Anda di halaman 1dari 5

Nama : Yuni Astuti

Nim : 16.05.51.0144
Makul : Manajemen Dana dan Jasa Bank

DEREGULASI 1 JUNI 1983

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di
antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito.
Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini
juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar
Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan
Indonesia di masa mendatang.
Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal
itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di
bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa
membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan
membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank
swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh
bank-bank milik negara dihapuskan.
Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk
mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah
bank di Indonesia.

Analisa:
Deregulasi perbankan adalah keadaan dimana terjadinya perubahan peraturan dalam
perbankan, khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum tangguhnya keadaan perbankan
Indonesia, disebabkan perbankan Indonesia adalah warisan dari negara penjajah di Indonesia
sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengelola perbankan dengan baik dan Indonesia
memang tidak didasari untuk belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur
soal bank.
Deregulasi ini dimaksudkan dengan tujuan membuat suasana perbankan di Indonesia
lebih stabil. Maka dibuatlah kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang perbankan Indonesia.
Mulai dari 1 juni tahun 1983 yang memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk
menentukan suku bunga deposito. Dilanjutkan dengan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto
88) hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru
sehingga pada masa itu meledaklah jumlah bank di Indonesia.

1|Page
Nama : Yuni Astuti
Nim : 16.05.51.0144
Makul : Manajemen Dana dan Jasa Bank

Dampak Deregulasi 1 Juni 1983


Deregulasi perbankan yang dilakukan pemerintah melalui Paket Juni 1983 dan Paket
1988 telah berakibat tingkat persaingan antar bank menjadi tajam. Perubahan lingkungan
perbankan telah melahirkan pula inovasi dibidang keuangan antara lain dalam bentuk pasar
modal. Dampak positif yang ditimbulkan oleh kondisi tersebut adalah tumbuhnya perbankan dan
pasar modal secara menakjubkan. Peluang yang dapat dimanfaatkan adalah pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik, tersedianya alternatif pemanfaatan teknologi dan kondisi politik/
hukum yang mendukung. Ancaman yang ada berupa persaingan yang mengakibatkan semakin
meningkatnya profesionalisme pesaing, globalisasi yang membuka pasar perbankan, munculnya
altematif pembiayaan lain diluar perbankan dan sikap nasabah yang semakin kritis.

2|Page
Nama : Yuni Astuti
Nim : 16.05.51.0144
Makul : Manajemen Dana dan Jasa Bank

DEREGULASI 27 OKTOBER 1988

Paket kebijaksaan Oktober 1988 atau Pakto 88


merupakan paket kebijakan ekonomi deregulasi perbankan di era Orde Baru. Paket
tersebut adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan
modal Rp 10 milyar (pada tahun 1988) siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober
1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan
itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang
dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta
volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.

Prelude (Paket Ekonomi Juni 1983)


Paket Ekonomi Oktober 1988 sendiri merupakan kelanjutan dari Paket Ekonomi Juni
1983 atau Pakjun 1983. Tepatnya pada 1 Juni, pemerintahan Orde Baru meluncurkan Paket
Kebijakan Juni, yang beken dengan singkatan Pakjun 83. Pakjun 83 ini menderegulasi aturan di
bidang moneter dan perbankan. Pemerintah membebaskan penyaluran kredit perbankan melalui
pencabutan pagu suku bunga dan kredit, termasuk kredit-kredit khusus yang dikeluarkan Bank
Indonesia.
Awalnya, tak banyak yang tahu kebijakan ini karena proses keluarnya paket ini dalam
suasana rahasia dan mendesak. Perbankan tak diajak 'ngobrol' atau diskusi oleh pemerintah
sebelum membuat Pakjun 83. Akan tetapi, perbankan senang dengan kebijakan ini karena
sebelumnya pemerintah sangat membatasi penyaluran kredit perbankan nasional. Namun,
Pakjun 83 tidak mampu mendongkrak kinerja kredit perbankan secara maksimal. Bank
Indonesia mencatat, total penyaluran kredit perbankan tahun 1981/1982 Rp 8,05 triliun,
kemudian naik menjadi Rp 11,27 triliun pada tahun buku 1982/1983.

Pakto 88
Merasa pergerakan ekonomi belum maksimal, pemerintahan Soeharto melalui Gubernur
BI Adrianus Mooy kemudian menelurkan beragam paket kebijakan (lihat tabel). Paket kebijakan
paling fenomenal pada era Soeharto adalah paket paket kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto
88. Pakto 88 membabat habis aturan yang menyulitkan pendirian bank. "Pakto angin segar bagi
industri perbankan di Tanah Air dan menjadi titik balik industri perbankan nasional," ujar

3|Page
Nama : Yuni Astuti
Nim : 16.05.51.0144
Makul : Manajemen Dana dan Jasa Bank

Pengamat Ekonomi dan Direktur Institute for Development Economic and


Finance (INDEF) Enny Sri Hartati.
Salah satu ketentuan fundamental (dasar) dalam Pakto 88 adalah pendirian bank swasta
nasional dipermudah. Cukup dengan modal minimum Rp 10 miliar,publik dapat mendirikan
bank umum. Adapun untuk pendirian bank perkreditan rakyat (BPR), syaratnya modal minimum
sebesar Rp 50 juta. Kemudahan juga diberikan untuk pembukaan kantor cabang baru hingga
tingkat kecamatan, untuk semua bank maupun BPR. Hasilnya, industri perbankan nasional
pun booming. Bank yang ada langsung memanfaatkan kebijakan ini untuk ekspansi dengan
membuka kantor cabang di mana-mana. Bank-bank baru pun tumbuh seperti jamur di musim
penghujan.
Bank Indonesia mencatat pada September 1988, jumlah perbankan nasional hanya 108
bank umum yang terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, 11 bank
campuran. Total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359 unit. Tetapi setelah adanya
Pakto 88, pada akhir tahun buku 1988/1999 jumlahnya meningkat menjadi 1.525 unit. Puncak
penambahan bank adalah tahun 1994, di mana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank
campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit. Bank-bank milik pemerintah yang menguasai lebih dari
50% pasar perbankan pun berkembang. Penghimpunan dana masyarakat dan kredit bank
pemerintah semaking meningkat.
Daftar isi Paket Kebijakan 27 Oktober 1988:
 Izin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR dipermudah dengan persyaratan modal
ringan.
 BI mengizinkan patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional (joint venture)
dengan komposisi kepemilikan asing maksimal 85% dan minimum 15% bank nasional.
Modal minimum bank campuran sebesar Rp 50 miliar.
 Penurunan giro wajib minimum (GWM) dari 15% hutang lancar menjadi 2% dari total dana
pihak ketiga (DPK).
 Bank boleh melakukan diferensiasi produk dalam bentuk tabungan dan deposito,
sebelumnya hanya ada Tabanas dan Taska.
 Kemudahan bagi bank swasta mendapatkan izin perdagangan valuta asing.

Tujuan Pakto 88
Salah satu tujuan adanya Pakto 88 (menurut pemerintah) antara lain mengurangi modal
investasi lari ke luar negeri sehingga pemerintah memberikan kelonggaran pada swasta untuk

4|Page
Nama : Yuni Astuti
Nim : 16.05.51.0144
Makul : Manajemen Dana dan Jasa Bank

membuka bank. Hanya dengan modal Rp 10 milyar sebuah bank sudah bisa didirikan. Walau
batas modal pendirian itu belakangan diketatkan menjadi Rp 50 milyar dan kemudian Rp 150
milyar, jumlah bank-bank swasta di Indonesia kontan saja melonjak pesat. Jika sebelum Pakto
ada 65 bank yang beroperasi, setelah Pakto 88 jumlah bank-bank swasta sudah melebihi angka
200 (belum termasuk bank perkreditan rakyat di pelosok yang jumlahnya ratusan)
Selain itu, Pakto 88 juga memiliki tujuan menggerakkan ekonomi non migas. "Saat itu
pemerintah memang ingin menggenjot perekonomian melalui sektor perbankan, karena sumber
ekonomi utama saat itu, yakni industri migas melemah," menurut Ekonom Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), Doddy Ariefianto. Dari tahun 1970-an, hingga awal 1980-an, Indonesia sedang
jaya-jayanya karena industri migas. Harga minyak yang tinggi menjadikan penerimaan
negara surplus. Akan tetapi, setelah harga minyak melemah, pemerintah harus mencari sumber
perekonomian yang lain, salah satunya perbankan.
Kebijakan 88 memang berdampak positif bagi perbankan Indonesia, yang pada periode
sebelumnya susah berkembang."Selain untuk memoderenkan perbankan nasional, Pakto 88 juga
berhasil mendorong perekonomian nasional," terang Doddy. Catatan Bank Indonesia, pasca
lahirnya Pakto 88, perekonomian nasional selalu tumbuh di atas 6,5%. Tahun 1988, ekonomi RI
hanya tumbuh 5,8%, namun setelah adanya Pakto 88 tapi melesat menjadi 7,5% pada 1989, dan
7,1% pada tahun 1990, dan 6,6% tahun 1991.

Dampak Pakto 88
Pakto 88 juga mempunyai dampak negatif yaitu dalam bentuk penyalahgunaan
kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI
secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan
badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan
untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk
modernisasi sistem keuangan pedesaan.

5|Page

Anda mungkin juga menyukai