Anda di halaman 1dari 15

Akibat Meninggalkan Hindu

Oleh

Tim Melek Hindu


Pengantar

Ini adalah edisi ebook kedua dari Melek Hindu. Ebook dengan judul Akibat

Meninggalkan Hindu mencoba untuk mengurai secara singkat apa sebenarnya akibat

(karma) seseorang yang meninggalkan keyakinannya saat ini: Hindu. Apakah Hindu

mengutuk keras mereka yang meninggalkan jalan dharma ? Menjanjikan neraka untuk

mereka yang tak setia dengan Hindu? Atau Hindu malah bersikap bijaksana dalam

menyikapi itu ?

Setia pada suatu agama karena hati nurani dalam pilihan bebas, adalah beragama

secara otentik. Taat kepada agama karena takut, karena ancaman hukuman adalah cara

beragama yang dangkal bahkan pura-pura, beragama mafia karena terpaksa.

Mirip ketaatan atau kesetiaan anggota memilih yang pertama, menolak yang kedua.

Tugas agama atau orang Hindu adalah menunjukkan jalan Dharma, lalu setiap orang

akan memilih jalan dharma atau adharma, tentu dengan akibatnya masing-masing.

Kami yakin, Anda, keluarga atau rekan Anda pernah melakukan pindah keyakinan

dengan berbagai faktor. Tentu itu adalah hak asasi seorang pemeluk agama. Mulai dari

karena perkawinan, masalah ekonomi keluarga hingga pemahaman Hindu sendiri yang

minus. Ebook ini hanya persfektif lain mengenai hal itu.

Besar harapan kami , anda memberikan umpan balik setelah membaca tulisan dalam

ebook ini. Kami tunggu.

Selamat membaca!
Akibat Meninggalkan Agama Hindu

Apakah ada sanksi hukum bagi orang Hindu yang pindah agama? Dan adakah
kitab yang mengatur hal itu? Kalau memang ada, umat Hindu, mungkin tidak akan
ada yang berani pindah agama.

Dalam hukum positif atau undang-undang di Indonesia tidak ada sanksi bagi

orang yang beralih agama. Pasal 29 dari UUD 45 menjamin kebebasan beragama.

Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia PBB menjamin kebebasan beragama, termasuk

kebebasan beralih agama. Indonesia telah menanda-tangani konvensi ini. Kalau sanksi

hukum adat ada. Misalnya tidak boleh mewaris, karena warisan juga digunakan untuk

memelihara dan melakukan upacara di pura, merajan, atau memelihara sarana desa

pakraman seperti kuburan. Orang yang beralih agama dari Hindu ke agama lain, tidak

boleh menggunakan kuburan desa pakraman.

Dalam kitab suci Hindu pun, sampai sejauh ini kami tidak menemukan ancaman

hukuman baik duniawi maupun setelah kematian (neraka), berkaitan dengan orang

pindah agama. Hal ini karena beberapa sebab: (i) Hindu tidak mengajarka permusuhan.

(ii. Hindu membebaskan manusia dari ketakutan. (iii) Hindu disebarkan secara damai,

dijaga secara damai.

Hindu tidak mengajarkan permusuhan

Mengapa Pustaka Suci Hindu bebas dari bahasa permusuhan, persaingan dan

kebencian kepada keyakinan lain? Ada yang berpendapat, termasuk kami pada

awalnya, Hindu adalah agama tertua, jadi tidak ada saingan. Tetapi ketik Sang Buddha

dan Mahavira secara formal terbentuk menjadi agama Buddha dan Jaina, pustaka yang

ditulis kemudian, seperti Purana misalnya, tidak ada yang berisi kutukan kepada kedua

agama ini. Padahal keduanya menolak Weda.


Bahkan ada Purana yang menulis Sang Buddha sebagai salah dari Awatara Wisnu.

Sebab-sebab dari absennya ajaran permusuhan dan kebencian Weda sendiri ajarannya

ditujukan kepada manusia, sekali semua manusia, bukan manusia dalam satu kelompok

berdasarkan ras atau keyakinan. Dalil Weda tentang hubungan manusia satu dengan

manusia lain ditegaskan dalam konsep "jati diri saya adalah sama dengan jati diri

tetangga saya, dengan semua orang (Tat tam as); bahwa oleh karena itu "semua mahluk

adalah satu keluarga" (Vasudlaiva Kutumbakami).

Jadi sama sekali tidak ada sektarian dalam Weda. Awalnya agama ini bernama

Weda Dharma (agama para pengikut Weda), Arya Dharma (agama orang Arya,kata arya

pada mulanya berarti ras, tetapi kemudian berarti kualitas, yang artinya mulia) atau

Sanatana Dharma (kebenaran yang abadi). Ketika agama Buddha dan agama Jaina

terbentuk, mereka menyebut agamanya Arya Dharma, sedangkan pengikut weda tetap

memakai Weda Dharma dan Sanatana Dharma. Kata Hindu sendiri diberikan oleh orang

Persia untuk merujuk orang dan agama yang dianut oleh penduduk di seberang sungai

(Baratawarsa, atau India). Pada zaman pemerintahan Asoka, hampir seluruh penduduk

India menjadi Buddha, mengikuti Raja Asoka yang beralih dari Hindu ke Buddha.

Peralihan ke Buddha ini dilakukan secaraan damai, karena rakyat umumnya

mengikuti apa yang dilakukan The way of king is the way of thing. Tetapi berkat debat

yang dilakukan oleh Adi Sankara dengan para pemuka Buddhis, pada abad kedelapan

sebelum masehi, orang-orang India kembali lagi ke agama Hindu

Beberapa hal yang menyebabkan orang India meninggalkan Buddha antara lain, karena

agama Buddha tidak bicara tentang Tuhan; agama Buddha lebih menekankan

kehidupan biara, dari pada kehidupan masyarakat (agama Buddha tidak memiliki

aturan-aturan hidup dalam rumah tangga atau masyarakat seperti Manawa Dharma

Shastra dalam Hindu). Dua hal ini juga menyebabkan agama Buddha dan Jaina tidak

berkembang di India. Perpindahan agama di India dilakukan dengan cara damai. Tanpa
kekerasan atau bujukan, baik sorga atau penebusan dosa gampang, maupun dalam

bentuk materi.

Upacara perkawinan orang Jaina sampai sekarang masih dipimpin oleh pendeta

Hindu. Dalam keluarga, anak tertua biasanya ngemong adik-adiknya. Demikianlah Hindu

ngemong adik-adik atau anak-anaknya, seperti dikatakan oleh R.C.Zaehner, Hindu

adalah Ibu bijakasana dari semua agama.

Hindu Membebaskan Manusia Dari Ketakutan

Tujuan agama Hindu adalah untuk membebaskan manusia dari ketakutan. Bukan untuk

menciptakan ketakutan dengan ancaman berbagai siksa: siksa hari kiamat, siksa kubur,

siksa neraka abadi, atau siksa hukuman di dunia ini, seperti hukuman cambuk, potong

tangan, rajam dll

Hindu mengajarkan bahwa jiwa, karena merupakan bagian dari Brahman, adalah

kekal. Hanya badan materi ini yang mati. Dengan demikian manusia tidak perlu takut

dengan reinkarnasi, membebaskan manus kematian. ketakutan ancaman siksa neraka

abadi. Di dalam d Sruti, Weda yang memiliki hampir 20.143 seluruh pustaka

mantra, Upisad dengan108 Kitab hanya terdapat empat (4) mantra tentang neraka.

Bhagawad Gita dengan 700 sloka hanya menyebut tiga tetapi tidak ada deskripsi

tentang neraka sebai tempat penyiksaan yang sadis dan mengerikan.

Apakah dengan demikian kejahatan tidak dihukum? Hindu tidak bicara tentang

hukuman, tetapi tentang buah atau akibat buah dari perbuatan buruk adalah

penderitaan, dan pitu dialami di dunia ini yang akrab dikenal dengan hukum karma.

Berbeda dengan siksa neraka yang sangat kejam dan abadi, penderitaan di dunia ini

bersifat sementara dan manusia dapat mengubahnya dengan perbuatan baiknya.

Penderitaan di ini bersifat rekonstruktif balas dendam (retributif). Penderitaan itu bila

dipahami akan memperdalam hidup kita.


Bahkan orang yang menolak Tuhan juga tidak diancam dengan neraka. "Siapa

yang menolak Tuhan menolak dirinya sendiri. Siapa yang menerima Tuhan menerima

dirinya sendiri." (Taittirya Upanisad 2.6). Menolak Tuhan berarti menolak kebenaran

(Sapan), keberuntungan (Sivam), keindahan (sundaram), kesadaran (Cit) dan

kebahagaian abadi (Ananda). Menerima Tuhan berarti menerima semua kualitas mulia

itu sebagai inti din kita yang paling dalam. Karena jiwa kita adalah percikan (amsa) atau

pantulan (pratibimba) dari Brahman.

Oleh karena itu Pustaka Suci Hindu bebas dari bahasa ancam mengancam, maki

memaki, kutuk mengutuk; seperti yang temui di dalam semua kitab suci Rumpun

Yahudi. Hindu membebaskan manusia dari ketakutan karena sudara kembar dari

ketakutan adalah kebencian. Kita benci kepada yang kita takut. Dari saudara kembar ini

lahir kekerasan. Baruch de Spinoza, filsuf Yahudi kelahiran Belanda (1632-1677)

mengatakan:

"la yang dibimbing oleh ketakutan, dan melakukan perbuatan baik dalau

menghindari neraka, tidak dibimbing oleh akal. Mereka ini lebih tahu bagaimana

mencerca, menista dan mencemooh pada kejahatan dari pada bagaimana mengajarkan

keutamaan, dan tidak berupaya membimbing manusia dengan akal, tetapi dengan cara

demikian untuk mengendalikan mereka sehingga lebih suka lari dari kejahatan atau

setan dari pada mencintai keutamaan (kebajikan). Tidak punya

tujuan lain kecuali membuat orang lain sial dan menyedihkan, celaka dan malang seperti

dirinya; oleh karena itu sama sekali tidak mengherankan,bila mereka umumnya

menyusahkan dan suka mengganggu dan menjijikkan bagi teman-teman mereka."

(Spinoza:1988).

Harmoni seringkali ada sebagai akibat dari ketakutan; tetapi harmoni semacam

itu tidak aman. Ketakutan ditimbulkan oleh kelemahan jiwa, dan lebih lagi bukan

merupakan hasil dari pelaksanaan akal. (ibid, hal: 249). Harmoni, cinta kasih dan
penyerahan diri secara tulus tidak mungkin dibentuk oleh atau melalui ancaman dan

ketakutan.

Di dalam satu rumah tangga di mana seorang bapak menyediakan satu kamar

khusus yang berisi cemeti, gergaji, gada, air mendidih ditambah cabe, untuk menyiksa

anak-anaknya yang tidak taat kepada orang tua, tidak mungkin tumbuh manusia-

manusia yang hatinya dipenuhi cinta. Yang ada adalah manusia-manusia penuh curiga,

tidak kenal cinta, kejam dan sadis seperti orang tuanya.

Dr Wafa Sultan mengatakan, ketakutan, dari semua emosi, adalah yang paling
destruktif bagi jiwa manusia. Ketika manusia menjadi korban ketakutan mereka
kehilangan kemampuan untuk mengatakan mana yang benar dan mana yang
salah, ketika setiap tindakan mereka direduksi menjadi satu reaksi kepada
ketakutan mereka. Dalam lingkungan padangpasir yang melahirkan agama-
agama monoteis, pikiran manusia dan perilakunya merefleksikan ketakutan yang
menjadi karakteristik dari kehidupan di lingkungan itu. Fakta bahwa orang-orang
tidak merasa aman destruktif ini.

Satu masyarakat di mana orang-orang kehialangan kemampuan mereka-


rasionaldan - emosional untuk membedakan antara benar dan salah. Menjadi
kutukan bagi manusia. Ketakutan berasal dari berasal dari jiwa yang lemah dan
menghasilkan manusia berjiwa lemah. (Wafa Sultan: 2009).

Ajaran tentang ketakutan ini membuat Bertrand Russe filsuf Inggris dan

pemenang hadiah Nobel Sastra, tahun 1950, memiliki pandangan yang sangat negatif

tentang agama. "Pandangan saya tentang agama, sejalan dengan pandangan Lucretius.

Saya menganggap semua agama dilahirkan oleh rasa takut dan sumber penderitaan

yang tidak terungkapkan bagi umat manusia. (Bertrand Russell: 2008). Oleh karena itu
akan terlihat bahwa tiga dorongan manusia yang terwujud dalam agama adalah rasa

takut, kesombongan dan kebencian. Tujuan agama, kita bisa mengatakan adalah

memberi ruang penghormatan pada perasaan-perasaan itu, dengan catatan mereka

berjalan pada saluran tertentu. Lantaran perasaan-perasaan pada umumnya

menimbulkan penderitaan bagi manusia, maka agama menjadi kekuatan bagi

kejahatan." (ibid: hal 235)

Agama-agama Timur, seperti Hindu, Budha, jaina, Konghucu, Tao tidak

mengajarkan kesombongan dan tidak mengajarkan ketakutan, kebencian. Jadi

masalahnya bukan agama, tetapi paham ketuhannya. Paham ketuhanan panteisme tidak

mungkin mengajarkan kebencian, karena dia ada di dalam seluruh ciptan. Bahkan

Agama Timur umumnya mengajarkan non-kekerasan. Bahkan agama Buddha dan Jain,

yang bersifat non-teistik, ajarannya sangat humanis sama sekali tidak mengajarkan

kekerasan.

Jaina bahkan telah membawa ajaran non kekerasan (ahimsa) sampai pada titik

ekstrim: para biksunya memakai masker agar tidak membunuh makhluk sekecil apapun

secara tidak sengaja. Ada yang mengatakan takut kepada Tuhan tidak sama dengan

kepada ular. Takut kepada ular membuat kita menjauh, tetapi takut kepada Tuhan

membuat kita semakin mendekat. Permainan bahasa atau logika semacam ini membuat

teologi atau ilmu kalam menjadi tidak kredibel. Di dalam Bhagawad Gita ditegaskan

hanya orang yang tanpa ketakutan, tanpa permusuhan, tidak membenci, bersahabat

dan cinta kasih kepada segala makhluk, bebas dari egoisme dan keangkuhan, pemberi

maaf yang bisa datang kepadaNya: yang melakukan kegiatan kerja untuk-Ku, yang

memandang-Kusebagai yang utama, yang dibhaktikan pada-Ku, yang bebas dari

keterikatan, yang tanpa permusuhan terhadap segala makhluk, dia datang kepadaku."

(11.55). "Dia yang tidak membenci segala makhluk, bersahabat dan cinta kasih, bebas

dari keakuan dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, pemberi maaf."(12.13).
Kalau manusia tidak takut kepada Tuhan atau kepada nerakaNya, mereka bisa

berbuat seenak perutnya. Ini tidak benar. Di negara-negara maju orang tidak berbuat

jahat karena kesadaran moral dan etiknya yang tinggi, bahwa berbuat baik adalah

tujuan pada dirinya sendiri, bukan karena ingin sorga, pujian atau takut neraka

(imperative kategoris) ; dan juga karena hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Di

Indonesia, setiap detik sorga diiming-iming neraka diacung acungkan, tetapi korupsi

dan kekerasan merajalela.

Weda sendiri membebaskan manusia dari dari ketakutan:

Seperti langit dan bumi yang tak kenal takut dan tidak pernah menderita kerugian atau
kerusakan, demikian jiwaku tidak takut pada Engkau.

Sebagai siang dan malam yang tak kenal takut, dan juga tidak menderita kerugian atau
membahayakan, demikian juga jiwaku tidka takut padamu.

Seperti matahari dan bulan tanpa rasa takut, tidak pernah menderita kerugian atau
membahayakan, demikian jiwaku tidak takut padamu.

Seperti kebrahmanaan dan kekuasaan pangeran yang tidak takut, tidak pula menderita
kerugian atau kerusakan, tidak pula menderita kerugiab dan keruskan, demkian jiwaku
tidak takut padamu ( Atharva Weda. 9. 24)

. Tanpa hasrat, tegas bijaksana, abadi, mandiri, penuh dengan sukacita, bahagia, puas

dengan esensi, dan jiwa tertinggi tidak kurang apapun, dia yang tahu Dia demikian,
bijaksana, berani, muda dan tidak hancur menjadi bebas dari ketakutan akan kematian.
(Atharva Weda A. 10. 26)
Disebarkan Secara Damai, Dijaga Damai

Hindu disebarkan secara damai oleh para maharsi. Hindu tidak disebarkan oleh

para penakluk dengan pedang sambil menjarah, merampok dan memperkosa. Para

dharma datang ke satu tempat sebagai guru kehidupan; mereka mengajarkan dharma,

bagaimana hidup yang baik; apa makna suatu tindakan, dan apa akibatnya. Para guru

kehidupan ini mengerti, jati diri atau inti diri dari setiap manusia adalah jiwatman

(a park of the devine, percikan dari Brahman).

Yang diperlukan untuk pembebasan (moksa) adalah kesadaran, pengetahuan

tentang hakikat itu. Oleh Max Weber missi ini disebut emmissary. Manusia bukan budak

atau pendosa yang harus diselamatkan dengan ancaman hukuman fisik (dibunuh) atau

teror mental (siksa kiamat, siksa kubur, dan neraka abadi); atau diiming-iming dengan

kenikmatan surga (bagi yang laki-laki saja. Seperti kuda yang diiming-iming rumput di

depan mulutnya, dan diancam pecut di pantatnya.

Agama yang disebarkan dengan ancaman dan kekerasan dijaga dengan ancaman dan

kekerasan. Hindu disebarkan dengan damai dan dijaga dengan damai pula. Andai kata

anda menjadi seorang pemimpin, mana yang anda pilih: pengikut setia karena cinta

akan kebijaksanaan anda; atau karena takut dengan ancaman hukuman yang kejam dari

anda? Saya yakin anda akan memilih yang pertama. Macchiavelli, Stalin, Hitler, dan para

bos mafia memilih yang kedua.Y ang dimaksud mafia di sini adalah mafia Sicilia. Kalau

mafia hukum dan pajak, ancaman ketakutan tidak berbeda dengan Stalin atau Hitler.

Jalan Dharma, Jalan Damai

Orang tetap setia kepada agama, bila ia mendapat pemenuhan intelektual dan spiritual

dalam agama itu. Hindu, sebagai agama yang bersifat filosofis dan spiritual seharusnya

tidak sulit memenuhi kebutuhan itu, sepanjang orang Hindu sendiri berupaya

menggali dan mempraktikkan ajaran tattwa agamanya. Selain itu orang setia pada
agamanya bila ia merasa nyaman ada merasa ada dalam pemeluk agama itu. Oleh

karena itu solidaritas sosial, atau lokasamgraha harus dihidupkan dan dipelihara oleh

umat Hndu.

Pada zaman sekarang ini ketika akal manusia diberikan kebebasan, ketika dunia telah

begitu terbuka, informasi begitu bebas diperoleh, tidak ada lagi yang dapat

disembunyikan. Ketika hak azasi manusia, termasuk kebebasan beragama dijamin,

agama-agama yang mengancam pengikutnya dengan hukuman mati di dunia ini dan

siksa neraka setelah kematian, tidak mampu membendung eksodus dari para

pengikutnya. Mereka meninggalkan agamanya justru karena ajaran ketakutan dan

kebencian yang mereka temukan dalam agamanya. Lihat saja web-web dari orang-

orang yang telah meninggalkan agamanya seperti faithfreedom.org, islamwatch,

misalnya. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang Kristen di Eropa.

Singkatnya kami berpendapat, setia pada suatu agama karena hati nurani dalam

pilihan bebas, adalah beragama secara otentik. Taat kepada agama karena takut, karena

ancaman hukuman adalah cara beragama yang dangkal bahkan pura-pura, beragama

mafia karena terpaksa. Mirip ketaatan atau kesetiaan anggota memilih yang pertama,

menolak yang kedua. Tugas agama atau orang Hindu adalah menunjukkan jalan

Dharma, lalu setiap orang akan memilih jalan dharma atau adharma, tentu dengan

akibatnya masing-masing.

Yang setia pada jalan dharma akan menjalankan hidupnya dengan damai, non

kekerasan, bebas dari permusuhan dan penuh welas asih. Memandang semua orang

sebagai teman, menganggap seluruh dunia sebagai keluarga. Yang keluar dari jalan

dharma, tentu memilih sikap sebaliknya, mengikuti sistem apartheid agama, hatinya

penuh permusuhan, memandang dirinya paling benar, karena itu selalu menuntut untuk

diakomodasi kemauannya, dengan merendahkan pihak lain, dan menindas hak mereka.
Sementara mudah sekali berkata-kata buruk tentang pemeluk agama lain, tidak

perduli dengan perasaan tidak sungkan dan gampang melakukan kekerasan untuk

membela imannya, dengan provokasi sekedarnya. Seperti ilalang kering yang mudah

terbakar. Ideal masyarakat Hindu, adalah suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang

yang menjalankan yoga; yang memiliki kesadaran bahwa jati dirinya sama seperti jati diri

setiap orang, adalah suci sama dengan hakikat Tuhan (jnana yoga); orang-orang yang

mencintai dan melayani Tuhan dengan mencintai dan melayani manusia (bhakti yoga);

orang-orang yang bekerja tanpa paerih pribadi tetapi demi kesejahteraan semua orang

lokasamgraha (karma yoga)

Sedikit orang-orang yang tercerahkan lebih baik dari banyak orang yang diikat

karena ketakutan. Dunia ini selalu diterangi oleh kelompok kecil yang pertama,

sedangkan kelompok kedua adalah, menurut Nietzsche, kumpulan manusia kerumunan

yang mudah kalap dan gampang melakukan amuk.

Referensi:

Madrasuta, Ngakan Made. 2017.Hindu Menjawab 3, Dialog Dengan Kristen dan Islam .

Jakarta Timur: Media Hindu.


Apa dan Siapa Kami ?

E-book ini dirangkum/disarikan oleh Tim Melek Hindu. Melek Hindu adalah sebuah

media literasi Hindu di Indonesia yang memiliki konsentrasi dalam dunia literasi. Kami

mengedukasi umat Hindu melalui beragam konten digital (online) maupun offline.

Literasi yang kami lakukan mulai dari berformat ebook, info grafis, karikatur, foto, riset,

pengembangan media, talkshow/seminar, penerbitan, pelatihan menulis, hingga

kegiatan jurnalistik.

E-book yang kami rangkum mengacu pada hasil penelitian (skripsi-desertasi), paper,

makalah, buku-buku terkait, pemikiran para tokoh, agamawan, rohaniawan, cendikiawan

dan akademisi Hndu.

Anda juga bisa terlibat mengirimkan karya tulis dalam bentuk Microsoft Word. Maksimal

3000 kata. Asalkan karya tulis Anda sesuai dengan visi misi kami, relevan dengan isu

Hindu saat ini, unik, menarik yang memuat tentang nilai-nilai Hindu baik lokal, nasional

maupun dunia.

Karya bisa dikirim via email: melekhindu@gmail.com

Atau bisa juga kunjungi kami di:

Fb: Melek Hindu

Ig: Melek Hindu

Website: melekhindu.id
Perhatian dan Peringatan

E-book yang dipublikasikan oleh Melek Hindu bertujuan untuk mengedukasi internal

umat Hindu. Ebook ini tidak diperjualbelikan alias GRATIS. Kami meminta kepada

pembaca untuk bijak menyebarkan e-book ini di kalangan umat Hindu. Apabila ada hal

yang kurang berkenan, silahkan berikan saran, kritik dan masukkan. Kami sangat

terbuka.

Kami menyadari bahwa, Tim Melek Hindu memiliki keterbatasan, sama seperti manusia

pada umumnya. Jika dalam pemilihan materi dan sumber dianggap kurang valid,

mohon dimaklumi.

Salam Literasi!

Founder Melek Hindu

KA Widiantara
awitaraa@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai