TEKNIK
PEMBAKARAN
II-1
I-2
BAB I PENDAHULUAN
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengetahui titik nyala (flash point) dan titik api
(fire point) dari suatu bahan bakar dengan tepat dan akurat?
2. Bagaimana mempelajari dan mengetahui metode pengukuran titik
nyala pada sampel bahan bakar berdasarkan ASTM D92-05a?
II-1
II-2
B. Spesifikasi II
Batasan Metode
No. Karakteristik Satuan IFO-1 IFO 2 Uji
Min Maks Min Maks ASTM
Densitas pada
1. Kg/m3 - 991 - 991 D 1298
150C
Viskositas
2. mm2/dt - 180 - 380 D 445
kinematik pada
II.1.3 Pengertian Titik Nyala (Flash Point) dan Titik Api (Fire Point)
Titik nyala (flash point) adalah suhu terendah minyak harus
dipanaskan agar menghasilkan uap secukupnya untuk bercampur dengan
udara dan dapat menyala (flammable) bila dilewati api kecil. Satuannya
adalah derajat (°) Celcius atau derajat (°) Fahrenheit. Titik Api (fire point)
adalah suhu terendah minyak yang harus dipanaskan untuk menghasilkan
uap secukupnya agar bercampur dengan udara dan dapat terbakar selama
paling sedikit 5 detik. Satuan titik api adalah derajat (°) Celcius atau
derajat Fahrenheit. Suhu ini juga perlu diperhatikan seperti halnya titik
bakar, walaupun penyalaan minyak yang terjadi belum stabil, paling
sedikit 5 detik, tetapi hal ini sudah membahayakan (Marsudi, 2005).
Titik nyala adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah
dari suatu bahan bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat,
apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api.
Titik nyala diperlukan sehubungan adanya pertimbangan-pertimbangan
mengenai keamanan dari penimbunan minyak dan pengangkutan bahan
bakar minyak terhadap bahaya kebakaran. Titik nyala ini tidak
mempunyai pengaruh yang besar dalam persyaratan pemakaian bahan
bakar minyak untuk mesin diesel atau ketel uap (Hariska, Suciati, & Ramja,
2012).
Gambar II.2 Flash and Fire Points by Pensky Martens Closed Cup Tester
3. Penentuan Flash Point dengan Tag Closed Tester
Metode ini dimaksudkan untuk pemeriksaan minyak hasil yang
mempunyai flash point (titik nyala) dibawah 175°F (79°C) kecuali
untuk produk yang sebagai fuel oil, memakai metoda ASTM D-93.
Sedimen
Bilangan Asam mg
16. - 0 D 664
Kuat KOH/g
Bilangan Asam mg
17. - 0.5 D 664
Total KOH/g
18. Partikulat Mg/l - - D 2276-99
Penampi;an
19. Jernih & Terang
Visual
No.
20. Warna 3.0 D 1500
ASTM
b. Kerosin
Minyak tanah atau kerosin merupakan cairan hidrokarbon yang tak
berwarna dan mudah terbakar dan memiliki titik didih antara 200 °C
dan 300 °C. Minyak tanah atau disebut juga parafin. Minyak tanah
banyak digunakan untuk lampu minyak dan kompor, sekarang banyak
digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur, Jet-A, Jet-B, JP-4
atau JP-8). Kerosen dikenal sebagai RP-1 digunakan sebagai bahan
bakar roket. Pada proses pembakarannya menggunakan oksigen cair.
Kerosin didestilasi langsung dari minyak mentah dan memerlukan
pengendalian khusus dalam sebuah unit Merox atau hydrotreater
untuk mengurangi kadar belerang dan perkaratan. Kerosene dapat juga
diproduksi oleh hydrockraker, yang digunakan untuk meningkatkan
bagian dari minyak mentah yang cocok untuk bahan bakar minyak.
Minyak bumi biasanya mengandung 5-25% minyak tanah, sedangkan
dalam minyak tanah mengandung senyawa-senyawa seperti parafin,
naften, aromatik, dan senyawa belerang. Jumlah kandungan komponen
senyawa dalam minyak tanah akan mempengaruhi sifat-sifat minyak
tanah. Sifat-sifat yang harus dimiliki minyak tanah adalah : titik
nyala, titik asap, kekentalan, kadar belerang, sifat pembakaran serta
bau dan warna yang khas (Lusty, 2011).
2000C
0
Titik Akhir C - 310 - -
0
IP
5. Titik Nyala Abel C 38.0 - -
170
Kandungan
6. % massa - 0.20 D 1266 -
Belerang
Korosi Bilah
7. Tembaga - - No.1 D 130 -
(3jam/500C)
Dapat
8. Bau dan Warna
Dipasarkan
II.3 Metode dan Peralatan Pengujian Flash dan Fire Point Berdasarkan
ASTM D-92
Alat yang dipakai untuk pemerikasaan titik nyala & titik api adalah
Open Cup & Pensky-Marten untuk minyak-minyak berat dan Tag Tester
untuk minyak-minyak ringan. Titik nyala dapat diukur dengan metoda
wadah terbuka (Open Cup atau OC) atau wadah tertutup (Closed Cup atau
CC). Nilai yang diukur pada wadah terbuka biasanya lebih tinggi dari
yang diukur dengan metoda wadah tertutup. Minyak berat yang akan
diperiksa dipanaskan pada kecepatan 10oF per menit, untuk minyak
ringan pada 1,8oF per menit. Metode standar untuk pengukuran titik
nyala adalah ASTM D-92.
Metode Pengujian Flash Point dan Fire Point berdasarkan ASTM
D92-05a adalah sebagai berikut:
1. Isi tempat sampel (cup) sampai tanda batas pengisian. Suhu sampel
dan tempatnya tidak boleh melebihi 56°C (100°F) di bawah titik
nyala yang diharapkan.
2. Apabila sampel yang akan diuji dalam bentuk padat, maka perlu
dicairkan sehingga perlu dipanaskan terlebih dahulu pada suhu
yang tidak boleh melebihi 56°C (100°F).
3. Pastikan panas awalnya akan naik 5-6°C (9-30°F)/menit. Apabila
suhu sampel sekitar 56°C (100°F) panasnya perlu diturunkan
sampai suhu 28°C (50°F) dengan kecepatan 5-6°C (9-11°F)/menit.
LABORATORIUM TEKNIK PEMBAKARAN
PROGRAM STUDI DII TEKNIK KIMIA
FTI – ITS
SURABAYA
II-14
Pada saat ini batasan titik nyala yang ditentukan untuk minyak Solar 48
di Indonesia adalah minimum 60°C, yang lebih tinggi dibandingkan dengan
negara-negara lain. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk membuat
minyak Solar 48 dengan titik nyala minimum 55oC dan 52oC dengan
menggunakan metode cutting distillation. Proses cutting distillation dilakukan
terhadap campuran 50:50 minyak tanah dan minyak solar pada temperatur
penguapan distilat berkisar antara 10% sampai 40% dari volume distilat. Sisa
campuran bahan bakar yang diperoleh dari pemotongan distilasi yang
mempunyai angka setana paling mendekati 48 digunakan sebagai komponen
dasar untuk pembuatan minyak Solar 48 bertitik nyala 55oC dan 52oC.
Kemudian fraksi nafta digunakan untuk membuat penyesuaian titik nyala.
Berdasarkan hasil uji sifat-sifat fisika/kimia minyak solar 48 bertitik nyala 55oC
dan 52oC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan spesifikasi
minyak Solar 48 yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.
Pada saat ini batasan spesifikasi titik nyala minyak Solar 48 di Indonesia
adalah minimum 60°C. Angka ini cukup tinggi dibandingkan dengan titik nyala
minyak solar di negara lain. Bahkan Thailand dan Filipina punya spesifikasi
titik nyala lebih rendah lagi yaitu 52°C. Yang dimaksud dengan minyak Solar 48
adalah bahan bakar untuk mesin diesel putaran tinggi dengan spesifikasi titik
nyala (flash point) minimum 60oC, angka setana minimum 48, dan sifat
fisika/kimia lainnya memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
Pemerintah melalui Surat Keputusan Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006
tanggal 17 Maret 2006. Menurunkan titik nyala minimum minyak solar 48 dari
60oC menjadi 55oC atau 52oC, dapat meningkatkan jumlah produksi minyak
solar dalam negeri, maksudnya bertambah rendah titik nyala minimum minyak
solar memberi peluang terhadap bertambahnya kandungan fraksi ringan dalam
minyak solar dan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan ekses minyak
III-1
III-2
Selesai
i LABORATORIUM TEKNIK PEMBAKARAN
PROGRAM STUDI DII TEKNIK KIMIA
Fakultas Teknologi Industri – ITS
SURABAYA
III-3
Mulai
Selesai
Selesai
Menyalakan bunsen
Selesai
5
6
7
Keterangan :
1. Statif
2.Termometer
3.Cawan porselen
4. Kasa
5. Kaki tiga
6. Gelas sampel
7. Bunsen
II-1
IV-2
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1.2 Tabel Hasil Pengamatan Flash and Fire Point Oleh Operator II
Pada Sampel Solar 78% dan Kerosene 22% Pada t1 = 34oC, 36oC dan 38oC
IV.1.3 Tabel Hasil Pengamatan Flash and Fire Point Oleh Operator II
Pada Sampel Solar 78% dan Kerosene 22% Pada t1 = 38oC, 34oC dan 36oC
Tabel IV.2.1 Nilai rata-rata Flash Point dan Fire Point pada Sampel Solar
79% dan Kerosene 22% oleh Operator I
Solar 78% + Kerosene 22%
Repeatabilit ASTM Keteranga
Parameter Repeat Repeat Repeat y D92-05a n
I II III
Tabel IV.2.2 Nilai rata-rata Flash Point dan Fire Point pada Sampel Solar 79% dan
Kerosene 22% oleh Operator II
Solar 78% + Kerosene 22%
Repeatabilit ASTM Keteranga
Parameter Repeat Repeat Repeat
y D92-05a n
I II III
Fire Point
66 0C 74 0C 76 0C 4 0C Max.8 0C Sesuai
IV.3. Pembahasan
Tujuan dari percobaan Flash Point dan Fire Point adalah untuk menentukan titik
nyala (flash point) dan titik api (fire point) dari suatu bahan bakar menggunakan
metode standar ASTM D 92-05a.
Titik nyala (flash point) dan titik api (fire point) merupakan salah satu parameter
penting yang diukur untuk mengetahui spesifikasi suatu bahan bakar. Titik nyala
(flash point) adalah temperatur dimana timbul sejumlah uap yang apabila bercampur
dengan udara membentuk suatu campuran yang mudah menyala. Titik api (fire point)
adalah temperatur dimana bahan bakar cair yang dipanaskan pada keadaan baku
dapat terbakar selama waktu sekurang-kurangnya 5 detik.
(Kennedy, 1990).
Grafik IV.3.1 Hasil Pengamatan Penentuan Flash & Fire point oleh Operator I pada
sampel Solar 78 % : Kerosene 22 % pada t0 = 36°
Dari grafik IV.3.1 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
dibutuhkan selama pengamatan maka semakin tinggi suhu. Pada repeat I
ini flash point pada suhu 52°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu 1,47
LABORATURIUM TEKNIK PEMBAKARAN
PROGRAM STUDI DIII TEKNIK KIMIA FTI-ITS
SURABAYA
IV-6
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
menit dan fire point pada suhu 64°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu
1,7 menit. Pada repeat II flash point pada suhu 54°C dengan waktu yang
dibutuhkan 2,03 menit dan fire point pada suhu 64°C dengan waktu yang
dibutuhkan 2,53 menit. Pada repeat III ini flash point pada suhu 62°C
dengan waktu 2,6 menit dan fire point pada suhu 66°C dengan waktu 2,68
menit.
Grafik IV.3.2 Hasil Pengamatan Penentuan Flash & Fire point oleh Operator I pada
sampel Solar 78 % : Kerosene 22 % pada t0 = 34 0C, t1 = 36 0C dan t2 = 38 0C
Dari grafik IV.3.2 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
dibutuhkan selama pengamatan maka semakin tinggi suhu. Pada repeat I
ini flash point pada suhu 54°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu 1,87
menit dan fire point pada suhu 66°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu
2,35 menit. Pada repeat II flash point pada suhu 66°C dengan waktu yang
dibutuhkan 2,57 menit dan fire point pada suhu 74°C dengan waktu yang
dibutuhkan 2,67 menit. Pada repeat III ini flash point pada suhu 70°C
dengan waktu 2,33 menit dan fire point pada suhu 76°C dengan waktu 2,57
menit.
Grafik IV.3.3 Hasil Pengamatan Penentuan Flash & Fire point oleh Operator I pada
sampel Solar 78 % : Kerosene 22 % pada t0 = 38°, t1 = 34 0C dan t2 = 36 0C
Dari grafik IV.3.3 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
dibutuhkan selama pengamatan maka semakin tinggi suhu. Pada repeat I
ini flash point pada suhu 74°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu 2,47
menit dan fire point pada suhu 78°C dengan waktu yang dibutuhkan yaitu
2,52 menit. Pada repeat II flash point pada suhu 66°C dengan waktu yang
dibutuhkan 1,95 menit dan fire point pada suhu 74°C dengan waktu yang
dibutuhkan 2,28 menit. Pada repeat III ini flash point pada suhu 70°C
dengan waktu 2,07 menit dan fire point pada suhu 76°C dengan waktu 2,15
menit.
V-1
V-2
BAB V KESIMPULAN
4. Pada saat praktikum seharusnya persediaan cawan dan
termometer lebih banyak, agar proses praktikum tidak menunggu
pendinginan cawan untuk prosedur selanjutnya,
5. Lebih mempelajari lagi grafik apa saja yang seharusnya dibuat
dalam laoporan, karena masih rancu.
vii