Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT


PENGGUNAAN ZAT DAN ALKOHOL

ILMU KESEHATAN JIWA

Disusun oleh :

Risa Apriliani

(1102013252)

Pembimbing :

AKBP dr. Karjana, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO

PERIODE 25 Desember 2017 – 27 Januari 2018


BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (NAPZA)


disebut gangguan penggunaan zat, adalah suatu perilaku yang menyimpang dari
norma - norma yang umumnya berlaku pada berbagai kebudayaan di dunia (Joewana,
2005).

Dapat diketahui, napza mempunyai dampak terhadap sistem syaraf manusia


yang menimbulkan perasaan. Sebagian dari napza itu meningkatkan gairah, semangat
dan keberanian, sebagian lagi menimbulkan perasaan mengantuk, yang lain bisa
menyebabkan rasa tenang dan nikmat sehingga bisa melupakan segala kesulitan.
Oleh karena efek-efek itulah beberapa remaja menyalahgunakan napza. Tetapi
sebagaimana semua orang pun tahu, narkoba dalam dosis yang berlebihan bisa
membahayakan jiwa orang yang bersangkutan. Padahal sifat itu antara lain adalah
menimbulkan ketergantungan (kecanduan) pada pemakainya. Semakin sering ia
memakai napza semakin besar pula ketergantungannya, sehingga pada suatu saat
tidak bisa melepaskan diri lagi. Pada tahap ini remaja yang bersangkutan menjadi
kriminal, atau menjadi pekerja seks untuk sekedar memperoleh uang untuk membeli
napza (Sarwono, 2003).

Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA di mulai pada saat pecandu masih


remaja. Hal ini dikarenakan pada masa ini seseorang sedang mengalami masa
perubahan biologis, psikologis, maupun sosial yang pesat sehingga rentan untuk
mengkonsumsi obat - obatan terlarang. Merokok, minum - minuman keras, dan
menggunakan obat dapat mengurangi ketegangan dan frustasi, meringankan
kebosanan dan keletihan, serta dalam beberapa kasus dapat membantu remaja untuk
melarikan diri dari realitas dunia yang keras. Obat dapat memberikan perasaan
nikmat melalui ketenangan, kegembiraan, relaksasi, persepsi yang selalu berubah -
ubah, gelombang kegembiraan atau meningkatnya sensasi dalam waktu yang panjang
(Santrock, 2007).

NAPZA singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat adiktif


lainnya yang merupakan bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan

1
mempengaruhi tubuh terutama susunan saraf pusat atau otak, sehingga menyebabkan
gangguan fisik, psikis dan Fungsi sosial (Putra, 2011).

NAPZA yang biasa disebut dengan narkoba adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA. Barang - barang terlarang yang dapat merusak jiwa
dan raga pemakainya antara lain adalah ganja, alkohol, mariyuana, cocaine,
barbiturate, amphetamine, LSD, candu, morphin dan heroin. Jika digunakan dalam
kadar yang berlebihan dapat membawa pemakai dalam kondisi over dosis yang
berakibat pada kematian (Kartono, 2006).

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

2.1.1 GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


ZAT DAN ALKOHOL

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dan alkohol merupakan
gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa
komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas
dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih
zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter) (Maslim, 2013).

2.1.2 NAPZA

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya yang apabila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis,
serta menimbulkan ketergantungan. NAPZA bekerja pada pusat penghayatan
kenikmatan otak sebagaimana kenikmatan sensasi makan dan stimulasi seksual,
sehingga sering muncul dorongan yang kuat untuk menggunakan NAPZA dengan
tujuan memperoleh kenikmatan euphoria (BNN, 2013).

Menurut Hawari (1991) Napza mencakup segala macam zat yang disalah
gunakan untuk Gitting (keadaan nyaman [yg sebetulnya semu] bagi pemakai
narkoba), fly atau high (keadaan mabuk akibat konsumsi ganja), yang dapat
mengubah tingkat kesadaran seseorang. Termasuk dalam Napza adalah obat
perangsang, penenang, penghilang rasa sakit, pencipta ilusi atau psikotropika, dan
zat-zat yang tidak termasuk obat namun dapat disalahgunakan misalnya alkohol atau
zat yang bisa dihirup seperti bensin, lem, tinner, dan lain – lainya sehingga high.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada
tahun 2012 memperlihatkan suatu fakta mengejutkan yaitu jumlah penyalahgunaan

3
NAPZA pada kelompok umur 10-19 tahun sebesar 4,4% atau sekitar 1 juta orang
(BNN, 2013). Dan didapatkan pula, hasil penelitian yang dilakukan Dadang Hawari
diperoleh data dan kesimpulan bahwa pada umumnya kasus penyalahgunaan NAPZA
dilakukan pada usia remaja yakni sebanyak 97% karena pada masa remaja sedang
mengalami keadaan emosional yang labil dan mempunyai keinginan besar untuk
mencoba serta mudah terpengaruh oleh lingkungan dan teman sebaya (Hawari,
2006).

Berdasarkan data dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba Barekskrim Polri


(2013), jumlah tersangka kasus narkoba dengan jenis kelamin laki - laki tahun 2012
sebanyak 32.206 orang dan jumlah tersangka dengan jenis kelamin perempuan adalah
3.247 orang.

Sedangkan jumlah tersangka kasus narkoba berdasarkan kelompok umur pada


tahun 2012 berdasarkan data dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba Barekskrim
Polri (2013) dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Jumlah Tersangka Kasus Narkoba Berdasarkan Kelompok Umur


Tahun 2012

No. Kelompok Umur Tersangka Jumlah Tersangka Tahun 2012

1. <16 tahun 132

2. 16 – 19 tahun 2.103

3. 20 – 24 tahun 5.460

4. 25 – 29 tahun 10.307

5. >30 tahun 17.451

JUMLAH 35.453

Sumber: Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Maret 2013

4
2.3 ETIOLOGI PENYALAHGUNAAN NAPZA

(Sadock, 2002)

1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk
masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi
dari regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak alasan
untuk mencurigai faktor lingkungan memainkan peran dalam
penyalahgunaan NAPZA. Sehingga dalam banyak artikel disebutkan bahwa
pelaku penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalah anak-anak atau
remaja dengan perkembangan psikososial yang buruk.
2. Faktor Genetik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan
saudara kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.

2.4 KLASIFIKASI

(PPDGJ – III, 2013)

F10. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


ALKOHOL

F11. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


OPIOIDA

F12. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


KANABINOIDA

F13. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


SEDATIVA ATAU HIPNOTIKA

F14. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


KOKAIN

5
F15. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN
STIMULANSIA LAIN TERMASUK KAFEIN

F16. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


HALUSINOGENIKA

F17. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


TEMBAKAU

F18. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


PELARUT YANG MUDAH MENGUAP

F19. – GANGGUAN MENTAL dan PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


ZAT MULTIPEL dan PENGGUNAAN ZAT PSIKOTIKA LAINNYA

2.5 MEMAHAMI ADIKSI SEBAGAI GANGGUAN OTAK

(Sadock, 2002)

Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap


jaringan otak: bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang
aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).
Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA
(yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat menyebabkan
terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut
tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh.
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara : disedot melalui
hidung (snorting, sneefing) , dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikan
dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena, ditempelkan pada
kulit (terutama lrngan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada
juga yang melakukannya dengan mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian
NAPZA sesuai dengan cara penggunaannya , langsung masuk ke pembuluh darah
dan sebagian lagi yang dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh
pembuluh – pembuluh darah di sekitar dinding usus. Karena sifat khususnya,
NAPZA akan , menuju reseptornya masing-masing yang terdapat pada otak.

6
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak,
dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam
(lock into) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian
pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar
neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron
denhgan bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih banyak
neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake
sehingga menyebabkan kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw). Heroin segera
berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada : VTA (ventral
tegmental area), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang merupakan
sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan dengan sebutan
reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah
reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat
tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter
opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat
menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi sistem reward melalui peningkatan
neurotransmisi dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan membuat tubuh
mengadalkan diri kepada adanya drug untuk mempertahankan perasaan rewarding
dan perilaku normal lain. Orang tidak lagi mampu merasakan keuntungan reward
alami (seperti makanan, air, sex) dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa
kehadiran opioid.

2.6 GEJALA DAN EFEK PENGGUNAAN NAPZA

Tabel 2.2 Efek dan Tanda - Tanda Penggunaan Narkotika

Jenis Efek
 Menimbulkan rasa kantuk, lesu, penampilan dungu, jalan
mengambang, dan rasa senang berlebihan.
 Gejala putus zat tidak mengancam secara fisik, melainkan
Heroin psikis, yaitu rasa tidak nyaman pada perut, kram otot, nyeri
tulang, gejala seperti flu.
 Problem kesehatan, yaitu bengkak pada daerah yang disuntik,
tetanus, HIV/AIDS, hepatitis B dan C, problem jantung, dada

7
dan paru- paru, serta sulit buang air besar. Pada wanita
mengganggu siklus menstruasi.

 Menurunkan keterampilan motorik, bingung, kehilangan


konsentrasi, penurunan motivasi, meningkatkan nafsu makan,
rasa senang yang berlebihan.
Ganja
 Komplikasi kesehatan pada daerah pernafasan, sistem
peredaran darah dan kanker.

Sumber : BNN, 2009

Tabel 2.3 Efek dan Tanda - Tanda Penggunaan Psikotropika

Jenis Efek
 Bicara jadi pelo, memperlambat respon fisik, mental, dan emosi.
Dalam dosis tinggi akan membuat pengguna tidur, kemudian akan
menimbulkan perasaan cemas, sensitif, dan marah.
Obat Penenang  Penggunaan campuran dengan alkohol akan berdampak
mematikan.
 Gejala putus zat bersifat lama dan serius.

 Peningkatan detak jantung dan tekanan darah, rasa senang yang


berlebihan, hilangnya rasa percaya diri.
 Setelah efek di atas, biasanya akan terjadi perasaan lelah, cemas,
dan depresi yang dapat berlangsung beberapa hari.
Ecstasy  Kematian dilaporkan terjadi karena tidak seimbangnya cairan
tubuh, baik karena dehidrasi ataupun terlalu banyak cairan.
 Menimbulkan kerusakan otak yang permanen.

 Menimbulkan perasaan melayang sementara yang berangsur -


angsur membangkitkan kegelisahan luar biasa.
Methamphetamine  Aktivitas tubuh dipercepat berlebihan, penggunaan yang lama
akan merusak tubuh, bahkan kematian karena over dosis.

Sumber : BNN, 2009

Tabel 2.4 Efek dan Tanda - Tanda Penggunaan Bahan Adiktif Lainnya

Jenis Efek
 Memperlambat kerja sistem saraf pusat, memperlambat refleks
motorik, menekan pernafasan, denyut jantung, dan mengganggu
penalaran dan penilaian.
 Menimbulkan perilaku kekerasan, meningkatkan risiko
Alkohol
kecelakaan lalu lintas.
 Gejala putus zat mulai dari hilangnya nafsu makan, sensitif,
tidak dapat tidur, kejang otot, halusinasi, dan bahkan kematian.

Bahan yang mudah  Memperlambat kerja otak dan sistem saraf pusat.
menguap (Lem Aica  Menimbulkan perasaan senang yang berlebihan, pusing,
Aibon, Thinner , penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, dan pelo.

8
Bensin, Spiritus)  Problem kesehatan terutama merusak otak, liver, ginjal, dan
paru - paru.
 Kematian timbul akibat terhenti nya pernafasan dan gangguan
pada jantung.

 Bekerja pada sistem saraf pusat untuk mengacaukan kesadaran


Zat yang
dan emosi pengguna.
menimbulkan
 Perasaan sejahtera, perubahan pada proses berpikir, hilang
halusinasi (Jamur,
orientasi dan depresi.
kotoran kerbau/sapi,
 Karena halusinasi, bisa menimbulkan kecelakaan.
kecubung)

Sumber : BNN, 2009

2.7 DIAGNOSIS

Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis


penyakit atau “ disease entity” yang dalam ICD – 10 (international classification of
disease and health related problems – tenth revision 1992) yang dikeluarkan oleh
WHO digolongkan dalam “ Mental and behavioral disorders due to psychoactive
substance use “.
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantungan dikenal dengan istilah
sindrom ketergantungan (PPDGJ-III , 1993). Sehingga diagnosis ketergantungan
NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari gejala-gejala di bawah
selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal,
usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA atau
golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau
menghindari terjadinya gejala putus obat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih
rendah.

9
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA seperti
gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai
akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif. Segala upaya mesti
dilakukan untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA sungguh – sungguh
menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.

2.8 TERAPI dan UPAYA PEMULIHAN

(Elvira dan Hadisukanto, 2017)

Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA (National Institute of Drug Abuse,
1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan pegangan
bagi para profesional dan masyarakat:
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu.
Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan
untuk masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia
mengambil keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak
berubah pendirian kembali )
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu
dan kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana
terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau
belum.
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup
efektif atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi

10
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi
banyak pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi
perilaku lain
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental,
harus mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka
panjang
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan
suatu bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung
harus dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS ,
hepatitis B dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga
menyediakan konseling untuk membantu pasien agar mampu
memodifikasi atau mengubah tingkah lakunya, serta tidak menyebabkan
dirinya atau diri orang lain pada posisi yang beresiko mendapatkan
infeksi
13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka
panjang dan sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang

Sasaran terapi
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai
abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah
penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat
penting dilakuakan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang.
Komitmen tersebut membantu menurunkan angka morbiditas dan
penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat
motivasi yang cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran
terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi
penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari
terapi. Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien

11
mengidentifikasi situasi yang menempatka dirinya kepada resiko relaps
dan menggembangkan respon alternatif asal bukan merupakan NAPZA.
Pada beberap pasien atau klien, situasi sosial atau interpersonal dapat
merupakan faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi dan
keparaha relaps sering menjasikan sasaran yang realistik daripada
pencegahan yang sempurna.
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam
masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema
psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan
keluarga, kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam
pekerjaan, problema finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi
kesehatan umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki
gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan
keterampilan sosial serta mempertahankan status dalam pekerjaannya
disamping mempertahankan dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam
kondisi bebas obat.

Tahapan terapi
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian
awal ( initial intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat
diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang
menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala –
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama
waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan
lamanya penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang
digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk
status pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada
tidaknya gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan
gejala intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan
juga pemeriksaan psikologik dan neuro – psikologi

12
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk
karakteristik berikut : setting terapi, kontekstual ( volintary, non –
voluntary ), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap
program terapi, lamanya ( singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil
dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang
digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan
variabel hasi terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat
sosio – ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan
adanya gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada
keluarga, faktor – faktor dalam keluarga yang mengkontribusi
berkembang atau penggunaan zat terus menerus, penyesuaian sekolah
dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya, problema
finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang
terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia
di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan
zat ( dimana, dengan siapa, berapa kali/ banyak, bagaimana cara
penggunaan. ).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemeriksaan – pemeriksaan
laboratorium lainnya terhadap kelainan – kelainan yang dikaitkan
dengan penggunaan zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV,
tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi:
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out – patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan: kodein dan ibuprofen, klonidin
dan naltrexon, buprenorfin, metadon

13
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus
ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau
menggunakan program terapi subtitusi (seperti antagonis – naltrexon,
agonis metadon, atau partial – agonisbrupenorfin). Umumnya terapi yang
baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari
jangka waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.

2.9 PROGNOSIS

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif merupakan


suatu gangguan mental yang bersifat kronis, berlangsung bertahun-tahun, sering
kambuh atau terjadi eksaserbasi, diseling dengan remisi total atau parsial.
Kemungkinan kambuh terbesar adalah satu tahun pertama sesudah berhenti
menggunakan zat psikoaktif.

Prognosis gangguan mental dan perilaku ini sangat bergantung pada banyak
faktor, seperti faktor kepribadian, ada tidaknya komorbiditas, lingkungan keluarga,
lingkungan pergaulan, mudah tidaknya zat psikoaktif diperoleh.

Semakin muda seseorang mulai menggunakan zat psikoaktif, biasanya


prognosisnya lebih buruk. Bila dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu pengguna
zat psikoaktif, prognosisnya lebih buruk. Adanya gangguan kepribadian
disosial/antisosial, prognosisnya lebih buruk. Demikian pula bila terdapat depresi
berat. Sikap keluarga yang tidak mendukung proses penyembuhan, lingkungan
pergaulan yang buruk, dan mudah diperolehnya zat psikoaktif, memperburuk
prognosis (Joewana, 2005).

14
BAB III

SIMPULAN

Penyalahgunaan NAPZA bukannya hal yang asing terjadi di Indonesia, dari hasil
survei didapatkan terdapat 4,4% atau sekitar 1 juta orang telah menggunakan NAPZA
dimulai usia 10 hingga 19 tahun. NAPZA yang dimana apabila dikonsumsi dapat
menimbulkan perubahan fisik dan psikis, serta ketergantungan.

Penyebab penyalahgunaan NAPZA dapat berasal dari faktor genetik maupun


faktor psikodinamik yang akhirnya dapat menimbulkan gejala-gejala klinis berupa:

1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)


untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan
4. Adanya bukti toleransi
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA.
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.

Maka dari itu dalam upaya pemulihan dari penyalahgunaan NAPZA dapat
dilakukan melalui 3 fase, yaitu:

1. Fase penilaian
2. Fase terapi detoksifikas
3. Fase terapi lanjutan

15
DAFTAR PUSTAKA

BNN. 2009. Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas dan Rutan.
Jakarta: BNN RI.

Badan Narkotika Nasional. 2013. Perkembangan Ancaman Bahaya Narkoba di Indonesia


Tahun 2008- 2012 Nasional. Available from: http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/p
ost.

Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. 2017. Buku Ajar PSIKIATRI Edisi ke-3. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

Hawari M 1999. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat aditif. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Hawari, Dadang. 2006. Penyalahgunaan Dan Ketergantungan NAZA: Narkotika, alcohol dan
zat adiktif. Jakarta: FKUI.

Joewana, S.M.D. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba Edisi 2. Jakarta: Gramedia.

Kartono, K. 2006. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Maslim Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III.
Jakarta: PT. Nuh Jaya. h. 34-43.

Putra. 2011. Hubungan Dukungan Sosial dengan Motivasi untuk Sembuh pada Pengguna
NAPZA di Rehabilitasi Madani Mental Healt Care. Skripsi.

Sadock Benjamin, Sadock Virginia. 2002. Substance Related Disorders. Dari: Kaplan &
Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9 th edition,
Lippingcott Williams & Wilkins. h. 380-435.

Santrock, Jhon W. 2007. Remaja Edisi 11 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S. W. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

16

Anda mungkin juga menyukai