Anda di halaman 1dari 12

TERAPI RELAKSASI NAFAS DALAM DAN SEMI FOWLER TERHADAP

SESAK NAFAS DENGAN DIAGNOSA MEDIS DYSPNEA + DM + HT


DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN POLA
NAFAS

Nama klien : Ny. J


Usia : 53 tahun
No. RM : 31.14.XX
Diagnosa Medik : Dyspnea + DM + HT
Masalah Keperawatan : Ketidakefeketifan Pola Nafas
Tindakan : Terapi Relaksasi Nafas Dalam dan Semi Fowler

RIWAYAT PENYAKIT

1. Pengkajian
a. Keadaan Umum : Lemah, kesadaran composmentis, pasien tampak gelisah.
Terpasang cairan infus PZ 500 cc (14 tpm) di tangan kiri. Kesadaran GCS : 456.
b. Keluhan Utama : Pasien mengatakan mengeluh dadanya terasa tidak enak.
c. Riwayat Keluhan Utama : Keluarga pasien mengatakan pasien mengeluh batuk
± 1 minggu, nyeri dada saat batuk. Pasien terlihat gelisah dan menahan sakitnya.
Akhirnya keluarga membawa pasien datang ke IGD RSI Surabaya pada tanggal
30 Desember 2018 pukul 22.00 WIB dengan keluhan mengalami sesak nafas.
Pasien di IGD mendapatkan terapi SpO2 dengan nasal3lpm, injeksi santagesik,
injeksi primperan dan injeksi ceftriaxone. Pada tanggal 31 Desember 2018
pukul 03.00 WIB kemudian pasien dipindahkan di ruang rawat di ruang mina.
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Dulunya pasien berobat di RS Haji Surabaya, tetapi
sekarang dirujuk berobat di RSI Surabaya. Keluarga pasien mengatakan pasien
punya riwayat dahulu yaitu stroke, darah tinggi serta kencing manis. Tetapi
menurut keluarga penyakit yang berat yang pernah diderita oleh pasien yaitu
stroke. Penyakit strokenya ±4 tahun yang lalu dan pernah mengalami tidak bisa
berbicara. Akhirnya pasien dirumah mengkonsumsi obat selama sakit yang
sudah dianjurkan oleh dokter. Obat yang dikonsumsi dirumah yaitu Candesartan
8mg 1x1, Starfolat 1x1, Aptur 100mg 1x1, Lapibion 2x1.

e. Tanda Vital, Berat Badan dan Tinggi Badan:


TD : 150/100 mmHg, N : 118 x/menit, S : 36,8 oC, RR : 30 x/menit,
BB : 71 kg, TB : 156 cm
f. Sistem tubuh:
B1 (Breathing):
1) Hidung :
Inspeksi : Bentuk simetris ka/ki, tidak ada polip, tidak ada lesi, tidak ada
sekret, ukuran lubang simetris ka/ki, tampak pernapasan cuping
hidung.
Palpasi : Pada saat ditekan tidak ada tanda – tanda sinusitis / tidak ada
benjolan.
2) Trakea :
Inspeksi : Bentuk dan ukuran simetris
Palpasi : Pada saat ditekan tidak ada nyeri tekan, tidak ada distensi vena
jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
3) Dada:
Inspeksi : Pergerakan dada simetris ka/ki, tidak ada tarikan/ retraksi
intercosta.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak aa krepitasi
Perkusi : Terdengar bunyi sonor
Auskultasi : Suara paru vesikuler, tidak ada suara napas tambahan
B2 (Bleeding):
Ada nyeri dada, suara jantung normal (S1/S2 tunggal reguler: lup dup), tidak
ada edema, CRT < 2 detik.
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni.
B3 (Brain)
1) Kesadaran composmentis, GCS : 456
2) Mata : sklera putih, konjungtiva merah muda, pupil isokor
3) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi vena
jugularis, tidak ada lesi, refleks menelan baik (tidaka ada nyeri telan)
4) Pendengaran : Keluarga pasien mengatakan pendengaran pasien sudah
berkurang antara ka/ki, telinga simetris, tidak ada luka, telinga terdapat
sedikit kotoran dan tidak memakai alat bantu dengar
Kiri : simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak ada serumen
Kanan : simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak ada serumen
5) Penglihatan: Baik, tidak memakai alat bantu (kacamata)
Kiri : Simetris, penglihatan baik.
Kanan : Simetris, penglihatan baik.
6) Perabaan : panas (baik), dingin (baik), tekan (baik)
B4 (Bladder):
Produksi urine - cc/hari, dengan frekuensi 1x pampers/hari, warna urine kuning,
bau khas urine, menggunakan pampers.
B5 (Bowel):
1) Mulut dan Tenggorokan : Bibir tidak pucat, tidak tampak stomatitis, mulut
bersih, mukosa bibir kering, gigi masih lengkap, tidak ada karies gigi, tidak
menggunakan gigi palsu, tidak ada nyeri telan, tidak ada nyeri tekan.
2) Abdomen:
Inspeksi : Simetris, tidak asites, ada lesi bekas operasi pada perut kanan
bawah karena dulu saat operasi melahirkan
Perkusi : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, tidak ada hepatomegali /
splenomegali.
Palpasi : Pada usus dan lambung terdengar timpani
Auskultasi : Terdengar bising usus 20 x/menit (normal: 5-12 x/menit)
3) Rectum: terdapat lubang, tidak ada hemoroid, tidak ada nyeri tekan, BAB 1
kali/ 1 hari, konsistensi lembek, menggunakan pampers
4) Diet Khusus : Diet Lunak DM
B6 (Bone):
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, tidak ada kelainan atau patah tulang
pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, kekuatan otot lemah, tidak ada
edema pada ekstremitas atas atau bawah akral hangat, turgor kulit baik

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan denga hiperventilasi ditandai dengan
dyspnea dan pernafasan cuping hidung.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi ditandai
dengan adanya dyspnea atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.

3. Intervensi
1) Definisi Semi Fowler
Definisi Semi Fowler adalah posisi dengan tubuh setengah duduk atau
duduk. Pemberian posisi pasien ditempat tidur memerlukan persiapan sebagai
berikut : perawat perlu mengkaji jajaran tubuh dan tidak kenyamanan pasien,
perawat harus menyiapkan alat dan bahan (bantak, papan kaki, bantal pasie,
retrain, pagar tempat tidur, dll). Bila perawat memerlukan bantuan, harus
menyiapkan sejawatnya untuk membantu, perawat juga harus
menginformasikan tindakan kepada pasien, memberikan privasi pada pasien.
2) Tujuan
a) Mempertahankan kenyamanan
b) Memfasilitasi fungsi pernapasan
c) Memberikan ekspansi paru pada pasien yang mengalami sesak nafas
d) Meningkatkan ventilasi paru
e) Memperbaikicurah jantung
3) Indikasi
a) Klien sesak nafas (penyakit jantung dan asma) atau gangguan pernafasan
b) Klien dengan beresiko ulkus
c) Klien yang sedang makan atau minum
4) Kontraindikasi
a) Fraktur tulang pelvis, post operasi abdomen
b) Fraktur tulang belakang (vertebra lumbalis)
5) Definisi Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan.
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah
(Smeltzer & Bare, 2002).
6) Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Menurut Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik
relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi
batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu
menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
7) Keuntungan Teknik Relaksasi Nafas Dalam :
Manfaat Teknik Relaksasi Nafas Dalam adalah sebagai berikut:
a) Ketentraman hati, Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
b) Tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah
c) Detak jantung lebih rendah, Mengurangi tekanan darah
d) Ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit
e) Tidur lelap
f) Kesehatan mental menjadi lebih baik
g) Daya ingat lebih baik
h) Meningkatkan daya berpikir logis
i) Meningkatkan kreativitas
j) Meningkatkan keyakinan
k) Meningkatkan daya kemauan
l) Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain

4. Prinsip Tindakan: Berdasarkan EBN


A. Posisi Semi Fowler
1) Tahap Pra-Interaksi
a) Memastikan kembali identitas pasien
b) Mengkaji keluhan dan tanda sesak nafas
c) Mempersiapkan peralatan :
(1) Bantal 2-5 buah
(2) Sandaran atau punggung ( regestin ) k/p
(3) Masker
(4) Sarung tangan
d) Seluruh peralatan diletakan ditroli atau tempat yang bersih dan diatur rapi
e) Menjaga perivacy pasien dan keluarga
2) Tahap Orientasi
a) Memberikan salam kepada pasien
b) Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan
c) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan
d) Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
e) Meminta pasien untuk bekerja sama selama tindakan berlangsung
3) Tahap Kerja
a) Perawat mencuci tangan
b) Perawat memakai masker dan memakai sarung tangan
c) Mendekatkan peralatan kepasien
d) Membantu pasien untuk duduk ditempat tidur
e) Menyusun bantal dengan sudut ketinggian 3 - 40°, bila membutuhkan
posisi yang lebih tegak diposisikan dengan sudut 60°
f) Perawat berdiri disamping kanan menghadap kepasien
g) Menganjurkan pasien untuk menekuk kedua lutut
h) Menganjurkan pasien untuk menopang badan dengan kedua lengan
i) Perawat menyangga pasien dengan cara tangan kanan perawat masuk ke
ketiak pasien dan tangan kiri perawat menyangga punggung pasien
j) Menganjurkan pasien untuk mendprong badanya kebelakang
k) Melepas sarung tangan dan masker
l) Merapikan kembali peralatan dan pasien
m) Perawat mencuci tangan
4) Tahap Terminasi
a) Mengevaluasi respon pasien
b) Perawat menyampaikan informasimengenai perawatan selanjutnya
c) Mengakhiri kegiatan dan memberikan salam
5) Dokumentasi
a) Tulis tindakan yang sudah dilakukan
b) Waktu
c) Evaluasi
d) Respon
e) Paraf dan Nama perawat jaga
B. Teknik Relaksasi Nafas Dalam
1) Persiapan
a) Pastikan anda dalam keadaan tenang dan santai (rileks)
b) Pilih waktu dan tempat yang sesuai. (duduk di kursi jika anda di kerjaan
atau di rumah)
c) Anda boleh melakukan teknik relaksasi ini sambil membaca doa, berzikir
atau sholawat.
2) Prosedur
Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan
diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi
yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan
udara masuk selama inspirasi.
Adapun langkah - langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai
berikut :
a) Ciptakan lingkungan yang tenang
b) Usahakan tetap rileks dan tenang
c) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara
melalui hitungan 1,2,3.
d) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan
ekstrimitas atas dan bawah rileks
e) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
f) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut
secara perlahan-lahan
g) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
h) Usahakan agar tetap konsentrasi atau mata sambil terpejam
i) Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
j) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
k) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
l) Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan
cepat.
3) Faktor - faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap
penurunan nyeri. Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan
intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
a) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme dan iskemic
b) Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer &
Bare, 2002)
c) Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat relaksasi melibatkan sistem
otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah
dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu
Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada
fisiologi sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf
perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu.
Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin,
prostaglandin dan substansi, akan merangsang syaraf simpatis sehingga
menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang
menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan
pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan
metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla
spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.
5. Komplikasi Mekanis
Tekhnik relaksasi nafas dalam dan posisi semi fowler dapat mempengaruhi
penurunan nyeri dan tidak membahayakan selama penderita
6. Hasil yang Didapatkan:
Setelah dilakukan posisi semi fowler serta teknik relaksasi nafas dalam selama
2 hari latihan, pola nafas pasien bisa diatur atau terkontrol saat mengalami
sesak nafas.
7. Kompetensi yang Dicapai:
Pemberian tekhnik sesuai SOP dan kompetensi yang diharapkan
8. Evaluasi diri:
1) Memerlukan waktu yang cukup
2) Beberapa kali lupa dengan langkah - langkah melakukan teknik relaksasi
nafas dalam

9. Evidance Based Nursing:


Abstrak
Dsypnea merupakan manifestasi klinis congestive heart failure (CHF)
akibat kurangnya suplai oksigen karena penimbunan cairan di alveoli.
Merupakan faktor penting yang memengaruhi kualitas hidup pasien.
Penimbunan tersebut membuat jantung tidak mampu memompa darah dengan
maksimal. Dampak perubahan terjadi peningkatan sensasi dyspnea pada otot
respiratori. Penatalaksanaan non farmakologi berupa tindakan bertujuan
menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Penelitian
bertujuan mengetahui pengaruh deep breathing exercise dan active range of
motion terhadap dyspnea pada pasien CHF. Penelitian menggunakan desain
quasi experimental pre-post test dengan kelompok kontrol melibatkan 32
responden dengan teknik stratified random sampling. Alat ukur penelitian
menggunakan modified Borg scale. Intervensi dengan memberikan deep
breathing exercise sebanyak 30 kali dilanjut dengan active range of motion
masingmasing gerakan 5 kali. Intervensi sebanyak 3 kali sehari selama 3 hari.
Waktu penelitian bulan April-Juni 2017 di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dan RS PKU Muhammadiyah Gamping. Analisis data
menggunakan paired t-test menunjukkan p<0,001 pada kelompok intervensi
dan p=0,001 pada kelompok kontrol. Analisis dengan Mann Withney
menunjukkan hasil intervensi deep breathing exercise dan active range of
motion lebih efektif daripada intervensi standar rumah sakit atau semi fowler
dalam menurunkan dyspnea (p=0,004, alfa=0,05). Peneliti merekomendasikan
penerapan deep breathing exercise dan active range of motion sebagai bentuk
pilihan intervensi dalam fase inpatient untuk mengurangi dyspnea pada pasien
CHF.

Pembahasan
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan distribusi responden
sebagian besar adalah perempuan dengan jumlah 18 responden (56,3%)
sehingga sejalan dengan penelitian Caroline (2011) yang menyatakan bahwa
penyakit CHF lebih banyak terjadi pada perempuan dengan persentase 57,5%
dalam penelitiannya. Perempuan dengan usia >60 pada umumnya mengalami
menopause yang menyebabkan kolesterol LDL meningkat sehingga
perempuan lebih banyak menderita penyakit jantung. Penyakit hipertensi
menjadi penyakit yang paling banyak dialami oleh responden selain penyakit
CHF yang dimiliki. Prosentase mencapai 43,8% pada kelompok intervensi dan
62,5% pada kelompok kontrol. Hal ini karena peningkatan tekanan darah yang
bersifat kronis membuat jantung memompa dengan sangat kuat untuk
mendorong darah ke dalam arteri sehingga otot-otot jantung menebal dan
membesar. Hal ini mengakibatkan irama jantung menjadi kaku sehingga irama
denyut nadi tidak teratur. Pemompaan yang kurang efektif ini dapat
mengakibatkan gagal jantung (Riaz, 2012). Karakteristik responden yang lain
adalah dalam pemberian obat diuretik sudah sesuai didasarkan pada guideline
yang menyatakan bahwa gagal jantung yang disertai dengan overload cairan
dan fungsional diberikan diuretik (Yancy, 2013; Eshaghian, 2006).
Dalam analisis uji beda, penelitian Widagdo (2015) menunjukkan
bahwa intervensi deep breathing exercise dan active range of motion efektif
dan menurunkan dyspnea pasien CHF. Hal ini terlihat dari penurunan secara
bermakna sebelum dan sesudah diberikan tindakan. Intervensi deep breathing
exercise dan active range of motion merupakan nonfarmakologis untuk
membantu memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien dengan mengembangkan
teori adaptasi Roy. Pasien dengan masalah dyspnea pada relaksasi otot,
menghilangkan kecemasan, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan
yang tidak berguna dan tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan
dan mengurangi kerja pernafasan. Pernafasan yang lambat, rileks dan berirama
membantu dalam mengontrol klien saat mengalami dyspnea (Westerdahl,
2014; Muttaqin, 2012). Latihan pernapasan dapat mengoptimalkan
pengembangan paru dan meminimalkan penggunaan otot bantu pernapasan.
Dengan melakukan latihan pernapasan secara teratur, maka fungsi pernafasan
akan membaik (Potter, 2005).

Abstrak
Latar belakang: Global Initiative for chroniic obstructive Lung Disesase
(GOLD) memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada pada
tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyebab ke-3 pada tahun 2020 di
seluruh dunia. PPOK mengakibatkan penderita mendapatkan gangguan sistem
pernafasan ini dapat dibuktikan dengan penurunan arus puncak ekspirasi
(APE), dan menyebabkan gangguan fungsi pernafasan jadi latihan nafas dalam
akan sangat membantu untuk menigkatkan arus puncak ekspirasi. Tujuan
Penelitian: Penelitian akan mencari tahu efektifi tas latihan nafas dalam untuk
meningkatkan APE pada pasien PPOK. Metode: penelitian menggunaka quasi
experiment dengan dua grup pre dan post. Responden Penelitian ini pasien
PPOK sebanyak 50 orang di poli klinik RSUD Kabupaten Ciamis dari April
sampai dengan Mei 2015 dan diacak secara sederhana. Peneliti menggunakan
data utama dari pengukuran peaks fl ow meter untuk mengukur APE. Uji
statistik menggunakan paired T test dan independen T test. Hasil: Paired T tes
dengan α 95% menjelaskan nafas dalam efektif dalam meningkatkan arus
puncak ekspirasi (APE) pada kelompok intervensi p value 0,000<0,05.
Independent sample T test dengan α 95% menjelaskan tidak ada perbedaan
yang signifi kan perubahan APE pada klien PPOK setelah dilakukan terapi
modalitas latihan nafas pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan p
value 0,371>0,05. Kesimpulan: pada peneilitian ini latihan nafas dalam
penting dalam rehabilitasi pasien dengn PPOK untuk meningkatkan APE
tetapi nafas dalam pada perlakuan tidak lebih baik dengan kontrol. Kata
Kunci: PPOK, APE, Nafas Dalam

PEMBAHASAN
Hal ini memperkuat teori dari pengertian PPOK sendiri yaitu Obstruksi
saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran nafas kecil yaitu : infl amasi, fi brosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan nafas (PDPI,
2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa PPOK adalah penyakit
ireversibel sulit diperbaiki terutama pada jalan nafas, dibuktikan dengan teknik
nafas dalam tidak terbukti secara signifikan meningkatkan APE
(KEMENKES, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1022/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru
obstruktif kronik , 2008). Penelitian Dewi Natalia nafas dalam meningkatkan
APE pada penerita ashma bronchial hal ini dapat dipengaruhi dari perbedaan
etiologi penyakit PPOK dan ashma yang berbeda dimana kita ketahui bahwa
untuk PPOK penyebabnya banyak dari infeksi dan alergi (Natalia, 2007).
Sedangkan untuk ashma hanya diakibatkan oleh alergen sehingga
pengontrolan nafas akan dapat mengendalikan saluran nafas dan tentunya akan
meningkatan APE. Tetapi kita ketahui bahwa nafas dalam adalah teknik
relaksasi bahwa Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk
mengatur pernafasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek
relaksasi (Perry, 2005).
Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif,
fisiologis dan prilaku. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan
sehari - hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stress,
ketegangan otot, nyeri, hipertensi, ganguan pernafasan dan lain-lain.
Sedangkan pengobatan penunjang yang disarankan yaitu latihan fi \sik dan
latihan respirasi (PDPI, 2003) Maka dari itu peneliti merasakan bahwa metode
nafas dalam belum dapat dikategorikan melatih fisik apalagi melatih
pernafasan tetapi metode nafas dalam adalah metode relaksasi otot pernafasan,
terbukti pada penelitian ini bahwa nafas dalam tidak signifi kan meningkatkan
APE.

10. Referensi
Adsett J, Hons B. 2010. Evidence Based Guidelines for Exercise and Chronic
Heart Failure. Funded by Pathways Home Project 2007/ 2008.
Queensland Government.

Arthur C. Guyton. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed. Eleven.


Philadelphia PA: Elsevier Saunders.

Babu, Abraham Samuel. 2010. Protocol-Guided Phase-1 Cardiac


Rehabilitation in Patients with ST-Elevation Myocardial Infarction in A
Rural Hospital. Heart views. 11(2):52-6.

Maranata, Daniel,. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai