Anda di halaman 1dari 28

ABSTRAK

Latar belakang
Early goal-directed therapy (EGDT) telah disetujui dalam panduan The Surviving
Sepsis Campaign sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas pasien pasien yang
datang ke bagian gawat darurat dengan syok septik. Akan tetapi, keefektifannya
masih diragukan.

Metode
Dalam penelitian yang melibatkan 51 rumah sakit (terutama terletak di Australia
atau New Zealand), peneliti secara acak memberikan tatalaksana EGDT atau
tatalaksana biasa kepada pasien syok septik yang datang ke bagian gawat darurat.
Keluaran primer adalah mortalitas dengan penyebab apapun dalam waktu 90 hari
setelah randomisasi.

Hasil
Dari 1600 pasien yang didaftarkan, 796 dimasukkan dalam kelompok EGDT dan
804 dalam kelompok tatalaksana biasa. Data keluaran primer yang didapat lebih
dari 99% pasien. Pasien dari kelompok EGDT mendapatkan volume rata-rata
cairan intra vena yang lebih besar dalam 6 jam pertama setelah randomisasi
disbanding dengan kelompok tatalaksana biasa (1964±1415 ml vs 1713±1401 ml)
dan lebih sering mendapat infus vasopressor (66.6% vs. 57.8%), transfusi PRC
(13.6% vs. 7.0%), dan dobutamin (15.4% vs. 2.6%) (p<0,0001 untuk semua
perbandingan). Pada 90 hari setelah randomisasi, 147 pasien meninggal dari
kelompok EGDT, dan 150 pasien dari kelompok tatalaksana biasa, dengan angka
mortalitas 18.6% and 18.8%, berturut-turut (perbedaan risiko absolut pada EGDT
vs. tatalaksana biasa, -0,3 poin persentase; interval kepercayaan 95%, -4,1 sampai
3,6; P=0,90). Tidak ada perbedaan signifikan pada waktu survival mortalitas
selama di rumah sakit, durasi penggunaan organ support, atau lama perawatan di
rumah sakit.

Kesimpulan
Pada pasien sakit kritis yang datang ke bagian gawat darurat dengan syok septik
yang baru terjadi, EGDT tidak menurunkan mortalitas pada 90 hari. ( dibiayai oleh
National Health and Medical Research Council of Australia and the Alfred
Foundation; ARISE Clinical Trials.gov number, NCT00975793)

1
ABSTRACT

Background
Early goal-directed therapy (EGDT) has been endorsed in the guidelines of the
Sur- viving Sepsis Campaign as a key strategy to decrease mortality among
patients pre- senting to the emergency department with septic shock. However, its
effectiveness is uncertain.

Methods
In this trial conducted at 51 centers (mostly in Australia or New Zealand), we
randomly assigned patients presenting to the emergency department with early
septic shock to receive either EGDT or usual care. The primary outcome was all-
cause mortality within 90 days after randomization.

Results
Of the 1600 enrolled patients, 796 were assigned to the EGDT group and 804 to
the usual-care group. Primary outcome data were available for more than 99% of
the patients. Patients in the EGDT group received a larger mean (±SD) volume of
intra- venous fluids in the first 6 hours after randomization than did those in the
usual- care group (1964±1415 ml vs. 1713±1401 ml) and were more likely to
receive vaso- pressor infusions (66.6% vs. 57.8%), red-cell transfusions (13.6% vs.
7.0%), and dobutamine (15.4% vs. 2.6%) (P<0.001 for all comparisons). At 90
days after ran- domization, 147 deaths had occurred in the EGDT group and 150
had occurred in the usual-care group, for rates of death of 18.6% and 18.8%,
respectively (absolute risk difference with EGDT vs. usual care, −0.3 percentage
points; 95% confidence interval, −4.1 to 3.6; P = 0.90). There was no significant
difference in survival time, in-hospital mortality, duration of organ support, or
length of hospital stay.

Conclusions
In critically ill patients presenting to the emergency department with early septic
shock, EGDT did not reduce all-cause mortality at 90 days. (Funded by the
National Health and Medical Research Council of Australia and the Alfred
Foundation; ARISE ClinicalTrials.gov number, NCT00975793.)

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis yang merupakan penyebabkan kematian terbanyak di ICU diluar


penyakit jantung koroner memiliki angka mortalitas sebesar 91,3% dalam sepuluh
tahun terakhir. Sepsis yang hampir menyerang 18 juta orang setiap tahunnya di
dunia memiliki insiden sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dan
meningkat setiap 9% setiap tahunnya. Negara Amerika Serikat angka kejadian
sepsis berkisar 3/1000 populasi dan meningkat 100 persen berdasarkan umur.
Australia memiliki angka sebesar 39% dari pasien ICU yang dirwat dengan sepsis
Kejadian sepsis di Indonesia berkisar antara 1,5-3,72% pada beberapa rumah sakit
rujukan di Indonesia seperti RS Cipto Mangunkusumo, sedangkan angka kematian
berkisar antara 37,09-80%. 2,3,4
Angka kematian sepsis dapat dipengaruhi oleh beberapa penyebab antara
lain faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru
akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial,
polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.5,6

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Syok adalah sindrom klinis dimana terdapat kegagalan dalam pengaturan
peredaran darah sehingga terjadi kegagalan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi ini biasanya disebabkan oleh kehilangan
cairan (hipovolemik), karena kegagalan pompa jantung ataupun karena perubahan
resistensi vaskuler perifer. 7
Syok secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berikut
adalah tabel singkat mengenai jenis-jenis syok8 :
Tabel 1. Jenis-jenis Syok
Jenis Syok Penyebab
Hipovolemi 1. Perdarahan
k 2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi
usus dan lain-lain

Kardiogenik 1. Aritmia
 Bradikardi / takikardi
2.Gangguan fungsi miokard
 Infark miokard akut, terutama infark ventrikelkanan
 Penyakit jantung arteriosklerotik
 Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
 Regurgitasi mitral/aorta
 Rupture septum interventrikular
 Aneurisma ventrikel massif
 Obstruksi:
Out flow : stenosis atrium
Inflow : stenosis mitral, miksoma atriumkiri/thrombus

Obstruktif Tension Pneumothorax


Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik 1.Infeksi bakteri gram negative,
Contoh: Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter,
serratia,Proteus,
2.Kokus gram positif,
Contoh :Stafilokokus, Enterokokus, dan Streptokokus
Neurogenik  Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang
belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis dengan

4
quadriflegia atau paraplegia)
 Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,misal nyeri
hebat
 Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan
obat anestesi
 Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan
bradikardi jantung mendadak. Hal ini terjadi pada orang
yang pingan mendadak
akibat gangguan emosional

Anafilaksis  Antibiotik
Contoh : Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol, polimixin,
ampoterisin B
 Biologis
Contoh : Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan
gamma globulin
 Makanan
Contoh : Telur, susu, dan udang/kepiting
 Lain-lain
Contoh : Gigitan binatang, anestesi local

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai


dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi,
sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi
komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi
sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai
jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.7
Sindrom respons inflamasi sistemik / Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) atau yang sering disebut sindrom sepsis ditandai dengan 2 dari
gejala berikut :3
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature

5
Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti adanya
sumber infeksi yang jelas. Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis berat yaitu sepsis
yang disertai dengan kegagalan organ multipel /Multiple Organ Dysfunction /
Multiple Organ Failure (MODS/MOF). Sepsis berat dengan hipotensi ialah sepsis
dengan tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg.
Perkembangan berikut dari sepsis ialah berujung pada suatu syok septik.Syok
septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi oleh sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, serta
disertai dengan hipoperfusi jaringan.9
Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai
dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup
ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang
melebihi 4 mg / dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain.10
Tabel 2. Perbedaan Sindrom Sepsis dan Syok Septik4
Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis Syok Septik
 Takipneu, respirasi >20x/m Sindroma sepsis ditambah dengan
 Takikardi >90x/m gejala:
 Hipertermi >38C  Hipotensi 90 mmHg
 Hipotermi <35,6C  Tensi menurun sampai 40
 Hipoksemia mmHg daribaseline dalam
 Peningkatan laktat plasma waktu 1 jam
 Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB  Tidak membaik dengan
dalam 1 jam pemberian cairan, serta penyakit
syok hipovolemik,
infarkmiokard dan emboli
pulmonal sudah disingkirkan

6
Gambar 1. Diagram hubungan SIRS, Sepsis dengan Infeksi

Gambar 2. Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat


2.1 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan
presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat
11
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.
Insidennya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik berlebihan,
meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya
frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya
jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi
yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.

Tabel 3. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis. 11

7
Sistem pendekatan sepsis dapat dikembangkan berdasarkan predisposisi,
penyakit penyebab, respon tubuh dan disfungsi organ atau PIRO (Predisposing
factor, Insult, Rensponse and Organ dysfunction)

Tabel 4. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis 11

Faktor risiko pada sepsis berat dan syok septik adalah sebagai berikut:6
 Usia ekstrem (<10 tahun dan > 70 tahun)
 Penyakit primer (misalnya, sirosis hati, alkoholisme, diabetes mellitus,
penyakit cardiopulmonary, keganasan tumor padat, keganasan
hematologi)
 Imunosupresi (misalnya, neutropenia, terapi imunosupresif, terapi
kortikosteroid, IV penyalahgunaan narkoba, complement deficiencies,
asplenia)
 Operasi besar, trauma, luka bakar
 Prosedur invasif (misalnya, kateter, alat intravaskular, prosthetic device,
hemodialisis dan kateter dialisis peritoneal, tabung endotrakeal)

8
 Pengobatan antibiotik sebelumnya
 Perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan
 Faktor-faktor lain, seperti melahirkan, aborsi, dan malnutrisi

2.3 Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein)
yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS.
LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam
serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian
LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.
Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear
factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2).7
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa
Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin.
Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai
superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen
berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-
chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar
untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.7,12

9
Gambar 3. Skema Infeksi - Sepsis

Peran Sitokin pada Sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi
mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan
sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan
proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator
proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi,
reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon.7,11
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan
IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan
permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1,
ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan
PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan
mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti
prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida

10
seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal
dari sistem komplemen.11 Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan
mediator inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
antiinflamasi.13

Peran Komplemen pada Sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui
jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu
C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan
respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan
radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan
ekspresi faktor jaringan.11

Peran NO pada Sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan
reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi
molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada
sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor.5,7

Peran Netrofil pada Sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil
dengan pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam
sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat
menurun. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun
pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya
bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis
tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien
dengan sepsis juga tidak efektif .13

11
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer.Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas
vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif,
sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan
intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis hipoksia,
sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler
(termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat
hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.

12
Gambar 4. Skema Syok Septik akibat Infeksi Kuman Gram Negatif

Gambar 5. Skema Gangguan Hemodinamik pada Pasien Sepsis

2.4 Gejala Klinis


1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi
keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi,
dan ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis). Pada keadaan sepsis gejala yang nampak
adalah gambaran klinis keadaan tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan
penunjang berupa lekositosis atau lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik,

13
hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat dan hasil biakan kuman
penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-
tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan
produksi urin, dan penurunan tekanan darah). Gejala syok sepsis yang mengalami
hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi
perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan
menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler
normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan
sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.10,8
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi,
dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat
pulih).8

Fase I : kompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu
meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari
organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah
diastolik tetap normal sedangkan tekanan darah sistolik meningkat akibat
peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara
temporer dengan meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat
peningkatan sekresi vasopressin dan renin – angiotensin – aldosteron yang akan
mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat
dan dingin dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat > 2 detik.

Fase II : Dekompensasi.
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah
jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan
dengan perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga
metabolisme berlangsung secara anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic

14
menimbulkan penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir
dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam
karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons
terhadap katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya
mekanisme energi dependent pompa Na/K ditingkat selular, akibatnya integritas
membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang
dapat berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi
rantai kinin serta system koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan
timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi
perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,
serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,
oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin
factor). Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal
keadaan stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat
memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan
permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali kejantung
(venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah,
tekanan darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled,
capillary refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah
cepat dan dalam) dengan depresi susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).

Fase III : Irreversible


Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus
berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ
lainnya. Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung
dan hepar, sintesa ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan
kehabisan energi. Kematian akan terjadi walaupun system sirkulasi dapat
dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak

15
teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda
kegagalan sistem organ lain.
Syok septik yang berat dapat berkembang menjadi suatu sindrom gangguan /
penurunan fungsi organ multipel akibatnya hipoperfusi generalisata. Berikut adalah
tanda-tanda kelainan sistemik pada Multiple Organ Failure

Tabel 4. Kriteria Diagnosis / Tanda dan Temuan dalam Sepsis

16
Tabel 5. Tanda Multiple Organ Failure
Multiple Organ Failure
DIC FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respirotary Distress Syndrome Hipoksemia

Acute Renal Failure Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Hepatobilier disfunction Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)


Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua
kali harganormal

Central Nervous System Disf.. GCS < 15

2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien
langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus
10
infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ.
Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan seperti airway, breathing
circulation, Disability: assess the neurological status and check the blood glucose,
Exposure and environmental control
1. Penilaian ABCDE, dapat mencakup :
 Penilaian klinis
 Airway support
 Oksigen aliran tinggi
 Cannule
 Terapi cairan
 Monitoring jumlah urine

17
 Penilaian kadar gula darah
 Regulasi temperatur
2. Pengecekan ulang untuk memastikan hal berikut telah dilakukan
 Terapi oksigen aliran tinggi
 Cannule
 Terapi cairan bila ada gangguan sirkulasi
 Monitor jumlah urin
3. Melakukan penegakan diagnostik sepsis yang spesifik, dapat
mencakup :
 Kultur ( darah, dll )
 Pengukuran kadar laktat
 Pengukuran Hemoglobin dan tes lain
 Pencitraan untuk mengidentifikasi sumber infeksi
4. Terapi lengkap untuk sepsis:
 Antibiotik spektrum luas secara intravena
 Drainase atau bedah bila memungkinkan

Penatalaksanaan awal ini dapat disingkat menjadi “Sepsis Six” yakni :5


 Oksigen aliran tinggi
Sepsis secara dramatis akan meningkatkan kecepatan metabolik
tubuhsehingga kebutuhan akan oksigen akan meningkat. Untuk itu
digunakan non-rebreathe face mask dengan aliran oksigen tinggi. Saturasi
oksigen ditargetkan di sekitar >= 94% kecuali jika pasien memiliki riwayat
hipoksemia kronis. Non-rebreathe face mask biasanya tidak cocok untuk
pemakaian jangka panjang, namun sangat penting dalam fase resusitasi akut
untuk memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk.
 Kultur darah ( dan yang lainnya ).
Kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik intravena.
Kultur darah diambil secara percutaneous dan sebelum meletakkan akses IV
yang baru. Kultur darah tidak mempengaruhi pilihan terapi antibiotik

18
speksturm luas pada fase awal tetapi berpengaruh pada pemilihan antibiotik
ketika patogen telah diidentifikasi.
 Antibiotik spektrum luas secara intravena
Pemilihan antibiotik spektrum luas yang tepat akan mengikuti langkah-
langkah berikut :
o Riwayat alergi yang dimiliki oleh pasien.
o Kondisi klinis pasien dan kemungkinan sumber infeksi
o Peraturan mengenai administrasi antibiotik.
Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempak infeksinya 10
Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic
Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)

19
20
 Uji terapi cairan intravena.
Bila pasien sepsis mengalami hipotensi atau bila pasien menunjukkan
tanda-tanda insufisiensi sirkulasi, uji terapi cairan dengan 10ml/kg koloid
ataupun 20ml/kg kristaloid sebaiknya dilakukan dalam bolus yang telah
dibagi. Dapat diulang dua kali, hingga bolus total tiga kali. Bila pasien
masih mengalami hipotensi, sebaiknya dipasang Central Venous Catheter
yang sekaligus dapat memonitor administrasi vasopressor dan inotropik bila
dibutuhkan. Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial
pressure dan perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan vasopresor
potensial seperti norepinefrin, dopamine, epinefrin dan phenylephrin. Bila
resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih mengalami
gangguan dimana kebanyakan pasien akan mengalami cardiac output yang
turun sehingga diperlukan inotropik seperti dobutamin, dopamine dan
epinefrin.

 Pengukuran hemoglobin dan laktat


Laktat dapat diukur dari sampel vena menggunakan jarum Arterial Blood
Gas. Akumulasi laktat menandakan respirasi anaerob yang sedang
berlangsung. Penelitian terbaru menyebukan Procalcitonin sebagai alternatif
penanda kaskade hipoperfusi lanjut.

 Monitor jumlah urin


Pada kondisi normal, sistem autoregulasi tubuh akan menjamin aliran
cukup ke ginjal dalam jumlah normal meski adanya perubahan tekanan

21
darah. Pada sepsis, fungsi ini terganggu sehingga ketika tekanan darah
menurun, aliran darah ke ginjal juga menurun sehingga jumlah urin juga
akan menurun. Urinary kateter dapat mengukur jumlah produksi urin dari
ginjal, sehingga membantu mengestimasi aliran darah ginjal. Hal ini
membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan
oliguria bila produksi urin <0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut.
Oliguria persisten menjadi tanda awal dari gagal ginjal. Anuria
mengindikasikan bahwa ginjal telah sepenuhnya mengalamai kegagalan,
namun seringkali akibat terbloknya aliran urin di kateter

Target yang ingin dicapai pada resusitasi awal :


 MAP > 65mmHg
 Capillary Refill Time membaik
 Akral menjadi lebih hangat
 Produksi urin >0.5ml/kg/jam
 Status mental yang membaik.
 Menurunnya kadar laktat

Early Goal Directed Therapy


Merupakan langkah awal dalam 6 jam pertama yang dilakukan untuk
meningkatkan survival pada pasien sepsis

Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasien syok septikyang mengalami penurunan volume
intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan
tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat
perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam
waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine
>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi

22
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg,
maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (dosis 5-10μg/kg/menit sampai maksimal 20 μg/kg/menit). 14
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP
60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg
BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat
di tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol
(norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti
prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin).14

Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnose sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan,
dimana sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat.
Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik
diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan
terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif.

23
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih
obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat
penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis.14 Oleh karena pada sepsis
umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,
terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan
endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.1 Pemberian
antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan indikasi :
 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan
data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada
bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.14

Terapi Suportif
 Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
 Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau
ringer laktat) maupun koloid.1,14
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-
10 g/dL.

24
 Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau
tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5
μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).1,5,15
 Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1,15
 Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1,5,15
 Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.1,5
 Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin
untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada
kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.

25
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.1,5
 Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk
di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa
heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat
diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
 Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan
dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.14

26
BAB III
PEMBAHASAN DAN RANGKUMAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan


penelitian singleblindtrueexperimentaldesign. Kelompok penelitian dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu: kelompok I menerima EGDT dan kelompok II menerima
usual care
Tempat penelitian adalah Rumah Sakit di Australia dan New Zealand.

KESIMPULAN

27
28

Anda mungkin juga menyukai