Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di masyarakat. Sepsis
menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia. Diagnosis awal sepsis
seringkali sulit ditegakkan, karena klinis sepsis yang muncul sangat beragam. Jika sepsis
tidak segera ditangani dapat mengakibatkan kegagalan fungsi organ yang dapat berujung
pada kematian.
Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang
berlebihan terhadap infeksi. Sepsis merupakan respon host terhadap infeksi yang bersifat
sistemik dan merusak. Sepsis dapat mengarah pada sepsis berat (disfungsi organ akut pada
curiga infeksi) dan syok septik (sepsis ditambah hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi
cairan). Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi
jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun, menewaskan satu dari empat orang (dan sering
lebih).
Sepsis terjadi sekitar 750.000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat, meningkat dari
2,1% menjadi 4,3% pada pasien rawat inap, dan 11% dari seluruh perawatan di ICU
(Intensive Care Unit). Dari tahun 1979 sampai tahun 2000, kasus sepsis meningkat setiap
tahunnya sekitar 8,7%, dari 164.000 kasus (82,7 kasus per 100.000 penduduk) menjadi
hampir 660.000 kasus (240,4 kasus per 100.000 penduduk). Sepsis menyebabkan angka
kematian yang tinggi, dengan mortalitas 22- 76% pada sepsis berat. Sepsis merupakan
penyebab kematian ketiga dari 10 penyebab kematian terbesar secara keseluruhan di
Amerika Serikat, setelah penyakit jantung dan neoplasma ganas. Kejadian sepsis meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia, kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah kasus akan
meningkat di masa mendatang.
Sepsis secara umum terjadi pada sekitar 2% dari semua pasien rawat inap di negara maju.
Sepsis dapat terjadi di antara 6-30% dari semua unit perawatan intensif pasien (ICU), dengan
variasi yang cukup besar karena heterogenitas antara ICU. Di sebagian besar negara maju
angka kejadian sepsis berat telah diidentifikasi antara 50- 100 kasus per 100.000 orang dalam
populasi. Sepertiga sampai setengah dari semua pasien sepsis meninggal dunia. Di negara
berkembang, sepsis menyumbang 60-80% dari semua kematian. Ini membunuh lebih dari 6
juta bayi dan anak kecil, dan 100.000 ibu baru setiap tahunnya. Setiap 3-4 detik, seseorang di
dunia meninggal karena sepsis.
Terdapat kemajuan dalam penelitian klinis selama dekade terakhir, namun sepsis masih
tetap memiliki komplikasi yang berpotensi mematikan. Selain itu, kejadian sepsis meningkat
dua kali lipat selama dekade terakhir, seiring dengan bertambahnya usia pasien yang dirawat
di rumah sakit dan meningkatkannya pasien dicurigai yang masuk ke IGD (Instalasi Gawat
Darurat). Sepsis, sepsis berat dan syok sepsis merupakan komplikasi paling umum pada
pasien di IGD dan ICU. Meskipun terapi antibiotik telah awal, tingkat kematian akibat sepsis
tetap tinggi. Tingkat kematian terkait sepsis tetap tinggi, terutama pada kelompok sepsis
berat dan syok sepsis. Mortalitas pada sepsis berat telah dilaporkan sekitar 25-56%.
Sebuah panel konsensus internasional pada tahun 1992 mendefinisikan sepsis sebagai
respons inflamasi sistemik terhadap infeksi dan dapat muncul sebagai respon terhadap
beberapa penyebab infeksi. Panel ini mengusulkan istilah "sepsis berat" untuk
menggambarkan kasus dimana kondisi sepsis dengan adanya disfungsi organ akut, dan
definisi "syok septik" sebagai sepsis berat ditambah adanya hipotensi yang refrakter terhadap
resusitasi cairan atau hiperlaktatemia. Pada tahun 2003, panel konsensus kedua mendukung
sebagian besar konsep-konsep ini, dengan peringatan bahwa tanda-tanda respon inflamasi
sistemik, seperti takikardia atau jumlah sel darah putih tinggi, terjadi pada berbagai kondisi
infeksi dan tidak infeksi sehingga tidak membantu dalam membedakan sepsis dari kondisi-
kondisi lain.
Sepsis bersifat dinamis, sindromnya beragam karena ketidakseimbangan dari proses
inflamasi. Pada sepsis, setelah infeksi mikroba terjadi aktivasi respon imun sistemik dan
aktivasi berlebihan dari sel-sel imunitas. Pengeluaran sitokin yang berlebihan akan
menghasilkan efek yang merusak. Aktivasi TLR-4 penting dalam memicu respon inflamasi
karena TLR-4 diekspresikan pada membran luar bakteri gram negatif, dan TLR-4 mampu
membentuk kompleks reseptor dengan CD14 untuk melakukan mediasi pengenalan
lipopolisakarida (LPS), sehingga memicu respon inflamasi.
Sepsis bersifat dinamis, sindromnya beragam karena ketidakseimbangan dari proses
inflamasi. Pada sepsis, setelah infeksi mikroba terjadi aktivasi respon imun sistemik dan
aktivasi berlebihan dari sel-sel imunitas. Pengeluaran sitokin yang berlebihan akan
menghasilkan efek yang merusak. Aktivasi TLR-4 penting dalam memicu respon inflamasi
karena TLR-4 diekspresikan pada membran luar bakteri gram negatif, dan TLR-4 mampu
membentuk kompleks reseptor dengan CD14 untuk melakukan mediasi pengenalan
lipopolisakarida (LPS), sehingga memicu respon inflamasi.
Bakteremia adalah adanya bakteri yang hidup dalam darah, keadaan ini hanya ditemukan
sekitar 50% dari kasus sepsis berat dan syok septik, sedangkan 20-30% dari pasien ini tidak
dijumpai mikroba sebagai penyebabnya yang diidentifikasi dari sumber manapun.
Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif atau gram positif.
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae merupakan gram positif yang paling
umum ditemukan, sedangkan Escherichia coli, spesies Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa mendominasi di antara gram negatif. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas
(40-44%), diikuti oleh infeksi saluran genitourinarius (9- 18%) dan infeksi intra abdominal
(9-14%). Suatu studi epidemiologi sepsis yang dilakukan Angus et al (2013) yang melibatkan
14.000 pasien ICU di 75 negara, bakteri gram negatif diisolasi dari 62% pasien dengan sepsis
berat yang memiliki kultur positif, bakteri gram positif dijumpai 47%, dan jamur pada 19%.
Pola kuman dari hasil Laboratorium Mikrobiologi RS. Dr. M. Djamil Padang periode
Januari sampai Juli tahun 2014 ditemukan bahwa dari spesimen cairan tubuh (kuman gram
negatif 86% dan kuman gram positif 14%), spesimen feces (kuman gram negatif 93% dan
kuman gram positif 7%), spesimen urine (kuman gram negatif 92,5% dan kuman gram
positif 7,5%), spesimen darah (kuman gram negatif 80% dan kuman gram positif 20%),
spesimen pus (kuman gram negatif 65% dan kuman gram positif 35%), spesimen sputum
(kuman gram negatif 55,2% dan kuman gram positif 44,8%), spesimen swab (kuman gram
negatif 51% dan kuman gram positif 49%). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa pola
kuman di RS. Dr. M. Djamil Padang terbanyak adalah disebabkan oleh kuman gram negatif.
Pasien sepsis yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sepsis berat atau syok sepsis
harus sudah diidentifikasi pada penerimaan pertama pasien karena keterlambatan penilaian
derajat sepsis dan pemberian antibiotik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas di rumah
sakit, sedangkan terapi yang diberikan sejak awal untuk pengobatan sepsis berat dan syok
sepsis yang dimulai di IGD dapat mengurangi angka kematian
Penentuan sepsis dan identifikasi pasien sepsis berat atau syok sepsis pada saat
penerimaan awal pasien di IGD secara signifikan dapat meningkatkan manajemen terapi
sepsis. Saat ini penilaian diagnosis atau prognosis serta pemantauan sepsis dengan biomarker
mengandalkan PCT (Procalcitonin). Namun PCT menunjukkan nilai yang terbatas untuk
stratifikasi risiko dan ramalan sepsis.
Presepsin atau sCD14-ST, baru-baru ini, diusulkan sebagai biomarker sepsis. Presepsin
ini pertama kali dikenal pada tahun 2005 dan telah menjadi biomarker penting baru untuk
diagnosis dan prognosis sepsis dalam beberapa tahun terakhir. Presepsin diidentifikasi
sebagai protein berukuran 13 kDa, dimana kadarnya akan meningkat pada pasien sepsis.
Presepsin dianggap sebagai biomarker yang lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis sepsis
dibandingkan dengan interleukin-6 dan prokalsitonin (PCT). Konsentrasi Presepsin dalam
darah meningkat lebih cepat daripada PCT dan CRP (C-Reactive Protein) pada pasien sepsis.
Presepsin pada orang sehat, hanya ditemukan dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Kadar normal Presepsin pada dewasa sehat biasanya sangat rendah dengan nilai sekitar 320
pg/ml. Namun, pada pasien dengan sepsis, keterlibatan langsung LPS bakteri dan fagositosis,
meningkatkan kadar Presepsin dimana sudah dapat ditemukan pada tahap yang sangat awal,
bahkan sebelum dihasilkannya IL-6. Waktu paruh dari presepsin yang telah dilaporkan
adalah 4-5 jam dan mekanisme produksinya terkait dengan fagositosis dan pembelahan dari
CD14 yang ada di membran sel monosit atau makrofag.
CD14-subtipe yang larut (sCD14-ST / soluble CD14-subtype), atau disebut Presepsin,
diproduksi sehubungan dengan adanya infeksi dan secara khusus dinyatakan dalam sepsis.
CD14 terdapat di membran sel makrofag, monosit, dan sel granulosit, yang bertanggung
jawab untuk transduksi sinyal endotoksin intraseluler. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
nilai-nilai presepsin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan infeksi lokal, sepsis,
dan sepsis berat (dibandingkan dengan prokalsitonin, CRP atau IL-6) dibandingkan pada
pasien tanpa infeksi.
Ulla et al (2013) menyatakan bahwa presepsin adalah biomarker baru yang menjanjikan,
hemat biaya dan mampu membedakan pasien sepsis dengan SIRS. Presepsin dapat digunakan
di IGD untuk segera mengidentifikasi pasien SIRS karena infeksi berat. Korelasi erat antara
nilai awal presepsin dan mortalitas di rumah sakit menunjukkan bahwa biomarker ini dapat
digunakan untuk menilai stratifikasi risiko dini dan dapat diandalkan untuk mengidentifikasi
pasien berisiko tinggi.
Liu et al (2013) menyatakan bahwa Presepsin adalah biomarker yang lebih bermanfaat
daripada PCT dalam diagnosis dini sepsis, dan presepsin dalam kombinasi dengan skor
MEDS atau skor APACHE II secara signifikan meningkatkan akurasi prognostik pada pasien
sepsis. Dalam penelitiannya bahwa kadar Presepsin berbeda secara signifikan antara
kelompok pasien yang survival dan kelompok yang meninggal, dan antara kelompok sepsis,
sepsis berat dan syok sepsis. Sehingga tampaknya Presepsin dapat menjadi biomarker yang
menjanjikan dan lebih unggul dari IL-6, CRP dan PCT untuk diagnosis dini sepsis,
stratifikasi risiko dan evaluasi prognosis risiko kematian 30 hari pada pasien sepsis di IGD.
Zou et al (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Presepsin selain memiliki
tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis, juga merupakan prediktor
untuk prognosis sepsis.
Benovska et al (2015) menyatakan dalam penelitiannya bahwa seperti PCT, Presepsin
adalah marker yang dapat digunakan untuk diagnosis, monitoring terapi dan prognosis sepsis.
Pada penelitiannya dan pada penelitian lain yang terbaru Presepsin merupakan marker
prognostik sepsis yang lebih superior dibandingkan PCT.
Behnes et al (2014) menyatakan bahwa pengukuran kadar presepsin memiliki nilai
diagnostik dan prognostik independen pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik
selama minggu pertama pengobatan perawatan intensif. Kadar Presepsin memiliki nilai
diagnostik yang berharga untuk diagnosis sepsis, sepsis berat dan syok septik pada perawatan
ICU dibandingkan dengan PCT, IL-6, CRP dan WBC. Selain itu, presepsin memiliki
kapasitas prognostik yang baik untuk memprediksi semua penyebab kematian jangka pendek
dan jangka panjang bila dibandingkan dengan PCT, IL-6, CRP, WBC dan skor APACHE II.
Derajat keparahan sepsis dinilai dengan menggunakan sistem skoring. Sistem skoring
banyak diterapkan untuk risiko stratifikasi dan prediksi prognosis pada pasien sepsis.
Beberapa sistem prediksi kematian yang digunakan pada pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, yaitu skor APACHE II, skor SAPS II, skor SOFA, skor MEDS, dan skor REMS.
Namun hanya beberapa sistem stratifikasi prognostik sepsis yang biasa dipakai yaitu
APACHE II dan adanya skor baru dalam penilaian sepsis yaitu skor MEDS (Mortality in
Emergency Department Sepsis)
Skor MEDS (Mortality in Emergency Department Sepsis) adalah skor mortalitas pada
sepsis di Emergency Department yang dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan alat
stratifikasi risiko awal sepsis yang mudah digunakan dan berlaku di IGD. Skor MEDS
merupakan sistem prediksi cepat dan sederhana untuk mengidentifikasi risiko kematian pada
pasien sepsis. Skor dihitung berdasarkan sembilan variabel yang diambil dari profil pasien,
gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium awal. Skor MEDS dapat memprediksi rerata
angka kematian 28 hari pada pasien emergensi dengan sepsis. MEDS bukan satu-satunya
sistem penilaian klinis yang dikembangkan untuk digunakan dalam unit emergensi untuk
memprediksi kematian, tetapi skor ini adalah yang paling relevan untuk pasien yang dicurigai
sepsis yang datang ke unit emergensi. Menurut Putra dkk (2013) kinerja skor MEDS telah
divalidasi pada berbagai populasi dan tampaknya lebih baik dibandingkan beberapa laporan
dengan skor klinis lain seperti APACHE II, CURB-65, dan mREMS.
Berdasarkan hal diatas, maka dilakukanlah penelitian tentang korelasi kadar Presepsin
(sCD14-ST) dengan skor MEDS yang menggambarkan derajat keparahan sepsis pada pasien
sepsis yang dirawat di bagian Penyakit Dalam RSAU Dr M.Salamun .

1.2 Perumusan Masalah


Apakah terdapat korelasi antara kadar Presepsin (sCD14-ST) serum dengan skor MEDS yang
menggambarkan derajat keparahan sepsis ?
1.3 Tujuan Penelitian
Umum :
Untuk mengetahui korelasi antara kadar Presepsin serum dengan derajat keparahan sepsis

Khusus :

1 Mengetahui rerata kadar Presepsin serum pada pasien sepsis.


2 Mengetahui rerata skor MEDS pada pasien sepsis.
3 Mengetahui korelasi antara kadar Presepsin serum dengan skor MEDS.

1.4 Hipotesis Penelitian


Terdapat korelasi positif kadar presepsin serum dengan skor MEDS.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang peranan Presepsin pada sepsis


2. Sebagai sumber infomasi mengenai hubungan kadar Presepsin dengan derajat
keparahan sepsis.
3. Dapat menentukan beratnya derajat sepsis sehingga dapat digunakan dalam
menentukan penatalaksanaannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi sepsis

Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome)
dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang
abnormal (>38oC atau <36c ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis
respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih.
Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia.
Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan
sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-
organ.

Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok
septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah
tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah
dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan
darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.

2.2 Epidemiologi sepsis

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan
penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit
perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien
masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat
dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis
atau syok septik per tahun di Amerika Serikat.

Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah
tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian
terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini
adalah pasien rawat inap tersebut.

2.3 Etiologi sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus,
atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik
langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.

Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari
kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh
satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau
cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu
proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia,
pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat
frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan
glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi
mekanis.

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang
paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis
infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1) Infeksi paru-paru (pneumonia)

2) Flu (influenza)

3) Appendiksitis

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7) Infeksi pasca operasi

8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi

2.4 Patofisiologi sepsis

Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun dan
mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis
tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang
berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti
inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.

2.4.1 Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis. Patofisiologi
sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida,
lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta
jamur, virus, dan komponen parasit.

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (eutrophil,
limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh
mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like
receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi
sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1
memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-
activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan
peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi
pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih
lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida
nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami
ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis,
serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti
meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat
makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.

2.5 Tahapan perkembangan sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini
sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.

2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu
fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.

3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke
tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen
yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik dan
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian.

2.6 Faktor risiko

2.6.1 Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia
tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait sepsis di segala
usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45
sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi.
Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa
dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk meninggal
karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur

2.6.2 Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis
dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk
mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar,
sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami kematian
berhubungan dengan sepsis hanya 7%.

2.6.3 Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di
antara orang Asia.

2.6.4 Penyakit komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal kronis,
diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih,
dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat.

2.6.5 Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen
untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi,
mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran
imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik
dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk
infeksi Gram-negatif

2.6.6 Terapi kortikosteroid

Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap berbagai
jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun
bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis
meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan
parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi
mengakibatkan sepsis.

2.6.7 Kemoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-sel
kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang
menerima kemoterapi 17 beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka
rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang
disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi
ini, setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan
penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia.

2.6.8 Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa
obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa
depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada
BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif
pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan
adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.

2.7 Manifestasi klinis

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan
bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction
syndrome (MODS)

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,
takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer
(renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang
menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien
dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi,
diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa
gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan
manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang
mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita
takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada
pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan
adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal
untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran
sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama 19 perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan
permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental
seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat
dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda,
dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin
terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai
tambahan pertimbangan klinis

2.8 Diagnosis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi mikrobiologi
etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia
menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana
eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus
untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin
dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan
hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat
intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena
sentral, tekanan darah, dan cardiac output.

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan sepsis


dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea
yang tidak jelas, tandatanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak
dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung
meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap,
hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan
sepsis.

2.9 Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia, pemanjangan


waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan
peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta
perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit
imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi
bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal
meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons
inflamasi.

2.10 Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)

Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang
diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan
pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi
sebagai berikut:

1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg

2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%

4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen


tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).

2.11 Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis

1) Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary
leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn tindakan utama.

2) Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure
dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine,
epinephrine, phenylephrine.
3) Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection
fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac
output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.

2.12 Komplikasi

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin
terjadi meliputi:

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut
(acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan
kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli
mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan
komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi
ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang
berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru
bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya
tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis,
kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat
yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan
kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua
system diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu
diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam
bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat
thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan
hasil yang lebih buruk.

3) Gagal jantung Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul
inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban
kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS)
atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian
obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus
digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak
dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase.
Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status
hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama

5) Gagal ginjal Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya


gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia,
dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal
tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.

6) Sindroma disfungsi multiorgan Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga
intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.

 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.

 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan


yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan
surosepsis.

Anda mungkin juga menyukai