Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Campak merupakan penyakit yang sangat mudah menular
yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui batuk
dan bersin. Gejala penyakit campak adalah demam tinggi,
bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau konjungtivitis akan tetapi sangat
berbahaya apabila disertai dengan komplikasi pneumonia,
diare, meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Penyakit ini sangat berpotensi menjadi wabah apabila cakupan
imunisasi rendah dan kekebalan kelompok/herd immunity
tidak terbentuk. Ketika seseorang terkena campak, 90%
orang yang berinteraksi erat dengan penderita dapat tertular
jika mereka belum kebal terhadap campak. Seseorang dapat
kebal jika telah diimunisasi atau terinfeksi virus campak.
Pada tahun 2000, lebih dari 562.000 anak per tahun
meninggal di seluruh dunia karena komplikasi penyakit
campak. Dengan pemberian imunisasi campak dan berbagai
upaya yang telah dilakukan, maka pada tahun 2014 kematian
akibat campak menurun menjadi 115.000 per tahun, dengan
perkiraan 314 anak per hari atau 13 kematian setiap jamnya.
Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering
menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Akan tetapi
yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah
efek teratogenik apabila rubella ini menyerang pada wanita
hamil pada trimester pertama. Infeksi rubella yang terjadi
sebelum konsepsi dan selama awal kehamilan dapat
menyebabkan abortus, kematian janin atau sindrom rubella

1
kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang
dilahirkan.
Sebelum dilakukan imunisasi rubella, insidens CRS
bervariasi antara 0,1-0,2/1000 kelahiran hidup pada periode
endemik dan antara 0,8-4/1000 kelahiran hidup selama
periode epidemi rubella. Angka kejadian CRS pada negara
yang belum mengintroduksi vaksin rubella diperkirakan cukup
tinggi. Pada tahun 1996 diperkirakan sekitar 22.000 anak lahir
dengan CRS di regio Afrika, sekitar 46.000 di regio Asia
Tenggara dan 12.634 di regio Pasifik Barat. Insiden CRS pada
regio yang telah mengintroduksi vaksin rubella selama tahun
1996-2008 telah menurun.
Di Indonesia, rubella merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan
efektif. Data surveilans selama lima tahun terakhir
menunjukan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok usia
<15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi
beban penyakit CRS di Indonesia pada tahun 2013
diperkirakan terdapat 2767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi
pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000
pada usia ibu 40-44 tahun.
Dalam Global Vaccine Action Plan (GVAP), campak dan
rubella ditargetkan untuk dapat dieliminasi di 5 regional WHO
pada tahun 2020. Sejalan dengan GVAP, The Global Measles &
Rubella Strategic Plan 2012-2020 memetakan strategi yang
diperlukan untuk mencapai target dunia tanpa campak, rubella
atau CRS. Satu diantara lima strategi adalah mencapai dan
mempertahankan tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi
dengan memberikan dua dosis vaksin yang mengandung

2
campak dan rubella melalui imunisasi rutin dan tambahan
dengan cakupan yang tinggi (>95%) dan merata.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai eliminasi
campak dan pengendalian rubella/Congenital Rubella
Syndrome (CRS) pada tahun 2020. Salah satu strategi yang
dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah memberikan
vaksin MR pada anak usia 9 bulan hingga 15 tahun secara
bertahap dalam dua fase yaitu fase pertama bulan Agustus-
September 2017 di seluruh Pulau Jawa dan fase kedua bulan
Agustus-September 2018 di seluruh Pulau Sumatera, Pulau
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Tahun 2017 ini tepatnya bulan Agustus dan September
pemerintah sedang melakukan fase pertama vaksin MR, akan
tetapi pada pelaksanaanya vaksin MR masih menuai pro dan
kontra di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh penyebarluasan
informasi mengenai vaksin MR yang belum merata ditambah
dengan pengetahuan masyarakat tentang vaksin MR yang
masih kurang sehingga informasi yang belum terkonfirmasi
kebenarannya dengan mudahnya beredar di masyarakat. Maka
dari itu, penulis merasa perlu menyusun makalah dengan
tema vaksin MR untuk mengungkap kesalahan informasi yang
beredar di masyarakat dengan cara menganalisis artikel atau
berita yang tersebar di situs informasi online.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa saja upaya yang dilakukan pemerintah dalam
menyebarluaskan informasi tentang vaksin MR?
2. Apa saja hal yang mempengaruhi terjadinya pro dan kontra
vaksin MR?

3
3. Bagaimana sikap masyarakat terhadap vaksin MR?

C. Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyebarluaskan
informasi tentang vaksin MR;
2. hal yang mempengaruhi terjadinya pro dan kontra vaksin
MR;
3. sikap masyarakat terhadap vaksin MR.

D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara
teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis makalah ini berguna sebagai
pemahaman tentang vaksin Measles dan Rubella (MR). Secara praktis makalah
ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan
khususnya tentang konsep vaksin Measles dan Rubella (MR);
2. pembaca, sebagai media informasi tentang vaksin Measles dan Rubella
(MR).

E. Prosedur Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif. Melalui
metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas
dan komprehensif. Data teoretis dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui kegiatan
membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut
diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta
mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka
1. Epidemiologi Campak dan Rubella
Penyakit campak dikenal juga sebagai morbili atau measles,
merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh
virus. Manusia diperkirakan satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat
terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penularan.
Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas,
diperkirakan lebih 20 juta orang di dunia terkena campak dengan 2,6 juta

5
kematian setiap tahun yang sebagian besar adalah anak-anak di bawah usia
lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak di negara-negara
berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga pada
tahun 2012 kematian akibat campak telah mengalami penurunan sebesar
78% secara global.

Gambar 2.1
Negara dengan Kasus Campak Terbesar di Dunia

Dari gambaran di atas menunjukkan Indonesia merupakan salah satu


dari negara-negara dengan kasus campak terbanyak di dunia.
Penyebab rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk
golongan virus RNA. Virus rubella cepat mati oleh sinar ultra violet, bahan
kimia, bahan asam dan pemanasan. Virus tersebut dapat melalui sawar
plasenta sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau
Congenital Rubella Syndrome (CRS).
Penyakit rubella ditularkan melalui saluran pernapasan saat batuk atau
bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah
bening regional, dan viremia terjadi pada 4 – 7 hari setelah virus masuk
tubuh. Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7
hari setelah rash.
Masa inkubasi rubella berkisar antara 14 – 21 hari. Gejala dan tanda
rubella ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak merah/rash

6
makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di belakang telinga, leher
belakang dan sub occipital.
Konfirmasi laboratorium dilakukan untuk diagnosis pasti rubella
dengan melakukan pemeriksaan serologis atau virologis. IgM rubella
biasanya mulai muncul pada 4 hari setelah rash dan setelah 8 minggu akan
menurun dan tidak terdeteksi lagi, dan IgG mulai muncul dalam 14-18 hari
setelah infeksi dan puncaknya pada 4 minggu kemudian dan umumnya
menetap seumur hidup. Virus rubella dapat diisolasi dari sampel darah,
mukosa hidung, swab tenggorok, urin atau cairan serebrospinal. Virus di
faring dapat diisolasi mulai 1 minggu sebelum hingga 2 minggu setelah
rash.
Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan
atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan
rubella pada wanita dewasa sering menimbulkan arthritis atau arthralgia.
Rubella pada wanita hamil terutama pada kehamilan trimester 1 dapat
mengakibatkan abortus atau bayi lahir dengan CRS.
Bentuk kelainan pada CRS:
a. Kelainan jantung :
1) Patent ductus arteriosus
2) Defek septum atrial
3) Defek septum ventrikel
4) Stenosis katup pulmonal
b. Kelainan pada mata :
1) Katarak kongenital
2) Glaukoma kongenital
3) Pigmentary Retinopati
c. Kelainan pendengaran
d. Kelainan pada sistem saraf pusat:
1) Retardasi mental
2) Mikrocephalia
3) Meningoensefalitis

7
e. Kelainan lain :
1) Purpura
2) Splenomegali
3) Ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah lahir
4) Radioluscent bone

2. Gambaran Penyakit Campak dan Rubella serta CRS di Indonesia


Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000
kasus suspect campak dan dari hasil konfirmasi laboratorium, 12 – 39%
diantaranya adalah campak pasti (lab confirmed) sedangkan 16 – 43%
adalah rubella pasti. Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat
23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Jumlah kasus ini
diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan,
mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari
pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.

Gambar 2.2
Estimasi Kasus Campak dan Rubella di Indonesia Tahun 2010 – 2015

Pada tahun 2015-2016, 13 RS sentinel CRS melaporkan 226 kasus


CRS yang terdiri dari 83 kasus pasti dan 143 kasus klinis. Dari 83 kasus
pasti (lab confirmed) yang dilaporkan, 77% menderita kelainan jantung,
67,5% menderita katarak dan dan 47 % menderita ketulian.

8
Gambar 2.3
Kumpulan gelaja kasus CRS dari 13 RS sentinel Indonesia 2015 – 2016

3. Pengertian Vaksin
Menurut Permenkes RI (2017:5) vaksin adalah produk biologi yang
berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup
yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan,
yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang
akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu.

4. Jenis Vaksin
a. Vaksin hidup, yang terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih
antigenik namun tidak patogenik. Vaksin ini dibuat dari virus atau bakteri
liar (wild) penyebab penyakit. Vaksin hidup ini dapat berupa:

1) Generasi awal, contohnya virus cowpox yang dibuat oleh Edward


Jenner untuk imunisasi smallpox.

2) Virus hidup, contohnya virus polio (vaksin Sabin), measles, mumps,


rubella, chicken pox, hepatitis A, yellow fever dan lain-lain.

3) Bakteri hidup, contohnya Mycobacterium bovis, BCG.

9
b. Vaksin mati, tidak jelas patogenik dan tidak berkembang biak dalam
tubuh, sehingga diperlukan pemberian beberapa kali. Vaksin mati
dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakkan kemudian dibuat tidak aktif. Vaksin ini juga tidak hidup dan
tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam
suntikan. Vaksin mati berupa:

1) Vaksin virus mati (oleh panas, kimiawi dan ultraviolet), contohnya


polio (vaksin Salk), influenza, rabies dan lain-lain.
2) Vaksin bakteri mati, contohnya tifoid, kolera, pertusis
3) Komponen bakteri, contohnya dinding sel ksalnya hemofilus, pertusis,
meningokokus, pneumokokus.
4) Komponen virus, contohnya protein antigenik misalnya hepatitis B,
rabies.
5) Modifikasi toksin patogenik agen (dinamakan toksoid), difteri,
tetanus, kolera.

5. Sejarah Vaksin
Imunisasi yang kita kenal saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peran
Edward Jenner (1749 – 1823). Pada tahun 1796, saat berbagai belahan dunia
sedang dilanda wabah penyakit smallpox (disebabkan oleh virus Variola)
yang mematikan. Jenner melalui eksperimennya berhasil membuktikan
bahwa seorang yang terpapar cowpox (penyakit kulit yang ditularkan oleh
sapi) memiliki imunitas terhadap smallpox. Untuk menghargai jasa Jenner,
diperkenalkanlah istilah vaksinasi yang mengadaptasi “vacca” dari bahasa
Latin yang berarti “sapi”.
Pada tahun 1796, Jenner mengambil spesimen dari lesi di lengan
Sarah Nelmes yang terinfeksi compox. Lalu Jenner menginokulasikannya ke
lengan James Phipps, bocah berusia 8 tahun. Seminggu kemudian, muncul
lesi di tempat inokulasi, namun ia hanya mengalami gejala ringan, pulih

10
segera, dan tidak “sakit”. Jenner mempublikasikan penemuannya dalam An
Inquiry into the Causes and Effects of the Variola Vaccinae pada tahun
1798. Tak berhenti di situ, Jenner dibantu oleh asistennya, terus melakukan
eksperimen ini dengan beberapa penyempurnaan. Pada akhirnya, Jenner
menyimpulkan bahwa: (1) Infeksi Smallpox dapat dicegah dengan inokulasi
Cowpox; (2) Berbeda dengan variolasi, vaksinasi hanya menyebabkan
timbulnya lesi di tempat inokulasi dan tidak menimbulkan penyakit yang
serius ataupun kematian. Jenner memang bukan orang pertama yang
melakukan upaya pencegahan infeksi Smallpox. Namun Jenner adalah
tonggak sejarah vaksinasi. Ia adalah orang pertama yang mampu melakukan
upaya tersebut dengan menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dan berlandaskan
pemahaman epidemiologi.
Observasi dan eksperimen terus dilakukan dengan melibatkan
teknologi dan menerapkan kaidah ilmiah dengan lebih baik. Louis Pasteur
(1822-1895), seorang ahli Mikrobiologi berkebangsaan Perancis,
merupakan orang pertama yang mengembangkan vaksin di laboratorium. Ia
berhasil mengembangkan vaksin kolera pada ayam (dengan menggunakan
teknik atenuasi), vaksin antraks (eksperimen Poullyle-Fort), dan vaksin
rabies. Nama berikut adalah Robert Koch (1843-1910), seorang
berkebangsaan Jerman yang berhasil mengidentifikasi bakteri
Mycobacterium tuberculosis, mengisolasi bakteri Vibrio cholerae, dan
menegakkan postulat Koch yang masih relevan hingga sekarang. Atas
prestasinya, ia diganjar hadiah nobel pada tahun 1905. Pada tahun 1896,
Pfeiff er, Kolle, dan Wright berhasil mengembangkan vaksin Salmonella
typhi, yang merupakan vaksin mati (inactivated vaccine) pertama untuk
manusia yang pernah ada.
Albert Calmette dan Jean Marie Camille Guerin berhasil
mengembangkan vaksin BCG dengan menggunakan Mycobacterium bovis
yang dilemahkan. Pada tahun 1955, vaksin polio trivalen jenis IPV
(Inactivated Polio Vaccine) yang dikembangkan oleh Jonas Salk mendapat
lisensi. Enam tahun berselang, Albert Sabin sukses mengembangkan vaksin

11
polio trivalen jenis OPV (Oral Polio Vaccine). Kedua vaksin ini di
kemudian hari terbukti mampu mengeliminasi penyakit Polio hingga 90-
99%. Emil von Behring menemukan antitoksin difteri pada tahun 1981.
Lalu Achilles Sclavo menemukan antitoksin antraks.
Gaston Ramon dan Alexander Glenny mengembangkan ajuvan
berbasis garam aluminium (alum) pada tahun 1926. Ajuvan adalah substansi
tambahan yang digabungkan bersama vaksin untuk memperoleh respons
imun yang lebih optimal. Avery dan Groebel pada tahun 1920-an berhasil
menemukan bahwa vaksin polisakarida akan jauh lebih imunogenik bila
dikonjugasikan dengan protein pembawa. Barulah 60 tahun kemudian,
vaksin Haemophilus influenzae tipe B, mendapat lisensi sebagai vaksin
konjugat pertama.

6. Proses Pembuatan Vaksin


Produksi vaksin antivirus saat ini merupakan sebuah proses rumit
bahkan setelah tugas yang berat untuk membuat vaksin potensial di
laboratorium. Perubahan dari produksi vaksin potensial dengan jumlah kecil
menjadi produksi bergalon-galon vaksin yang aman dalam sebuah situasi
produksi sangat dramatis, dan prosedur laboratorium yang sederhana tidak
dapat digunakan untuk meningkatkan skala produksi.
a. Benih Virus
Produksi vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau
disebut benih). Virus harus bebas dari “kotoran”, baik berupa virus yang
serupa atau variasi dari jenis virus yang sama. Selain itu, benih harus
disimpan dalam kondisi “ideal”, biasanya beku, yang mencegah virus
menjadi lebih kuat atau lebih lemah dari yang diinginkan. Benih
disimpan dalam gelas kecil atau wadah plastik. Jumlah yang kecil
hanya 5 atau 10 sentimeter kubik, mengandung ribuan hingga jutaan
virus, nantinya dapat dibuat menjadi ratusan liter vaksin. Freezer
dipertahankan pada suhu tertentu. Grafik di luar freezer akan mencatat
secara terus menerus suhu freezer. Sensor terhubung dengan alarm yang

12
dapat didengar atau alarm komputer yang akan menyala jika suhu
freezer berada di luar suhu yang seharusnya.

b. Pertumbuhan Virus
Setelah mencairkan dan memanaskan benih virus dalam kondisi
tertentu secara hati-hati (misalnya, pada suhu kamar atau dalam bak
air), sejumlah kecil sel virus ditempatkan ke dalam “pabrik sel”, sebuah
mesin kecil yang telah dilengkapi sebuah media pertumbuhan yang
tepat sehingga sel memungkinkan virus untuk berkembang biak.
Setiap jenis virus tumbuh terbaik di media tertentu, namun semua
media umumnya mengandung protein yang berasal dari mamalia,
misalnya protein murni dari darah sapi. Media juga mengandung
protein lain dan senyawa organik yang mendorong reproduksi sel virus.
Penyediaan media yang benar, pada suhu yang tepat, dan dengan
jumlah waktu yang telah ditetapkan, virus akan bertambah banyak.
Selain suhu, faktor-faktor lain harus dipantau adalah pH. pH adalah
ukuran keasaman atau kebasaan, diukur pada skala dari 0 sampai 14.
dan virus harus disimpan pada pH yang tepat dalam pabrik sel. Air
tawar yang tidak asam atau basa (netral) memiliki pH 7. Meskipun
wadah di mana sel-sel tumbuh tidak terlalu besar (mungkin ukuran pot
4-8 liter), terdapat sejumlah katup, tabung, dan sensor yang terhubung
dengannya. Sensor memantau pH dan suhu, dan ada berbagai koneksi
untuk menambahkan media atau bahan kimia seperti oksigen untuk
mempertahankan pH, tempat untuk mengambil sampel untuk analisis
mikroskopik, dan pengaturan steril untuk menambahkan komponen ke
pabrik sel dan mengambil produk setengah jadi ketika siap.
Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari media, dan
ditempatkan dalam media kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode
awal yang dipakai 40 atau 50 tahun yang lalu yaitu menggunakan botol
untuk menyimpan campuran, dan pertumbuhan yang dihasilkan berupa
satu lapis virus di permukaan media. Peneliti kemudian menemukan

13
bahwa jika botol itu berubah posisi saat virus tumbuh, virus bisa tetap
dihasilkan karena lapisan virus tumbuh pada semua permukaan dalam
botol.
Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an adalah bahwa
pertumbuhan sel sangat dirangsang oleh penambahan enzim pada
medium, yang paling umum digunakan yaitu tripsin. Enzim adalah
protein yang juga berfungsi sebagai katalis dalam memberi makan dan
pertumbuhan sel.
Dalam praktek saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus
yang sedang tumbuh disimpan dalam wadah yang lebih besar namun
mirip dengan pabrik sel, dan dicampur dengan “manik-manik,” partikel
mikroskopis dimana virus dapat menempelkan diri. Penggunaan
“manik-manik” memberi virus daerah yang lebih besar untuk
menempelkan diri, dan akibatnya, pertumbuhan virus menjadi yang
jauh lebih besar. Seperti dalam pabrik sel, suhu dan pH dikontrol secara
ketat. Waktu yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi sesuai
dengan jenis virus yang diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang
dijaga ketat oleh pabrik.
c. Pemisahan Virus
Ketika sudah tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus
dipisahkan dari manik-manik dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini
kemudian dialirkan melalui sebuah filter dengan bukaan yang cukup
besar yang memungkinkan virus untuk melewatinya, namun cukup
kecil untuk mencegah manik-manik dapat lewat. Campuran ini
sentrifugasi beberapa kali untuk memisahkan virus dari manik-manik
dalam wadah sehingga virus kemudian dapat dipisahkan. Alternatif lain
yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik dengan media lain
sehingga mencuci manik-manik dari virus.

d. Memilih Strain Virus

14
Vaksin bisa dibuat baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang
dimatikan. Pemilihan satu dari yang lain tergantung pada sejumlah
faktor termasuk kemanjuran vaksin yang dihasilkan dan efek sekunder.
Virus yang dibuat hamper setiap tahun sebagai respon terhadap varian
baru virus penyebab, biasanya berupa virus yang dilemahkan. Virulensi
virus bisa menentukan pilihan; vaksin rabies, misalnya, selalu vaksin
dari virus yang dimatikan.
Jika vaksin dari virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan
sebelum dimulai proses produksi. Strain yang dipilih secara hati-hati
dibudidayakan (ditumbuhkan) berulang kali di berbagai media. Ada
jenis virus yang benar-benar menjadi kuat saat mereka tumbuh. Strain
ini jelas tidak dapat digunakan untuk vaksin „attenuated‟. Strain
lainnya menjadi terlalu lemah karena dibudidayakan berulang-ulang,
dan ini juga tidak dapat diterima untuk penggunaan vaksin. Seperti
bubur, kursi, dan tempat tidur yang disukai Goldilocks, hanya beberapa
virus yang “tepat” mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka
dapat diterima untuk penggunaan vaksin, dan tidak mengalami
perubahan dalam kekuatannya. Teknologi molekuler terbaru telah
memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul,
tetapi metode ini masih langka.
Virus ini kemudian dipisahkan dari media tempat dimana virus itu
tumbuh. Vaksin yang berasal dari beberapa jenis virus (seperti
kebanyakan vaksin) dikombinasikan sebelum pengemasan. Jumlah
aktual dari vaksin yang diberikan kepada pasien akan relatif kecil
dibandingkan dengan jumlah medium yang dengan apa vaksin tersebut
diberikan. Keputusan mengenai apakah akan menggunakan air, alkohol,
atau solusi lain untuk injeksi vaksin, misalnya, dibuat setelah tes
berulang-ulang demi keselamatan, steritilitas, dan stabilitas.

e. Pengontrolan Kualitas

15
Untuk melindungi kemurnian vaksin dan keselamatan pekerja yang
membuat dan mengemas vaksin, kondisi kebersihan laboratorium
diamati pada seluruh prosedur. Semua transfer virus dan media
dilakukan dalam kondisi steril, dan semua instrumen yang digunakan
disterilisasi dalam autoklaf (mesin yang membunuh organisme dengan
suhu tinggi, dan yang berukuran sekecil kotak perhiasan atau sebesar
lift) sebelum dan sesudah digunakan. Pekerja yang melakukan prosedur
memakai pakaian pelindung yang meliputi gaun Tyvek sekali pakai,
sarung tangan, sepatu bot, jaring rambut, dan masker wajah. Ruangan
pabrik sendiri memakai AC yang khusus sehingga jumlah partikel di
udara minimal.

7. Pembuatan Vaksin Di Indonesia


Perusahaan vaksin di Indonesia berupaya memproduksi vaksin yang
berkualitas baik. Selama ini, informasi yang beredar di masyarakat ialah
mengenal masalah kandungan dan bahan baku atau zat-zat enzim yang
digunakan dalam proses pembuatan vaksin.

a. Tahap Produksi Vaksin


Cara produksi vaksin bukanlah seperti cara membuat obat racikan,
namun proses pembuatannya hingga pengujian selama 10 – 20 tahun.
Produksi vaksin memiliki beberapa tahap, diantaranya pemilihan
antigen, pemurnian, inaktivasi mikroorganisme dan formulasi.

b. Menghasilkan Antigen dari Kuman


Produksi awal melibatkan pembentukan antigen dari mikroba.
Antigen juga bisa merupakan racun atau toxoid dari organisme. Selain
itu antigen juga bisa berupa protein atau bagian dari organisme yang
dibiakkan dengan media jamur, bakteri atau sel budidaya. Bakteri atau

16
virus dibuat lemah dengan menggunakan bahan kimia atau panas untuk
membuat vaksin.

c. Isolasi Antigen
Isolasi bertujuan untuk menghilangkan komponen yang tidak
diinginkan dari hasil kultur. Pemurnian/ pencucian bertujuan untuk
mempertahankan komponen yang diinginkan secara selektif sesuai
dengan spesifikasi tertinggi.

d. Penambahan Bahan Dasar Vaksin


Setelah antigen dibentuk, vaksin diformulasikan dengan
menambahkan adjuvan (untuk memperkuat respon imun), stabilizer
(untuk menstabilkan vaksin, misalnya dalam suhu ekstrim), dan
pengawet (sebagai antimikroba, khususnya pada vaksin kemasan
multidosis).

8. Vaksin MR
Vaksin Measles Rubella (MR) adalah vaksin hidup yang dilemahkan
(live attenuated), berupa serbuk kering dengan pelarut. Kemasan vaksin
adalah 10 dosis per vial. Setiap dosis vaksin MR mengandung 1000
CCID50 virus campak dan 1000 CCID50 virus rubella.
a. Syarat Pemberian Vaksin MR
Vaksin MR diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml. Vaksin
hanya boleh dilarutkan dengan pelarut yang disediakan dari produsen
yang sama. Vaksin yang telah dilarutkan harus segera digunakan paling
lambat selama 6 jam setelah dilarutkan. Pemberian imunisasi ditunda
pada keadaan demam, batuk pilek dan diare.

b. Cara Pemberian Vaksin MR


Berikan imunisasi MR untuk anak usia 9 bulan sampai dengan <15
tahun tanpa melihat status imunisasi dan riwayat penyakit campak atau

17
rubella sebelumnya. Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan
penyuntikan vaksin MR:
1) Imunisasi dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai
(Autodisable Syringe/ADS) 0,5 ml. Penggunaan alat suntik tersebut
dimaksudkan untuk menghindari pemakaian berulang jarum sehingga
dapat mencegah penularan penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B dan C.

2) Pengambilan vaksin yang telah dilarutkan dilakukan dengan cara


memasukkan jarum ke dalam vial vaksin dan pastikan ujung jarum
selalu berada di bawah permukaan larutan vaksin sehingga tidak ada
udara yang masuk ke dalam spuit.

3) Tarik torak perlahan-lahan agar larutan vaksin masuk ke dalam spuit


dan keluarkan udara yang tersisa dengan cara mengetuk alat suntik
dan mendorong torak sampai pada skala 0,5 cc, kemudian cabut jarum
dari vial.

4) Bersihkan kulit tempat pemberian suntikan dengan kapas kering sekali


pakai atau kapas yang dibasahi dengan air matang, tunggu hingga
kering. Apabila lengan anak tampak kotor diminta untuk dibersihkan
terlebih dahulu.l

5) Penyuntikan dilakukan pada otot deltoid di lengan kiri atas.

6) Dosis pemberian adalah 0,5 ml diberikan secara subkutan (sudut


kemiringan penyuntikan 45o).

7) Setelah vaksin disuntikkan, jarum ditarik keluar, kemudian ambil


kapas kering baru lalu ditekan pada bekas suntikan, jika ada
perdarahan kapas tetap ditekan pada lokasi suntikan hingga darah
berhenti.

B. Artikel Headline Isu


1. HEADLINE: Tak Usah Takut Imunisasi dengan Vaksin MR, Mengapa?

18
Liputan6.com, Jakarta. Sejarah telah membuktikan, vaksin paling
efektif untuk mengatasi penyakit terkait infeksi. Ketika seseorang diberi
vaksin atau diimunisasi, ini akan memengaruhi kekebalan tubuhnya.
Sejatinya, vaksin berfungsi mempersiapkan sistem imun atau kekebalan
tubuh individu penerimanya untuk bertahan dari serangan patogen (kuman
mematikan) seperti bakteri, virus, atau racun.
Kini jenis vaksin yang tengah gencar dikampanyekan oleh pemerintah
adalah imunisasi Measles Rubela (MR). Imunisasi tersebut diberikan secara
massal dan cuma-cuma pada Agustus hingga September 2017 bagi anak usia
9 bulan hingga di bawah 15 tahun di seluruh Pulau Jawa. Sementara anak-
anak di luar Pulau Jawa akan mendapat giliran imunisasi di Agustus hingga
September tahun mendatang.
Kampanye imunisasi MR ini tak lain merupakan wujud komitmen
pemerintah untuk mengeliminasi penyakit campak yang pernah mewabah
pada 2010-2014 di Indonesia. Demikian pula dengan penyakit rubela yang
kian menjadi masalah tak hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-
negara lain.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2010-2015 mencatat
setidaknya ada 6.309 anak yang terserang rubela. Sebanyak 77 persen di
antaranya berusia kurang dari 15 tahun. Selain itu, 556 bayi terlahir cacat
pada 2015-2016 akibat serangan virus rubela ketika dalam kandungan ibu.
Ini tentu saja menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.
Pemerintah bertekad untuk menuntaskan pekerjaan rumah
mengeliminasi campak dan mengendalikan penyakit rubela dan kecacatan
bawaan akibat rubela pada 2020. Untuk itu, kampanye imunisasi MR tahun
ini menyasar 34.9 juta anak di enam provinsi di Pulau Jawa. Pemerintah
menargetkan 95 persen dari jumlah total anak tersebut mendapat vaksin
MR.
"Campak dan rubela ini hanya menyerang manusia, bukan hewan dan
bukan lingkungan. Jadi kalau imunisasinya mencapai target, campak dan
rubela ini bisa dimusnahkan," papar Direktur Surveilans dan Karantina

19
Kesehatan Dr. Elizabeth Jane Soepardi MPH. DSc, di Gedung Kementerian
Kesehatan, Jakarta Selatan, saat ditemui Health-Liputan6.com pada Juli
lalu.
Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. H. Mohamad Subuh,
MPPM. Dia mengimbau agar anak-anak yang telah mendapatkan imunisasi
campak tetap menjalani imunisasi MR guna mendapatkan kekebalan
terhadap campak dan rubela. "Kami menargetkan pelaksanaan imunisasi ini
sebesar 90 persen agar dapat menciptakan kekebalan kelompok (herd
immunity). Bagi ibu-ibu yang anaknya sudah diimunisasi campak tetap
diberi imunisasi MR agar mendapat kekebalan terhadap campak dan
rubela," ucap dr. H. Mohamad Subuh.
Dr. Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, apabila sekitar 95 persen
dari masyarakat yang dibidik melakukan imunisasi MR, maka lima persen
lainnya akan ikut kebal terhadap virus tersebut.
Hingga 13 Agustus 2017, tercatat ada 13.4 juta anak di Pulau Jawa
yang telah mendapatkan imunisasi vaksin MR. Kabar terbaru pada 23
Agustus 2017, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI), Hindra Irawan Satari,
mengatakan sudah ada sekitar 20 juta anak yang divaksin MR.
a. Menuai Kontra
Meski begitu, kampanye imunisasi MR tidak kebal terhadap
reaksi negatif dari masyarakat. Informasi simpang siur serta opini
individu antivaksin yang bertebaran di media sosial membuat sebagian
kalangan masyarakat ragu-ragu, bahkan enggan untuk memvaksin anak
mereka.
Kabar seorang siswi di Demak yang kemudian menjadi sulit
berjalan usai mendapat vaksinasi MR dan menjadi viral di media sosial
juga turut mewarnai keraguan ortu untuk mengizinkan anak mereka
divaksin. Meski kemudian hasil pemeriksaan lanjutan belum dapat

20
membuktikan bahwa kondisi sulit berjalan gadis tersebut terkait dengan
vaksinasi MR yang didapatnya.
Ada pula orangtua yang terang-terangan menolak anaknya divaksin
lantaran menganggap tindakan tersebut bertentangan dengan keyakinan
agama seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Orangtua dari 300
anak lebih di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan Temanggung
menolak imunisasi. Hal itu dipastikan oleh Kepala Dinas Kesehatan
(Kadinkes) Provinsi Jawa Tengah, dr Yulianto Prabowo.
“Ada pemahaman dari tokoh agama yang menyatakan bahwa
vaksin MR tidak boleh,” ujar dr Yulianto. “Memang tidak semua warga
di desa itu menolak. Yang menolak hanya sebagian warga desa,”
lanjutnya. Yulianto mengungkapkan rupanya para orangtua itu
menganggap vaksin MR mengandung zat yang diharamkan agama.
Hal serupa pun terjadi di Banyumas, tepatnya di wilayah kaki
Gunung Slamet. Sebuah sekolah yang bernaung di bawah sebuah
yayasan keagamaan sempat menolak imunisasi MR. Namun, Kadinkes
Kabupaten Banyumas, Sudiyanto, segera menugaskan tim guna
melakukan pendekatan pada camat, kepala desa, tokoh masyarakat,
serta tokoh agama setempat.
Belakangan, diketahui penolakan tersebut lantaran ada
kekhawatiran dampak pasca vaksinasi berupa kelumpuhan seperti yang
terjadi di Demak. Untungnya tim yang ditugaskan Sudiyanto berhasil
menerangkan bahwa vaksin MR aman dan kejadian yang dikhawatirkan
itu hanya bersifat kebetulan, serta tidak terbukti disebabkan oleh
pemberian imunisasi MR. Ratusan siswa di sekolah tersebut pun
kemudian bersedia divaksin.
Kabar mengenai siswi yang sulit berjalan usai imunisasi MR di
Demak pun turut dicermati Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak,
Arist Merdeka Sirait. Meski secara umum mendukung program
imunisasi karena anak memiliki hak asasi untuk hidup sehat, Arist

21
meminta Kementerian Kesehatan RI untuk mengevaluasi atau jika perlu
menghentikan sementara program tersebut.
"Dihentikan sementara dulu programnya. Ini kan ada dampak yang
perlu dilihat dulu kebenarannya, benar tidak anak tersebut lumpuh
karena vaksin MR. Ketika sudah diketahui kebenarannya, baru
lanjutkan lagi," ujarnya ketika dihubungi Health-Liputan6.com.

b. Keresahan Para Ibu


Kabar yang simpang-siur seputar vaksin dan kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) memang membuat resah sebagian orangtua, utamanya
para ibu. Hal tersebut pun dirasakan seorang ibu muda berinisial IR
yang tinggal di Cilangkap, Jakarta. IR masih ragu apakah akan
memvaksin buah hatinya yang kini berusia 23 bulan. Kondisi sang anak
yang belum lancar berbicara serta kabar mengenai vaksin MR yang
belum bersertifikat halal membuatnya sedikit resah.
"Saat ini usia anak saya 23 bulan dan belum lancar bicara. Hal itu
jadi pertimbangan apakah kami akan memvaksin dia tahun ini. Selain
itu kabar-kabar mengenai kejadian usai vaksin pun membuat saya
semakin khawatir. Ditambah pula dengan ketidakjelasan kabar
mengenai sertifikasi halal vaksin MR," IR menjelaskan alasannya
pada Health-Liputan6.com.
"Kami akan tunggu hingga usia anak 3 tahun dan me-review lagi
informasi seputar vaksin tersebut sebelum benar-benar memutuskan
akan memberinya imunisasi MR," ujarnya.
Sejumput kekhawatiran juga dirasakan oleh SN akibat kisah-kisah
miring seputar kejadian ikutan pasca-imunisasi MR. Meski menyimpan
sedikit kecemasan, wanita yang tinggal di Bekasi itu telah mengizinkan
anaknya yang berusia 9 tahun untuk divaksin.
"Sekolah tempat putri saya belajar mendapat jadwal imunisasi
akhir Agustus ini. Awalnya reaksi saya biasa saja mengenai imunisasi
MR, tapi jadi cemas ketika mendengar ada anak yang lumpuh dan

22
bahkan meninggal usai divaksinasi. Saya kemudian mencari informasi
seputar imunisasi tersebut dari para ibu yang anaknya sudah lebih dulu
divaksinasi. Rupanya ada beberapa hal yang menyebabkan kejadian
ikutan pasca-imunisasi, seperti misalnya kondisi anak yang tidak fit.
Syarat anak untuk bisa menerima vaksin kan harus dalam kondisi sehat
dan fit," ucap SN.
"Selain itu, yang membuat khawatir apakah vaksinnya palsu atau
tidak. Karena beberapa waktu lalu kan sempat heboh kasus vaksin
palsu. Tapi sejauh ini saya sudah berniat memberi izin anak untuk
divaksin. Bagaimana pun vaksinasi itu penting sebagai bentuk
pencegahan," lanjut SN.
Sementara itu, beberapa orangtua yang anaknya bersekolah di
Sekolah Islam Darussalam, Cikunir, Bekasi, pun menolak anaknya
diimunisasi MR. Witono, Wali Kelas VI di Sekolah Islam Darussalam,
mengatakan kebanyakan orangtua tidak bersedia anaknya divaksin MR
lantaran sedang dalam kondisi tidak fit. Kabarnya, saat pemberian
vaksin MR dilaksanakan, banyak anak yang sedang sakit seperti batuk,
pilek dan demam, sehingga orangtua takut dan memilih untuk tidak
memberikan vaksin MR di sekolah.
YH, ibu dari batita usia 10 bulan, pun memutuskan untuk tidak
memberi anaknya vaksin pada Agustus dan September tahun ini.
Alasannya bukan karena dia tidak setuju, melainkan sang buah hati baru
saja menerima imunisasi campak.
"Saya konsultasi dengan dokter anak seputar vaksin MR.
Dokternya bilang karena Rosella baru imunisasi campak jadi enggak
usah (vaksin MR) lagi. Karena belum enam bulan jaraknya dari
imunisasi kemarin. Ya saya ikut aja, toh Rosella udah imunisasi,"
katanya.
Menurut dia, pemberian imunisasi atau vaksin terhadap anaknya
akan dilakukan sesuai dengan anjuran atau jadwal imunisasi yang

23
diberikan oleh dokter. "Saya akan ikut jadwal imunisasi dari dokter aja,
Mbak," ujarnya.
Meski beberapa ibu ragu atau cemas ketika akan memberi
imunisasi MR pada buah hati mereka, ada ibu-ibu lain yang menyambut
positif program nasional ini.
Ibu dua anak, SGT, langsung menerima baik sosialisasi imunisasi
MR yang dikirim oleh pihak sekolah putranya. "Wali kelasnya anak
saya ngasih tahu dulu di grup chat kalau mau ada vaksin MR di sekolah
dan saya sih enggak (takut) anak saya divaksin, karena saya sudah tahu
informasi vaksin ini lewat internet dan sebelumnya juga anak saya
pernah dapat vaksin yang lain di rumah sakit," kata SGT
kepada Health-Liputan6.com, Minggu (27/8/2017).
SGT sendiri mengetahui informasi pro dan kontra terhadap
program vaksin MR yang berkembang di masyarakat. Namun, menurut
dia, pemberian vaksin ini penting dilakukan karena dapat menurunkan
risiko terhadap penyakit rubela.
"Seharusnya orangtua enggak perlu takut (vaksin MR) ya, karena
setahu saya kalau anak enggak divaksin malah risikonya (terkena
penyakit rubela) bisa lebih tinggi," katanya.
Hal senada pun diungkap NLS dan DW yang sama-sama
berdomisili di Tangerang. NLS mempersiapkan sebaik-baiknya kondisi
putranya yang akan menerima imunisasi MR di sekolahnya pada 28
Agustus 2017. "Saya memastikan kondisi putra saya tidak sakit saat
akan imunisasi. Saya melihat ini sebagai tindakan pencegahan yang
sangat baik dari pemerintah dan tidak melihat dampak buruknya. Jadi
saya dengan senang hati mengizinkan kedua anak kami untuk diberi
imunisasi MR," NLS berkomentar.
"Sebelum dilaksanakan imunisasi MR, pihak sekolah sudah
mengirimkan surat edaran dan mengundang kami untuk melakukan
sosialisasi mengenai hal itu. Melihat bahwa imunisasi ini penting dan

24
juga anak berhak untuk hidup sehat, saya tak merasa ragu untuk
mengizinkan," ucapnya.

c. Delapan Laporan
Menurut informasi Ketua Komnas PP KIPI, Hindra Irawan Satari
SpA(K), dari sekitar 20 juta anak di Pulau Jawa yang telah
mendapatkan imunisasi vaksin campak, ada delapan laporan yang
diterima Komnas PP KIPI. Satu di antaranya adalah siswi SMP Demak
yang lumpuh, demam, dan alergi obat.
Siswi yang kini dirawat di RS Kariadi Semarang itu, kata Hindra,
sebelum diimunisasi memiliki kondisi kaki kanan lebih kecil, mata
juling, dan berjalan diseret. Kini, kondisinya telah membaik.
"Serangkaian tes sudah dia lakukan seperti CT Scan, EEG, tapi bukti
yang ada belum membuktikan kondisi kesulitan berjalan karena
imunisasi," katanya.
Komnas PP KIPI yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI
merupakan tim independen terhadap kasus yang diduga KIPI. Tugasnya
melakukan causality assessment, yakni mengkaji data-data yang ada,
sehingga bisa mengklasifikasikan kejadian pasca-imunisasi ada
hubungan dengan pemberian vaksin atau tidak.
Ada dua faktor utama yang dinilai, ucap Hindra. Pertama onset
(awitan), yaitu masa dari mulai penyuntikan sampai timbulnya gejala.
Kedua, apakah ada penyakit lain yang mendasarinya, atau kejadian
pasca-imunisasi itu terjadi karena memang anaknya sudah sakit atau
ada riwayat penyakit sebelumnya.
Dari delapan laporan yang masuk ke Komnas KIPI,
berdasarkan causality assesment yang ada belum ditemukan adanya
hubungannya dengan pemberian imunisasi MR.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dr.
Mohamad Subuh, MPPM juga mengungkapkan, bila terjadi dugaan
KIPI, jangan dikatakan langsung disebabkan oleh vaksin MR. Harusnya

25
ada konfirmasi dan klarifikasi terlebih dahulu. "Kalau ada kejadian
pasca-imunisasi di kabupaten, maka dinas kabupaten harus
melaporkannya kurang dari 24 jam,'' kata Subuh.
Demam ringan, ruam merah, pegal-pegal, bengkak ringan dan nyeri
di tempat suntikan merupakan reaksi normal usai mendapatkan
imunisasi MR. Kondisi tersebut, kata Kementerian Kesehatan RI, akan
hilang dalam dua-tiga hari sesudah imunisasi.
Lalu, sebenarnya apa itu penyakit campak dan rubela? Seperti apa
bahayanya jika seseorang terkena penyakit tersebut? Dan seberapa
aman dan efektif vaksinasi MR?

d. Apakah itu Campak dan Rubella?


Penyakit campak dan rubela tak asing lagi di telinga masyarakat,
khususnya di Indonesia. Namun, awam lebih mengenal campak
dibandingkan rubela. Padahal, kedua penyakit tersebut timbul akibat
virus yang sama-sama bisa ditularkan melalui saluran napas.
Mengutip laman Klik Dokter, Sabtu (26/8/2017), measles atau
campak adalah penyakit akibat infeksi virus yang mudah ditularkan
melalui batuk dan bersin. Simtom penyakit ini berupa batuk pilek
disertai ruam kemerahan di kulit.
Meski terkesan ringan, campak bisa berbahaya karena kerap
menyebabkan komplikasi berat di berbagai organ, seperti infeksi telinga
tengah, diare, dan radang otak. Setidaknya 1 dari 20 anak yang sakit
campak akan mengalami peradangan paru (pneumonia).
Sedangkan rubela, atau juga dikenal dengan campak Jerman,
merupakan penyakit akibat virus yang kerap menyerang anak. Simtom
infeksi rubela terbilang ringan, yakni berupa ruam merah dan demam
ringan yang tak mengganggu aktivitas.
“Bila infeksi rubela ini menyerang wanita yang sedang
merencanakan kehamilan atau sedang hamil, dapat menyebabkan
kematian atau kecacatan saat lahir (Congenital Rubella Syndrome).

26
Angka kejadian bayi cacat akibat rubela di Indonesia termasuk salah
satu yang tertinggi di dunia,” jelas dr Resthie Rachmanta Putri, M.Epid,
seperti dikutip dari laman Klik Dokter.
Ibu hamil yang terpapar virus rubela pada trimester pertama atau
awal kehamilan dapat mengalami keguguran atau kecacatan pada bayi
yang dilahirkan. Sindroma Rubella Kongenital di antaranya meliputi
kelainan pada jantung dan mata, ketulian, dan keterlambatan
perkembangan.
Simtom atau gejala infeksi rubela cenderung tidak terlalu
signifikan, ringan, dan sulit dikenali. Umumnya individu yang
terinfeksi mengalami demam ringan, nyeri tenggorokan, sakit kepala,
sesak napas dan pilek, mata merah, serta ruam merah yang dimulai dari
wajah lalu menyebar ke lengan serta kaki dengan cepat.
Gejala tersebut biasanya muncul dalam rentang dua atau tiga
minggu setelah terpapar virus dan bertahan selama dua hingga tiga hari.
Mengutip laman Health Line, penularan virus rubela sangat mudah
dan cepat. Individu bisa terpapar virus rubela jika menyentuh mulut,
hidung, mata, bekas lendir atau cairan dari orang yang terinfeksi
rubella. Selain itu, virus rubela juga bisa menyebar lewat berbagi
makanan atau minuman dengan seseorang yang terinfeksi virus
tersebut.
Tidak ada pengobatan untuk penyakit MR. Namun, kabar baiknya,
penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi MR.

e. Vaksin MR Aman
Menanggapi kekhawatiran orang tua terhadap vaksinansi tersebut,
dr. Hindra menegaskan, hingga kini vaksin MR yang digunakan dalam
program imunisasi MR ini aman.
"Sampai saat ini data yang masuk (kasus anak demam atau
kehilangan kesadaran usai vaksin) tidak lebih dari data yang ada di
kepustakaan," kata Hindra.

27
"Katakanlah data di kepustakaan mengatakan anak demam lima
persen dari total yang divaksin, kalau lebih dari enam persen itu vaksin
bermasalah. Hingga sekarang angka yang masuk di bawah angka
kepustakaan. Artinya vaksin yang digunakan aman," ujar dokter yang
berpraktek di RS Ciptomangunkusumo Jakarta ini.
Dia menyarankan kepada orangtua yang masih ragu memberi
vaksin MR pada anak untuk mencari informasi langsung pada orang
yang berkompeten. "Tanyakan tentang bahaya, keamanan, reaksi,
manfaat imunisasi MR ke orang yang berkompetensi dalam hal itu.
Kan, yang melakukannya dokter spesialis anak, tanyakan ke dokter
spesialis anak. Bukan ke dokter bedah, patologi anatomi, atau dokter
spesialis forensik," kata Hindra saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan.
Jika tidak mudah menemui dokter spesialis anak, bisa bertanya ke
dokter umum. Sehingga orangtua bisa mendapat penjelasan lengkap dan
detil dari sumber yang tepat.
Hindra pun menyarankan orangtua memperhatikan sumber
informasi yang didapat. Pastikan mendapat informasi dari laman yang
kredibel. "Jangan percaya sumber mailing list. Biasanya sudah banyak
'bunga-bunga' di dalamnya," sarannya. Kemudian, jika kabar yang
diterima tersebut mengacu pada data kepustakaan, lihat kembali apakah
informasi terbaru atau tidak. Bisa jadi, isu yang dimunculkan adalah
hasil penelitian dulu, tentu berbeda dengan yang hasil studi terkini.
"Lalu, tentukan sendiri. Kalau ingin bergabung (anaknya mendapat
imunisasi MR) silakan. Kalau masih tidak yakin, siapa yang bisa
memaksa," kata Hindra lagi.
Kemenkes RI juga mengungkapkan vaksin MR yang digunakan
mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan izin
edar dari Badan POM. Penggunaan vaksin ini aman dan telah
digunakan di lebih dari 141 negara. Vaksin MR 95 persen efektif untuk
mencegah penyakit campak dan rubela.

28
Adakah perbedaan antara vaksin MR dan vaksin Measles, Mumps,
Rubella (MMR)?
Sebenarnya, tidak ada perbedaan besar antara vaksin MR dan
MMR. Perbedaannya terletak pada kandungan vaksin mumps untuk
melawan gondongan yang tidak dimasukkan ke dalam vaksin MR. Ini
karena kasus penyakit gondongan sudah jarang dijumpai di kalangan
masyarakat Indonesia.
Vaksin MR merupakan pengganti vaksin measles, mumps, dan
rubella (MMR) yang sebelumnya sempat kosong stoknya selama dua
tahun.
Imunisasi MR dilakukan pemerintah sekarang untuk melindungi
anak dari penyakit kelainan bawaan, seperti gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, kelainan jantung dan retardasi mental yang
disebabkan adanya infeksi rubella pada saat kehamilan.
Jika capaian imunisasi bisa mencapai 95 persen, eliminasi campak
dan pengendalian rubela terwujud di 2020.
"Sehingga bukan hanya melindungi diri sendiri, tapi orang lain juga
dilindungi," kata Hindra.

29
Gambar 2.4
Informasi Vaksin MR

f. Syarat Imunisasi
"Pastikan anak tidak demam, tidak sedang batuk flu, tidak ada
gejala-gejala lain," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, M Subuh, pada
konferensi pers pemantauan dan penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi.
Ditambahkan oleh ahli neurologi anak RSCM, Irawan
Magunatmadja, anak sehat artinya dalam satu-dua minggu tidak
sakit. "Jika anak memang sakit waktu imunisasi bisa ditunda," kata
Irawan pada kesempatan sama.
Irawan mencontohkan, misalnya anak baru kena cacar air,
sebaiknya tunda. Tunggu hingga paling tidak dua minggu pasca-anak
sembuh baru dilakukan imunisasi.
Sebelum melakukan suntikan imunisasi, tim tenaga medis juga
akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum memberikan
suntikan imunisasi MR. Sehingga bukan asal suntik saja, melainkan
mempertimbangkan kondisi kesehatan anak.
"Imunisasi adalah tindakan medis. Pada saat anak diberikan
imunisasi adalah pelayanan individu. Dalam ranah pelayanan medis
sebelum melakukan sesuatu harus ada pengamatan secara umum," kata
Subuh lagi di kantor Kemenkes RI di Jakarta.
Dalam melakukan program imunisasi MR, Kemenkes pun
mengajak organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia
untuk mendampingi dan mengawal pelaksanaan program ini.

2. Mencari Alternatif Vaksin Haram


Tolak vaksin haram, mencari alternatif yang halal. Solusinya, kembali
ke alam. Mungkinkah?

30
Di antara sekian banyak orangtua yang menolak vaksinasi untuk
anaknya adalah Tasyrif Amin, ayah delapan orang anak. Bagi pria yang
sehari-hari berprofesi sebagai dai ini, “Sedikit pun saya tidak yakin dengan
imunisasi.”
Setidaknya ada dua hal yang membuat Ketua Departemen DPP
Hidayatullah ini menolak vaksinasi terhadap anak-anaknya. Yaitu
kandungan zat kimia yang terkandung dalam vaksin dan jaminan kehalalan.
“Bukankah dalam imunisasi itu ada unsur kimianya? Siapa yang dapat
menjamin kehalalan imunisasi?,” gugat pria yang tinggal di Makassar,
Sulawesi Selatan ini.
Sebagai dai, Tasyrif lebih meyakini sunnah yang dicontohkan Nabi
Saw. Yaitu, ketika anak lahir, maka sunnahnya ia diperdengarkan adzan, di-
tahnik dengan madu atau kurma, diberi ASI (Air Susu Ibu) secara sempurna,
diberi nama yang baik, diaqiqah, dan lain-lain.
“Alhamdulillah, kedelapan anak saya, semuanya sehat-sehat. Bisa
diadu fisiknya dengan anak-anak yang diberi imunisasi,” tantang pria yang
hobi main bulutangkis ini.
Serupa dengan Tasyrif Amin, seorang ayah di Depok, Hanif,
mempunyai sikap yang sama. Pilihannya itu ia ambil setelah mendapat
masukan dari seorang bidan di daerahnya. Bidan beranak lima itu,
memberikan imunisasi pada empat orang anaknya, sementara yang terakhir
sama sekali tidak. Ternyata, anak yang tidak diimunisasi, kesehatannya jauh
lebih prima dibandingkan yang diimunisasi. Demikian juga pada hal
kecerdasan.
”Di situ saya mulai tertarik,” ujar ayah dua orang anak ini. Makanya,
anaknya yang terakhir tidak ia beri imunisasi. Hanif dan istri sepakat untuk
anak keduanya ini diberi imunisasi yang bersifat alamiah, seperti ASI dan
madu. Kebetulan, orangtua Hanif mempunyai keahlian di bidang herbal.

C. Pembahasan Artikel

31
1. Pembahasan Artikel “HEADLINE: Tak Usah Takut Imunisasi dengan
Vaksin MR, Mengapa?”
Menurut Sri Harti, A (2013:43), “vaksinasi merupakan proses
pemberian vaksin untuk memperoleh imunitas”.
Vaksinasi merupakan suatu tindakan disengaja dengan memberikan
antigen atau mikroorganisme yang telah dilemahkan ke dalam tubuh
manusia yang berfungsi untuk merangsang sistem imun atau antibodi dan
kekebalan tubuh, sehingga seseorang yang telah mendapatkan vaksinasi
nantinya akan tidak sakit atau terpajan oleh antigen yang telah dimasukkan
ke dalam tubuh tersebut. Sedangkan vaksin merupakan komponen atau
subjek dari vaksinasi, hal tersebut akan dijelaskan pada paragraf
selanjutnya.
Menurut Sri Harti, A (2013:43) “vaksin merupakan suatu suspensi
mikroorganisme hidup yang dilemahkan atau mati atau bagian antigenik
agen yang diberikan pada hospes potensial untuk menginduksi imunitas dan
mencegah terjadinya penyakit”.
Pemberian vaksinasi merupakan suatu tindakan pencegahan untuk
tidak terjadinya penyakit, khususnya penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Menurut Kemenkes (2014:1) penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi adalah Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis
B, Campak dan Polio.
Vaksinasi yang tengah gencar dijadikan program saat ini adalah vaksin
MR (measless dan rubella). Hal ini dilansir dari artikel liputan6.com, yaitu.
Kini jenis vaksin yang tengah gencar dikampanyekan oleh pemerintah
adalah imunisasi Measles Rubela (MR). Imunisasi tersebut diberikan secara
massal dan cuma-cuma pada Agustus hingga September 2017 bagi anak usia
9 bulan hingga di bawah 15 tahun di seluruh Pulau Jawa. Sementara anak-
anak di luar Pulau Jawa akan mendapat giliran imunisasi di Agustus hingga
September tahun mendatang.

Menurut Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Kemenkes RI (2017:1) Campak merupakan penyakit yang sangat mudah
menular yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui batuk dan
bersin. Gejala penyakit campak adalah demam tinggi, bercak kemerahan
pada kulit (rash) disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau

32
konjungtivitis akan tetapi sangat berbahaya apabila disertai dengan
komplikasi pneumonia, diare, meningitis dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Penyakit ini sangat berpotensi menjadi wabah apabila cakupan
imunisasi rendah dan kekebalan kelompok/herd immunity tidak terbentuk.
Ketika seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan
penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak.
Seseorang dapat kebal jika telah diimunisasi atau terinfeksi virus campak.
Berdasarkan kutipan di atas, bahwa yang dimaksud herd immunity
adalah jika dalam sebuah kelompok masyarakat, 95% melakukan imunisasi
atau vaksin MR maka sisanya akan terlindungi dari penyakit MR, maka
kelompok tersebut akan terhindar dari campak dan rubela. Akan tetapi, jika
herd immunity tidak terbentuk maka jika ada satu orang terkena campak
maka 90% kelompok tersebut akan tertular campak karena campak
merupakan penyakit yang sangat mudah menular sedangkan penyakit rubela
akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya.
Menurut Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kemenkes RI (2017:1) Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering
menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Akan tetapi yang menjadi
perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek teratogenik apabila
rubella ini menyerang pada wanita hamil pada trimester pertama. Infeksi
rubella yang terjadi sebelum konsepsi dan selama awal kehamilan dapat
menyebabkan abortus, kematian janin atau sindrom rubella kongenital
(Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang dilahirkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa yang dimaksud efek
teratogenik adalah perkembangan yang tidak normal dan terjadinya
kerusakan pada embrio yang menyebabkan bayi lahir dengan cacat. Hal
inilah menjadi alasan pemerintah untuk mengadakan program vaksinasi
MR, dikarenakan kedua penyakit tersebut baik campak maupun rubela
mempunyai efek yang signifikan dan dapat menyebabkan kematian. Dilansir
dari artikel liputan6.com, menyatakan.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2010-2015 mencatat
setidaknya ada 6.309 anak yang terserang rubela. Sebanyak 77 persen di
antaranya berusia kurang dari 15 tahun. Selain itu, 556 bayi terlahir cacat
pada 2015-2016 akibat serangan virus rubela ketika dalam kandungan ibu.
Ini tentu saja menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.
Maka dari itu, pemerintah mengkampanyekan imunisasi MR atau
Vaksin MR. Kampanye imunisasi MR atau Vaksin MR adalah suatu
kegiatan imunisasi secara massal sebagai upaya untuk memutuskan

33
transmisi penularan virus campak dan rubella secara cepat, tanpa
mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya.
Adanya kampanye tersebut tidak luput dari isu-isu negatif tentang
imunisasi/vaksinasi yang beredar di kalangan masyarakat khususnya ibu-
ibu. Hal ini dilansir dalam artikel liputan6.com, yang berisi tentang alasan
ibu-ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya. Misalnya ibu dengan inisial
IR, yang mengatakan:
"Saat ini usia anak saya 23 bulan dan belum lancar bicara. Hal itu jadi
pertimbangan apakah kami akan memvaksin dia tahun ini. Selain itu kabar-
kabar mengenai kejadian usai vaksin pun membuat saya semakin khawatir.
Ditambah pula dengan ketidakjelasan kabar mengenai sertifikasi halal
vaksin MR," IR menjelaskan alasannya pada Health-Liputan6.com.
"Kami akan tunggu hingga usia anak 3 tahun dan me-review lagi
informasi seputar vaksin tersebut sebelum benar-benar memutuskan akan
memberinya imunisasi MR," ujarnya.
Pernyataan ibu IR tersebut pun serupa dengan pernyataan ibu SN
akibat kisah-kisah miring seputar kejadian ikutan pasca-imunisasi MR. Ibu
SN mengatakan.
"Sekolah tempat putri saya belajar mendapat jadwal imunisasi akhir
Agustus ini. Awalnya reaksi saya biasa saja mengenai imunisasi MR, tapi
jadi cemas ketika mendengar ada anak yang lumpuh dan bahkan meninggal
usai divaksinasi. Saya kemudian mencari informasi seputar imunisasi
tersebut dari para ibu yang anaknya sudah lebih dulu divaksinasi. Rupanya
ada beberapa hal yang menyebabkan kejadian ikutan pasca-imunisasi,
seperti misalnya kondisi anak yang tidak fit. Syarat anak untuk bisa
menerima vaksin kan harus dalam kondisi sehat dan fit," ucap SN.

Berdasarkan dua kutipan di atas, telah terbukti bahwa media


merupakan sarana penyampaian isu tercepat tanpa mungkin belum ada
pembuktian kebenarannya, contohnya kasus seperti kelumpuhan dan
meninggal akibat imunisasi MR yang diduga sebagai KIPI yaitu kejadian
ikutan pasca-imunisasi.
Walaupun demikian jika memang terjadi KIPI selalu dikaji oleh
Komnas/Komda KIPI hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
Kemenkes RI (2017: 63) bahwa Pemantauan kasus KIPI dimulai langsung
setelah imunisasi. Selanjutnya puskesmas menerima laporan KIPI dari
masyarakat/orang tua/kader. Apabila ditemukan dugaan KIPI serius agar

34
segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan
pelacakan. Hasil pelacakan dilaporkan ke Pokja/Komda PP-KIPI dilakukan
analisis kejadian dan tindak lanjut kasus.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi menyatakan bahwa “Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian medik
yang diduga berhubungan dengan imunisasi”. Kejadian medik ini baik
berupa efek vaksin maupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek
farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi suntikan atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Penentuan terjadinya KIPI tidak mudah, harus didukung dengan
kegiatan surveilans KIPI karena kejadian ikutan pasca imunisasi bukan
merupakan kejadian tunggal. Lebih lanjut Hadinegoro, Sri Rezeki (2000:3)
menjelaskan
untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI
diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan
yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu
program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat
akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling
efektif.
Penentuan KIPI memerlukan investigasi lebih lanjut karena tidak
semua kejadian medik bisa dikategorikan sebagai KIPI ada beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam penentuan KIPI seperti waktu pemberian
vaksin, riwayat penyakit yang dimiliki oleh penerima imunisasi dan
konsumsi obat atau zat kimia lainnya yang dapat memberikan efek
munculnya kejadian klinis.
Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar
ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk
menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi
kejadian KIPI pada pemberian vaksin MR; bagaimana sifat kelainan
tersebut, lokal atau sistemik; apakah penyebab dapat dipastikan, diduga,
atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI

35
berhubungan dengan pemberian vaksin MR, kesalahan produksi, atau
kesalahan pemberian.
Kampanye imunisasi MR ini tidak semata-mata dilakukan tanpa
adanya persiapan yang matang terlebih dahulu. Maka dari itu, seharusnya
pemerintah pula mengadakan sosialisasi yang lebih matang mengenai SOP
pelaksanaan imunisasi MR sehingga isu-isu negatif yang telah diedarkan
kelompok antivaksin bisa teratasi.
Alasan lain orangtua tidak mengizinkan anak mereka diimunisasi
vaksin MR adalah adanya larangan dari tokoh agama yang menyatakan
bahwa vaksin MR mengandung bahan yang diharamkan oleh agama, berikut
kutipan artikel liputan6.com
Ada pula orangtua yang terang-terangan menolak anaknya divaksin
lantaran menganggap tindakan tersebut bertentangan dengan keyakinan
agama seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Orangtua dari 300 anak
lebih di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan Temanggung menolak
imunisasi. Hal itu dipastikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes)
Provinsi Jawa Tengah, dr Yulianto Prabowo.
“Ada pemahaman dari tokoh agama yang menyatakan bahwa vaksin
MR tidak boleh,” ujar dr Yulianto. “Memang tidak semua warga di desa itu
menolak. Yang menolak hanya sebagian warga desa,” lanjutnya. Yulianto
mengungkapkan rupanya para orangtua itu menganggap vaksin MR
mengandung zat yang diharamkan agama.
Menanggapi pendapat di atas, dikutip dari Fadhila, Siti R (2014)
mengatakan bahwa
hanya sebagian kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan dengan tripsin
babi pada proses pengembangan maupun pembuatannya seperti vaksin polio
injeksi (IPV) dan meningitis. Pada vaksin meningitis, pada proses
penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15–20 tahun lalu, ketika panen bibit
vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk
melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit
vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang
disuntikkan tidak mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis
Ulama Indonesia berpendapat vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada
penggantinya. Contohnya vaksin meningokokus (meningitis) haji
diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah
radang otak karena meningokokus.
Berdasarkan penjelasan di atas, sangat jelas bahwa vaksin yang jadi
atau vaksin yang siap disuntikkan kepada manusia tidak mengandung zat
babi walaupun memang pembuatannya ada pula yang memakai zat babi,

36
akan tetapi hal ini tidak menjadi indikator bahwa barang tersebut haram. Hal
ini sejalan dengan logika yang disampaikan oleh Fadhila, Siti R (2014)
bahwa vaksin sama halnya dengan khamr dimana khamr dibuat dari sesuatu
yang suci yaitu anggur menjadi sesuatu yang haram yaitu khamr. Akan
tetapi jika vaksin dari sesuatu yang haram menjadi suci.
Perlu diperhatikan pula tidak semua vaksin yang dibuat atau
diproduksi menggunakan komponen yang haram dalam agama, hal ini
bergantung pada jenis vaksin yang akan diproduksi. Ada vaksin yang
memang memerlukan komponen tripsin babi seperti pada contoh di atas,
akan tetapi proses pembuatan vaksin yang menggunakan tripsin babi itu
merupakan proses pembuatan vaksin di luar negeri seperti di Eropa.
Berbeda dengan proses pembuatan vaksin di Indonesia yang mayoritas
penduduknya adalah muslim proses pembuatan vaksin tidak mengandung
zat yang diharamkan agama, zat tersebut akan digantikan dengan sintetis
atau zat tiruan tapi bukan berasal dari hewan yang diharamkan. Sehingga
vaksin yang diproduksi di Indonesia tidak mengandung zat yang
diharamkan agama.
Adapun alasan lain dari ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya,
dikarenakan sakit. Hal ini dilansir dari artikel liputan6.com sebagai berikut.
“Sementara itu, beberapa orangtua yang anaknya bersekolah di
Sekolah Islam Darussalam, Cikunir, Bekasi, pun menolak anaknya
diimunisasi MR. Witono, Wali Kelas VI di Sekolah Islam Darussalam,
mengatakan kebanyakan orangtua tidak bersedia anaknya divaksin MR
lantaran sedang dalam kondisi tidak fit.”
Kutipan di atas, sesuai dengan teori bahwa kontraindikasi vaksin MR,
sebagai berikut.
a. Individu yang sedang dalam terapi kortikosteroid, imunosupresan dan
radioterapi
b. Wanita hamil
c. Leukemia, anemia berat dan kelainan darah lainnya
d. Kelainan fungsi ginjal berat
e. Decompensatio cordis
f. Setelah pemberian gamma globulin atau transfusi darah

37
g. Riwayat alergi terhadap komponen vaksin (neomicyn)
Jika ada salah satu poin di atas yang dialami maka hal tersebut perlu
diperiksa lebih dahulu kepada petugas kesehatan, dan adapun jika beberapa
kondisi seperti demam, batuk, pilek dan diare sedang berlangsung pada
anak-anak sasaran imunisasi MR maka pemberian imunisasi ditunda
sementara sampai kondisi anak sehat.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa sebagian masyarakat yang
antusias yang mendukung adanya program atau kampanye imunisasi MR,
para orangtua ini mengizinkan anaknya untuk diberi vaksin MR karena
mereka sudah memahami informasi vaksin MR dan risiko yang akan
ditanggung di masa depan jika anaknya tidak divaksin MR. Hal ini sesuai
dengan kutipan artikel liputan6.com sebagai berikut.
Ibu dua anak, SGT, langsung menerima baik sosialisasi imunisasi MR
yang dikirim oleh pihak sekolah putranya. "Wali kelasnya anak
saya ngasih tahu dulu di grup chat kalau mau ada vaksin MR di sekolah dan
saya sih enggak (takut) anak saya divaksin, karena saya sudah tahu
informasi vaksin ini lewat internet dan sebelumnya juga anak saya pernah
dapat vaksin yang lain di rumah sakit," kata SGT kepada Health-
Liputan6.com, Minggu (27/8/2017).
SGT sendiri mengetahui informasi pro dan kontra terhadap program
vaksin MR yang berkembang di masyarakat. Namun, menurut dia,
pemberian vaksin ini penting dilakukan karena dapat menurunkan risiko
terhadap penyakit rubela.
"Seharusnya orangtua enggak perlu takut (vaksin MR) ya, karena
setahu saya kalau anak enggak divaksin malah risikonya (terkena penyakit
rubela) bisa lebih tinggi," katanya.
Hal senada pun diungkap NLS dan DW yang sama-sama berdomisili
di Tangerang. NLS mempersiapkan sebaik-baiknya kondisi putranya yang
akan menerima imunisasi MR di sekolahnya pada 28 Agustus 2017. "Saya
memastikan kondisi putra saya tidak sakit saat akan imunisasi. Saya melihat
ini sebagai tindakan pencegahan yang sangat baik dari pemerintah dan tidak
melihat dampak buruknya. Jadi saya dengan senang hati mengizinkan kedua
anak kami untuk diberi imunisasi MR," NLS berkomentar.

Maka dapat disimpulkan bahwa adanya imunisasi MR merupakan


program pemerintah untuk mengeliminasi MR pada tahun 2020. Adapun pro
dan kontra yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh perbedaan presepsi
mengenai informasi vaksin MR yang didapat oleh masing-masing individu.

38
Ketimpangan informasi ini dapat diatasi dengan dukungan dari berbagai
pihak seperti tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan
masyarakat luas yang telah memahami informasi mengenai vaksin MR
untuk membantu pemerintah memberikan arahan dan pemahaman
pentingnya vaksin MR dari berbagai perspektif pemikiran sehingga
masyarakat paham betul pentingnya vaksin MR dan mengizinkan anaknya
untuk diimunisasi vaksin MR tanpa menyalahi aturan yang mereka yakini.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai pengganti imunisasi menurut ulama
pada pembahasan selanjutnya.

2. Pembahasan Artikel “Mencari Alternatif Vaksin Haram”


Seiring waktu, pro-kontra imunisasi terus berjalan dengan adanya
kelompok antivaksin yang menyatakan vaksin haram dan meninggalkan
dampak serius seperti kelumpuhan bahkan kematian. Akan tetapi hal yang
menarik yang sedang disorot saat ini adalah kehalalan vaksin, dikarenakan
masyarakat Indonesia sebagian besar adalah umat Islam maka isu adanya
vaksin haram merupakan suatu ancaman pemerintah untuk
mengkampanyekan vaksin. Hal ini pun telah dilansir pada artikel sebagai
berikut.
“Sebagai dai, Tasyrif lebih meyakini sunnah yang dicontohkan Nabi
saw. yaitu, ketika anak lahir, maka sunnahnya ia diperdengarkan adzan, di-
tahnik dengan madu atau kurma, diberi ASI (air susu ibu) secara sempurna,
diberi nama yang baik, diaqiqah, dan lain-lain.
“Alhamdulillah, kedelapan anak saya, semuanya sehat-sehat. Bisa
diadu fisiknya dengan anak-anak yang diberi imunisasi,” tantang pria yang
hobi main bulutangkis ini.”
Berdasarkan penjelasan di atas, adapun menurut Bahraen, R (2012)
menyatakan bahwa salah satu teori yang diusung oleh mereka yang
menyatakan bahwa tahnik adalah imunisasi alami yaitu bakteri dari
mulut orang yang mentahnik akan berpindah ke perut bayi kemudian
merangsang imunitas alami. Sebagaimana teori imunisasi yaitu
memaparkan antigen seperti bakteri yang dilemahkan atau yang

39
dimatikan. Ini perlu penelitian dan pembuktian ilmiah. Dan jika
benar maka bayi tersebut hanya kebal terhadap bakteri di mulut
bukan dengan bakteri penyakit yang lain. Adapun salah satu dalil
tentang tahnik sebagai berikut:
Dari Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan pengertian
tahnik,
‫والتحنيك مضغ الشيء ووضعه في فم الصبي ودلك حنكه به يصنع ذلك بالصبي ليتمرن على‬
‫الكأل ويقوى عليه وينبغي عند التحنيك أن يفتح فاها حتى ينزل جوفه وأولها التمر فإن لم يتيسممر تمممر‬
‫فرطب وإل فشيء حلو وعسل النحل أولى من غيرها‬
“Tahnik ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan/
memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-
langit mulut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan
makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika
mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang
telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Yang lebih utama, mentahnik
dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan
kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada
kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih
utama dari yang lainnya”.
Menurut Bahraen, R (2012) “tidak ada dalil yang menyatakan tahnik
berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, akan tetapi mungkin
dengan masuknya bakteri mulut masuk ke dalam tubuh manusia bisa
meningkatkan sistem imun manusia walaupun hanya bakteri mulut saja”.
Akan tetapi seperti telah dijelaskan di atas bahwa tahnik ini masih
memerlukan pembuktian secara ilmiah apakah kegiatan ini bisa disamakan
dengan kegiatan imunisasi atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan
pemberian imunisasi menggunakan vaksin tertentu. Pemberian vaksin
khusus kepada bayi akan merangsang tubuh bayi untuk membentuk
kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu. Misalnya, balita yang diberi

40
imunisasi vaksin MR, maka tubuh balita tersebut akan bereaksi untuk
membentuk kekebalan terhadap penyakit measles dan rubella.

3. Solusi
Menurut Amiruddin, R, et al (2011: 5) Epidemiologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang distribusi dan determinan penyakit, serta upaya
pengendalian penyakit tersebut. Ilmu epidemiologi telah berkembang sangat
pesat dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga ilmu ini hampir meliputi
seluruh aspek kehidupan, bukan hanya tentang penyakit menular saja tapi
aspek sosial perilaku sampai genetik dan biologi molekuler telah menjadi
kajian epidemiologi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka epidemiologi bukan hanya
mempelajari penyebaran suatu penyakit, akan tetapi penyebaran tersebut
akan meliputi bagaimana suatu penyakit itu bisa menyebar atau disebut
penularan, frekuensi atau jumlah orang-orang yang terserang penyakit
tertentu, tempat penyebaran tersebut dan populasi berisiko terserang
penyakit tersebut. Hal ini menjadi gambaran bahwa imunisasi ataupun
vaksinasi merupakan suatu tindakan ataupun kegiatan yang bisa merubah
epidemiologi suatu penyakit, di mana host ataupun manusia memiliki
kekebalan tubuh yang kuat untuk bisa menghindar dari penyakit khususnya
penyakit PD3I, walaupun lingkungan masih menjadi tempat
perkembanganbiakkan suatu penyakit tertentu.
Maka apabila digambarkan, bila saat ini cakupan imunisasi pada anak-
anak rendah maka akan merubah pola epidemiologi suatu penyakit pada
orang dewasa, yang mengakibatkan tingginya angka kejadian suatu
penyakit tertentu di masa anak-anak tersebut menjadi dewasa dan di masa
mendatang. Oleh karena itu, pelaksanaan imunisasi dari sudut pandang
epidemiologi sangat penting untuk ditingkatkan sejak dini, karena seiring
dengan berjalannya waktu, perubahan epidemiologi penyakit pun
berkembang semakin pesat, sedangkan pengobatan dari suatu penyakit itu
sangatlah lambat, maka pencegahan yang bisa dilakukan saat ini adalah
dengan melakukan imunisasi dan vaksinasi.

41
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya, penulis dapat
mengemukakan simpulan sebagai berikut.
1. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyebarluaskan
informasi tentang vaksin MR yaitu dengan membentuk tim khusus
guna melakukan pendekatan pada camat, kepala desa, tokoh masyarakat,
serta tokoh agama setempat.
2. Hal yang mempengaruhi terjadinya pro dan kontra vaksin
MR yaitu perbedaan presepsi masyarakat dari pemberian informasi tentang

42
vaksin MR khususnya pada informasi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi) yang terjadi setelah pemberian vaksin MR, kehalalan vaksin MR
dan syarat pemberian vaksin MR.
3. Sikap masyarakat terhadap vaksin MR beragam ada yang
mengizinkan anaknya untuk diimunisasi vaksin MR karena telah memahami
informasi tentang vaksin MR dan risiko yang ditanggung apabila tidak
divaksin MR. Adapula yang menolak vaksin MR karena berkaitan dengan
dugaan komponen vaksin mengandung zat yang diharamkan oleh agama
dan berkaitan dengan efek simpang dari vaksin MR.

B. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan
saran sebagai berikut.
1. Masyarakat khususnya orangtua hendaknya memahami
informasi vaksin MR dengan cara mencari informasi
langsung pada orang yang berkompeten contohnya kepada
petugas kesehatan. Sehigga orangtua bisa mendapatkan
penjelasan yang lengkap dan detil dari sumber yang tepat.
Apabila mendapatkan informasi dari situs informasi online
pastikan sumber informasi tersebut dari laman yang kredibel
atau dapat dipercaya.

43

Anda mungkin juga menyukai