Anda di halaman 1dari 4

Latar Belakang Penulisan Kitab Shahih Muslim

Perseteruan ahl al Ra’y serta ahl al Hadits dipercaya menjadi salah satu embrio
terciptanya kitab hadits. Perseteruan yang dimulai pada abad kedua ini kemudian semakin
memuncak pada awal abad ketiga hijriyah. Para pemimpin kurun pertama daulah Abbasiyah
yang berideologi rasionalis banyak memberikan kontribusi terhadap berkembangnya paham
ini, terbukti saat mereka berkuasa terbangunlah sebuah lembaga Bait al Hikmah yang
berkonsentrasi pada penerjemahan karya-karya filsuf Yunani kedalam bahasa Arab. Setelah
tampak kekuasaan Daulah Abbasiyah beada ditangan khalifah Mutawakkil (232 H), para
penggiat hadits (termasuk di dalamnya Imam Muslim) serasa mendapatkan ‘angin segar’
karena konfrontasi dengan penguasa sudah tidak lagi menjadi hal yang menghambat
berkembangnya kreatifitas yang berhubungan dengan hadits.
Hal lain pemicu terbukukannya kitab Hadits Shahih Muslim adalah ketika kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai pada dinasti Abbasiyah dibarengi dengan
memanasnya konflik yang bernuansa politis oleh beberapa kelompok dimana tidak jarang demi
terwujudnya kepentingan , mereka menciptakan hadits palsu sebagai legitimasi dari ‘hajat
busuk’ mereka. Tentu saja hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat
pada saat itu.
Dengan kata lain, secara garis besar kitab hadits Imam Muslim lahir atas ‘desakan’
kebutuhan masyarakat akan pentingnya otentifikasi hadits dikarenakan banyak bertebaran
hadits palsu yang digunakan oleh sebagian kalangan untuk mendukung hasrat ‘politis’nya. Dari
satu sisi kehadiran kitab hadis ini menjadi ‘penawar’ akan merebaknya racun yang banyak
berkembang pada masyarakat kala itu, namun disisi yang lain kitab hadits ini pun dianggap
sebagai wujud perlawanan para muhadditsin (pemegang hadits) untuk mengcounter hegemoni
kaum rasionalis.

Metode Penulisan
Metode penulisan kitab Shahih Muslim tergolong rapih. Hal ini dapat dilihat dari
ketelitian dan kreatifitas yang beliau tuangkan dalam penyajian kitabnya. Misalnya:
1. Menyebutkan rawi-rawi dari beberapa hadits yang mempunya tema yang sama dengan
tanpa memotong satu jalur periwayatan dengan redaksi haditsnya, hanya dipisahkan
dengan huruf kha (‫ )خ‬yang dicetak tebal sebagai tanda batas satu riwayat disambung
dengan jalur riwayat yang lain.
2. Setelah selesai menyebutkan beberapa jalur sanad yang berbeda dari satu tema hadits
yang sama, kemudian barulah disebutkan redaksi hadits terkait atau menyebutkan
terlebih dahulu redaksi hadits, baru kemudian disampaikan beberapa jalur periwayatan
yang berbeda dari hadits terkait. Hal ini mengkibatkan minimnya pengulangan hadits
dalam penyebutannya, kecuali jika dibutuhkan untuk mengulang karena keadaan yang
memaksa untuk dilakukannya pengulangan.
3. Digunakannya cetak tebal pada beberapa cara transmisi hadits, misalnya lafadz ,‫حدّثنا‬
‫ أخبرنا‬dan ‫ حدّثنى‬hal ini mengindikasikan adanya perbedaan situasi yang perawi alami
ketika menerima hadits.
Sistematika Penulisan Kitab Shahih Muslim
Sistematika yang digunakan Imam Muslim tergolong sangat baik, ini dapat dilihat dari
cara beliau mengklasifikasikan hadits-hadits kedalam tema besar dalam beberapa bagian yang
secara khusus membincangkan persoalan tertentu. Kitab hadits ini sepintas memberikan nuansa
fiqh, diawali dengan muqaddimah, kemudian pada bagian pertama membincangkan persoalan
tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadits, disusuk dengan bagian kedua yang
menerangkan thaharah dengan 34 bab dan 111 hadits. Untuk lebih lengkap berikut tabel dari
sistematika penulisan kitab Shahih Muslim.
No Nama Kitab Jumlah
Bab
Muqaddimah 74
1 Iman 96
2 Thaharah 34
3 Haid 33
4 Shalat 52
5 Masajid wa Mawadi’ as- Shalat 56
6 Shalat al- Musafirin wa al- Qashira 56
7 Al-Jum’ah 19
8 Al-Aidan 5
9 Al-Istisqa’ 5
10 Al-Kusuf 5
11 Al-Janaiz 37
12 Al-Zakat 56
13 As-Shiyam 40
14 Al-‘Itikaf 4
15 Al-Hajj 97
16 An-Nikah 24
17 Ar-Rada’ 19
18 At-Talaq 9
19 Al-Li’an 1
20 Al-Atq 7
21 Al-Buyu’ 21
22 Al-Masaqah 31
23 Al- Faraid 5
24 Al-Hibah 4
25 Al-Wasiyah 5
26 An-Nadzar 5
27 Al-Aiman 13
28 Al-Qasamah wa al-Maharibin wa al-Qishash 11
wa al-Diyat
29 Al-Hudud 11
30 Al-Aqdiyat 11
31 Al-Luqathah 6
32 Al-Jihad 51
33 Al-Imarah 56
34 Asha’id wa adz-Dzabaih wa ma Yu’kilu 12
Hayawan
35 Al-Adaha 8
36 Al-Asyribah 35
37 Al-Libas 35
38 Al-Adab 10
39 As-Salam 41
40 Al-Fadhz 5
41 Asy-Syiir 2
42 Ar-Ruyah 5
43 Al-Fadail 36
44 Fadail As-Sahabah 60
45 Al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adzab 51
46 Al-Qadar 8
47 Al-Ilmu 6
48 Adz-Dzikr wa Du’a wa Taubah wa Istighfar 27
49 At-Taubah 11
50 Shifat al-Munafiqin 1
51 Al-Jannah wa Shifat Nafsiha wa Ahliha 40
52 Al-Fitan wa Syarait As-Sa’ah 28
53 Al-Zuhud wa ar-Rafaiq 20
54 At-Tafsir 8

Judul dan Sistem Penomoran Hadits Riwayat Imam Muslim


Dalam menyusun kitabnya, Imam Muslim tidak memberikan judul dan bab, beliau juga
tidak memberikan penomoran pada hadits-haditsnya. Judul kitab dan bab, serta penomoran
hadits baru diberikan kemudian untuk memudahkan proses perujukan bagi kalangan pengkaji
hadits.
Kitabnya merujuk kepada Imam Nawawi, pensyarah Shahih Muslim, dalam pemberian
judul kitab dan bab. Sementara, dalam penomoran hadits merujuk kepada Muhammad Fuad
Abdul Baqi, salah seorang ulama peneliti manuskrip Shahih Muslim.
Penerbit Darussalam, Riyadh membuat nomor disetiap judul kitab dan bab sesuai
dengan al- Mu’jam al- Mufahras yang ditulis dengan (al- Mu’jam) di awal judul dan Tuhfatul
Asyraf yang ditulis dengan (at-Tuhfah) diakhir judul. Penerbit juga memberi nomor (selain
penomoran Muhammad Fuad Abdul Baqi) disetiap awal hadits, termasuk 92 hadits
Muqaddimah.
Contoh penomoran hadits Shahih Muslim:
[1004], nomor dalam kurung siku [ ] dibuat oleh penerbit Darussalam, Riyadh.
147, nomor tanpa kurung dibuat berdasarkan sanad hadits dan menjadi standar yang dirujuk
oleh al- Mu’jam al- Mufahras.
(448), nomor di dalam kurung ( ) dibuat berdasarkan hadits yang serupa, tidak berdasarkan
sanad. Tanda (...) berarti hadits tersebut serupa dengan hadits sebelumnya. Nomor ini menjadi
standar yang dirujuk oleh Tuhfatul Asyraf. Juga biasanya sebagai patokan menyebut jumlah
hadits Shahih Muslim.

Jumlah Hadits
Jumlah hadits Shahih Muslim berjumlah 7.563 hadits dengan pengulangan dan jika tanpa
pengulangan berjumlah 4.000 hadits.

Persyaratan Rawi yang Haditsnya dapat Ditulis


Tidak seperti Bukhari yang hanya memasukkan hadits-hadits dalam kitab Shahihnya
dengan syarat perawi sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya dan
informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadts dari gurunya harus valid. Imam
Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu
sudah dianggap cukup. Diantara syarat yang digunakan imam Muslim hasil penelitian para
ulama adalah:
a. Hanya meriwayatkan hadits dari para periwayat yang adil, dhabit dan dapat
dipertanggung jawabkan kejujurannya serta amanah.
b. Hanya meriwayatkan hadits-hadits yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung
sanadnya) dan Marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW)

Anda mungkin juga menyukai