Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR REGIO LUMBAL

I. KONSEP PENYAKIT
1.1 Definisi
Tumor adalah pertumbuhan sel-sel tubuh yang abnormal. Sel
merupakan unit terkecil yang menyusun jaringan tubuh manusia. Masing-
masing sel mengandung gen yang berfungsi untuk menentukan pertumbuhan,
perkembangan, atau perbaikan yang terjadi dalam tubuh.
Tulang lumbal ini tergolong atau termasuk kedalam jenis tulang
belakang. Tulang belakang lumbal adalah lima ruas tulang belakang yang
terdapat diantara sangkar rusuk dan juga di bagian pelvis
Dengan demikian Tumor regio lumbal adalah tumor yang berkembang
diarea tulang lumbal. Tumor ini bisa berisfat kanker atau bukan kanker.
Tumor yang mempengaruhi tulang dari tulang belakang yang dikenal dengan
tumor tulang belakang (vertebral tumor). Sedangkan, tumor yang mulai
berkembang di dalam sumsum tulang belakang itu sendiri disebut tumor
sumsum tulang belakang. Tumor tulang belakang atau pertumbuhan apapun
dapat menyebabkan nyeri, masalah neurologis dan kadang-kadang
kelumpuhan. Tumor sumsum tulang belakang yang bersifat kanker atau non-
kanker dapat berakibat fatal dan menyebabkan cacat permanen.
1.2 Etiologi

a. Kondisi genetik.
Ada bukti tertentu pembentukan gen dan mutasi gen adalah faktor
predisposisi untuk beberapa tumor jaringan lunak, dalam daftar laporan gen
yang abnormal, bahwa gen memiliki peran penting dalam diagnosis.

b. Radiasi
Mekanisme yang patogenik adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi
yang mendorong transformasi neoplastik.
c. Lingkungan karsinogen
Sebuah hubungan antara eksposur ke berbagai karsinogen dan setelah itu
dilaporkan meningkatnya insiden tumor jaringan lunak.
d. Infeksi
Infeksi virus Epstein-Barr dalam orang yang kekebalannya lemah juga akan
meningkatkan kemungkinan tumor jaringan lunak.
e. Trauma
Hubungan antara trauma dan Soft Tissue Tumors nampaknya
kebetulan.Trauma mungkin menarik perhatian medis ke pra-luka yang ada
1.3 Tanda dan gejala
Tumor jinak biasanya tumbuh lambat, tidak cepat membesar, bila
diraba terasa lunak dan bila tumor digerakan relatif masih mudah digerakan
dari jaringan di sekitarnya dan tidak pernah menyebar ke tempat jauh.

a. Rasa sakit (nyeri),


b. Nyeri dan atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi
semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan
progresivitas penyakit).
c. Pembengkakan
d. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan
yang terbatas
e. Keterbatasan gerak
f. Fraktur patologik.
g. Menurunnya berat badan
h. Teraba massa; lunak dan menetap dengan kenaikan suhu kulit di atas
massa serta distensi pembuluh darah maupun pelebaran vena.
i. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam,
berat badan menurun dan malaise

1.4 Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari system ini dapat
dipengaruhi oleh sejumlah factor dan intensitas yang dirasakan berbeda
diantara tiap individu. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara
potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik,
ataupun termal. Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat
memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada
system assenden harus diaktifkan.
Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai mediator
inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri
merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah pergerakan sehingga
proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme
otot, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemia. Nyeri yang timbul dapat
berupa nyeri inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator
inflamasi; atau nyeri neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada system
saraf. Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan dua
kemungkinan.
Pertama, penekanan hanya terjadi pada selaput pembungkus saraf yang
kaya nosiseptor dari nervinevorum yang menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri
dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan serabut
saraf misalnya karena pergerakan. Kemungkinan kedua, penekanan mengenai
serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan biomolekuler di mana terjadi
akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan
timbulnya mechano-hot spot yang sangat peka terhadap rangsang mekanikal
dan termal. Hal ini merupakan dasar pemeriksaan Laseque
1.5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:

a. Pemeriksaan radiologis menyatakan adanya segitiga codman dan destruksi


tulang.
b. CT scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru.
c. Biopsi terbuka menentukan jenis malignansi tumor tulang, meliputi
tindakan insisi, eksisi, biopsi jarum, dan lesi-lesi yang dicurigai.
d. Skrening tulang untuk melihat penyebaran tumor.
e. Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan adanya peningkatan alkalin
fosfatase.
f. MRI digunakan untuk menentukan distribusi tumor pada tulang dan
penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya.
g. Scintigrafi untuk dapat dilakukan mendeteksi adanya “skip lesion”, (
Rasjad. 2003).

1.6 Komplikasi
Beberapa perubahan dan komplikasi yang turut dialami oleh organ tubuh
lainnya, yaitu:
- Kemampuan kulit untuk merasakan tekanan, rasa dingin atau panas
yang terhalang akibat kondisi ini membuat penderita rentan
mengalami luka atau nyeri pada area kulit yang mengalami tekanan
berlebihan dan terkena panas atau dingin.
- Pembuangan urine dari kandung kemih sulit untuk dikendalikan
akibat sel saraf yang bertugas sebagai pembawa pesan telah
mengalami cedera. Kondisi ini dapat memicu infeksi saluran
kemih, ginjal, dan kencing batu. Proses rehabilitasi akan membantu
penderita untuk belajar bagaimana mengendalikan kandung kemih
pasca cedera.
- Berkurangnya kendali tubuh untuk proses pembuangan air besar
yang turut berubah.
- Naiknya tekanan darah atau sebaliknya, menurun saat bangkit dari
posisi duduk, hingga pembengkakan pada tungkai yang dapat
memicu penggumpalan darah, seperti penyakit trombosis vena
dalam (deep vein thrombosis).
- Kejang otot atau kekencangan otot yang tidak terkontrol
(spastisitas), atau sebaliknya, otot yang lemas akibat berkurangnya
kekuatan (flasiditas).
- Gangguan pernapasan sebagai akibat dari pengaruh cedera saraf
tulang belakang pada otot perut dan dada.
- Penurunan berat badan dan degenerasi otot dapat membatasi
gerakan tubuh yang kemudian berisiko pada kondisi obesitas,
diabetes, dan penyakit yang berhubungan dengan organ jantung
(kardiovaskular).
- Nyeri otot, sendi atau saraf pada otot yang terlalu sering digunakan
pada penderita cedera saraf tulang belakang tidak lengkap.
- Kesehatan seksual, seperti fungsi organ seksual, tingkat kesuburan,
dan gairah seksual dapat turut terpengaruh akibat kondisi ini.
- Depresi dapat muncul akibat harus melalui perubahan-perubahan
yang dialami oleh tubuh dan rasa sakit akibat kondisi ini.

1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat
didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan
tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi
secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit.
Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi
kombinasi. Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau
radiasi dan kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya
meliputi adriamycin (doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau
metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin
digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi.
Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan
pemberian cairan normal intravena, diuretika, mobilisasi dan obat-obatan
seperti fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid.
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk menghancurkan atau
mengangkat jaringan maligna dengan menggunakan metode yang seefektif
mungkin.
Secara umum penatalaksanaan osteosarkoma ada tiga, yaitu:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan terpilih untuk tumor, dengan
tujuan mengangkat tumor seluruhnya, aman dan merupakan pilihan yang
efektif. Pada pengamatan kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien
terbebas secara keseluruhan dari gejala dan dapat beraktifitas kembali.
2. Terapi radiasi
Tujuan dari terapi radiasi adalah untuk memperbaiki kontrol lokal, serta
dapat menyelamatkan dan memperbaiki fungsi neurologik. Tarapi radiasi
juga digunakan pada reseksi tumor yang inkomplit yang dilakukan pada
daerah yang terkena.
3. Kemoterapi
Penatalaksanaan farmakologi pada tumor hanya mempunyai sedikit
manfaat. Kortikosteroid intravena dengan dosis tinggi dapat meningkatkan
fungsi neurologis untuk sementara tetapi pengobatan ini tidak dilakukan
untuk jangkawaktu yang lama. Walaupun steroid dapat menurunkan
edema vasogenik, obat-obatan ini tidak dapat menanggulangi gejala akibat
kondisi tersebut. Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama dapat
menyababkan ulkus gaster, hiperglikemia dan penekanan system imun
dengan resiko cushing symdrome dikemudian hari.
1.8 Pathway
II. RENCANA ASUHAN KLIEN DENGAN GANGGUAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
a. Riwayat Penyakit
 Keluhan Utama (keluhan yang dirasakan pasien saat
dilakukan pengkajian)
b. Riwayat penyakit sekarang
 Diskripsi gejala dan lamanya
 Dampak gejala terhadap aktifitas harian
 Respon terhadap pengobatan sebelumnya
 Riwayat trauma
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
 Immunosupression (supresis imun)
 Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
(kanker)
 Nyeri yang menetap merupakan pertimbangan untuk
kangker atau infeksi.
 Pemberatan nyeri di kala terbaraing (tumor instraspinal
atau infeksi) atau pengurangan nyeri (hernia nudeus
pulposus / HNP)
 Nyeri yang paling berat di pagi hari (spondiloartropati
seronegatif: ankylosing spondyli-tis, artristis psoriatic,
spondiloartropati reaktif, sindroma fibromialgia)
 Nyeri pada saat duduk (HNP, kelainan faset sendi,
stenosis kanal, kelahinan otot paraspinal, kelainan sendi
sakroilikal, spondilosis / spondilolisis / spondilolistesis,
NPB-spesifik)
 Adanya demam (infeksi)
 Gangguan normal (dismenore, pasca-
monopause/andropause)
 Keluhan visceral (referred pain)
 Gangguan miksi
 Saddle anesthesia
 Kelemahan motorik ekstremitas bawah (kemungkinan
lesi kauda ekwina)
 Lokasi dan penjalaran nyeri.

2.1.2 Pemeriksaan fisik ; data fokus


1. Keadaan Umum
2. Pemeriksaan persistem
3. Sistem persepsi dan sensori
(pemeriksaan panca indera : penglihatan, pendengaran,
penciuman, pengecap, perasa)
4. Sistem persarafan (Pemeiksaan neurologik)
- Pemeriksaan motorik
- Pemeriksaan sens sensorik.
- Straight leg Raising (SLR), test laseque (iritasi radisks L5
atau S 1) cross laseque(HNP median) Reverse Laseque (iritasi
radik lumbal atas)
- Sitting knee extension (iritasi lesi iskiadikus)
- Pemeriksaan system otonom
- Tanda Patrick (lasi coxae) dan kontra Patrick (lesi sakroiliaka)
- Tes Naffziger
- Tes valsava
5. Sistem pernafasan
(Nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan jalan nafas.)
6. Sistem kardiovaskuler
(Nilai tekanan darah, nadi, irama, kualitas, dan frekuensi)
7. Sistem Gastrointestinal
(Nilai kemampuan menelan,nafsu makan, minum, peristaltic
dan eliminasi)
8. Sistem Integumen
(Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit pasien )
9. Sistem Reproduksi
( Untuk pasien wanita )
10. Sistem Perkemihan
(Nilai Frekuensi Bak, warna, bau, volume )
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
a. Sinar X vertebra ; mungkin memperlihatkan adanya fraktur,
dislokasi, infeksi, osteoartritis atau scoliosis.
b. Computed tomografhy ( CT ) : berguna untuk mengetahui
penyakit yangmendasari seperti adanya lesi jaringan lunak
tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus
intervertebralis.
c. Ultrasonography : dapat membantu mendiagnosa penyempitan
kanalis spinalis.
d. Magneting resonance imaging ( MRI ) : memungkinkan
visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang.
e. Meilogram dan discogram : untuk mengetahui diskus yang
mengalami degenerasi atau protrusi diskus.
f. Venogram efidural : Digunakan untuk mengkaji penyakit
diskus lumbalis dengan memperlihatkan adanya pergeseran
vena efidural.
g. Elektromiogram (EMG) : digunakan untuk mengevaluasi
penyakit serabut syaraf tulang belakang ( Radikulopati )
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1 : Nyeri akut
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial yang
digambarkan sebagai kerusakan.
2.2.2 Batasan karakteristik
- Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
- Puts asa
- Sikap melindungi area nyeri
- Dilatasi pupil
- Diaforesis
- Ekspresi wajah nyeri

2.2.3 Faktor yang berhubungan


- Agen cedera biologis
- Agen cedera fisik
- Agen cedera kimiawi

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik

2.2.4 Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah
2.2.5 Batasan karakteristik
- Gangguan sikap berjalan
- Kesulitan membolak-balik posisi
- Ketidaknyamanan
- Penurunan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus
- Penurunan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
2.2.6 Faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Gangguan metabolisme
- Gangguan muskuloskeletal
- Gangguan neuromuskular
- Kaku sendi
- Nyeri

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Nyeri akut
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri
berkurang / hilang dengan kriteria :
Tingkat nyeri (2102)
1. Melaporkan nyeri berkurang / hilang
2. Frekuensi nyeri berkurang / hilang
3. Lama nyeri berkurang
4. Ekspresi oral berkurang / hilang
5. Ketegangan otot berkurang / hilang
6. Dapat istirahat
7. Skala nyeri berkurang / menurun
2.3.2 Intervensi
Manajemen nyeri (1400)
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
karateristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi).
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi terapetik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien.
4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
5. Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan lain tentang ketidak
efektifan kontrol nyeri masa lampau.
6. Bantu klien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan.
7. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri (suhu
ruangan, pencahayaan, dan kebisingan)
8. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
9. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmokologi, non
farmakologi dan interpersonal)
10. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
11. Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
12. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
13. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
14. Tingkatkan istirahat
15. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
16. Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien
mampu mencapai mobilitas fisik dengan kriteria :
Mobility Level (0208) :
1. Klien dapat melakukan mobilitas secara bertahap dengan tanpa
merasakan nyeri
2. Penampilan seimbang
3. Menggerakkan otot dan sendi
4. Mampu pindah tempat tanpa bantuan
5. Berjalan tanpa bantuan
2.3.4 Intervensi
1. Koreksi tingkat kemampuan mobilisasi dengan sekala 0-4
0 : Klien tidak tergantung pada orang lain
1 : Klien butuh sedikit bantuan
2: Klien butuh bantuan sederhan
3 : Klien butuh bantuan banyak
4 :Klien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
2. Atur posisi klien
3. Bantu klien melakukan perubahan gerak.
4. Observasi / kaji terus kemampuan gerak motorik,
keseimbangan
5. Ukur tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan latihan.
6. Anjurkan keluarga klien untuk melatih dan memberi motivasi.
7. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi untuk
pemasangan korset)
8. Buat posisi seluruh persendian dalam letak anatomis dan
nyaman dengan memberikan penyangga pada lekukan lekukan
sendi serta pastikan posisi punggung lurus.
DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr. Satyanegara MD, Ilmu Bedah Syaraf IV, Gramedia Pustaka Utama, jakarta
2013

Fransisca B Batticaca, Asuhan Keperawatan Klien dgn Gangguan Persarafan,


Salemba Medika, jakarta 2008

Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002

Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA AN “M” DENGAN DIAGNOSA PENYAKIT
TUMOR REGIO LUMBAL
DI RUANGAN KETILANG RS. BHAYANGKARA MAKASSAR

OLEH

NURLELA MUSLIMIN , S.Kep

21807036

CI. LAHAN CI. INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIK MAKASSAR

PERIODE 2018-2019

Anda mungkin juga menyukai