LUKA BAKAR
Oleh:
Irsalina Nur Shabrina
G99141108
Pembimbing:
dr. Dewi Haryanti K, Sp.BP
A. Pendahuluan
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik,
radiasi, dan friksi. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan
jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih
dalam dari akhir sistem persarafan. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun
tinggi. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan
rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan
terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim
trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah
umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan
psikologi (Syamsuhidayat, 2007).
C. Patofisiologi
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi
penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas
ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka
bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak
dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi
kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.
Luka bakar tidak hanya mengakibatkan kerusakan kulit tapi juga mempengaruhi
seluruh sistem tubuh pasien. Seluruh tubuh menunjukan reaksi perubahan fisiologis
sebagai respon kompensasi terhadap luka bakar, dan pada pasien dengan luka bakar
mayor tubuh tidak mampu lagi untuk mengkonpensasi sehingga timbul berbagi macam
konplikasi.
Tabel 1. Bagan Patofisiologi Luka Bakar
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler
secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau
rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment
intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi
dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang
melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan. Kebocoran kapiler akan
mengakibatkan kehilangan Na, air, protein dan edema jaringan yang diikuti dengan
penurunan curah jantung dan hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada
organ mayor, respon renalis. Dengan menurunnya volume intaravaskuler maka aliran
plasma ke ginjal akan menurun yang mengakibatkan penurunan keluaran urin (Gallagher
et al., 2008).
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan
respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius
paralitik. Takikardia dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume
vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan
perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi
yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar akan
meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer dan
organ yang tidak vital.
Jika resusitasi kebutuhan cairan tidak adekuat atau terlambat diberikan, maka akan
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Respon imunologi, dibedakan dalam dua
kategori yaitu respon barier mekanik dan respon imun seluler. Sebagai barier mekanik
kulit berfungsi sebagai pertahanan diri yang penting dari organisme yang mungkin
merusak integritas kulit yang memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh.
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi
peningkatan temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh
karena status hipermetabolisme dan injury jaringan.
Kerusakan pada sel darah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak. Pembentukan edema karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang
abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk kedalam
sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan kekurangan
sodium dalam intravaskuler (Grace dan Borley, 2006).
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut
dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena
gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro.
Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah,
semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar
memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan-
perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa:
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang
menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial. Terjadi
vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer. Kontraktilitas miokardium
menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan
kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi
organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan
pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali lipat. Hal
ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan dibutuhkannya
pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan
mempertahankan integritas saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi sistem
imun humoral dan seluler.
Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan
penderita adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak dipakai
modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur 15
tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
H. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut dan lanjut.
1. Pada Fase Akut / Awal :
a. Hentikan dan hindarkan kontak langsung dengan penyebab luka bakar.
b. Menilai keadaan umum penderita: adanya sumbatan jalan nafas, nadi, tekanan
darah dan kesadaran (ABC)
- Bila terjadi obstruksi jalan nafas: Bebaskan jalan nafas
- Bila terjadi shock: segera infuse (grojog) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar dan kebutuhan cairan (RL).
- Bila tidak shock: segera diinfus sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan.
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang
merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.
Menurut BAXTER formula
Hari Pertama :
- Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
- Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
- 2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.
Hari kedua :
- Dewasa : ½ hari I
- Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
Kebutuhan faali :
- Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
- 1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc
- 3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
- ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
- ½ diberikan 16 jam berikutnya.
2. Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan/kehilangan kulit/jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah.
Kondisi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya
kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat,
namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping imbalans
cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
a. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar.
b. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
c. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa
sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan
lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
d. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat
luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan
lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk
mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat
luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya,
menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
e. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu
pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
a. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
b. Derajat III > 10%
c. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak
yang hebat.
d. Luka bakar akibat sengatan listrik
e. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki,
mata, telinga, dan anogenital.
f. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau >
15% pada orang dewasa.
g. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
h. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah,
mata, tangan, kaki atau perineum
i. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
j. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan
benar di rumah
k. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
l. Terjadi luka bakar pada organ dalam.
Dalam penatalaksanaan pada luka bakar perlu diperhatikan keadaan berikut:
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di
tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah
membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan
diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian,
perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh
masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak
boleh dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15
menit sejak kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah
terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.
2. Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang
adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi
dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum
dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask. Intubasi
bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan
napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih
menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar
dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan
akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada
luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.
Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal.
Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik di saluran napas dengan
cara uap air menurunkan suhu yang menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan
sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer
Laktat hasilnya lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%. Dapat juga diberikan
bronkodilator bila terjadi bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang
disebabkan oleh bahan kimiawi dan listrik. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan
pemantauan gejala dan tanda distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak,
gelisah, takipnea, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan
stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial
dan foto toraks.
3. Resusitasi cairan
Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama
berkembangnya SIRS dan MODS. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar
adalah:
Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler
regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival
seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi
pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a) Dasar pemilihan jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan
hipertonik dan koloid. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan
permeabilitas kapiler, oxygen carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi
respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi, praktis dan efisiensi. Jenis cairan
terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan
terus diteliti. Sebagian orang berpendapat kristaloid adalah cairan yang paling
aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu.
Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini
dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan
dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk diterapkan
secara umum sebagai protokol. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan
di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam
pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.
b) Penentuan jumlah cairan
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai
empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan
volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac
output dan memperbaiki transpor oksigen.
c) Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan
beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-
30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan
kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan
tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat
menimbulkan gejala klinik sindrom syok.
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%,
tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan
rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3 Metode Parkland merupakan metode
resusitasi yang paling umum digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan
cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal <
8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu
luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut formula Parkland
adalah sebagai berikut:
Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua,
kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan
cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan
cairan ditambah 1% dari kebutuhan.
Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah
teteasan dibagi rata dalam 24 jam.
Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral
(minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi
urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2
ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan
ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam
maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.
Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan
sedimen)
Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan
lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase
lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.
d) Penatalaksanaan 24 jam kedua
Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam.
Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml.
Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial.
Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi
urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi
urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB.
Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.
e) Penatalaksanaan setelah 48 jam
Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance
Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam),
hemoglobin dan hematokrit
4. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme
bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi
dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan
mengupayakan proses epitelisasi. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif
sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis
di atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi
dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien dengan
air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab
steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan oclusive
dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai
penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik
diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.
5. Penggunaan antibiotik
Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis
infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai
profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4Dalam 3-5 hari pertama populasi
kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari
5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka
masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik
topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,
gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.
Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan
menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal /kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah
dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus
Harris-Benedict.
7. Eksisi dan grafting
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan
spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi
fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian
besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement
serial. Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit
pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu
kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian
tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama,
biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh
melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing
atau allograft.
K. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat perawatan
kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan grafting.
Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan MODS. Selain itu
komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan
perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute
tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan
komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya
graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan parut
hipertrofik, keloid dan kontraktur.
K. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan
badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan
pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya
jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin
menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk
sembuh dan akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan
fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.
DAFTAR PUSTAKA
Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K, Norbert
Pallua. 2012. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide by
answering 10 questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency
Surgery, 7:13.
Bhavsar P. & Kirtikumar Jagdish Rathod . 2013. Utility of Serum Creatinine, Creatine
Kinase and Urinary Myoglobin in Detecting Acute Renal Failure due to
Rhabdomyolysis in Trauma and Electrical Burns Patients. Indian J Surg (January–
February 2013) 75(1):17–21
Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. 2008. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery. 18th Ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Gibran NS. 2006. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Gerard M, Ronald
V, Upchurch GR. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Grace, Pierce A. & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga. Jakarta:
Erlangga. Kapita selekta edisi 3 jilid 2.
Harvey M,, Vijay Thumma. 2007. Pneumothorax due to electrical burn injury. Emerg Med J
2007;24:371–373
Idries, Abdul M. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta. Binarupa
Aksara. 1997.
Karpelowsky, Rode H. 2008. Basic principles in the management of thermal injuries. SA
Fam Pract Vol 50 No 3.
Lynge, DC. 2001. Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in Primary Care,
McGraw Hill, Washington.
McCall JE, Cahill TJ. 2005. Respiratory care of the burn patient. J Burn Care Rehabil,
26:200–206.
Melanie Stander and Lee Alan Wallis. 2011. The Emergency Management and Treatment of
Severe Burns. Emergency Medicine International, Article ID 161375.
R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. 2009. Barret Chemical burns: pathophysiology and
treatment. JBurns.
Rilantono, Ismudiati E, dkk. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
2004.
Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M D.
Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med.(2012),
Vol. 34, No. 4
Sjamsuhidajat. Wim De Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Surybhanji A.Mona M. Meshram (2013) The Management of Electrical Burn. Indian J Surg
(July–August 2013) 75(4):278–283
Talbot, S. & Joseph Upton & Daniel N. Driscoll. (2011) Changing trends in pediatric upper
extremity electrical burns. HAND (2011) 6:394–398
Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. 2008. Burn injuries. The Journal of the
American Medical Association.