Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN


DENGAN KESEHATAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL
MASYARAKAT DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Aspek Sosial Budaya Kesehatan

DOSEN PENANGGUNG JAWAB MATA KULIAH


Drs. Anwar Hassan, MPH

Disusun Oleh:

KELOMPOK I
Citra Br Aritonang 1606944375
Gusrini Apon 1606944690
Laili Nova Malini 1606944873
Mina Septiani 1606945094
Noralisa 1606945150
Rika Fianti 1506786895
Rini Kurniawati 1606945333

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
OKTOBER 2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam setiap kehidupan masyarakat, selalu terdapat perbedaan antar
individu maupun kelompok yang merupakan fenomena umum dalam ilmu
sosial. Perbedaan tersebut dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Perbedaan
horizontal dikenal pula sebagai diferensiai sosial, merupakan perbedaan antar
individu tanpa adanya peringkat atau jenjang. Seluruh unsur bersifat setara,
tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah, seperti etnis, agama, ras, jenis
kelamin dan lain sebagainya. Sedangkan perbedaan antar secara vertikal
merupakan perbedaan individu dalam lapisan-lapisan sosial yang bersifat
hirarkis. Terdapat peringkat atau jenjang yang membedakan posisi sosial
seseorang dengan yang lain dalam masyarakat. Perbedaan seperti ini disebut
pula pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (Pattinasarany, 2016).
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya, bukan hanya kekayaan
alamnya saja tetapi juga ragam suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan adat
istiadat. Indonesia memiliki ratusan nama suku bahkan ribuan jika dirinci
hingga subsukunya. Berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2010 terdapat
setidaknya 1331 kategori suku yang ada di Indonesia. Sejumlah 1331 kategori
tersebut termasuk nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku,
bahkan nama sub dari sub suku. Dari 1331 kategori tesebut kemudian
diidentifikasi menjadi 633 kelompok suku besar. Pengelompokan suku
dilakukan berdasarliteratur seperti buku ensiklopedi suku maupun dari
pengetahuan para jejaring yang tersebar di seluruh Nusantara (BPS, 2010).
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri
atas 33 kabupaten/ kota yang juga memiliki keanekaragaman etnik dan agama,
topografi dan kondisi sumber daya manusianya tersendiri. Sumatera Utara
dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis lokal maupun internasional seperti
melayu, batak, minang, jawa, aceh, tionghoa india, dan india tamil. Suku batak
sendiri yang merupakan etnis asli Sumatera Utara terdiri dari beberapa sub
suku, diantaranya Batak Alas Kluet, Batak Angkola/ Angkola, Batak
Dairi/Dairi/Pakpak/Pakpak Dairi, Batak Pak-Pak, Batak Karo, Batak
Mandailing, Batak Pesisir, Batak Samosir, Batak Simalungun/ Simelungun
Timur, Nias dan Batak Toba (BPS, 2010). Masing masing etnis memiliki
bahasa, kesenian, budaya, maupun stratifikasi sosial yang berbeda.
Kondisi keberagaman sosial budaya di Sumatera Utara ini merupakan
potensi sekaligus dapat menjadi hambatan dalam pembangunan, khususnya
sektor kesehatan. Pemerintah dan berbagai sektor terkait pembangunan
kesehatan harus lebih jeli dalam mengenali potensi serta hambatan dari aspek
budaya masyarakat tersebut. Sehingga aspek budaya yang memiliki selaras
dengan pesan pembangungan kesehatan dapat dijadikan sarana potensial dalam
mempercepat pembangunan kesehatan sekaligus melestarikan kebudayaaan
lokal. Namun apabila kebudayaan tersebut justeru bertentangan dan menjadi
hambtan bagi perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka harus bersama-
sama mencari strategi yang paling tepat dalam membangun kesadaran
masyarakat mengenai pola hidup sehat tanpa mengurangi nilai budaya yang
terkandung didalamnya.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang pola sosial
masyarakat dan kebudayaan dari daerah Sumatera Utara yang berkaitan dengan
kesehatan serta bentuk-bentuk stratifikasi sosial yang ada.

B. Rumusan Masalah
Apa saja ragam sosial budaya yang berpotensi meningkatkan/ menurunkan
kesehatan dan stratifikasi sosial di Provinsi Sumatera Utara?

C. Tujuan Penulisan
Mengetahui ragam sosial budaya yang berpotensi meningkatkan/menurunkan
kesehatan dan stratifikasi sosial di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebudayaan
dengan kesehatan di Sumatera Utara sehingga mampu mengaplikasikannya.
BAB II
GAMBARAN UMUM

A. Kondisi Geografis
Provinsi Sumatera Utara beribu kota di Medan, Terletak antara 10 - 40
Lintang Utara dan 980 - 1000 Bujur Timur (BPS Sumatera Utara, 2014). Batas
wilayahnya sebelah utara provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Selat
Sumatera, sebelah Timur di batasi oleh Selat Malaka, sebelah Selatan dibatasi
oleh Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan sebelah Barat berbatasan dengan
Samudera Hindia (Dinas Kesehatan Prov. Sumatera Utara, 2015).
Daerahnya terdiri atas pantai dan dataran rendah di sebelah timur dan
barat provinsi ini, dan dataran tinggi yang terdapat di dataran tinggi Karo, Toba
dan Humbang. Gunung-gunungnya antara lain Sibayak, Sinabung,
Martimbang, Sorik Marapi dan lain-lain. Kemudian sungai-sungainya adalah
sungai Wampu, Batang Serangan, Deli, Asahan dan lain-lainnya. Kekayaan
alam yang dimiliki Sumatera Utara adalah minyak bumi, batu bara, belerang,
emas dan sebagainya yang merupakan hasil tambang. Dan kini provinsi ini lebih
dikenal lagi dengan bendungan raksasa Asahan dengan air terjun Sigura-gura
yang merupakan proyek besar pembangkit tenaga listrik. Flora ada bermacam-
macam, dari tanaman yang ada di hutan dengan hasil hutan kayu, damar dan
rotan, juga tanaman yang diusahakan oleh penduduk seperti padi, sayur-sayuran
dan tanaman perkebunan lainnya (BPKP, 2014).
Perkembangan wilayah Provinsi Sumatera Utara mengikuti dinamika
kehidupan sosial ekonomi dan perpolitikan di Indonesia. Sampai dengan akhir
tahun 2009, secara administratif wilayah Provinsi Sumatera terdiri dari 25
Kabupaten dan 8 Kota, 436 Kecamatan, 692 Kelurahan dan 5418 Desa
(Pusdatin Kemenkes, 2017). Dengan luas daratan 71.680 km2. Peta wilayah
Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar2.1.
Gambar 2.1. Peta wilayah Provinsi Sumatera Utara

B. Kependudukan
Penduduk Sumatera Utara menurut golongan etnis terdiri dari
penduduk asli Sumatera Utara, penduduk asli pendatang dan penduduk asing.
Yang termasuk penduduk asli ialah: suku Melayu, Batak Karo, Simalungun,
Fak-fak/Dairi, Batak Toba, Mandailing, Pesisir dan Nias. Golongan pribumi
pendatang adalah suku: Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Minahasa, Banjar,
Palembang, Riau, Minangkabau dan lain-lain, sedangkan penduduk asing
adalah orang-orang Arab, India, Cina dan bangsa-bangsa lain. Penduduk
Sumatera Utara sekitar 80% tinggal di desa-desa sebagai petani dan lainnya
tinggal di kota sebagai pedagang, pegawai, tukang dan sebagainya (BPKP,
2017).
Susunan masyarakat di daerah Sumatera Utara adalah berdasarkan
genealogis-teritorial atau suatu keturunan daerah dan wilayah, misalnya suku
Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan di wilayah Sumatera Timur atau
Melayu adalah berdasarkan teritorial. Bila ditinjau dari kekerabatan dari segi
garis keturunannya, maka suku Batak dan Nias adalah patrinileal yaitu garis
keturunan yang dipandang dari garis keturunan Batak, dan suku Melayu adalah
parental, yaitu garis keturunan yang dipandang dari kedua belah pihak, bapak
dan ibu. Kelompok kekerabatan Nias disebut Sangabato yakni keluarga batih
dan keluarga luas yang disebut sangabato sehua. Gabungan dari sangabato
sehua dari satu leluhur disebut mado yang dapat disamakan dengan marga pada
suku Batak, yakni klen besar patrilokal.
Sumatera Utara merupakan provinsi keempat yang terbesar jumlah
penduduknya di Indonesia. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Sumatera Utara, jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2014 tercatat
sebesar 13.766.851 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 192 per
km2 (Dinas Kesehatan Prov. Sumatera Utara, 2015).

C. Kondisi Kesehatan
1. Angka Kematian Bayi (AKB)
AKB adalah jumlah bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun,
yang dinyatakan dalam 1000 kelahiran hidup. AKB di Sumatera Utara tahun
2014 adalah 4,4 / 1000 Kelahiran Hidup (KH). Rendahnya angka ini
mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang melaporkan adalah kasus
kematian yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan, sedangkan kasus
kematian yang terjadi di masyarakat belum seluruhnya terlaporkan (Dinas
Kesehatan Sumatera Utara, 2015).
2. Angka Kematian Balita (AKABA)
AKABA adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5
tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup.
Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012
diperoleh bahwa AKABA di Sumatera Utara sebesar 54/1000 KH (Dinas
Kesehatan Sumatera Utara, 2015).
3. Angka Kematian Ibu (AKI)
AKI adalah jumlah kematian ibu akibat dari proses kehamilan, persalinan
dan pasca persalinan per 100.000 kelahiran hidup pada masa tertentu.
Berdasarkan laporan dari profil kabupaten / kota, AKI di Sumatera Utara
adalah 75/100.000 KH. Namun ini belum bisa menggambarkan AKI yang
sebenarnya di populasi. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, AKI di
Sumatera Utara sebesar 328/ 100.000 KH (Dinas Kesehatan Sumatera
Utara, 2015).
4. Penyakit Menular dan Tidak Menular
Berikut adalah tabel tentang jumlah kasus terjadinya penyakit menular
maupun penyakit tidak menular di Sumatera Utara pada tahun 2014 (Dinas
Kesehatan Sumatera Utara, 2015).
Tabel 2.1. Jumlah Kasus Penyakit Menular dan Tidak Menular di
Sumatera Utara Tahun 2014
JenisPenyakit JumlahKasus (orang)
Diare 294.611
Pneumonia 157.625
TB Paru 22.026
HIV 4.020
AIDS 4.889
Kusta 1,3/ 100.000
DBD 7.140
Filariasis 19
PD3I: Difteri 5
Tetanus 13
Tetanus Neo 2
Campak 268
Polio 1

D. Sumber Daya Kesehatan


1. Sarana Kesehatan
Jumlah sarana kesehatan di Sumatera Utara sampai tahun 2014 adalah
seperti pada tabel berikut ini (Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2015):
Tabel 2.2. Jumlah Sarana Kesehatan di Sumatera Utara Tahun 2014
No SaranaKesehatan Jumlah
1. Puskesmas:
Puskesmas Perawatan 176
Puskesmas Non Perawatan 394
No SaranaKesehatan Jumlah
Puskesmas Pembantu 1927
Puskesmas Keliling 444
2. Rumah Sakit:
Rumah Sakit Pemerintah 60
Rumah Sakit Swasta 146
3. Posyandu:
Posyandu Pratama 2.026
Posyandu Madya 7.031
Posyandu Purnama 6.130
Posyandu Mandiri 400

2. Tenaga Kesehatan
Rasio Tenaga Kesehatan dengan Jumlah Penduduk adalah 1 : 100.000.
Berikut adalah tabel perbandingan jumlah tenaga kesehatan dan penduduk
di Provinsi Sumatera Utara (Kemenkes RI, 2016).
Jumlah Fasyankes 902
Dokter Umum 1 : 21
Dokter Gigi 1:6
Perawat 1 : 112
Bidan 1 : 116
Farmasi 1 : 12
Kesehatan Masyarakat 1 : 11
Kesehatan Lingkungan 1:4
Gizi 1:7
Ahli Teknologi Laboratorium 1:6
Medik
BAB II
KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DAERAH PROVINSI
SUMATERA UTARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEHATAN

A. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Menurut Clifford Geertz merujuk kepada Klukhohn (seorang
antropologi) berasumsi bahwa kebudayaan itu sebagai cermin bagi
manusia (mirror of man) sehingga dia mengajukan interpretasi terhadap
makna budaya, bahwa kebudayaan itu merupakan:
a. Keseluruhan pandangan hidup dari manusia
b. Sebuah warisan sosial yang dimiliki oleh individu dari kelompoknya
c. Cara berfikir, perasaan dan mempercayai
d. Abstraksi dan perilaku
e. Bagian penting dari teori para antropolog tentang cara-cara di mana
sebuah kelompok orang menyatakan kelakuannya
f. Sebuah gudang pusat pembelajaran
g. Sebuah unit standarisasi orientasi untuk mengatasi berbagai masalah
yang berulang-ulang
h. Perilaku yang dipelajari
i. Sebuah mekanisme bagi pengaturan regulatif atas perilaku
j. Kesimpulan teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan lain
dan orang lain
k. Lapisan atau endapan dari sejarah manusia
l. Peta perilaku, matriks perilaku dan saringan perilaku
Budaya adalah “metakomunikasi sistem” dimana tidak hanya kata
yang diucapkan yang memberi makna, tetapi segala sesuatu yang lain juga
(Matsumoto & Matsumoto, 1989). Budaya adalah pikiran, komunikasi,
tindakan, keyakinan, nilai, dan lembaga-lembaga ras dan etnik, agama atau
kelompok sosial (OMH,2001). Budaya adalah segala sesuatu yang
dihasilkan dari kehidupan individu dan kelompoknya.
2. Wujud kebudayaan
Berbagai macam wujud kebudayaan antara lain:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Merupakan
wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau
dilihat. Letaknya ada di dalam pikiran warga masyarakat dimana
kebudayaan bersangkutan itu hidup. Dikenal dengan adat istiadat atau
sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis
warga masyarakat bersangkutan.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat, disebut juga sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi, berhubungan, bergaul yang berdasarkan adat sosial tata
kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkrit, serta terjadi di keliling kita
sehari-hari, bisa diobservasi, dilihat dan didokumentasikan.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut
kebudayaan fisik, dan tak banyak memerlukan penjelasan. Merupakan
seluruh total dari hasil fisik dan aktifitas, perbuatan dan karya semua
manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret, atau berupa
benda-benda atau hal-hal yang dapat di raba, dilihat, dan difoto. Hasil
karya manusia seperti candi, computer, pabrik baja, kapal, batik
sampai kancing baju.
3. Nilai Budaya
Nilai merupakan unsur penting dalam kebudayaan, nilai
membimbing manusia untuk menentukan sesuatu itu boleh dilakukan atau
tidak, nilai bersifat abstrak dan nilai membentuk sikap kita tentang sesuatu
apakah itu bermoral dan tidak bermoral, baik atau buruk, benar atau salah,
dan indah atau buruk.
4. Norma Budaya
Nilai dapat dibedakan dari norma, nilai hanya meliputi penilaian
tentang baik buruknya objek, peristiwa, tindakan atau kondisi, sedangkan
norma lebih merupakan standar prilaku. Norma merupakan nilai-nilai
budaya yang merupakan standar kelompok, dasar dari kehidupan sebuah
kelompok, jika nilai memperkenalkan kita bagaimana berprilaku
sepantasnya maka norma secara khusus menggariskan kontrol terhadap
perilaku. Sebuah norma adalah aturan yang mengatur tentang hukuman
atau ganjaran dalam berbagai bentuk sesuai dengan variasi posisi sosial
orang dalam relasi antar manusia. Semua tindakan manusia memiliki
akibat tertentu dan norma secara khusus memberi akibat sosial bagi
seseorang yang melangar aturan tersebut. Bentuk-bentuk norma antara
lain:
a. Cara
Merujuk pada suatu bentuk perbuatan, norma ini memeiliki kekuatan
yang lemah, merupakan perbuatan yang diulang-ulang. Contohnya:
Menghirup kopi panas dengan bunyi, jika dilakukan tidak ada saksi apa-
apa.
b. Kebiasaan
Menurut Sumnner kebiasaan sebagai aturan adat istadat yang dapat
dilihat dalam belbagai situasi, namun tidak cukup kuat mengatur
kelompok. Misalnya: Bercakap-cakap sebelum rapat, hal ini juga tidak
melanggar apa-apa.
c. Tata Kelakuan
Tata kelakuan berisi perintah dan larangan sehingga anggota
masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
Contohnya: Perihal antara hubungan pria dan wanita
d. Adat Istiadat
Anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menerima saksi
yang keras . Contohnya : Perkawinan antar strata di Sumba dan Bali,
akan mendapat sanksi yang keras misalnya dikeluarkan dari strata
tersebut. Nilai dan norma diperlukan sebagai kontrol perilaku
kehidupan manusia sehari-hari.
B. Upacara Adat
Beberapa contoh upacara adat di daerah Sumatera Utara yang terkait kehamilan
dan persalinan, yaitu:
1. Upacara Kehamilan (Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru)
Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh
seorang ibu yang usia kandungannya tujuh bulan. Pihak keluarga membawa
makanan seperti ikan mas dan nasi untuk diberikan kepada Ibu yang
mengandung dengan harapan anak yang dilahirkan sehat begitu pula ibu
yang melahirkan.
2. Upacara Kelahiran (Mangharoan)
Setelah ibu melahirkan dukun akan memotong tali pusat bayi
dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat dengan
ukuran 3 jari bayi. Kemudian ari-ari bayi ditanam di sawah. Ari-ari
dimasukkan dalam tandok kecil yang dianyam dari pandan bersama dengan
1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut dan 7 lembar daun sirih. Dukun akan
memecah kemiri dan mengunyahnya kemudian memberikannya kepada
bayi baru lahir dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari
kandungan dan membersihkan perjalanan pencernaan makanan yang
pertama yang disebut tilan (kotoran pertama).
Dukun memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam
bersama soit dan hurungan tondi. Soit adalah sebuah anyaman kalung yang
terbuat dari kayu. Hurungan Tondi adalah buah kayu yang bernama kayu
Hurungan Tondi, buah kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini
mempunyai kegunaan agar jauh dari segala mara bahaya, tekanan angin,
petir dan seluruh setan jahat.
Untuk perawatan ibu yang baru melahirkan, diberikan makanan
dugu-dugu, yaitu sebuah makanan ciri khas Batak Toba pada saat
melahirkan, yang terbuat dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan
kelapa. Makanan ini berfungsi untuk melancarkan peredaran darah bagi ibu
yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor, menambah produksi ASI
dan memberikan kekuatan melalui ASI kepada anaknya.
Mangharoan adalah upacara adat setelah 2 minggu kelahiran bayi
dalam kepercayaan masyarakat Batak. Dalam upacara Mangharoan ini akan
dilakukan perjamuan makan bersama yang dilakukan oleh pihak keluarga
dengan para tetangga. Ibu akan diberikan asupan makanan yang diharapkan
bisa memperlancar ASI. Upacara Mangharoan ini bertujuan mendekatkan
diri secara lebih antara anak dengan ayah dan ibunya agar keterikatan
mereka bisa terjaga dengan baik untuk ke depannya.
3. Upacara Permandian dan Pemberian Nama (Martutu aek)
Martutu aek adalah pembaptisan, pada tradisi Batak kuno, dengan
air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan
membawanya ke homban (mata air di tengah ladang). Upacara ritual ini
dimulai dengan doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan kepada Mulajadi
na Bolon. Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos ragi idup di
atas pasir. Lalu Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke dalam cawan
yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi si bayi tersebut
berada di dalam badan.
Setelah itu, bayi yang akan diberi nama dimandikan di mata air.
Ulu Punguan lalu menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan menguras bayi
tersebut degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan
minyak kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut pisau Solam
Debata yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon
kepada Mulajadi Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain
putih tersebut diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi
agar mereka di kemudian hari jauh dari marabahaya.

C. Ragam Sosial Budaya Suku di Sumatera Utara dan Hubungannya


terhadap Kesehatan
1. Nias
Kepulauan Nias merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Terdapat suku nias di kepulauan ini. Beragam budaya yang masih kental
bahkan dalam perawatan persalinan maupun pengasuhan anak.
Seperti Etnik Nias Desa Hilifadolo di Sumatera Utara, mempunyai
kebiasaan memberikan air kopi yang dicampur kuning telur atau minyak
goreng untuk diminum oleh ibu hamil yang sudah mengalami kontraksi atau
diperkirakan sudah tiba waktunya untuk bersalin. Kebiasaan ini dipercaya
bahwa ibu dapat melahirkan secara cepat karena jalan lahir menjadi licin
oleh minyak.
Adapula kepercayan di Suku Nias pada ibu nifas yaitu tentang
manfaat mengkonsumsi tuo nifarö (tuak nias) dipercaya bahwa minuman
beralkohol ini sangat berguna untuk melancarkan ASI, mengeluarkan
kotoran-kotaran sehabis melahirkan. Mereka tidak menolak untuk
mengkonsumsi minuman beralkohol seperti tuo nifarö, karena ada pihak
yang menganjurkan untuk mengkonsumsinya yaitu mertuanya.
Diketahui bahwa mengkonsumsi minuman beralkohol seperti tuo
nifarö ini sudah menjadi kearifan lokal pada masyarakat Kecamatan Lotu
Kabupaten Nias Utara, dimana dalam berbagai kesempatan minuman ini
dikonsumsi untuk kesehatan mereka. Selain dikonsumsi oleh para ibu nifas,
banyak pula masyarakat yang mengkonsumsi tuo nifarö sampai lanjut usia
karena dipercaya memberikan banyak manfaat bagi kesehatannya.
Sebagai minuman khas Nias yang secara turun-temurun dipercaya
memiliki banyak manfaat bagi ibu nifas, hal ini perlu dilestarikan dengan
tetap memperhatikan kadar alkoholnya. Petugas kesehatan perlu mendalami
manfaat mengkonsumsi minuman beralkohol seperti tuo nifarö. Perlu
dipikirkan bagaimana mengemas tuo nifarö agar kadar alkohol yang
terkandung di dalamnya tetap stabil. Mengkonsumsi tuak dengan kadar
yang sedikit sebenarnya tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu,
tetapi jika kadar alkohol dalam tuak banyak, hal ini dapat mempengaruhi
kesehatan ibu.
2. Melayu
Masa nifas merupakan masa pemulihan organ organ reproduksi ke
keadaan sebelum hamil. Hal ini berkaitan dengan aspek biologis dan juga
sosiokultural. Banyak pantangan perilaku yang dilakukan pada masa nifas
akan bermanfaat pada masa tua
Pada suku melayu ada tradisi dalam melakukan perawatan
kekhususan dalam masa nifas. Praktek budaya tradisi suku melayu pada
masa nifas adalah tidak boleh keluar rumah selama 40 hari, keramas selama
seminggu dan memakai pilis di kening, terdapat juga pantangan makanan
seperti pantang makan sayuran kangkung, genjer, ikan, daging.
Tradisi tersebut tidak sesuai dengan ilmu kesehatan. Dampak negatif
dari ibu tidak bisa keluar dari rumah, ibu tidak menghirup udara segar,
apalagi jika ventilasi rumah tidak memadai. Dengan larangan
mengkonsumsi sayuran kangkung, genjer, ikan dan daging otomatis ibu
tidak mendapat asupan gizi yang memadai karena daging dan ikan sangat
dibutuhkan oleh seorang ibu yang baru melahirkan, apalagi ibu sedang
menyusui anaknya juga. Kebiasaan tradisi ini sangat tidak baik dengan
kesehatan.
Berbeda halnya dengan pantangan mengkonsumsi nangka, makanan
yang pedas-pedas dan es merupakan tradisi yang tidak merugikan
kesehatan, alasannya karena air es manis, makanan pedas dan nangka dapat
mengakibatkan masalah kesehatan lambung salah satunya dapat
meningkatkan asam lambung. Ramuan tradisional seperti meminum pati
jahe, kencur dan kunyit juga dikonsumsi oleh suku Melayu. Ramuan
tradisional tersebut tidak mempengaruhi kesehatan ibu nifas.
Selain itu praktek perawatan nifas pada suku melayu adalah ibu tidak
boleh terlalu banyak aktivitas dan tidak boleh banyak bergerak dan bekerja,
dan kebiasaan untuk memakai bengkung. Bengkung adalah kain yang
dililitkan pada pinggang ibu dengan ketat agar pinggang ibu yang ramping
kembali seperti sebelum melahirkan. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan
ibu nifas, karena ibu nifas masih membutuhkan asupan makanan yang
bergizi dan banyak juga bengkung dapat menghambat aliran darah dan
membuat ibu merasa kenyang dengan cepat.
3. Batak
Pada Suku Batak ada adat kebiasan dalam upaya menjaga kesehatan
tubuh pada ibu. Suku Batak Toba biasa melakukan perawatan pada ibu nifas
dengan menggunakan arang. Penggunaan arang pada ibu nifas dapat
menyebabkan sesak napas yang diakibatkan oleh asap yang dihasilkan oleh
arang tersebut. Dengan pemanasan arang tersebut juga menyebabkan ibu
dehidrasi karena mengeluarkan keringat yang banyak.
Tradisi yang yang lain adalah mengeluaran darah kotor dengan cara
minum bir hitam di campur kuning telur ayam kampung. Upaya
pengeluaran air susu ibu (ASI) dengan cara minum dan makan bangun-
bangun, minum tuak (nira).
Jika mata seseorang bengkak, orang tersebut diyakini telah
melakukan perbuatan yang tidak baik (misal: mengintip). Cara
mengatasinya agar matanya tersebut sembuh adalah dengan mengoleskan
air sirih. Cairan hasil rebusan daun sirih akan menghasilkan ekstrak daun
sirih berwarna kuning muda kehijauan dan bersifat asam, dengan pH ± 4.
Semakin banyak daun sirih yang direbus, maka tingkat keasaman cairan
rebusannya akan bertambah. Paparan cairan yang bersifat asam ini akan
bereaksi dengan air mata yang melapisi permukaan mata, yang selanjutnya
akan menimbulkan perubahan pH (tingkat keasaman) di permukaan mata
menjadi lebih asam.
Perubahan pH ini dapat menimbulkan kerusakan pada permukaan
mata, yaitu pada lapisan epitel kornea dan konjungtiva. Rasa perih yang
timbul setiap kali seseorang mencoba membersihkan matanya dengan air
rebusan daun sirih merupakan suatu pertanda terjadinya kerusakan pada
permukaan mata, terutama pada permukaan kornea yang banyak
mengandung ujung-ujung serat saraf.
Jika ada orang Batak menderita penyakit kusta, maka orang tersebut
dianggap telah menerima kutukan dari para leluhur dan diasingkan dalam
pergaulan masyarakat, padahal orang yang menderita kusta sebaiknya tidak
dijauhkan tetapi segera dibawa dan ditangani oleh tenaga kesehatan. Jika
tidak ditangani segera akan dapat menyebabkan penularan kusta ke orang
lain.
Pemberian obat mulai dari kandungan sampai melahirkan.
Perawatan dalam kandungan menggunakan salusu yaitu satu butir telur
ayam kampung mentah yang terlebih dahulu didoakan. Hal ini sangat
bertentangan dengan kesehatan ibu hamil, makanan mentah banyak
mengandung bakteri dan virus sehingga apapun yang dimakan oleh ibu
hamil harus makanan yang sudah matang dan steril dari kuman.
Mengobati penyakit kulit yang sampai membusuk. Berdasarkan
pesan Si Raja Batak untuk mengobati orang yang berpenyakit kulit supaya
menggunakan tawar mulajadi (sesuatu yang berasal dari asap dapur).
Rumpak 7 macam dan diseduh dengan air hangat. Disamping itu, Si Raja
Batak berpesan kepada keturunannya, supaya manusia dapat hidup sehat,
maka makan atau minumlah: apapaga, airman, anggir, adolora, alinggo,
abajora, ambaluang, assigning, dan arip-arip.
Budaya Batak juga dikenal dengan adanya karisma, wibawa dan
kesehatan menurut orang Batak dahulu, supaya manusia dapat sukses dalam
segala hal, biasanya diwajibkan membuat sesajen berupa: ayam merah,
ayam putih, ayam hitam, ketan beras (nitak), jeruk purut, sirih beserta
perlengkapannya.
Apabila ada orang Batak yang menderita penyakit panas (demam)
biasanya pengobatannya dengan cara menyelimutinya dengan selimut / kain
yang tebal. Hal ini bertentangan dengan ilmu kesehatan saat ini dimana
orang yang demam tidak menggunakan pakaian/ selimut yang tebal karena
akan menaikan suhu tubuh.
a. Budaya Pengobatan pada masyarakat Batak
Pengobat tradisional di Sumatera Selatan 70% dilakukan oleh
laki-laki sama dengan di Bali dengan presentase mencapai 96,87%.
Sedangkan di Sumatera Utara 73,6% pengobatan tradisional adalah
wanita (Panjaitan, 1999). Alasan menjadi pengobat tradisional antara lain
adalah karena warisan dari orang tua/ turun menurun, wahyu atau mimpi,
belajar dari nafkah yang sebagian besar adalah karena keturunan/warisan
dari orangtua.
Di Sumatera Utara ramuan diberikan dalam bentuk sudah
dimasak ataupun mentah (dimasak sendiri oleh pasien). Tanaman Obat
yang digunakan di wilayah Sumatera Selatan adalah kunyit (obat maag),
daun nipah (pembungkus tembakau/rokok), daun nangka (bisul/borok),
jarak (diare), sirih (menyirih), cemara (obat cacing), jeruk nipis (obat
batuk), lempuyang (demam), temulawak (liver), cengkeh (sakit gigi,
mual, pilek), bawang putih (demam), daun kayu (sesak nafas), kencur
(masuk angin), sendep (obat patah tulang), bakau (diare, kusta),
sambiloto (sakit kepala, demam, malaria) (Muktiningsih, 2001).
Dalam budaya batak dikenal adanya “kitab pengobatan” yang
isinya diantaranya adalah, Mulajadi Namolon Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang filosofi bawa “Segala sesuatu
yang tumbuh di atas bumi dan di dalam air sudah ada gunanya masing-
masing di dalam kehidupan, sebab tidak semua manusia yang dapat
menyatukan darahku dengan darahnya, maka gunakan tumbuhan ini
untuk kehidupan”. Sehingga mereka memiliki cara-cara penyembuhan
tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Arti kata “sakit“
sendiri bagi orang Batak adalah keadaan dimana seseorang hanya
berbaring. Bagi orang batak, di samping penyakit alamiah, ada juga
beberapa penyakit yang disebabkan oleh kekuatan supernatural
Teknologi pengobatan ini telah ada sejak kehidupan Si Raja
Batak pada zaman dahulu, seperti :
1) Teknologi pengobatan mulai dari kandungan sampai melahirkan
a) Perawatan dalam kandungan : menggunakan salusu yaitu satu
butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu di doakan
b) Perawatan setelah melahirkan : menggunakan kemiri, jeruk purut
dan daun sirih
c) Perawatan bayi : biasanya menggunakan kemiri, biji lada putih
dan iris jorango, Perawatan dugu-dugu : sebuah makanan ciri
khas Batak saat melahirkan yang diresap dari daun bangun-
bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa.
2) Dappol Siburuk (obat urut dan tulang)
Menurut orang batak asal mula manusia adalah dari ayam dan
burung. Obat dappol siburuk ini dulunya berasal dari burung siburuk
yang mana langsung dipraktikan dengan penelitian alami dan hampir
seluruh keturunan Si Raja Batak menggunakan obat ini untuk obat
urut dan tulang dalam kehidupan sehari – hari.
3) Untuk mengobati sakit mata.
Mata adalah salah satu dari panca indra yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, dan menurut legenda pada mata manusia
berdiam Roh Raja Simosimin. Berdasarkan pesan dari Si Raja Batak,
untuk mengeluarkan penyakit dari mata dengan memasukkan biji
sirintak ke dalam mata yang sakit selama beberapa saat. Sirintak
adalah sejenis tumbuhan yang dalam bahasa Indonesia berarti
mencabut (mengeluarkan).
4) Mengobati penyakit kulit.
Untuk mengobati orang yang berpenyakit kulit, menggunakan tawar
mulajadi (sesuatu yang berasal dari asap dapur ). Rumpak 7 macam
dan diseduh dengan air hangat.
5) Jika ada orang batak yang menderita penyakit gondok, maka cara
pengobatannya dengan menggunakan belau.
6) Apabila ada orang batak yang menderita penyakit panas (demam)
biasanya pengobatannya dengan cara menyelimutinya dengan
selimut/ kain yang tebal
b. Budaya Makan pada Suku Batak
Salah satu budaya yang tidak bisa lepas dari suku batak yaitu
mengkonsumsi ikan asin. Mayoritas orang Batak sangat suka makan ikan
asin. Terutama yang tinggal di Bonapasogit, semboyannya adalah: tiada
hari tanpa ikan asin. Bahkan menjadi ikon masyarakat Batak modern
adalah gulamo atau gambas (ikan asin); terutama jenis kapala
batu atau hase-hase.
Namun dibalik itu, ternyata ikan asin merupakan faktor kedua
yang membuat orang Batak rentan terhadap kanker hidung/ kanker
nasofaring. Hal ini disebabkan karena secara genetis orang Batak punya
keunikan yaitu memiliki gen HLADRB 108, yang tidak dipunyai oleh
orang Jawa, Melayu, Minang dan suku-suku lain. Hanya orang-orang di
Cina Selatan yang punya kesamaan dengan orang Batak dalam perkara
genetis ini.
Selain itu, berdasarkan penelitian ditemukan adanya nitrosamin
pada ikan asin karena dalam proses pengeringan dijemur di bawah terik
matahari. Diduga, sinar ultraviolet dari matahari yang membentuk
nitrosamin pada ikan asin sehingga dapat memicu virus dalam tubuh
yang menyebabkan kekebalan tubuh akan menurun.
4. Suku Karo
Masyarakat di daerah Tapanuli, Sumatra Utara, tepatnya di desa
Biru-biru kabupaten Deli, Serdang yang lazim bisa kita kenal dengan
sebutan Suku Karo. Suku ini mendiami desa Biru-biru dan masih memegang
tinggi budayanya. Mereka dikatakan memegang tinggi budaya karena adat
kebiasaan “menyirih” atau bisa juga disebut dengan “menginang” kerap
kali ditemukan di daerah tersebut, khususnya khalayak wanita tua yang tidak
memiliki rutinitas tersendiri. Mereka cenderung melakukan kebiasaan
menyirih ini untuk mengisi waktu senggang.
Pada mulanya menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan
untuk orang-orang/ tamu-tamu yang dihormati, pada suatu acara pertemuan
atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya budaya menyirih menjadi
kebiasaan untuk dinikmati di saat santai. Selain itu terdapat anggapan bahwa
menyirih dapat menguatkan gigi geligi serta adanya khasiat di dalam bahan-
bahan campuran menyirih yang menyehatkan. Kepercayaan bahwa
mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi
yang sakit dan nafas yang tak sedap kemungkinan telah mendarah daging di
antara para penggunanya.
Bahan-bahan yang digunakan dalam menyirih diantaranya adalah
sirih, gambir, kapur sirih dan juga pinang. Sedikit kapur dioleskan di atas
daun sirih, di atasnya diletakkan sedikit gambir, daun dilipat, kemudian
dimasukkan ke mulut dan mulai dikunyah. Kejadian yang pasti terjadi yaitu
makin lama dikunyah warna di mulut mulai berubah menjadi merah
menyala. Ketika ludah dikeluarkan, berwarna merah terang disebabkan oleh
sisa-sisa serat dari buah pinang. Beberapa saat kemudian, akan disambung
dengan gumpalan tembakau yang sudah dirajang untuk membersihkan gigi
dan bibir, serta dihisap-hisap. Tembakau ini yang menyebabkan kecanduan
karena dapat memberikan sensasi kesenangan. Pecandu memamah sirih
pinang mempunyai sensasi tersendiri setelah makan sirih pinang. Memamah
sirih pinang tidak mengenal waktu, kegiatan tersebut dapat dilakukan pagi,
siang, sore bahkan pada malam hari. Sama halnya dengan pecandu rokok
yang tidak mengenal waktu untuk menikmati rokok.
Fungsi menyirih yang lain yaitu menyangkut tata pergaulan dan
tata nilai kemasyarakatan. Hal ini tercermin dari kebiasaan menyirih,
hidangan penghormatan untuk tamu, sarana penghantar bicara, sebagai
mahar perkawinan, alat pengikat dalam pertunangan sebelum nikah, untuk
menguji ilmu seseorang, pada acara merdang, pada upacara berkeramas,
untuk prosesi pengusiran roh, upacara ngukruk emas (mengambil emas),
upacara muat kertah (mengambil kertah) dan sebagai pengobatan
tradisional. Tamu biasanya disuguhi sirih pinang dulu dalam bertamu. Hal
tersebut merupakaan suatu kehormatan dan tamu wajib untuk mencobanya.
Barulah kopi, teh atau makanan lain yang disuguhkan setelah makan sirih
pinang.
Kebiasaan buruk di desa-desa adalah meludah sembarangan.
Dengan warna air liur yang semacam itu (berwarna merah), kebiasaan itu
tentu saja akan meninggalkan noda berupa bercak merah di mana-mana.
Adapun dampak negatif menyirih terhadap kesehatan gigi dan mulut adalah:

a. Daun sirih
Daun sirih mengandung zat antiseptik yang biasa digunakan untuk
menyembuhkan luka atau mimisan. Selain itu, terdapat minyak atsiri
dari daun sirih yang mengandung minyak terbang (betIephenol),
seskuiterpen, pati, diatase, gula dan zat samak dan kavikol yang
memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti
jamur.
b. Pinang
Bahan kimia yang terkandung dalam tanaman pinang adalah alkaloid
arekolin. Bahan ini mengandung racun dan penenang sehingga tidak
dianjurkan untuk pemakaian dalam jumlah besar
c. Gambir
Kandungan yang utama dan juga yang banyak dikandung oleh gambir
adalah flavonoid, katekin (15%), zat penyamak (22-50%), dan sejumlah
alkaloid. Gambir dijadikan obat-obatan modern yang diproduksi negara
Jerman dan juga sebagai pewarna cat pakaian.
d. Kapur
(Nicotiana spp) Nikotin merupakan komponen penting dalam sirih
karena sifatnya yang menimbulkan ketagihan atau adiksi
e. Tembakau
Penggunaan kapur sirih dapat mengakibatkan penyakit periodontal.
Penyebab terbentuknya penyakit periodontal adalah karang gigi akibat
stagnasi saliva pengunyah sirih karena adanya kapur Ca(OH)2.
BAB III
STRATIFIKASI SOSIAL DI PROVINSI SUMATERA UTARA

A. Stratifikasi Sosial
1. Definisi stratifikasi sosial
Kata Stratifikasi sosial dalam hal ini berasal dari bahasa latin, yaitu
stratum yang memiliki arti tingkatan dan socius yang berarti teman atau
masyarakat. Jadi dalam hal ini secara umum dapat kita katakan bahwa
pengertian stratifikasi sosial merupakan tingkatan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Stratifikasi sosial berasal dari kiasan yang menggambarkan
keadaan kehidupan masyarakat. Stratifikasi sosial “sosial stratifikasion”
ialah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingakt “hierarkis”. Dengan kata lain, perbedaan kedudukan akan
menimbulkan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Yang dalam
perwujudan dari adanya stratifikasi sosial atau pelapisan sosial ialah
adanya perbedaan golongan tingkat kedudukan atau kelas.
Berikut ini beberapa pengertian stratifikasi sosial menurut para
ahli, diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut Robert M. Z. Lawang
Menurutnya stratifikasi sosial ialah penggolongan orang-orang yang
termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan
hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilege dan prestise.
b. Menurut Horton Dan Hunt
Menurutnya stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
c. Menurut Soerjono Soekanto
Menurutnya stratifikasi sosial ialah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.
d. Menurut Bruce J. Cohen
Menurutnya stratifikasi sosial ialah sistem yang menempatkan
seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan
mereka pada kelas sosial yang sesuai.
e. Menurut Astrid S. Susanto
Menurutnya Stratifikasi sosial ialah hasil kebiasaan hubungan antar
manusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang setiap saat
mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang
secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat.
f. Menurut Pitirim A. Sorokin
Menurutnya stratifikasi sosial ialah pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat “hierarkis”.
Perwujudannya ialah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat,
setiap lapisan itu disebut dengan strata sosial. Ditambahkan bahwa
stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap pada setiap kelompok
sosial yang teratur. Lapisan-lapisan di dalam masyarakat memang
tidak jelas batas-batasnya, tetapi tampak bahwa setiap lapisan akan
terdiri atas individu-individu yang mempunyai tingkatan atau strata
sosial yang secara relatif adalah sama.
g. Menurut P.J. Bouman
Menurutnya stratifikasi sosial ialah golongan manusia dengan
ditandai suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hal istimewa
yang tertentu dan karena itu menuntut gengsi kemasyarakatan.
h. Menurut Soerjono Soekanto
Menurutnya stratifikasi sosial ialah pembedaan posisi seseorang atau
kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
i. Menurut Paul B. Horton Dan Chester L. Hunt
Menurutnya stratifikasi sosial ialah sistem perbedaan status yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
j. Menurut Max Weber
Menurutnya stratifikasi sebagai penggolongan orang-orang yang
termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan
hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
2. Jenis Stratifikasi Sosial
a. Berdasarkan sifatnya, stratifikasi sosial dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Stratifikasi sosial tertutup atau pelapisan sosial tertutup.
Stratifikasi ini bersifat tetap (tidak dapat berpindah ke tingkat
yang lebih atas ataupun tingkatan bawah). Satu-satunya cara
untuk berada di posisi tersebut adalah melalui kelahiran.
Stratifikasi tertutup adalah sistem pelapisan merupakan jalan
masuk menjadi anggota atau warga suatu lapisan tertentu hanya
melalui kelahiran. Contoh pelapisan pada masyarakat berkasta,
pada masyarakat dengan sistem feudal, atau pada masyarakat
yang masih menggunakan kriteria ras sebagai dasar pelapisan
sosialnya.
2) Stratifikasi sosial terbuka atau pelapisan terbuka.
Artinya seseorang dapat masuk ke dalam kelas sosial tertentu
yang diinginkan ataupun keluar setelah mencapai tingkatan sosial
yang lebih tinggi. Seseorang dapat dikeluarkan apabila tidak
sanggup melaksanakan kewajiban yang sesuai kelas sosialnya.
Stratifikasi terbuka adalah setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk naik ke pelapisan sosial yang lebih tinggi
karena kemampuan dan kecakapannya sendiri atau turun ke
pelapisan sosial yang lebih rendah bagi mereka yang tidak cakap
dan tidak beruntung. Contoh masyarakat di negara industri maju
atau masyarakat pertanian yang telah mengalami gelombang
modernisasi.
3) Stratifikasi Campuran
Stratifikasi campuran adalah stratifikasi gabungan antara
stratifikasi terbuka dan tertutup. Contoh kehidupan masyarakat
bali, walaupun budaya masyarakatnya tertutup, tetapi secara
ekonomi sistem pelapisan sosialnya bersifat terbuka.
b. Berdasarkan cara memperolehnya, yaitu:
1) Stratifikasi dalam pendidikan.
2) Stratifikasi dalam bidang ekonomi.
3) Stratifikasi dalam bidang pekerjaan.
4) Stratifikasi berdasarkan jenis kelamin.
5) Stratifikasi yang diperoleh secara alami.
6) Stratifikasi berdasarkan perbedaan usia.
7) Stratifikasi sosial berdasarkan senioritas.
8) Stratifikasi berdasarkan sistem kekerabatan.
9) Stratifikasi berdasarkan keanggotaan dan kelompok tertentu.
3. Bentuk-bentuk Stratifikasi Sosial
a. Sistem Kasta
Kasta adalah golongan atau tingkatan manusia. Dalam masyarakat
beragama Hindu, ada 5 tingkatan di antaranya:
1) Brahmana: golongan pendeta dalam masyarakat Hindu.
2) Kesatria: golongan bangsawan dan prajurit dalam masyarakat
Hindu.
3) Paria: golongan rakyat jembel (yang hina-dina) dalam
masyarakat Hindu.
4) Sudra: golongan rakyat biasa dalam masyarakat Hindu.
5) Waisya: golongan pedagang, petani, dan tukang dalam
masyarakat Hindu
b. Sistem Kelas Sosial
Sistem ini merujuk pada perbedaan hierarkis antara insa atau
kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Status dalam
sistem kelas ini bisa diperoleh dengan memanfaatkan kepandaian
seseorang.
c. Sistem Feodal
Sistem ini merupakan pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang
dijalankan oleh kalangan bangsawan guna mengendalikan berbagai
wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-
pemimpin lokasi sebagai mitra. Dalam sistem ini stratifikasi
didasarkan pada empat tingkatan dalam masyarakat, yang disebut
estate. Semua penduduk bersumpah untuk mengabdi kepada raja.
d. Sistem Apartheid
Sistem apartheid merupakan pemisahan antara kaum kulit putih dan
hitam. Sisitem ini pernah diterapkan si Afrika Selatan, latar belakang
adanya sistem apartheid ini didasarkan pada 3 kelompok ras besar
yaitu, kulit putih, hitam, dan kulit berwarna.
4. Cara Memperoleh Status Sosial
a. Tanpa usaha atau otomatis sejak lahir (ascribed status) pada
masyarakat dengan sistem lapisan tertutup.
b. Dengan cara berusaha atau diraih achieved status pada masyarakat
dengan sistem lapisan terbuka.
c. Dengan cara kombinasi nyata diraih dan otomatis assihned status
karena adanya pemberian penghargaan atau gelar atas perjuangan.
5. Dasar Stratifikasi dalam Masyarakat
Dasar stratifikasi sosial dalam masyarakat disebabkan oleh adanya sesuatu
yang berharga yaitu sebagai berikut:
a. umur.
b. pekerjaan.
c. keturunan.
d. pendidikan.
e. kekuasaan.
f. Fisik dan jenis kelamin.
g. Kekayaan dan penghasilan.
h. Kemampuan atau kepandaian.
6. Proses dan Pendorong Terciptanya Stratifikasi Sosial
a. Terjadi secara otomatis karena ada faktor-faktor yang dibawa individu
sejak lahir. Misalnya kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, dan
sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat.
b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama yang dilakukan dalam
pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi
organisasi formal, seperti pemerintah, partai politikum perusahaan,
perkumpulan dan angkatan bersenjata.
c. Menurut Huky, pendorong terciptanya stratifikasi sosial sebagai
berikut:
1) Perbedaan ras, budaya, dan ciri-ciri biologis seperti warna
kulit dan latar belakang etnis
2) Pembagian tugas yang terspesialisai yang berkaitan dengan
fungsi kekuasaan dan status dalam stratifikasi sosial.

B. Stratifikasi Sosial pada Suku Batak Toba


Batak Toba termaksud salah satu suku di Indonesia, yang tinggal di
Propinsi Sumatera Utara, yang terletak di bagian barat Indonesia adalah pulau
kedua terbesar setelah Kalimantan.Orang Batak tinggal di dataran tinggi Bukit
Barisan sekitar Danau Toba. Orang Batak mempunyai kultur yang mempunyai
kesamaan dengan Proto-Melayu. Dalam religi mereka, orang Batak memuja
peranan yang penting dalam seluruh aktivitas keturunan mereka. Sistem
keturunan mereka adalah patrilinear dan struktur sosial diatur oleh perkawinan
kemenakan asimetris (Vergouwen 2004:34).
Batak Toba merupakan suatu sub suku yang hidup pada pengawasan
adat-istiadat, terutama pada adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba
merupakan salah satu suku bangsa Batak dan salah satu dari ratusan suku
bangsa yang ada di Indonesia.Berdiri dengan satu identitas budaya, berasal dari
daerah tertentu, memiliki bahasa, dan adat istiadat sendiri.Masyarakat Batak
Toba hidup dibawah pengawasan adat istiadatnya yang berperan mengatur
keseluruhan tingkahlaku. Demikian juga dengan perkawinan sebagai salah satu
siklus kehidupan seseorang. Perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak
Toba memiliki aturan-aturan adat yang sangat kuat walaupun sudah mengalami
berbagai perubahan pada saat ini perkawinan masyarakat Batak Toba yang
diatur oleh adat-istiadat akan lebih sah dan resmi.
Sistem pelapisan sosial pada masyarakat Batak Toba didasarkan pada
tiga prinsip, yaitu berdasarkan senioritas, jabatan dan sifat keaslian. Di
Indonesia tidak jarang terjadi kelas sosial orang tua atau kerabat sangat dekat
mempengaruhi kelas sosial sesorang. Misalnya orang tua mempunyai
kedudukan terpandang, maka biasanya anak-anaknya ikut-ikut dianggap
terpandang. Sebaliknya, apabila orang tua atau kerabatnya tergolong kelas
sosial yang relatif rendah, maka anaknya atau keluarganya, dianggap demikian
pula, walaupun mereka berpenghasilan tinggi atau mempunyai pangkat yang
tidak rendah. Sistem pelapisan sosial berdasarkan senioritas pada masyarakat.
Batak Toba pada prinsipnya menyangkut konteks tua-muda dan kawin atau
belum kawin. Hal ini nyata dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam aktivitas adat.
Mereka yang masih muda selalu menganggap yang tua lebih tinggi
kedudukannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga yang muda harus
menghormati orang yang lebih tua. Analog dengan itu, persoalan kawin dan
tidak kawin nyata sekali dalam aktivitas adat, di mana orang yang belum kawin
tidak terlibat dalam perencaanaan dan pengambilan keputusan hal-hal yang
menyangkut adat. Sistem pelapisan sosial berdasarkan jabatan mengacu pada
jabatan-jabatan yang dipegang oleh seorang dalam sistem pemerintahan huta.
1. Lapisan masyarakat paling atas adalah keturunan raja atau yang
menduduki jabatan raja atau keluarga raja dan kepala-kepala wilayah atau
satuan pemukiman.
2. Lapisan kedua adalah mereka yang memiliki keahlian tertentu dalam
tataran masyarakat tradisional, seperti tukang, dukun, pemukul dan peniup
(pemain) alat-alat kesenian tradisional.
3. Lapisan ketiga adalah rakyat biasa atau rakyat kebanyakan.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan sifat keaslian mengacu pada orang
yang pertama sekali mendirikan desa dan orang yang datang kemudian. Orang
yang datang pertama sekali mendirikan desa dan keturunannya menduduki
lapisan yang tinggi dalam tataran masyarakat Batak. Mereka memiliki hak-hak
istimewa atas tanah desa dan juga mendapat prioritas utama dalam menduduki
jabatan-jabatan tertentu dalam desa.
Pada mulanya hanya dari golongan mereka ini yang menjadi pemilik
utama tanah desa, menduduki jabatan sebagai raja atau pangulu dan jabatan
tersebut diwariskan kepada keturunannya. Orang-orang yang datang kemudian
(pendatang) tidak memiliki hak atas tanah dan juga jabatan-jabatan dalam
struktur pemerintahan huta. Mereka ini menguasai tanah desa hanya atas seizin
dari penguasa. (Bungaran. 2004:43) Selain itu Suku Batak Toba mengenal
tingkatan 3H, yaitu hamoraon (kekayaan),hagabeon (kebahagiaan, sebenarnya
terjemahan hagabeon menjadi kebahagiaan adalah kurang pas) dan hasangapon
(kehormatan, agak kurang pas juga kalau hasangapon diterjemahkan sebagai
kehormatan).Bagi manusia Batak, pencapaian 3 H merupakan ukuran
keberhasilan pencapaian dan kesuksesan seseorang.
Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai 3H tersebut, bekerja keras
menuntut ilmu agar bisa mamora (kaya). Maka manusia Batak menjadi
petarung, berjuang keras untuk mencapai hamoraon, dan menjadi kaya secara
finansial dan material. Manusia Batak tidak akan segan-segan mangaranto,
pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan material.
Berjuang dengan segala usaha dan modal di pangarantoan, Perantauan, untuk
bisa mendapatkan kekayaan.Kalau perlu merantau ke seluruh penjuru dunia.
Ukuran umum hagabeon dalam bangso Batak adalah bila mempunyai
keturunan baoa (laki) dan boru (perempuan) yang juga kemudian mempunyai
keturunan lagi. Jadi bila seseorang dalam hidupnya sudah mempunyai cucu
dari anak laki-laki, cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki
dan perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia
disebut gabe. Hagabeon menjadi sempurna ketika masih hidup dan masih bisa
melihat cicit (apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah
puncak sempurna hagabeon manusia Batak.
Adapun hasangapon, agak sulit mencari padanan katanya dalam Bahasa
Indonesia. Secara harafiah, sangap bisa diartikan sebagai terpuji, atau teladan,
terhormat, nyaris tanpa cela. Seseorang yang dianggap sangap, berarti akan
menjadi pribadi sempurna, manusia yang mencapai status tinggi dalam
kehidupan, dan tidak ada cemoohan dari orang lain. Biasanya seseorang
menjadi sangap, bila dalam tingkat tertentu juga mempunyai hamoraon dan
mempunyai hagabeon. Karena itu , sesungguhnya sangat sulit untuk
mengatakan seseorang sudah mencapai hasangapon sekarang ini.

C. Stratifikasi Sosial Pada Suku Nias


Salah satu suku yang memiliki stratifiskasi sosial yaitu suku nias di
provinsi Sumatera Utara. Sama dengan suku Batak, suku Nias juga dikenal
istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-
marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek
moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.
Suku Nias juga mengenal istilah kasta. Dimana tingkatan kasta yang
tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus
mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa
rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai
kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya
melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan
yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu
disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang
memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena
kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere,
umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam
berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2
(dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan
musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang
(Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa,
dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering
disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka
berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu
membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan
sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang
(biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi
budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang
yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik
atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi
budak.
Stratifikasi sosial di Nias memiliki pemahaman dan dasar agama suku.
Dualisme para dewa tercermin dalam pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas
sebagai pencipta dan yang memerintah kosmos, itu dimiliki oleh kaum
bangsawan (nga`ötö zalawa/si'ulu) dan sifat dewa bawah dimiliki oleh rakyat
biasa (nga`ötö niha sato/sito`ölö). Sedangkan budak atau nga`ötö zawuyu,
pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum budak timbul
kemudian, karena beberapa alasan, misalnya tawanan perang, atau orang yang
tidak sanggup membayar utang lalu dijadikan budak, atau orang yang
seyogianya dihukum mati karena kesalahannya yang cukup berat, lalu ditebus
oleh kaum bangsawan dan kemudian dijadikan budak. Kaum bangsawan
sebagai pencipta dan pemerintah banua, seperti halnya Lowalangi, mencipta
dan memelihara kosmos. Kaum rakyat kebanyakan rela mati di medan perang
karena mereka bertugas menjaga dan memelihara banua, seperti halnya
Laturadanö yang memelihara dan menjaga kosmos.
Dalam sistem kemasyarakatan Nias, yang menjadi pemimpin banua
adalah Salawa atau Balö Zi’ulu dan perangkatnya, sedang pada aras Öri
dipimpin oleh Tuhenöri dan perangkatnya. Sudah menjadi bagian dari budaya
bahwa yang menjadi pimpinan banua atau Öri adalah yang mempunyai status
tinggi dalam masyarakat. Sebelum banua didirikan, dulunya masyarakat Nias
mendirikan rumahnya terpencar-pencar. Lalu bila ada dari antara masyarakat
yang mau mendirikan banua, maka lebih dahulu ia harus menunjukkan dirinya
dan kemampuannya melalui Owasa (Pesta besar) dalam menaikkan status
sosialnya, sehingga kelihatan lebih tinggi dari masyarakat lainnya.
F. Harefa menyatakan bahwa Salawa artinya Yang Tinggi. Ia disebut
demikian karena ialah yang lebih dari kawannya sekampung itu dalam segala
hal, umpamannya: Tentang bangsa, dialah yang lebih tertua; tentang
keadaannya, dialah yang lebih berada; tentang kepandaian, dialah yang lebih
pandai dan sebagainya. Sejajar dengan itu, Bambowo La'ia menyatakan bahwa
pemimpin di Nias itu mempunyai syarat, yakni:
1. berwibawa (Molakhömi). Wibawa itu mewujudkan diri dalam
keseganan terhadap seseorang. Wibawa ini adalah pembawaan sejak lahir,
dan sukar menerangkan sebab-sebab yang membuat orang segan kepada
seseorang itu.
2. senioritas (Fa'asia'a). Sebenarnya menyangkut faktor ini boleh dua
pembahagian, yaitu tua karena umur dan tua karena dianggap tua, bukan
karena umur. Tua karena umur itulah senioritas, tetapi tua karenadianggap
tua atau karena alasan-alasan yang tertentu itulah yang disebut "primus
interpares".
3. berkeadaan (Fo khö). Seorang diangkat pimpinan karena kaya. Di Nias
sering terdengar : "Lihat dulu dapurnya, berasap apa tidak." Maksudnya,
apakah berkeadaan atau tidak.
4. kepandaian (Fa'onekhe). Bila yang berkeinginan mendirikan kampung
tersebut telah menunjukkan dirinya sebagai yang "tertinggi", barulah ia
memberitahu dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mendirikan
banua.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sosial budaya suku di Sumatera Utara memiliki banyak ragam dan
bervariasi
2. Sosial budaya yang ada sangat erat berhubungan dengan kesehatan
keluarga
3. Tradisi suku di Sumatera Utara ada berdampak positif untuk kesehatan
namun ada juga yang merugikan untuk kesehatan

B. Saran
Petugas kesehatan perlu mengkritisi dan mengantisipasi dengan
pendekatan-pendekatan multidisipliner sehingga dalam penyampaian promosi
kesehatan terhadap suatu masyarakat tertentu dilakukan dengan sopan dan
modifikasi khusus yang akhirnya sedikit demi sedikit kita bisa meminimalisir
dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebudayaan yang ada di Sumatera
Utara.
DAFTAR PUSTAKA

Arjuna Jaya. Pembangunan Sosial Budaya Sumatera Utara.www.academia.edu/


10116796/ Pembangunan-sosial-budaya-Sumatera-Utara-jaya-arjuna.
Askep Transkultural Nursing Kebudayaan Keluarga Batak.
http://intanpurnamawidodo.blogspot.co.id/2013/01/askep-transkultural
-nursing-kebudayaan.html?m=1
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), 2017. Profil Provinsi
Sumatera Utara.
BPS. Mengulik Data Suku di Indonesia. https://www.bps.go.id/KegiatanLain/
view/ id/127. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2017 Pukul 15.00 WIB.
Dinas Kesehatan Prov. Sumatera Utara, 2015. Profil Kesehatan Provinsi sumatera
Utara Tahun 2014.
Gultom, R.D.J. (1992). Dalihan Na Tolu, Nilai Budaya Suku Batak Toba dan Etnik
Cina. Medan: CV Armanda.
Harahap, Basyral H., & Siahaan, Hotman M. (1987). Orientasi Nilai-nilai
Budaya Batak Toba: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba
dan Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.
Hidayah, Zuliyani. 1997. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Justin Lase, Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Nias Provinsi Sumatera Utara, di
akses 16 oktober 2017
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Melalatoa, M. Junus.1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Nainggolan, Togar. (2012). Batak Toba : Sejarah dan Transformasi Religi : Medan:
Bina Media Perintis.
Pandopatan , Panjaitan 1999. Pemakaian Obat Tradisional di Sumatera Selatan,
Laporan Penelitian, Sentra P3T Propinsi Sumatera Utara, dan Lembaga
Penelitian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pattinasarany, Indera Ratna Irawati. 2016. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta
: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Pusdatin Kemenkes), 2017.
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
S.R Muktiningsih, H. Syahrul Muhammad, I.W.Harsana, M.Budhi, Pandapotan
Panjaitan, Review Tanaman Obat yang Digunakan oleh Pengobat
Tradisional di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bali dan Sulawesi
Selatan, Media Litbang Kesehatan Volume XI Nomor 4 Tahun 2001
Sudiharto. 2007. Asuhan Keparawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transkultural. Jakarta : EGC
Suku Batak Toba dan Kebudayaannya Dampak Infertilitas Upaya Tradisional
Untuk Pasangan. http://www.landasanteori.com/2015/09/suku-batak-
toba-dan-kebudayaannya.html
Vergouwen, J.C. (1986). Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta :
Pustaka Azet.
http://www.zohrah.id/2012/08/pengaruh-ragam-budaya-indonesia.html diakses
tanggal 16/09/2017
http://www.klikdokter.com/info-sehat/read/2696390/kebutaan-akibat-penggunaan
-air-rebusan-daun-sirih
https://bidanku.com/proses-pemulihan-setelah-melahirkan
https://hamil.co.id/nutrisi-ibu-hamil/makanan-berbahaya
http://www.klikdokter.com/tanya-dokter/read/2761281/demam-tinggi-harus-
diselimuti-atau-tidak.
http://www.gurupendidikan.co.id/10-pengertian-stratifikasi-sosial-menurut-para-
ahli-terlengkap/diakses tanggal 14 Oktober 2017 jam 11.00 Wib
https://alihamdan.id/stratifikasi-sosial/ diakses tanggal 14 Oktober 2017 jam 12.00
Wib
https://dtechnoindo.blogspot.co.id/2017/01/stratifikasi-sosial-dan-tradisi.html
diakses tanggal 14 Oktober 2017 jam 11.30 Wib
https://haristepanus.wordpress.com/stratifikasi-sosial/diakses pada tanggal 14
Oktober 2017 Pukul 10.00Wib

Anda mungkin juga menyukai