Islam melainkan oleh sarjana Barat dalam
konteks gejala keagamaan atau lebih tepat disebut sebagai suatu aliran
yang muncul dari tubuh agama Kristen dengan munculnya gerakan
“pembacaan baru” terhadap doktrin kegamaan supaya terkesan lebih
sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi,10 dan sangat dimungkin
kalau para modernis awal di kalangan dunia Islam sangat terinspirasi dari
gejolak modernisasi keagamaan.
2. Akar Historis Pergulatan Islam Dan Modernitas
Secara historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya
sudah berlangsung lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan
politik merosot tajam pada abad ke-18 M. Masuknya modernitas ke dalam
dunia Muslim melewati suatu proses yang disebut dengan l’irruption
(bahasa Perancis) yang berarti serbuan (militer). L’irruption pertama kali
terjadi ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi ke Mesir tahun
1798-1801. Ekspedisi Napoleon selanjutnya tidak hanya bermakna
penaklukan militer tetapi juga eksplorasi ilmiah, karena selain membawa
pasukan Napoleon juga membawa serta sekitar 500 ilmuwan ke Mesir.
Pada periode berikutnya setelah Mesir berhasil ditaklukkan dan
kemudian merambah ke wilayah lain, kaum Muslim secara tidak langsung
seperti disadarkan akan kelemahan-kelemahannya. Bersamaan dengan
ekspedisi Napoleon itu, berturut-turut negara-negara Eropa seperti
Belanda, Inggris, Portugis dan Italia juga melakukan kolonisasi dibeberapa
negara Muslim. Bahkan, negara-negara Eropa itu tidak hanya melakukan
kolonisasi, tetapi juga proses modernisasi, suatu paket besar yang
didalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama dan
budaya. Akibat proses modernisasi sebagai produk kolonialisme yang
awalnya lebih bersifat Eropanisasi dan Westernisasi itulah kemudian
muncul ketegangan di negara-negara Muslim.
Menurut Daniel Lerner, Ketegangan itu akhirnya melahirkan
semacam ‘kegagapan’ kaum Muslim dalam mengawinkan Islam sebagai
entitas yang sakral, dengan modernitas sebagai entitas yang profan.
Sementara, W. Brand menjelaskan fenomena ketegangan itu sebagai ‘salah
baca’ kaum Muslim terhadap modernitas. Menurutnya, hal ini bisa dilihat
dalam kasus Turki tahun 1924; ketika Mustafa Kemal Attaturk melakukan
serangkaian modernisasi, yang popluer dengan istilah ‘Kemalisme”
dengan 6 prinsipnya yakni, republikanisme, nasionalisme, populisme,
etatisme, sekularisme, dan reformisme. Melalui proyek ‘kemalisme’nya,
Kemal melakukan perombakan total seluruh institusi politik dan kultural
di Turki untuk kemudian diselaraskan dengan Barat, meski pada akhirnya
gagal total dan Kemal dicemooh karena kecerobohannya.
Kaum pembaharu di Turki, khususnya kelompok Kemal, dalam
menjalankan proyek modernisasinya hanya melibatkan teknikalisme
bangsa Turki. Ada dua kesalahan utama dalam pembaharuan di Turki.
Pertama, adanya kompleks psikologis dalam rangka penegasan ide tentang
modernitas (misalnya; Turki ingin diakui sebagai Eropa “yang maju”,
dibanding sebagai Asia “yang terbelakang”. Kedua, adanya pemutusan
warisan (tradisi) kultural yang sudah berakar sebelumnya di masyarakat,
khususnya yang menyangkut tradisi masyarakat Turki dan huruf Arab.
Berbeda dengan Turki, Jepang justru melakukan modernisasinya,
bukan dengan cara menginginkannya disebut sebagai Eropa, tetapi dengan
cara menegaskan keasliannya (originality). Jepang juga tidak melakukan
pemutusan warisan (tradisi) kulturalnya, tetapi melakukan asimilasi jiwa
kemodernan dengan kultur asli Jepang. Sumber inspirasi untuk menjadi
modern bukan Eropanisasi, tetapi semangat dan jiwa keagamaan Jepang
yakni Tokugawa. Pada perkembangan selanjutnya, berbeda dengan Turki
yang terbukti gagal dengan upaya modernisasinya, Jepang sejak Restorasi
Meiji 1868 justru berhasil menunjukkan keberhasilan modernisasinya
kepada dunia internasional, meskipun sempat mengalami jatuh bangun.
Singkatnya, banyak tokoh yang sepakat bahwa proses modernisasi
yang telah dan sedang berlangsung di berbagai belahan dunia Muslim akan
mengalami banyak hambatan jika melupakan tradisi. Jepang yang
memanfaatkan tradisi sebagai khasanah kultural untuk menjadi modal
dalam proses modernisasi itu terbukti berhasil. Sementara, Turki yang
mengabaikan hal itu justru dianggap gagal.

3. Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia


a. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi pembaharuan dan
modernisasi yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
(1868±1923). Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari
apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat).
Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak,
penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa
Ramadhan, shalat hari raya di lapangan, pemberian khutbah dalam
bahasa yang difahami jemaah, penghilangan bedug dari mesjid;
penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
pengurusan jenazah.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita
terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi
Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun
1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917.
Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918,
disamping perkumpulan Siswa praja Wanita dan Siswa praja Pria
sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing
menjadi Nasyi’at ul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah
tahun 1932.
b. Persatuan Islam
Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah
lengkap apabila kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan
yang bersifat ³caberawit´: kecil tetapi pedas. Itulah organisasi
Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17
September 1923 atau 5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai
Haji Zamzam (1894±1952), yang juga pernah bertahun-tahun
menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan
Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan
pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tokoh Persatuan
Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887±1958).Lahir dan
besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal
gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Ahmad
Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara
shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika
Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah,
rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan
da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan
buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di
media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan
Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis diIndonesia,
terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri 11
buku So’al Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia
dan Malaysia.
c. Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat
keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok,
yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini
pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut
mazhab Muhammad ibn Idrisasy-Syafi`i (767-820) dalam masalah
hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah
(700±767), mazhab Malik ibn Anas (711±795), dan mazhab Ahmad
ibn Hanbal (780±855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-
Asy`ari (873±935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896±944) dalam
masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi
(828±910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058±1111) dalam masalah
tasawuf.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk
membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di
Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama
Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab
1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H.
Hasyim Asy`ari (1871±1947). Kemudian menyusul duaorganisasi di
Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau
pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyahal-
Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab
1349).
Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan
mazhab Syafi`i. Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa
pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena
terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya,
sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang
dihadapi umat Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah
original melainkan “diekspor” dari bahasa asing (modernization), berarti
“terbaru” atau “mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu
(baru). Akan tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja
dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan
aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam menganalisis
pendapat para ahli tentang modernisaisi.
Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan
manusia dengan lingkungan sekitarnya di jaman modern.
Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni
dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa
itu 'modernisme'. Modernisme dan modernisasi dalam Islam lahir pada periode
modern dalam sejarah Islam

B. Saran
Dalam menyikapi modernisasi, kaum muslimin terbagi dalam tiga
kelompok. Pertama, yang menerima ide barat secara mutlak; kedua, yang
menolak sama sekali ide barat; dan ketiga, yang menerima secara selektif.
Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah,
Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki
kaumpembaharu´ hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons
tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Daniel Lerner, Memudarnya Masyarakat Tradisional, (Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 1983).

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II


(Jakarta: Balai Pustaka, 1989),

Nurcholish Madjid, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki,
(terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka
Panjimas.

Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekulerisasi, Cet. I (Yogyakarta: Tiara


Wacana Yogya, 1994),

Sumanto al-Qurtubi, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran


Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post
Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU

Anda mungkin juga menyukai