Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
Pada pendahuluan dipaparkan (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, dan (3)
tujuan. Paparan lebih lanjut sebagai berikut.

1.1 Latar Belakang


Salah satu pernyataan yang tertuang dalam rambu-rambu penyelenggaraan
bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal menyatakan salah satu
kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas
kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta
menghormati keragaman dan perubahan. Pernyataan tersebut mengindikasikan
konselor diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami dan peka atau
sensitif terhadap perubahan sertakeberagaman individu.
Konselor cenderung mengedepankan psikologis dari konseli, dan belum
terlalu melihat dari sisi budaya. Padahal, hal ini penting bagi konselor untuk
memberikan layanan yang sesuai dengan kepribadian serta budaya konseli.
Dalam layanan konseling konselor memiliki konsekuensi dalam memahami
keyakinan dan sistem nilai dari konseli namun terkadang keyakinan dan nilai yang
dimiliki konseli berseberangan dengan konselor. Oleh sebab itu perlu bagi
konselor memahami budaya dan sumber budaya dari konseli dalam rangka
pemberian layanan yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pada latar belakang masalah, penulis menyusun rumusan masalah
sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana konsep eko-kultural menurut John W. Berry?
1.2.2 Bagaimana kerangka eko-kultural menurut John W. Berry?
1.2.3 Bagaimana eko-kultural masyarakat Dieng?
1.2.4 Bagaimana eko-kultural masyarakat Madura?
1.2.5 Bagaimana implementasi eko-kultural dalam konseling?
1.2.6 Bagaimana konseling reciprocal inhibition sebagai
pengimplementasian ekokultural?
1.3 Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah, penulis menentukan tujuan penulisan makalah
sebagai berikut.

1
1.3.1 Menjelaskan konsep eko-kultural menurut John W. Berry
1.3.2 Menjelaskan kerangka eko-kultural menurut John W. Berry
1.3.3 Menjelaskan eko-kultural masyarakat Dieng
1.3.4 Menjelaskan eko-kultural masyarakat Madura
1.3.5 Menjelaskan implementasi eko-kultural dalam konseling
1.3.6 Menjelaskan konseling reciprocal inhibition sebagai
pengimplementasian eko-kultural.

2
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan pada Bab I, pada bagian ini
disajikan penelasan sebagai berikut.

2.1 Konsep Eko-Kultural Berry


Pengertian ekologi kultural adalah studi tentang adaptasi manusia untuk
lingkungan sosial dan fisik. Sebuah cara pandang memahami persoalan
lingkungan hidup dalam perspektif budaya atau sebaliknya bagaimana memahami
kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ekologi kultural tidak hanya
sekedar membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem
tertentu melainkan membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya)
memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri.
Beberapa fitur budaya, seperti metode dasar mempertahankan diri, yaitu,
tempat berlindung dan makanan pokok, secara langsung dipengaruhi oleh kondisi
geografis daerah. Jelas, makanan pokok, termasuk cara memperolehnya dan cara
mengonsumsinya, secara radikal berbeda antara keluarga yang tinggal di
Lingkaran Arktik dan keluarga yang tinggal di khatulistiwa. Perbedaan-perbedaan
regional dalam perilaku dasar mempertahankan hidup ini menimbulkan ritual,
kebiasaan, dan norma yang berkembang dalam suatu kelompok tertentu.

2.2 Kerangka Eko- Kultural John W. Berry


Pendekatan eko-kultural dalam studi psikologi lebih bersifat sebagai sebuah
konsep daripada sebuah teori. Pendekatan ini bermula dari pemikiran tentang
kebiasaan, budaya dan fenomena ekologis yang saling terkait dalam pembentukan
prilaku unik seseorang (Berry, et. al., 1990).

3
Kerangka Ekokultural Berry (Berry, 2003) menyatakan bahwa perbedaan dari
setiap orang berasal dari hasil upaya mereka untuk mengakomodasi dan berfungsi
dalam konteks lingkungan mereka, juga akomodasi yang terjadi pada individu
maupun tingkat kelompok.Yang menarik, adaptasi ini tunduk pada prinsip
Darwin, dimana beberapa aspek perilaku manusia bersifat universal, namun
karakteristik lingkungan, seperti cuaca dan fitur geografis, mempengaruhi banyak
aspek mengenai bagaimana suatu budaya berevolusi.

2.3 Eko- Kultural Masyarakat Dieng


Kondisi Geografis :
Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah, yang
masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya
berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Dieng memiliki Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000 m di atas
permukaan laut. Suhu berkisar 12—20 °C di siang hari dan 6—10 °C di malam
hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di
pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut
bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman
pertanian.

4
Secara administrasi, Dieng merupakan wilayah Desa Dieng Kulon,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng ("Dieng Wetan"),
Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Wilayah ini merupakan salah satu
wilayah paling terpencil di Jawa Tengah.
Makanan :
Makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakatnya adalah Nasi Jagung,
nasi Beras, sayur Lombok Bandung, Thikil kubis, Kacang babi, Rese/ Ikan asin,
sayur kentang , minuman purwaceng dan carica dan lainya, makanan seperti ini
bisa jadi sangat nikmat dan diminati juga oleh warga dari luar Dieng.
Ekonomi :
Seperti masyarakat lain yang menghuni daerah pegunungan, masyarakat
Dieng dikaruniai tanah yang sangat subur dan air jernih yang melimpah, Pertanian
adalah mata pencaharian utama yangdigeluti secara turun temurun oleh
masyarakatnya. Komoditas utama yang dibudidayakan adalah Kentang yang
pernah menjadi andalan utama perekonomian masyarakat Dieng, bahkan
membawa perubahan sosial ekonomi yang luar biasa dan membuka modernisasi
tersendiri bagi masyarakat Dieng, mulai dari bangunan rumahnya, alat
transportasinya, peralatan pertaniannya dan sisi kehidupan lainnya.
Budaya
Tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Dieng bisa jadi agak beda dengan
yang lain sepertiyang ada di Tengger, atau didataran tinggi lainnya , masyarakat
memiliki kebiasaan Karing / berjemur matahari pada pagi hari, da nada kebiasaan
lain seperti saat menerima tamu biasanya akan diajak langsung ke Dapur perapian
untuk Genen /Menghangatkan diri di depan tungku sampai kakinya Mongen /
menghitam karena selalu kena panas api.
Fenomena yang terjadi pada anak- anak di dataran tinggi Dieng telah terjadi
secara turun-temurun yang melekat pada masyarakat dataran tinggi Dieng.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat dataran tinggi Dieng adalah
adanya anak berambut gembel yang merupakan legenda hidup masyarakat Dieng.
Masyarakat Dieng tidak menutup diri terhadap pengaruh hal – hal modern akan
tetapi masih ada beberapa tradisi yang dipegang teguh seperti dalam acara adat
perkawinan, khitanan, kematian, kelahiran, dan ruwatan dalam kebudayaan Jawa.

5
Fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat tradisional Jawa mengingat
masyarakat tradisional Jawa masih percaya pada kekuatan di luar diri mangusia

2.4 Eko-Kultural Masyarakat Madura


Kondisi Geografis
Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di
bagian selatan dan semakin kearah utara tidak terjadi perbedaan elevansi
ketinggian yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa
gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Komposisi tanah dan curah hujan
yang tidak sama dilereng-lereng yang tinggi letaknya justru terlalu banyak
sedangkan di lereng-lereng yang rendah malah kekurangan dengan demikian
mengakibatkan Madura kurang memiliki tanah yang subur.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa,
kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah
selatan lembah solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang
lebih rendah, lebih kasar dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan
letaknyapun lebih bergabung.Luas keseluruhan Pulau Madura kurang lebih
5.168 km², atau kurang lebih 10 persen dari luas daratan Jawa Timur. Adapun
panjang daratan kepulauannya dari ujung barat di Kamal sampai dengan ujung
Timur di Kalianget sekitar 180 km dan lebarnya berkisar 40 km. Pulau ini terbagi
dalam empat wilayah kabupaten. Dengan Luas wilayah untuk kabupaten
Bangkalan 1.144, 75 km² terbagi dalam 8 wilayah kecamatan, kabupaten
Sampang berluas wilayah 1.321,86 km², terbagi dalam 12 kecamatan, Kabupaten
Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km², yang terbagi dalam 13 kecamatan,
dan kabupaten Sumenep mempunyai luas wilayah 1.857,530 km², terbagi dalam
27 kecamatan yang tersebar diwilayah daratan dan kepulauan.
Dengan kondisi geografis tersebut, orang Madura menjadi titik tolak
terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik
geografis daerahnya. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah
dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang
dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri.
Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi

6
rasa solidaritas kepada orang lain. Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-
orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap
toleran terhadap sesame. Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila
dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya.
Demografi
Pulau Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu etnis
suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka
berasal dari pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi,
Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa
Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi.
Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur
Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa
Jawa, juga termasuk Surabaya Utara ,serta sebagian Malang .
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan. Juga
dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura
sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik
haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat,
sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan
larung sesaji. Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan masyarakat
Madura, mereka memiliki sebuah falsafah: katembheng pote mata, angok pote
tolang. Sifat yang seperti inilah yang melahirkan tradisi carok pada sebagian
masyarakat Madura.
Kondisi Sosial Masyarakat
Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang
tinggi, ramah, giat bekerja dan ulet. Orang Madura adalah orang yang suka
merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang
Madura juga senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang bekas
lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh,serta beberapa
ada yang berhasil menjadi Tekonokrat, Birokrat, Menteri atau Pangkat tinggi di
dunia militer.
Karakter Sosial Budaya

7
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka
memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata.
Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang
seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura, tetapi tradisi lambat
laun melemah seiring dengan terdidiknya kaum muda di pelosok desa, dahulu
mereka memakai kekuatan emosional dan tenaga saja, namun kini mereka lebih
arif dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada.
Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) dengan
Madura Barat (Sampang dan Bangkalan). Orang Madura Timur dikenal lebih
halus baik dari sikap, bahasa, dan tatakrama daripada orang Madura Barat.[butuh
rujukan] Orang Madura Barat lebih banyak merantau daripada Madura Timur.
[butuh rujukan] Hal ini, disebabkan Madura Barat lebih gersang daripada Madura
Timur yang dikenal lebih subur.

2.5 Implementasi Eko-kultural dalam Konseling


Didalam proses konseling konselor dan konseli baik secara langsung atau
tidak langsung nampak atau tidak nampak membawa serta seluruh atribut
psikofisik unik meliputi kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi dan sosio-
budaya.Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Bolton Brownlee Supriadi
(Nugraha, 2012:7) yang menyatakan proses konseling yang dilakukan oleh
konselor sejauh ini hanya menitik beratkan pada aspek-aspek psikologis
(kecerdasan, minat, bakat, kepribadian, dll) dan masih kurang memperhatikan
terhadap latar belakang budaya konselor maupun konseli yang ikut membentuk
perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling.
Budaya disini terbentuk dari beberapa aspek yang diantaranya juga lingkungan
tempat konseli tinggal baik dari segi demografi, geografis, dan lain sebagainya.
Ekologi atau lingkungan disini juga berperan dalam pembentukan budaya
sehingga pengetahuan tentang ekologi kultural perlu dimiliki oleh konselor dalam
rangka memberi pelayanan terbaik bagi konseli yang dihadapi.
2.6 Konseling Reciprocal Inhibition sebagai Implementasi Eko-kultural
Determinisme timbal balik adalah teori yang dikemukakan oleh psikolog
Albert Bandura yang menyatakan bahwa perilaku seseorang memengaruhi dan

8
dipengaruhi oleh faktor pribadi dan lingkungan sosial. Bandura menerima
kemungkinan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan melalui penggunaan
konsekuensi. Pada saat yang sama ia menegaskan bahwa perilaku seseorang (dan
faktor pribadi, seperti keterampilan atau sikap kognitif) dapat berdampak pada
lingkungan.
Determinisme menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi
timbal balik yang secara terus menerus antara kognitif, behavioral dan
lingkungan. Orang memengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol kekuatan
lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh lingkungan itu.
Reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut
dipasangkan dengan respon tertentu yang dapat menghalangi munculnya perasaan
takut. Reciprocal inhibition merupakan landasan dari teknik Systematic
desensitization yang merupakan bentuk terapi perilaku yang dikembangkan oleh
Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia spesifik.
(Sanyata, S. 2006) Jika dikaitkan dengan proses konseling maka konselor
dapat memerhatikan hal- hal terkait dengan perspektif nilai konseli:

1) konselor memiliki kualitas pribadi yang positif,


2) kemampuan memahami isu-isu etis dalam konseling,
3) adanya kesadaran kultural dalam konteks multi budaya,
4) konselor dapat membangun kualitas hubungan konselor – klien
yang efektif, dan
5) konselor mampu memahami prinsip-prinsip keyakinan dan nilai
dari perspektif klien.
Segal (1990 dalam Sanyata, 2006) mendeskripsikan beberapa hal yang
penting diperhatikan dalam memahami perspektif budaya:

1) Adanya tingkah laku manusia yang dipandang dalam


konteks sosial budaya di mana tingkah laku terjadi. Konsep ini
menggambarkan bahwa bagaimanapun juga frame work terhadap
individu tidak dapat dipisahkan oleh pola kebiasaan dari mana individu
berasal, sehingga esensi latar belakang budaya klien menjadi instrumen
penting untuk memahami dan memaknai apalagi memberikan layanan-
layanan bantuan kepada individu.
2) Budaya memiliki pengaruh pada kognisi dalam belajar.

9
3) Ada keeratan hubungan antara kepribadian dengan perilaku sosial.
Kepribadian individu dapat dipandang melaui gambaran perilaku
kultural individu, perilaku tertentu akan berdampak pada kepribadian
yang terbentuk dari kebiasaan perilaku yang ditunjukkan olehlatar
belakang kultural.
4) Setiap budaya senantiasa berubah-ubah, salah satu faktor
pendukungnya adalah hubungan antar budaya. Persinggungan antara
budaya satu dengan budaya yang lain akan ikut mewarnai pola
perubahan budaya yang terjadi dalam budaya tertentu. Perkembangan
ilmu konseling yang selama ini berorientasi pada budaya barat sedikit
banyak mempengaruhi pola hubungan antara individu yang terbentuk
di budaya lokal.
Menurut Yates, reciprocal inhibition merupakan hasil dari desensitization dan
Wolpe menganggap bahwa reciprocal inhibition sama dengan extinction. Sebagai
jalan keluar, Yates mengusulkan agar istilah-istilah tersebut diartikan sebagai
berikut :
a) Reciprocal inhibition diartikan sama dengan counter conditioning
yang memenunjukkan prosedur untuk memperkuat hubungan respon
baru dengan stimulus yang menimbulkan tingkajh laku maladaptive.
b) Extinction menunjukkan prosedur untuk memperlemah hubungan
respon dengan stimulus.
c) Systematic desensitization menunjukkan prosedur eksperimental
yang dilaksanakan dengan reciprocal inhibition dan Extinction.

BAB III
PENUTUP

10
3.1 Simpulan
Ekologi kultural adalah studi tentang adaptasi manusia untuk lingkungan
sosial dan fisik. Kerangka Ekokultural Berry menyatakan bahwa perbedaan dari
setiap orang berasal dari hasil upaya mereka untuk mengakomodasi dan berfungsi
dalam konteks lingkungan mereka, juga akomodasi yang terjadi pada individu
maupun tingkat kelompok

3.2 Saran
Untuk memahami konseling multibudaya perlu adanya bekal mengenai
ekologi budaya atau eko-kultural. Dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui
bagaimana budaya didapatkan, bagaimana budaya berubah, dan bagaimana
budaya dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam sebuah lingkungan.

11

Anda mungkin juga menyukai