Anda di halaman 1dari 26

REFERAT BEDAH PLASTIK

LUKA BAKAR

Oleh:
Irsalina Nur Shabrina
G99141108

Pembimbing:
dr. Dewi Haryanti K, Sp.BP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik,
radiasi, dan friksi. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan
jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih
dalam dari akhir sistem persarafan. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun
tinggi. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan
rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan
terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim
trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah
umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan
psikologi (Syamsuhidayat, 2007).

B. Definisi dan Etiologi


Beberapa penyebab luka bakar menurut Syamsuhidayat (2007) adalah sebagai
berikut:
a. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan thermal burn
antara lain:
 Benda panas: padat, cair, uap
 Api
 Sengatan matahari/sinar panas
b. Luka bakar bahan kimia (chemical burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau basa kuat yang biasa
digunakan dalam industri, militer, laboratorium, danbahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga.
c. Luka bakar sengatan listrik (electrical burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan ledakan. Aliran
listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah,
dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya
tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali
kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun
ground.
d. Luka bakar radiasi (radiation injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan bahan radioaktif untuk keperluan
terapeutik dalam dunia kedokteran dan dalam bidang industri. Terpapar sinar
matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

C. Patofisiologi
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi
penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas
ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka
bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak
dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi
kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.
Luka bakar tidak hanya mengakibatkan kerusakan kulit tapi juga mempengaruhi
seluruh sistem tubuh pasien. Seluruh tubuh menunjukan reaksi perubahan fisiologis
sebagai respon kompensasi terhadap luka bakar, dan pada pasien dengan luka bakar
mayor tubuh tidak mampu lagi untuk mengkonpensasi sehingga timbul berbagi macam
konplikasi.
Tabel 1. Bagan Patofisiologi Luka Bakar

Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler
secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau
rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment
intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi
dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang
melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan. Kebocoran kapiler akan
mengakibatkan kehilangan Na, air, protein dan edema jaringan yang diikuti dengan
penurunan curah jantung dan hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada
organ mayor, respon renalis. Dengan menurunnya volume intaravaskuler maka aliran
plasma ke ginjal akan menurun yang mengakibatkan penurunan keluaran urin (Gallagher
et al., 2008).
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan
respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius
paralitik. Takikardia dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume
vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan
perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi
yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar akan
meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer dan
organ yang tidak vital.
Jika resusitasi kebutuhan cairan tidak adekuat atau terlambat diberikan, maka akan
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Respon imunologi, dibedakan dalam dua
kategori yaitu respon barier mekanik dan respon imun seluler. Sebagai barier mekanik
kulit berfungsi sebagai pertahanan diri yang penting dari organisme yang mungkin
merusak integritas kulit yang memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh.
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi
peningkatan temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh
karena status hipermetabolisme dan injury jaringan.
Kerusakan pada sel darah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak. Pembentukan edema karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang
abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk kedalam
sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan kekurangan
sodium dalam intravaskuler (Grace dan Borley, 2006).
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut
dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena
gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro.
Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah,
semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar
memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan-
perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa:
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang
menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial. Terjadi
vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer. Kontraktilitas miokardium
menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan
kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi
organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan
pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali lipat. Hal
ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan dibutuhkannya
pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan
mempertahankan integritas saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi sistem
imun humoral dan seluler.

D. Klasifikasi Luka Bakar


1. Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat
tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling
aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan
dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi
lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar
derajat I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga
masih menyisakan banyak jaringan untuk
dapat melakukan regenerasi. Luka bakar
derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan
dapat sembuh secara sempurna. Luka
biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar
derajat I adalah sunburn.
 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Terdapat bullae,
nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a. Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis.Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea
masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi
secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
b. Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan
epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjarkeringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih
lama dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu
lebih darisatu bulan.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat, luka dapat
sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat
dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas
dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar
derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di
jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-
thickness burn atau luka bakar derajat III.
 Derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit
dan lapisan yang lebih dalam
sampaimencapai jaringan subkutan,
otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan,tidak ada lagi
sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakarberwarna
abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering.
Terjadikoagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker.
Tidakdijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak.
Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

Tabel 2. Kategori derajat luka bakar


2. Luas Luka Bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9 % atau kelipatan dari 9 terkenal dengan
nama Rule of Nine atau Rule of Wallace.

Kepala dan leher - 9%


Lengan - 18 %
Badan Depan - 18 %
Badan Belakang - 18 %
Tungkai - 36 %
Genitalia/perineum - 1%
Total - 100 %

Gambar 1. Rules of nine

Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan
penderita adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak dipakai
modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur 15
tahun, 5 tahun dan 1 tahun.

Gambar 2. Rules of nine sesuai umur


Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas
relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih
kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund
dan Browder untuk anak.
Luas luka bakar menurut Lund dan Browder :
Area luka bakar 0-1 Tahun 1-4 Tahun 5-9 Tahun 10-14 Tahun 15 Tahun
Kepala 19 17 13 11 9
Leher 2 2 2 2 2
Dada 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Lengan kanan atas 4 4 4 4 4
Lengan kiri atas 4 4 4 4 4
Lengan kanan bawah 3 3 3 3 3
Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Genetalia 1 1 1 1 1
Bokong kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Bokong kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8 8,5 9
Paha kiri 5,5 6,5 8 8,5 9
Tungkai kanan 5 5 5,5 6 6,5
Tungkai kiri 5 5 5,5 6 6,5
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Tabel 3. Luas luka bakar menurut umur
3. Kriteria Berat-ringannya
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain:
1. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh
2. Kedalaman luka bakar
3. Anatomi/lokasi luka bakar
4. Umur penderita
5. Riwayat pengobatan yang lalu
6. Trauma yang menyertai atau bersama
Kriteria berat-ringannya suatu luka bakar menurut American Burn Association adalah
a) Luka bakar ringan.
- Luka bakar derajat II <15 %
- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 2 %
b) Luka bakar sedang
- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa
- Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 10 %
c) Luka bakar berat
- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa
- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.
- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih
- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum.
- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

E. Fase Luka Bakar


Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya
dibedakan dalam 3 fase: akut, subakut dan fase lanjut. Namun demikian pembagian fase
menjadi tiga tersebut tidaklah berarti terdapat garis pembatas yang tegas diantara ketiga
fase ini. Dengan demikian kerangka berpikir dalam penanganan penderita tidak dibatasi
oleh kotak fase dan tetap harus terintegrasi. Langkah penatalaksanaan fase sebelumnya
akan berimplikasi klinis pada fase selanjutnya.
a. Fase akut
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas),
dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau
beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan
akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab
kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.
b. Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
 Proses inflamasi dan infeksi
 Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka yang tidak berepitel
luas atau pada struktur atau organ fungsional
 Keadaan hipermetabolisme
c. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyakit berupa
sikatrik yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:
1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation, berlangsung selama 0 -
48 jam (72 jam).
2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.
3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur), berlangsung sampai
8-12 bulan.

F. Gejala dan Tanda Klinis


Menurut Henderson, gejala klinis yang utama pada luka bakar yaitu lepuh yang
merupakan tanda khas luka bakar superfisial. Cairan dihasilkan dari jaringan cedera yang
lebih dalam sehingga permukaan superfisial yang terbakar (mati) akan terangkat. Lepuh
atau bullae pada luka bakar sering pecah dan meninggalkan suatu permukaan merah kasar
yang mengeluarkan cairan serous dan dapat berdarah. Luka bakar yang superfisial terasa
nyeri karena ujung saraf terpapar dan mengalami inflamasi.
Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin terlihat normal.
Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-pembuluh darahnya mudah dilihat,
tetapi darah dalam pembuluh darah tersebut tidak dapat keluar karena sudah mengalami
koagulasi sehingga saat ditusuk tidak akan mengeluarkan darah. Selain itu, kulit amat
kaku ketika disentuh, serta tidak dapat merasakan nyeri, karena sebagian besar ujung
saraf sudah mati. Pada kondisi yang lebih berat, dapat terjadi pengarangan dan
karbonisasi (hitam).
Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda distress
pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera inhalasi seperti pernapasan
cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk pendek.
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah anamnesis singkat
dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat daruratan biasanya anamnesis
dilakukan secara auto dan alloanamnesis. Anamnesis yang sering ditanyakan adalah,
berat badan pasien, umur, sudah berapa lama setelah terapar ledakan, terkena ledakan
apa, seberapa besar ledakan, penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain
seperti keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu riwayat
penyakit keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup
menyusul.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Primary survey
A (Airway) – Jalan nafas
Edema mukosa dapat terjadi pada pasien luka bakar atau trauma inhalasi,
obstruksi pada saluran napas atas (pharynx/larynx) dapat berkembang dengan
cepat terutama pada anak. Trauma inhalasi harus dicurigai pada siapa pun dengan
luka bakar dan diasumsikan sampai terbukti sebaliknya, pada siapa pun yang
terbakar dalam ruang tertutup. Inspeksi dari mulut dan pharynx harus dilakukan
lebih awal, dan intubasi endotracheal dilakukan jika perlu. Suara serak dan bunyi
wheezing pada ekspirasi adalah tanda-tanda edema saluran napas yang serius atau
trauma inhalasi. Produksi lendir berlebihan dan dahak karbon yaitu dahak
bercampur flek hitam juga tanda-tanda positif trauma inhalasi. Tingkat
karboksihemoglobin harus didapatkan dan peningkatan tingkat gejala atau
keracunan karbon monoksida (CO) adalah berdasarkan kemungkinan trauma
inhalasi. Penurunan rasio dari tekanan oksigen arteri (PaO2) dan persentase
oksigen terinspirasi (FiO2), adalah salah satu indikator yang paling awal pasien
telah menghirup asap. Bila pasien positif trauma inhalasi sebaiknya pasien dirujuk
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas pusat luka bakar (burn centre) dengan
dilakukan intubasi terlebih dahulu untuk memastikan jalan nafas tetap terbuka.
B (Breathing) – Kemampuan bernafas
Jika jalan napas baik dan pasien dapat bernapas, pemberian oksigen dengan
sungkup atau nasal kanul mungkin dapat mencukupi. Tetapi jika pasien tidak
dapat bernapas akibat obstruksi jalan napas atas atau akibat penurunan kesadaran,
dapat diberikan intubasi endotrakeal. Trakeostomi emergensi harus dihindari
kecuali jika hal itu benar-benar dibutuhkan. Jika curiga terdapat trauma pada
vertebra servikalis, manipulasi jalan napas harus dilakukan dengan tetap
meimobilisasi leher dan kepala pada axis tubuh sampai vertebra servikal
terevaluasi sepenuhnya.
C (Circulation)
Sirkulasi perifer yang adekuat harus ditemukan dengan cepat setelah terjadinya
luka bakar dengan meraba pulsasi di perifer.Semua pakaian pasien harus
dilepaskan. Cincin, jam dan perhiasan harus dilepaskan pada anggota tubuh yang
mengalami cedera, konstriksi pada bagian yang bengkak akibat jeratan perhiasan
dapat mengakibatkan iskemia di bagian distal. Pada luka bakar, permeabilitas
pembuluh darah meningkat, sehingga terjadi perpindahan cairan dari pembuluh
darah ke jaringan intersitial, akibatnya dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Semakin luas area luka bakar, semakin berat syok hipovolemik yang
terjadi.Resusitasi cairan harus diberikan secepatnya.
D (Disability/Drugs)
Apakah ada gangguan ekstremitas atau gerakan lain, dan apakah ada penggunaan
obat-obatan.
E (Exposure)
Bagaimana tampak keseluruhan dari unjung rambut sampai ujung kaki.
b) Secondary survey
Kepala : apakah ada deformitas
Wajah : adakah luka bakar di wajah bagian depan dan kiri dan kanan
Rambut : adakah terbakar
Mata : apakah ada bagian mata yang mengalami gangguan atau cacat
THT : apakah ada jelaga dan ada kelainan pendengaran atau mengeluarkan
darah
Paru : simetris, fremitus, vesikuler , rhonki, wheezing
Jantung : BJ I-II, murmur, gallop
Abdomen : apakah distended, lemas, bagaimana bunyi usus
Ekstremitas : akral hangat atau dingin , apakah ada edema.
c) Status Lokalis
Status lokalis akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan derajat luka bakar.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan hemokonsentrasi
sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.
b) Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan SDM dan
penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada kehilangan air.
c) Alkalin fosfat : peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan
interstitiil/ganguan pompa natrium.
d) Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan jaringan
dalam dan kehilangan protein.
e) Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi
f) Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
g) EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka bakar listrik.
h) BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
i) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
j) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
k) Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema cairan.
l) Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar
selanjutnya.
4. Diagnosis
Diagnosis dari luka bakar dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Selain itu diagnosis pembagian derajat juga diperlukan agar
penanganannya tepat dan cepat. Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar
tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh
penderita.

H. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut dan lanjut.
1. Pada Fase Akut / Awal :
a. Hentikan dan hindarkan kontak langsung dengan penyebab luka bakar.
b. Menilai keadaan umum penderita: adanya sumbatan jalan nafas, nadi, tekanan
darah dan kesadaran (ABC)
- Bila terjadi obstruksi jalan nafas: Bebaskan jalan nafas
- Bila terjadi shock: segera infuse (grojog) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar dan kebutuhan cairan (RL).
- Bila tidak shock: segera diinfus sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan.
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang
merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.
Menurut BAXTER formula
 Hari Pertama :
- Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
- Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
- 2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.
 Hari kedua :
- Dewasa : ½ hari I
- Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
 Kebutuhan faali :
- Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
- 1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc
- 3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
- ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
- ½ diberikan 16 jam berikutnya.
2. Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan/kehilangan kulit/jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah.
Kondisi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya
kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat,
namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping imbalans
cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
a. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar.
b. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
c. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa
sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan
lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
d. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat
luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan
lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk
mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat
luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya,
menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
e. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu
pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
a. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
b. Derajat III > 10%
c. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak
yang hebat.
d. Luka bakar akibat sengatan listrik
e. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki,
mata, telinga, dan anogenital.
f. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau >
15% pada orang dewasa.
g. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
h. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah,
mata, tangan, kaki atau perineum
i. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
j. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan
benar di rumah
k. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
l. Terjadi luka bakar pada organ dalam.
Dalam penatalaksanaan pada luka bakar perlu diperhatikan keadaan berikut:
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di
tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah
membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan
diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian,
perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh
masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak
boleh dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15
menit sejak kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah
terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.
2. Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang
adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi
dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum
dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask. Intubasi
bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan
napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih
menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar
dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan
akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada
luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.
Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal.
Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik di saluran napas dengan
cara uap air menurunkan suhu yang menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan
sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer
Laktat hasilnya lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%. Dapat juga diberikan
bronkodilator bila terjadi bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang
disebabkan oleh bahan kimiawi dan listrik. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan
pemantauan gejala dan tanda distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak,
gelisah, takipnea, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan
stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial
dan foto toraks.
3. Resusitasi cairan
Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama
berkembangnya SIRS dan MODS. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar
adalah:
 Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler
regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival
seluruh sel
 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi
pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a) Dasar pemilihan jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan
hipertonik dan koloid. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan
permeabilitas kapiler, oxygen carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi
respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi, praktis dan efisiensi. Jenis cairan
terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan
terus diteliti. Sebagian orang berpendapat kristaloid adalah cairan yang paling
aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu.
Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini
dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan
dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk diterapkan
secara umum sebagai protokol. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan
di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam
pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.
b) Penentuan jumlah cairan
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai
empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan
volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac
output dan memperbaiki transpor oksigen.
c) Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan
beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-
30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan
kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan
tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat
menimbulkan gejala klinik sindrom syok.
 Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%,
tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan
rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3 Metode Parkland merupakan metode
resusitasi yang paling umum digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan
cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal <
8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu
luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut formula Parkland
adalah sebagai berikut:
 Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua,
kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan
cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan
cairan ditambah 1% dari kebutuhan.
 Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah
teteasan dibagi rata dalam 24 jam.
 Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral
(minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi
urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2
ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan
ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam
maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.
 Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan
sedimen)
 Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan
lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase
lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.
d) Penatalaksanaan 24 jam kedua
 Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam.
Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml.
Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial.
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi
urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi
urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB.
 Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.
e) Penatalaksanaan setelah 48 jam
 Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam),
hemoglobin dan hematokrit
4. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme
bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi
dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan
mengupayakan proses epitelisasi. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif
sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis
di atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi
dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien dengan
air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab
steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan oclusive
dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai
penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik
diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.
5. Penggunaan antibiotik
Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis
infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai
profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4Dalam 3-5 hari pertama populasi
kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari
5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka
masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik
topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,
gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.

Tabel 4. Agen penyebab infeksi pada luka bakar.


6. Tatalaksana Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama
pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa usus. Pemberian
nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila Gastric residual volume (GRV)
<150ml/jam, yang menandakan pasase saluran cerna baik.
Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict):
Tabel 5. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict
Laki-laki : 66,5 + 13,7 BB + 5TB – 6,8 U
Perempuan : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 U
Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS
Keterangan:
AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran
energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang
40-50%, berat 75%)
FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar
Penentuan kebutuhan nutrien:
Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari
Lemak : 6-8 g/kgBB/hari
Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.

Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan
menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal /kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah
dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus
Harris-Benedict.
7. Eksisi dan grafting
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan
spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi
fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian
besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement
serial. Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit
pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu
kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian
tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama,
biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh
melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing
atau allograft.

I. Proses Penyembuhan Luka Bakar


Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut
dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3
minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda untuk
sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak.
Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik
luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya
laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah.
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama terjadi
pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan)
akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah,
endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah
luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan
mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah
dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan
mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan
membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka.
Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut
fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses
penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka.
Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut
fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses
penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,
fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang
berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan
luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh
melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang
diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih
kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis putih.
Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan
kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya
kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian
terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan
yang mengalami perbaikan.

J. Permasalahan Pasca Luka Bakar


Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang dapat
berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan
menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetik yang buruk sekali
sehingga diperlukan juga ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan kepercayaan diri.
Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar:
 Infeksi dan sepsis
 Oliguria dan anuria
 Oedem paru
 ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome )
 Anemia
 Kontraktur
 Kematian

K. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat perawatan
kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan grafting.
Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan MODS. Selain itu
komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan
perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute
tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan
komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya
graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan parut
hipertrofik, keloid dan kontraktur.

K. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan
badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan
pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya
jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin
menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk
sembuh dan akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan
fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.
DAFTAR PUSTAKA

Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K, Norbert
Pallua. 2012. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide by
answering 10 questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency
Surgery, 7:13.
Bhavsar P. & Kirtikumar Jagdish Rathod . 2013. Utility of Serum Creatinine, Creatine
Kinase and Urinary Myoglobin in Detecting Acute Renal Failure due to
Rhabdomyolysis in Trauma and Electrical Burns Patients. Indian J Surg (January–
February 2013) 75(1):17–21
Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. 2008. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery. 18th Ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Gibran NS. 2006. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Gerard M, Ronald
V, Upchurch GR. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Grace, Pierce A. & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga. Jakarta:
Erlangga. Kapita selekta edisi 3 jilid 2.
Harvey M,, Vijay Thumma. 2007. Pneumothorax due to electrical burn injury. Emerg Med J
2007;24:371–373
Idries, Abdul M. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta. Binarupa
Aksara. 1997.
Karpelowsky, Rode H. 2008. Basic principles in the management of thermal injuries. SA
Fam Pract Vol 50 No 3.
Lynge, DC. 2001. Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in Primary Care,
McGraw Hill, Washington.
McCall JE, Cahill TJ. 2005. Respiratory care of the burn patient. J Burn Care Rehabil,
26:200–206.
Melanie Stander and Lee Alan Wallis. 2011. The Emergency Management and Treatment of
Severe Burns. Emergency Medicine International, Article ID 161375.
R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. 2009. Barret Chemical burns: pathophysiology and
treatment. JBurns.
Rilantono, Ismudiati E, dkk. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
2004.
Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M D.
Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med.(2012),
Vol. 34, No. 4
Sjamsuhidajat. Wim De Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Surybhanji A.Mona M. Meshram (2013) The Management of Electrical Burn. Indian J Surg
(July–August 2013) 75(4):278–283
Talbot, S. & Joseph Upton & Daniel N. Driscoll. (2011) Changing trends in pediatric upper
extremity electrical burns. HAND (2011) 6:394–398
Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. 2008. Burn injuries. The Journal of the
American Medical Association.

Anda mungkin juga menyukai