Anda di halaman 1dari 129

ANALISIS INTERVENSI GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT

(GERMAS) TERHADAP TERJADINYA STUNTING


DI KOTA PALEMBANG

Tugas Akhir
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Oleh:

Tri Kurniawan, S.Ked 04054821719134

Pembimbing:
dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas akhir yang berjudul :

ANALISIS INTERVENSI GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT


(GERMAS) TERHADAP PENYEBAB TERJADINYA STUNTING DI KOTA
PALEMBANG

Tri Kurniawan, S.Ked 04054821719134

Pembimbing:
dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.

Palembang, Oktober 2018

Pembimbing,

dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Analisis
Intervensi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) terhadap Penyebab Terjadinya
Stunting di Kota Palembang”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian IKM-IKK FK UNSRI.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Hj. Mariatul Fadilah, MARS selaku pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan saran yang mendukung sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan
karena malnutrisi jangka panjang. Menurut World Health Organization (WHO), stunting
ditegakkan dari pengukuran Child Growth Standart berdasarkan indeks panjang badan
dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score)
kurang dari -2 SD.1
Stunting merupakan salah satu permasalahan kesehatan secara global yang mengenai
lebih dari 150 juta anak di bawah usia lima tahun, khususnya di negara berkembang. Menurut
WHO, prevalensi balita stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya
20% atau lebih.2 Di Indonesia,berdasarkan studi potong lintang yang dilakukan kementrian
kesehatan pada tahun 2015, sekitar 29% balita Indonesia termasuk kategori stunting dan di
dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbanyak.3
Prevalensi masalah stunting pada balita di kabupaten/kota di Sumatera Selatan masih
tinggi, yaitu 44,7%. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi, angka kekurangan gizi balita
di Kota Palembang mencapai 11,2% dan prevalensi stunting sebesar 19,2%. Jika dikaitkan
dengan ambang batas besaran masalah kesehatan masyarakat untuk kejadian stunting
mencapai 20%, maka prevalensi stunting di Palembang masuk kategori bukan rendah.4
Bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang mengalami stunting pada anak
dihubungkan dengan gangguan atau penurunan kemampuan kognitif dan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas anak, secara jangka panjang dapat berisiko pada menurunnya
tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.5
Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi oleh
kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita
selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan,
namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaarui
kesehatan. Oleh karena itu, upaya perbaikan harus meliputi upaya untuk mencegah dan
mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan upaya untuk mencegah
dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi
spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan, namun hanya berkontribusi 30%, sedangkan

1
70% lainnya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor
seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan,
pendidikan, sosial, dan sebagainya.6
Dalam menangani dan mecegah stunting dibutuhkan upaya dan kerjasama seluruh
komponen bangsa. Salah satu program yang digalakkan pemerintah dalam mengatasi
masalah-masalah kesehatan saat ini adalah melalui program gerakan masyarakat hidup sehat
(GERMAS).7
GERMAS merupakan suatu tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara
bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan
berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Pelaksanaan GERMAS harus dimulai
dari keluarga, GERMAS merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden
Republik Indonesia yang mengedepankan upaya promotif dan preventif, tanpa
mengesampingkan upaya kuratif-rehabilitatif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa
dalam memasyarakatkan paradigma sehat. Untuk menyukseskan GERMAS, tidak bisa hanya
mengandalkan peran sektor kesehatan saja. Peran Kementerian dan Lembaga di sektor lainnya
juga turut menentukan, dan ditunjang peran serta seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari
individu, keluarga, dan masyarakat dalam mempraktekkan pola hidup sehat, akademisi, dunia
usaha, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi profesi dalam menggerakkan anggotanya
untuk berperilaku sehat serta pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya.7
Berdasarkan tingginya prevalensi dan mengingat stunting masih menjadi masalah di
Kota Palembang serta pentingnya intertvensi GERMAS terhadap stunting melatarbelakangi
penyusunan penelitian mengenai pengaruh intervesi GERMAS terhadap penyebab terjadinya
stunting.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 25-60 bulan di Kota
Palembang tahun 2018?
2. Bagaimana intervensi gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) terhadap penyebab
terjadinya stunting di Kota Palembang tahun 2018?
3. Bagaimana pengaruh intervensi gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) terhadap
penyebab terjadinya stunting?

2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intervensi GERMAS tehadap
terjadinya stunting di Kota Palembang.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui gambaran stunting pada anak usia 25-60 bulan di Kota Palembang
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dengan terjadinya stunting di Kota
Palembang.
3. Untuk mengetahui hubungan intervensi GERMAS dengan terjadinya stunting di Kota
Palembang.

1.4 Manfaat Peneitian


1.4.1 Manfaat Ilmiah

Sebagai landasan ilmiah untuk penelitian selanjutnya mengenai hubungan intervensi


gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) terhadap penyebab terjadinya stunting.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai gambaran hubungan intervensi gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS)


terhadap penyebab terjadinya stunting.
2. Sebagai masukan bagi pihak yang melakukan hubungan intervensi gerakan
masyarakat hidup sehat (GERMAS) terhadap penyebab terjadinya stunting?

1.5 Hipotesis
H0 : Tidak ada hubungan intervensi gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS)
terhadap penyebab terjadinya stunting?
H1 : Ada hubungan intervensi gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS)
terhadap penyebab terjadinya stunting?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)


2.1.1. Definisi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu tindakan
sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen
bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk
meningkatkan kualitas hidup. Pelaksanaan GERMAS harus dimulai dari keluarga,
karena keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang membentuk kepribadian.8
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan gerakan nasional
yang diprakarsai oleh Presiden RI melalui instruksi presiden nomor 1 tahun 2017
dalam mengoptimalkan upaya promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan upaya
kuratif-rehabilitatif sebagai payung besar tercapainya hidup sehat,dan penurunan
prevalensi penyakit.9 Gerakan masyarakat hidup sehat yang diluncurkan pada tahun
2016 ini merupakan kebijakan atau gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden
RI yang dikemas dalam bentuk kegiatan terpadu dan terkonsep.9
Gerakan masyarakat hidup sehat merupakan upaya pemerintah untuk
mengoptimalkan upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif-
rehabilitatif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam memasyarakatkan
paradigma sehat yang dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat menjadi lebih
baik sehingga mampu menurunkan prevalensi suatu penyakit.9
Pada tahap awal di tahun 2016–2017, GERMAS berfokus pada 3 kegiatan,
yaitu dengan melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi buah dan sayur, serta
memeriksakan kesehatan secara rutin.8

4
2.1.2 Tujuan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
Di dalam Buku Panduan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), tujuan
GERMAS dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berperilaku
sehat dalam upaya meningkatkan kualitas hidup.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat untuk hidup sehat
b. Meningkatkan produktivitas masyarakat
c. Mengurangi beban biaya kesehatan.10
2.1.3 Pelaku Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
Di dalam Buku Panduan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS),
GERMAS dilaksanakan oleh semua komponen bangsa, meliputi:
1. Pemerintah baik pusat maupun daerah
2. Dunia pendidikan
3. Swasta dan dunia usaha
4. Organisasi kemasyarakatan
5. Individu, keluarga dan masyarakat.10
2.1.4 Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
Di dalam Buku Panduan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), Kegiatan
utama yang dilakukan dalam rangka Germas adalah:
1. Peningkatan Aktivitas Fisik
2. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan sehat
3. Penyediaan pangan sehat dan percepatan perbaikan gizi
4. Peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit
5. Peningkatan kualitas lingkungan; dan
6. Peningkatan edukasi hidup sehat. 10

5
2.1.5 Komponen Kegiatan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
GERMAS terdiri dari 7 komponen , yaitu:
1. Melakukan Aktivitas Fisik
2. Mengonsumsi Sayur dan Buah
3. Tidak Merokok
4. Tidak Mengonsumsi Alkohol
5. Memeriksa Kesehatan Secara Rutin
6. Membersihkan Lingkungan
7. Menggunakan Jamban
Dari 7 kegiatan Germas di atas, 3 kegiatan menjadi fokus utama Kementrian
Kesehatan yaitu melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi buah dan sayur serta
memeriksa kesehatan secara berkala. 10

6
2.2 Stunting Pada Balita
Status gizi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui status
kesehatan masyarakat.11 Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi.12 Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak
yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh
dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri,13 dan
dikategorikan berdasarkan standar baku WHO dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB.
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara
asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi
keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk
disantap.14
Poin pertama Millenium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan pada tahun
2000, adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, dalam hal ini sasaran
ketiganya (1c) adalah untuk "mengurangi setengah proporsi penduduk yang menderita
kelaparan" (pada tahun 2015 dibandingkan dengan 1990).15 Untuk mencapai tujuan
tersebut, memberantas malnutrisi pada anak adalah hal yang krusial dalam melawan
kemiskinan. Meskipun pembangunan ekonomi yang besar dalam beberapa dekade
terkahir, gizi anak tetap menjadi tantangan besar bagi manusia. Malnutrisi merupakan
bagian dari kehidupan beberapa inidividu sejak masa konsepsi dan diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.16 Negara-negara dengan pendapatan per kapita yang
rendah dan tingkat sosioekonomi yang buruk adalah yang terutama terkena dan pada
gilirannya malnutrisi menghambat perkembangan negara tersebut. Malnutrisi merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh bagian dunia.17
Menurut laporan The Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition
Executive Summary, gizi harus menjadi prioritas di semua tingkat, baik sub-nasional,
nasional maupun global karena merupakan komponen utama bagi manusia, sosial, dan
pembangunan ekonomi. Gizi merupakan faktor kunci dalam perkembangan anak,
kesehatan ibu, dan produktivitas. Pencegahan malnutrisi pada gizi ibu dan anak adalah
investasi jangka panjang yang akan menguntungkan generasi sekarang dan anak-anak
mereka. Berinvestasi pada kesehatan anak sama halnya dengan berinvestasi pada
kemajuan suatu negara.18
Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang

7
merupakan istilah lain untuk stunted dan severely stunted (Kemenkes, 2011). Stunting
didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus dua
standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada dan severe stunting
didefinisikan kurang dari -3 SD (ACC/SCN, 2000). Stunting pada anak merupakan hasil
jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan
morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan.19 Di negara berpendapatan
menengah kebawah, stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama.20
Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah.Pendek
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit dalam
pertumbuhan. Stunting yaitu pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi genetik
sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi suboptimal. Penelitian terbaru menemukan
bahwa pertumbuhan tulang linear terjadi dalam proses episodik seperti periode stasis dari
satu hari atau lebih dari tidak adanya pertumbuhan yang diselingi oleh perubahan harian
pertumbuhan .21 Penelitian menunjukkan bahwa stunting berasal dari penurunan
frekuensi waktu pertumbuhan, penurunan amplitudo pertumbuhan ketika sebuah
peristiwa terjadi, ataupun gabungan dari keduanya.22
Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis dan sering terjadi
antargenerasi ditambah dengan penyakit yang sering. Hal tersebut adalah ciri khas
endemik kemiskinan. Stunting terkait dengan lebih rendahnya perkembangan kognitif
dan produktivitas. Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat utama di hampir semua
provinsi di Indonesia, dan peringatan telah diberikan oleh Presiden RI, yang tertantang
untuk mengurangi stunting di Indonesia.23
Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal
sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang diderita anak
pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan kerusakan yang
permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan dapat dinilai dengan
berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia dibawah 5 tahun.24
Prevalensi stunting pada umumnya menurun di seluruh dunia. WHO melaporkan
bahwa antara tahun 1990 dan 2000, prevalensi global stunting pada anak-anak turun dari
34% menjadi 29%. Namun, di Afrika Timur, jumlah anak dengan stunting meningkat
pada periode ini dari 40 juta menjadi 45 juta. Stunting didefinisikan oleh WHO 2 standar
deviasi di bawah nilai z untuk tinggi badan menurut umur. Anak-anak yang underweight
atau stunting mungkin tidak menunjukkan catch-up growth di masa kecil, dengan

8
demikian mereka membawa risiko kesehatan yang buruk ke dalam kehidupan saat
dewasa. Di beberapa negara, Afrika Selatan misalnya, anak-anak yang stunting hidup
berdampingan dengan mereka yang overweight atau obesitas. Hal ini tentu saja memiliki
implikasi yang kompleks bagi para pembuat kebijakan.25
Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan perlayanan
kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi sebagai akibat dari
pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat imunisasi rendah, dan perawatan
kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk pasokan air bersih,
juga menempatkan anak pada risiko infeksi yangmeningkatkan kerentanan terhadap
kekurangan gizi. Pola asuh bayi dan anak, bersama dengan ketahanan pangan rumah
tangga, pelayanan kesehatan yangmemadai dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat
yang diperlukan untuk gizi yang cukup.22
2.2.1 Prevalensi Stunting
Kekurangan gizi di kalangan anak-anak masih umum di banyak bagian dunia. Di
Afrika, peningkatan prevalensi di tambah dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan
peningkatan jumlah anak kurus dari 24 juta di tahun 1990 menjadi 30 juta di 2010. Di
Asia, jumlah anak kurus diperkirakan akan lebih besar sekitar 71 juta pada tahun 2010.
Menurut data dunia, diperkirakan terdapat 165 juta anak dibawah usia lima tahun yang
mengalami stunting saat ini9 . Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2
%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
Prevalensi pendek sebesar 37,2 % terdiri dari 18,0 % sangat pendek dan 19,2 % pendek.
Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 % tahun
2007 dan 18,5 % tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 % pada tahun 2007
menjadi 19,2 % pada tahun 2013.26

9
Adanya 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia dibandingkan
dengan pertumbuhan standar WHO, stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi
kronis, seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai
hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang lebih rendah.
Tingkat stunting antara anak-anak di Afrika dan Asia sangat bervariasi di antara beberapa
studi yang dipublikasikan.27
Proses terjadinya stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak
usia sekitar 6 bulan dan muncul utamanya pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan serta
berlangsung terus sampai usia 18 tahun. Stunting yang terjadi dalam usia 36 bulan pertama
biasanya disertai dengan efek jangka. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
merupakan prediktor terkuat terjadinya stunting pada anak usia 12 bulan. Tingginya
prevalensi stunting juga disebabkan oleh paparan berulang yang dapat berupa penyakit infeksi
atau kejadian lain yang dapat merugikan kesehatan.28
2.2.2 Patogenesis Stunting
Konsep timbulnya malnutrisi terjadi akibat dari faktor lingkungan dan faktor manusia
(host) yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi, akibat kekurangan zat gizi, maka
simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan, apabila keadaan ini
berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan
jaringan. Pada saat ini orang sudah dapat dikatakan malnutrisi, walaupun baru hanya ditandai
dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan yang terhambat.29

10
Sehubungan dengan meningkatnya defisiensi zat gizi dalam darah, berupa rendahnya
tingkat hemoglobin, serum vitamin A dan karoten. Selain itu, dapat juga terjadi meningkatnya
beberapa hasil metabolisme seperti asam laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila
keadaan itu berlangsung lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda
syaraf yaitu kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek, dan lain-lain.29
2.2.3 Patofisiologi Stunting
Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai faktor
penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah gizi pada anak balita
tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak
tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang
pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan
melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak
balita bulan sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger. (Elfindri. Child
Malnutrition In Indonesia. Bulletin Of Indonesia Economic Studies)
Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam panjang atau
tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan pertumbuhan World Health
Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh
kumulasi episode stress yang sudah berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan
yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).30
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap
siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami kekurangan
energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR
ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah
dengan berbagai konsekuensinya. Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa
emas tumbuh kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini
dikuatirkan lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan
seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak berdiri
sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.
2.2.4 Dampak Stunting pada Balita
Laporan UNICEF tahun 1998, beberapa fakta terkait stunting dan pengaruhnya adalah
sebagai berikut:31
1. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan
mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak-

11
anak akan terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga
tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah dibandingkan, dibandingkan anak-
anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama
masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status
gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam
kehidupannya dimasa yang akan datang.
2. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar
yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan
intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak
memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan.
Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunting mengonsumsi makanan
yang berbeda di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak,
bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada usia lima
tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini
berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting
dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan prduktivitas, sehingga
meningkatkan peluang melahirkan anak BBLR. Stunting terutama berbahaya pada
perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalm proses pertumbuhan dan berisiko
lebih besar meninggal saat melahirkan.
Akibat lainnya kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan sangat merugikan
performance anak. Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden period perkembangan otak
(0-3 tahun) maka tidak dapat berkembang dan kondisi ini sulit untuk dapat pulih kembali.
Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak terbentuk semenjak masa dalam
kandungan sampai usia 2 (dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus berlangsung maka
akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan perkembangan
kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan manghambat prestasi belajar serta
produktifitas menurun sebesar 20- 30%, yang akan mengakibatkan terjadinya loss
generation, artinya anak-anak tersebut hidup tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam
bidang pendidikan, ekonomi dan lainnya. Generasi demikian hanya akan menjadi beban
masyarakat dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan pemerintah harus mengeluarkan
biaya kesehatan yang tinggi akibat warganya mudah sakit.30

12
2.2.5 Pencegahan Stunting
Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani pervalensi stunting, pemerintah di
tingkat nasional kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta regulasi yang
diharapkan dapat berkontribusi pada pengurangan pervalensi stunting, termasuk
diantaranya:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025
(Pemerintah melalui program pembangunan nasional ‘Akses Universal Air
Minum dan Sanitasi Tahun 2019’, menetapkan bahwa pada tahun 2019,
Indonesia dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi
100% rakyat Indonesia).
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target penurunan
prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi.
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004
tentang Pemberian Ais Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara
Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK)
Penanggulanan melalui Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK) stunting dibagi menjadi 2 program,
yaitu program pencegahan dan program penanganan stunting. Pencegahan stunting
dimulai dari masa kehamilan hingga 1000 hari setelah anak lahir. Pencegahan terdiri
dari:32
Pengendalian faktor keluarga dan rumah tangga
 Faktor maternal

13
Faktor maternal terdiri dari nutrisi, IUGR, Infeksi, kesehatan dan penyakit dalam
kehamilan.
 Faktor lingkungan rumah
Faktor lingkungan terdiri dari in adekuat sanitasi dan suplai air, pelayanan
kesehatan yang kurang dan makanan yang tidak sehat, dapat berupa makananan
pelengkap yang tidak cukup, konsumsi ASI dan penyakit infeksi.
Pencegahan dapat berupa edukasi dan tindakan intervensi pada masyarakat.
Menurut Dirjen kesehatan masyarakat 2013, intervensi yang dilakukan Program 1000
HPK terdiri dari:32
A. Pencegahan Primer

a. Intervensi Sensitif

i. Penyediaan akses dan ketersediaan air bersih serta sarana sanitasi (jamban
sehat) di keluarga

ii. Pelaksanaan fortifikasi bahan pangan

iii. Pendidikan dan KIE Gizi Masyarakat

iv. Pemberian Pendidikan dan Pola Asuh dalam Keluarga

v. Pemantapan Aksesdan Layanan KB

vi. Penyediaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Persalinan

b. Intervensi Spesifik
i. Suplementasi Tablet Besi Folat pada Bumil
ii. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Bumil KEK
iii. Promosi dan Konseling IMD dan ASI Eksklusif
iv. Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA)
v. Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu
vi. Pemberian Imunisasi
vii. Pemberian Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang
viii. Pemberian Vitamin A
ix. Pemberian Taburia pada Baduta
x. Pemberian Obat Cacing pada Bumi

B. Pencegahan Sekunder (Kualitas Remaja Putri)

14
a. Intervensi Pendidikan
i. Pendidikan Kesprodi Sekolah
ii. Pemberian edukasi gizi remaja
iii. Pembentukan konselor sebaya untuk membahas seputar perkembangan
remaja
b. Intervensi Kesehatan :
i. Suplementasi Tablet Tambah Darah padaRemaja Putri
ii. Pemberian obat cacing pada Remaja Putri
iii. Promosi Gizi Seimbang
iv. Pemberian Suplementasi Zink
v. Penyediaan akses PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) di
Puskesmas
C. Intervensi Tersier (Pemberdayaan orang terdekat)
a. Intervensi Sosial
i. Penggerakan Toma (Tokoh Masyarakat) untuk mensosialisasikan Keluarga
Berencana
ii. Penyediaan Bantuan Sosial dari Pemda untuk Keluarga Tidak Mampu
(Keluarga Miskin)
b. Intervensi Kesehatan
i. Konsultasi perencanaan kehamilan dengan melibatkan suami dan keluarga
(orang tua)
ii. Pelayanan kontrasepsi bagi Suami untuk penundaan kehamilan
iii. Bimbingan konseling ke Bidan bersama dengan suami untuk penentuan
tempat dan penolong persalinan
iv. Pendidikan Kespro bagi Remaja Putra
v. Mempersiapkan konseling Calon Pengantin.

Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh Kementerian Kesehatan


(Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini
adalah identifikasi beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh
pemerintah.33

15
2.3 Pertumbuhan Balita
Anak memiliki ciri khas yang selalu tumbuh dan berkembang sejak saat konsepsi
sampai masa remaja akhir. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta
jaringan interseluler, yang berarti juga bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh
sebagian atau secara keseluruhan. Pertumbuhan bersifat kuantitatif, dengan demikian
pertumbuhan dapat diukur dengan menggunakan satuan panjang atau satuan berat.
Pertumbuhan memiliki ciri-ciri sebagi berikut: (1) perubahan ukuran, (2) perubahan
proporsi, (3) menghilangnya ciri-ciri lama, dan (4) timbulnya ciri-ciri baru.34
Pertumbuhan tinggi badan pada manusia tidak seragam di setiap tahap kehidupan.
Pertumbuhan maksimal terjadi sebelum kehidupan, pada bulan ke-4 kehidupan janin,
yaitu 1,5 mm per hari, setelah itu ada penurunan kecepatan secara progresif. Setelah lahir,
bayi masih dapat tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan anak yang lebih tua.
Satu tahun setelah lahir, panjang badan bayi meningkat 50%, dan pada tahun kedua
panjang badan bertambah 12-13 cm. Setelah itu peningkatan tinggi badan merata sekitar
5-6 cm per tahun. Pada umur 9 tahun rata-rata tinggi badan adalah 120 cm dan emudian
bertumbuh sekitar 6 cm setiap tahunnya.34
Peak of growth velocity (puncak kecepatan pertumbuhan) terjadi pada masa
remaja, yakni pada umur 101 /2-11 tahun pada perempuan dan 121 /2-13 tahun pada laki-
laki. Dalam tahap ini, pertambahan tinggi badan pada laki-laki sekitar 20 cm terutama
karena pertumbuhan pada batang tubuh, dan sekitar umur 14 tahun mereka bertumbuh
sekitar 10 cm setiap tahunnya. Pada perempuan, pertambahan tinggi badan sekitar 16 cm
saat growth spurt. Percepatan pertumbuhan pertama kali terjadi pada kaki dan tangan,
kemudian pada betis dan lengan bawah, diikuti pinggul dan dada, dan kemudian bahu.
Pertumbuhan pada kaki lebih dahulu berhenti daripada hampir semua bagian kerangka
lainnya.35
Pertumbuhan pada masa balita lebih lambat dibandingkan pada masa bayi, namun
pertumbuhannya stabil. Memperlambat kecepatan pertumbuhan tercermin dalam
penurunan nafsu makan, padahal anak-anak membutuhkan energi dan zat gizi yang
memadai untuk memenuhi mereka kebutuhan gizi.36
2.3 Penilaian Status Gizi
2.3.1 Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos artinya tubuh
dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh.37 Menurut

16
NHANES (National Health And Nutrition Examination Survey) III, antropometri
adalah studi tentang pengukuran tubuh mansuia dalam hal dimensi tulang otot, dan
jaringan adiposa atau lemak. Karena tubuh dapat mengasumsikan berbagai postur,
antropometri selalu berkaitan dengan posisi anatomi tubuh.38

2.3.2 Ukuran Antropometri

Ukuran antropometri yang sering dipakai antara lain:

a. Umur
Untuk menentukan status gizi seseorang faktor umur sangat penting.
Penentuan umur yang salah bisa menyebabkan interpretasi status gizi yang tidak
tepat. Batasan umur yang digunakan adalah tahun umur penuh (completed year) dan
untuk anak umur 0 – 2 tahun digunakan bulas umur penuh (completed month).38
b. Berat Badan
Berat badan adalah hasil keseluruhan pertambahan jaringan-jaringan tulang,
otot, lemak, cairan tubuh, dan lainnya. Berat badan merupakan ukuran antropometri
yang terpenting, dipakai pada setiap pemeriksaan kesehatan anak pada setiap
kelompok umur. Selain itu, berat badan digunakan sebagai indikator tunggal yang
terbaik pada saat ini untuk keadaan gizi dan keadaan tumbuh kembang. Di
Indonesia, alat yang memenuhi syarat untuk melakukan penimbangan pada balita
adalah dacin.38
c. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter yang penting untuk keadaan sekarang
maupun keadaan yang lalu, apabila umur tidak diketahui dengan tepat. Selain itu,
tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, sebab dengan menghubungkan
berat badan menurut tinggi badan, faktor umur dapat ditiadakan. Pengukuran tinggi
badan untuk balita yang sudah bisa berdiri tegak menggunakan alat pengukur tinggi
mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm.38
Tinggi badan diukur dengan subjek berdiri tegak pada lantai yang rata, tidak
menggunakan alas kaki, kepala sejajar dataran Frankfurt (mata melihat lurus ke
depan), kaki menyatu, lutut lurus, tumit, bokong dan bahu menyentuh dinding yang
lurus, tangan menggantung di sisi badan, subjek diinstruksikan untuk menarik nafas
kemudian bar pengukur diturunkan hingga menyentuh puncak kepala (vertex), dan
angka yang paling mendekati skala milimeter dicatat.39

17
2.3.3 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks


antropometri merupakan kombinasi dari parameter-parameter yang ada. Indeks
antropometri terdiri dari berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk mengetahui balita
stunting atau tidak indek yang digunakan adalah indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U).
Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan tulang. Tinggi badan menurut umur adalah ukuran dari pertumbuhan linier
yang dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau.
Rendahnya tinggi badan menurut umur didefinisikan sebagai "kependekan" dan
mencerminkan baik variasi normal atau proses patologis yang mempengaruhi kegagalan
untuk mencapai potensi pertumbuhan linier. Hasil dari proses yang terakhir ini disebut
"stunting" atau mendapatkan insufisiensi dari tinggi badan menurut umur.40
Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai tinggi badan
akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari pesat pada masa bayi muda
kemudian melambat dan menjadi pesat lagi (growth spurt) pada masa remaja,
selanjutnya terus melambat dengan cepatnya kemudian berhenti pada usia 18 – 20 tahun
dengan nilai tinggi badan maksimal. Pada keadaan normal, sama halnya dengan berat
badan, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertambahan nilai rata-
rata tinggi badan orang dewasa dalam suatu bangsa dapat dijadikan indikator
peningkatan kesejahteraan, bila belum tercapainya potensi genetik secara optimal.37

2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting pada Balita


2.4.1 Asupan Energi
Gizi yang baik dan kesehatan adalah bagian penting dari kualitas hidup
yang baik. Menurut Ramli, Gizi yang cukup diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan optimal dan pengembangan bayi dan anak. Kebutuhan gizi sehari-hari
digunakan untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh dapat dilakukan
dengan memilih dan mengasup makanan yang baik (kualitas dan kuantitasnya).41,42
Menurut Suhardjo yang dikutip oleh Fitri, makanan merupakan sumber
energi untuk menunjang semua aktivitas manusia. Adanya pembakaran karbohidrat,
18
protein, dan lemak menghasilkan energi pada tubuh manusia.43 Maka dari itu, agar
manusia tercukupi energinya dibutuhkan makanan yang masuk ke dalam tubuh
secara adekuat. Asupan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total energi,
protein, lemak dan zat gizi mikro, berhubungan dengan defisit pertumbuhan fisik di
anak pra sekola.44 Namun konsumsi, diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan
fisik yang normal, karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis,
dapat mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan
defisit pertumbuhan pada anak.
Kecukupan total makanan yang dikonsumsi merupakan penentu utama
pertumbuhan. Hal ini karena, sebagian nutrisi dapat didistribusikan secara luas di
berbagai jenis makanan. Makanan yang memadai dari segi kuantitas sangat penting
karena energi (kilokalori) yang disediakan didalamnya dan berbagai jenis makanan
dapat menjadi substitusi satu sama lain untuk menghasilkan energi. Selama
bertahun-tahun sejak lahir sampai dewasa, tubuh manusia membutuhkan energi
Malnutrisi pada manusia tidak hanya cenderung kekurangan energi, tapi
juga kurangnya bahan makanan tertentu, dan tidak mungkin untuk memisahkan
kedua faktor tersebut. Berbagai eksperimen pemberian diet energi rendah telah
dilakukan, namun kebanyakan dari penelitian tersebut dilakukan pada hewan untuk
mengetahui relasi dari zat gizi terhadap pertumbuhan. Perlakuan eksperimental
pada tikus yang diberikan diet rendah energi, membuat mereka berhenti tumbuh,
namun pertumbuhannya dapat berlanjut lagi saat asupan energi tercukupi.46
Stunting bisa disebabkan dari beberapa faktor baik individu dan maupun
lingkungan terutama infeksi parasit. Dalam analisis regresi multivariabel logistik
yang digunakan untuk menilai pengaruh independen dari asupan makanan,
menunjukkan rendahnya konsumsi lemak memberikan kontribusi signifikan
terhadap stunting. Dalam populasi pedesaan di Brazil, rendahnya konsumsi lemak
memiliki dampak yang paling signifikan pada ketersediaan energi dari makanan.
Menurut hasil penelitian di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa tingkat
asupan energi kelompok anak normal hampir sebagian tercukupi, sementara pada
kelompok anak stunting masih rendah.48 Analisis data RISKESDAS tahun 2010
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara konsumsi energi dengan
kejadian stunting pada balita usia 12 – 59 bulan di Sumatera.2016 Pada penelitian

19
di Kalimantan Barat dan Maluku, diperoleh hasil bahwa konsumsi energi
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.50,51
2.4.2 Asupan Protein
Protein merupakan zat pengatur dalam tubuh manusia. Pada balita protein
dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh, dan untuk
sintesis jaringan baru. Selain itu, protein juga dapat membentuk antibodi untuk
menjaga daya tahan tubuh terhadap infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk ke
dalam tubuh.42
Perkiraan kebutuhan protein dalam pertumbuhan berkisar dari 1 sampai 4
g/kg pertambahan jaringan. evaluasi asupan protein anak harus berdasarkan: (1)
tingkat pertumbuhan, (2), kualitas protein dari makanan yang diasup, (3) kombinasi
makanan yang menyediakan asam amino komplementer ketika dikonsumsi
bersamaan, (4) asupan vitamin, mineral, dan energi yang adekuat. Semua
komponen tersebut penting dalam sintesis protein.52
Menurut WHO, kebutuhan protein adalah sebesar 10 – 15% dari kebutuhan
energi total (Almatsier, 2005). Asupan protein yang adekuat telah menjadi
perhatian dan kontroversi di komunitas gizi internasional untuk 50 terakhir tahun.
Protein sering dikonsumsi dalam hubungannya dengan energi dan zinc. Zat gizi
tersebut penting untuk fungsi normal dari hampir semua sel dan proses
metabolisme, dengan demikian defisit dalam zat gizi tersebut memilikibanyak efek
klinis. Di sub-Sahara Afrika 38% anak stunting dan 9% wasting, walaupun
penyebab dari kelainan antropometri adalah multifaktorial, namun beberapa anak-
anak di daerah tersebut, hidup dengan diet dengan asupan protein yang tidak
memadai (Assis et al., 2004). Kelaparan atau semi-kelaparan juga dapat mengubah
komposisi tubuh. Protein tidak hanya tidak bertambah, tapi juga habis digunakan,
sehingga massa sel tubuh berkurang. Mengenai komposisi rinci tentang diet yang
sesuai untuk pertumbuhan normal, masih banyak yang harus digali lebih lanjut.
Asupan protein yang adekuat merupakan hal penting, karena terdapat sembilan
asam amino yang telah diklaim penting untuk pertumbuhan, dan tidak adanya satu
saja asam amino tersebut akan menghasilkan pertumbuhan yang terhambat.
Kekurangan zat gizi protein merupakan faktor utama dalam kondisi yang sudah
dikenal dengan sebutan kwarshiorkor, dimana akan ada perlambatan pertumbuhan
dan pematangan tulang.46

20
2.4.3 Penyakit Infeksi
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit.
Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang
diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi
sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami
infeksi, yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu makan,
atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus. Kenyataannya, malnutrisi dan
infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko
infeksi, sedangkan infeksi apamenyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke
lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah,
jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya
untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition.53
Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dan dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan cair yang berlangsung
dalam kurun waktu minimal 2 hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri
penyebab utama diare pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic Escherichia
coli (EPEC). Menurut Levine & Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi
penyebab kematian ratusan ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini
juga diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak
penderita diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sanitasi
di daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat menyebabkan
meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang penyakit infeksi
pada anak merupakanmasalah yang kesehatan yang penting dan diketahui dapat
mempengaruhi pertumbuhan anak.54
Berdasarkan penelitian Masithah, anak balita yang menderita diare memiliki
hubungan positif dengan indeks status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U).54
Penelitian lain juga menunjukkan hal yang sama, penyakit infeksi menunjukan
hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Penyakit infeksi seperti diare
dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk,
berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 – 12 bulan.48 Penelitian lain

21
di Libya juga menyatakan bahwa penyakit diare menjadi faktor kejadian stunting
pada anak dibawah 5 tahun.55

2.4.4 Pemberian ASI Eksklusif


ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi anak,
karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup selama 6 bulan
pertama kehidupan. Meskipun setelah itu, makanan tambahan yang dibutuhkan sudah
mulai dikenalkan kepada bayi, ASI merupakan sumber makanan yang penting bagi
kesehatan bayi. Sebagian besar bayi di negara yang berpenghasilan rendah,
membutuhkan ASI untuk pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat bertahan
hidup, karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah didapat.
ASI dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6 – 12 bulan,
selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial yang dibutuhkan bayi.56
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai
usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-
obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertama
pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu
formula, jeruk, madu, air, teh, dan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
bubur nasi, biskuit, nasi tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI
kepada bayi, tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air,
misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar.57
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama
dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak tak
jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty
acid) yang tidak hanya sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan
otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga
memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit,
berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare, konstipasi
kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta infeksi telinga.
Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap perkembangan
psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar
dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih

22
kuat dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan
perilaku anak.58
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi ASI
Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6
bulan). Penelitian yang dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak
yang tidak mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada bayi baru
lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan
keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi terhadap
kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi
berhubungan dengan kejadianstunting, Selain itu, durasi pemberian ASI yang
berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting.59
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan berkaitan
dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang lebih tinggi
mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru, menunjukkan prevalensi
diare secara signifikan lebih tinggi pada anak yang disapih. Hal ini dapat disebabkan
karena hilangnya kekebalan tubuh dari konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga
engenalan makanan tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit
infeksi. Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat mengurangi
kejadian pneumonia dan gastroenteritis.60 Di Indonesia, perilaku ibu dalam
pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U,
dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif.61
2.4.5 Status Imunisasi
Imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan
vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif).
Dalam hal ini, imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi
dan respon imun seluler yang dapat melawan agen penginfeksi. Lain halnya dengan
imunisasi pasif, imunisasi ini menyediakan proteksi sementara melalui pemberian
antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke
janin.62
Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk
mengurangi risiko mordibitas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak akibat
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit-penyakit tersebut

23
antara lain: TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B, dan sebagainya
(Narendra, 2002). Status imunisasi pada anak adalah salah satu indikator kontak
dengan pelayanan kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan
kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi baru jadi, status imunisasi juga
diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang.63
Peneliitan Milman, 2005 mengemukakan bahwa status imunisasi menjadi
underlying factor dalam kejadian stunting pada anak < 5 tahun. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang
signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 tahun.64,65
2.4.6 Usia Balita
Masa balita merupakan usia paling rawan, karena pada masa ini balita sering
terkena penyakit infeksi sehingga menjadikan anak berisiko tinggi menjadi kurang
gizi. Pada usia prasekolah yaitu usia 2 – 6 tahun, anak mengalami pertumbuhan yang
stabil, terjadi perkembangan dengan aktifitas jasmani yang bertambah dan
meningkatnya keterampilan dan proses berfikir. Pertumbuhan pada usia balita dan
prasekolah lebih lambat dibandingkan pada masa bayi namun pertumbuhannya stabil.
Memperlambatnya kecepatan pertumbuhan ini tercermin dalam penurunan nafsu
makan, padahal dalam masa ini anak-anak membutuhkan kalori dan zat gizi yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi merek.66
Penelitian di Maluku Utara prevalensi stunting dan severe stunting lebih
tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%, dibandingkan anak-
anak berusia 0-23 bulan.67 Temuan tersebut mirip dengan hasil dari penelitian di
Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 24 – 59 bulan yang
ditemukan berada dalam risiko lebih besar pertumbuhan yangterhambat. Penelitian
lain menyatakan pada anak-anak Sudan berusia 6-72 bulan yang berada dalam
kondisi stunting, anak-anak yang berusia 1-2 tahun lebih mungkin untuk pulih dari
stunting. Anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun lebih kecil kemungkinannya
untuk pulih dari stunting.68
2.4.7 Jenis Kelamin Balita
Studi kohort di Ethiopia menunjukkan bayi dengan jenis kelamin laki-laki
memiliki riskio dua kali lipat menjadi stunting dibandingkan bayi perempuan pada
usia 6 dan 12 bulan. Anak laki-laki lebih berisiko stunting dan atau underweight
dibandingkan anak perempuan. Beberapa penelitian di sub-Sahara Afrika

24
menunjukkan bahwa anak laki-laki prasekolah lebih berisiko stunting daripada rekan
perempuannya. Dalam hal ini, tidak diketahui apa alasannya.69
Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga Negara berbeda, yaitu Libya
(Taguri et al. 2008), serta Bangladesh dan Indonesia (Semba et al. 2008),
menunjukkan bahwa prevalensi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin
anak adalah prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23
bulan dan 0-59 bulan. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak,
anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan
severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan
hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara
berkembang termasuk Indonesia.67
2.4.8 Berat Lahir Balita
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal,
dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan pengembangan
jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO
yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gr. BBLR dapat disebabkan oleh durasi
kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka dari itu, bayi dengan berat lahir<2500
gr bisa dikarenakan dia lahir secara prematur atau karena terjadi retardasi
pertumbuhan.71
Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa berat badan lahir berbanding
terbalik dengan risiko terjadinya penyakit hipertensi, penyakit kardiovaskular dan
diabetes tipe 2 pada masa dewasa. Berat badan lahir yang rendah, maupun
pertambahan berat badan pasca lahir yang terlalu cepat (MP-ASI dini), atau
kombinasi keduanya, merupakan faktor predisposisi penyakit-penyakit tersebut. Hal
tersebut terangkum dalam Hipotesa Barker/Fetal Origin Hypothesis.72
Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih
cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya
gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju.72
Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi
yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki
ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir

25
dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga
akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang
stunted juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya.70
Gangguan pertumbuhan antar generasi dapat digambarkan seperti berikut:
Semua kelompok lahir berisiko terhadap stunting hingga usia 12 bulan, dengan risiko
terbesar pada kelompok anak IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) dan risiko
terkecil pada kelompok anak normal. Pada kelompok IUGR berkontribusi terhadap
siklus intergenerasi yang disebabkan oleh tingkat ekonomi rendah, penyakit, dan
defisiensi zat gizi. Hal tersebut menunjukan bahwa, ibu dengan gizi kurang sejak
awal sampai dengan akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya akan
menjadi anak stunting.73
Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi dengan
stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat lahir rendah dapat
bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah memiliki efek yang besar
terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, efek dari berat lahir
rendah terhadap kesehatan anak adalah faktor yang paling relevan untuk
kelangsungan hidup anak.55
2.4.9 Pendidikan Orang Tua
Tingkat Pendidikan ayah pada anak stunting lebih rendah dibandingkan
dengan anak normal.74 Hal ini menunjukan, pendidikan orang tua akan berpengaruh
terhadap pengasuhan anak, karena dengan pendidikan yang tinggi pada orang tua
akan memahami pentingnya peranan orangtua dalam pertumbuhan anak. Selain itu,
dengan pendidikan yang baik, diperkirakan memliki pengetahuan gizi yang baik pula.
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan tahu bagaimana mengolah makanan,
mengatur menu makanan, serta menjaga mutu dan kebersihan makanan dengan baik.
Menurut penelitian yang dilakukan pada batita di Desa Mulya Harja, diketahui
bahwa lamanya pendidikan ibu berhubungan signifikan positif dengan status gizi
batita indeks TB/U.75
Penelitian di Libya menunjukkan bahwa pendidikan ayah merupakan faktor
signifikan terkait dengan stunting pada anak usia dibawah 5 tahun.65 Penelitian lain
yang senada juga dikemukakan oleh Semba et al bahwa pendidikan ayah
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak di Bangladesh. Hal ini dikarenakan,

26
wanita memiliki status sosial yang rendah di Bangladesh dan memiliki pengaruh yang
terbatas dalam membuat keputusan dalam rumah tangga. Pendidikan tinggi dapat
mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih memperhatikan gizi
anak. Suami yang lebih terdidik akan cenderung memiliki istri yang juga
berpendidikan. Ibu yang berpendidikan diketahui lebih luas pengetahuannya tentang
praktik perawatan anak.70 Keluarga yang berpendidikan hidup dalam rumah tangga
yang kecil, di rumah yang lebih layak, dapat menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih baik, dan lebih mahir menjaga lingkungan yang bersih.65
Rendahnya pendidikan ibu merupakan penyebab utama dari kejadian stunting
pada anak sekolah dan remaja di Nigeria. Ibu yang berpendidikan lebih mungkin
untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak-
anaknya. Selain itu, Ibu yang berpendidikan cenderung menyekolahkan semua
anaknya sehingga memutus rantai kebodohan, serta akan lebih baik menggunakan
strategi demi kelangsungan hidup anaknya, seperti ASI yang memadai, imunisasi,
terapi rehidrasi oral, dan keluarga berencana. Maka dari itu, mendidik wanita akan
menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan prevalensi malnutrition, terutama
stunting.76 Penelitian lain pada anak-anak di Indonesia menunjukkan hasil yang
sama, bahwa dengan meningkatkan pendidikan ibu dapat mengurangi kejadian
stunting dibandingkan dengan meningkatan pendidikan ayah.77
2.4.10 Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas
pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan. Dengan demikian,
terdapat asosiasi antara pendapatan dengan dengan gizi, apabila pendapatan
meningkat maka bukan tidak mungkin kesehatan dan masalah keluarga yang
berkaitan dengan gizi mengalami perbaikan.78
Faktor Ibu yang bekerja nampaknya belum berperan sebagai penyebab utama
masalah gizi pada anak, namun pekerjaan ini lebih disebut sebagai faktor yang
mempengaruhi dalam pemberian makanan, zat gizi, dan pengasuhan/perawatan anak.
Ibu yang bekerja di luar rumah biasanya sudah mempertimbangkan untuk perawatan
anaknya, namun tidak ada jaminan untuk hal tersebut. Sedangkan untuk ibu yang
bekerja di rumah tidak memiliki alternatif untuk merawat anaknya. Terkadang ibu
memeliki masalah dalam pemberian makanan untuk anak kurang diperhatikan juga,
karena ibu merasa sudah merawat anaknya, misalnya dalam pemberian ASI.79

27
Hasil penelitian Diana, (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pola asuh makan dengan pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar
rumah dapat menyebabkan anak tidak terawat, sebab anak balita sangat bergantung
pada pengasuhnya atau anggota keluarga yang lain.80 Selain itu, Ibu yang bekerja
diluar rumah cendrung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas
rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan
anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga
akan terganggu.80

2.4.11 Status Ekonomi Keluarga


Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan adanya peningkatan penghasilan
yang berkaitan dengan itu, maka perbaikan gizi akan tercapai dengan sendirinya.
Penghasilan merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas dankuantitas
makanan dalam suatu keluarga. Terdapat hubungan antara pendapatan dan gizi yang
menguntungkan, yaitu pengaruh peningkatan pendapatan dapat menimbulkan
perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga yang menimbulkan interaksi status gizi. Di
negara berkembang, biasanya masyarakat yang berpenghasilan rendah,
membelanjakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli makanan. Tingkat
penghasilan juga menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi. Biasanya di
negara yang berpendapatan rendah mayoritas pengeluaran pangannya untuk membeli
serealia, sedangkan di negara yang memiliki pendapatan per-kapita tinggi,
pengeluaran bahan pangan protein akan meningkat. Faktor ekonomi dan lingkungan
lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik.80
Status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak yang signifikan
terhadap probabilitas seorang anak menjadi pendek dan kurus. Dalam hal ini, WHO
merekomendasikan status gizi pendek atau stunting sebagai alat ukur atas tingkat
sosial-ekonomi yang rendah dan sebagai salah satu indikator untuk memantau ekuitas
dalam kesehatan.81
Dengan karakteristik sosial ekonomi yang rendah pada kedua kelompok anak
stunting dan normal, ternyata kelompok anak normal yang miskin memiliki
pengasuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak stunting dari
keluarga miskin.82 Peningkatan pendapatan rumah tangga berhubungan dengan
penurunan dramatis terhadap probabilitas stunting pada anak. Beberapa studi

28
menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan pada penduduk miskin adalah strategi
untuk membatasi tingginya kejadian stunting dalam sosial-ekonomi rendah pada
segmen populasi. Malnutrisi terutama stunting, lebih dipengaruhi oleh dimensi sosial
ekonomi, sehingga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya dalam
ranah biomedis.81
Menurut penelitian Semba di Indonesia dan Bangladesh menunjukkan bahwa
anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah memiliki resiko stunting lebih
tinggi dibandingkan anak dari keluargasosial ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini
enunjukkan bahwa keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kejadian stunting pada
balita.77

2.5 Kerangka Teori

29
30
2.6 Kerangka Konsep

31
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional (potong
lintang) dengan pendekatan kuantitatif. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian
epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan
paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan, penyakit, atau karakteristik
kesehatan lainnya secara serentak, pada individu-individu dari suatu populasi dalam satu
waktu.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan intervensi Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat (GERMAS) terhadap penyebab terjadinya stunting di Kota Palembang.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1. Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober hingga bulan November 2018.

3.2.2. Tempat
Penelitian dilakukan di kota Palembang dengan melakukan pengukuran antropometri
dan kuesioner.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah balita stunting berusia 25 bulan sampai 60 bulan di
kota palembang.

3.3.2 Sampel
Sampel Dari populasi penelitian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah
balita yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1. balita berusia 25 – 60 bulan yang bertempat tinggal di wilayah penelitian.
2. ibu balita bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Sedangkan, kriteria eksklusi dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:

32
1. balita yang tidak tinggal menetap di wilayah penelitian, misalnya balita tersebut secara
rutin datang ke rumah neneknya hanya pada siang hari, namun pada malam hari pulang ke
rumahnya yang berada di wilayah lain,
2. balita yang mengalami gangguan mental dan cacat fisik.
3. jika ada balita yang terpilih namun sudah tidak tinggal di daerah tersebut, maka akan
diganti dengan balita lain yang masuk dalam kriteria inklusi.

Perhitungan besar sampel minimal menggunakan rumus slovine

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁. 𝑒 2

Keteracngan:
n = Jumlah unit sampel
N = Jumlah unit populasi
d = Limit dari error atau presisi absolut
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Palembang, jumlah balita dikota
Palembang sebanyak 148.721 orang dan dihubungkan dengan data riskesdas tahun
2013 maka diperkirakan jumlah balita stunting sebanyak 40.898 orang. Dengan
jumlah sampel N = 40.898 Limit error (d) ditetapkan 10%, maka diperoleh sampel
minimal sebanyak 100 orang.

3.3.2.1 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu peneliti
memilih responden atas dasar pertimbangan penelitinya saja yang menganggap unsur-unsur
yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil.

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1 Variabel Bebas
 Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
 Melakukan Aktivitas Fisik
 Mengonsumsi Sayur dan Buah
 Tidak Merokok

33
 Tidak Mengonsumsi Alkohol
 Memeriksa Kesehatan Secara Rutin
 Membersihkan Lingkungan
 Menggunakan Jamban
 Asupan Energi
 Asupan Protein
 Status Penyakit Infeksi
 Pemberian ASI Eksklusif
 Status Imunisasi
 Usia Balita
 Jenis Kelamin Balita
 Berat Lahir Balita
 Pendidikan Orang Tua
 Pekerjaan Ibu
 Pekerjaan Ayah
 Status Ekonomi Keluarga

3.4.2 Variabel Terikat


 Stunting

3.5 Definisi Operasional


a. Stunting
Definisi: Tinggi Balita menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD sehingga lebih
pendek daripada tinggi yang seharusnya. Stunting dan severe stuntuing digabung
dalam kategori stunting
Alat Ukur: Microtoise
Cara Ukur: Tiggi badan balita diukur dengan posisi berdiri
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Stunting gabungan antara data stunting dan severe stunting
2 = Normal (> -2 SD)
b. Melakukan Aktivitas Fisik
Definisi: Latihan fisik yang dilakukan minimal 150 menit perminggu dengan
interval 3-5 kali perminggu
34
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Melakukan aktivitas fisik
2 = Tidak melakukan aktivitas fisik
c. Mengonsumsi Sayur dan Buah
Definisi: Konsumsi sayuran dan buah-buahan 300-400 gram perorang perhari
bagi anak balita dan 400-600 perorang perhari bagi remaja dan dewasa.
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Mengkonsumsi buah dan sayur
2 = Tidak Mengkonsumsi buah dan sayur
d. Tidak Merokok
Definisi: Klasifikasi perokok berdasarkan indeks brinkman, jumlah rata-rata
rokok yang dihisap sehari (batang) x lama merokok (tahun).
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Perokok ringan (0-199)
2 = Perokok sedang (200-599)
3 = Perokok berat (> 600)
e. Tidak Mengonsumsi Alkohol
Definisi: Pola seorang individu untuk tidak mengkonsumsi alkohol
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Tidak mengkonsumsi alcohol
2 = Tidak sering mengkonsumsi alcohol (<3 kali seminggu)
3 = Sering konsumsi alkhol (>3 kali seminggu)
f. Memeriksa Kesehatan Secara Rutin
Definisi: Pemeriksaan/skrining kesehatan sesuai standar untuk usia 15-59 tahun
menurut buku panduan gerakan masayarakat hidup sehat (GERMAS)

35
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Rutin memeriksa kesehatan
2 = Tidak rutin memeriksa ksehatan
g. Menggunakan Jamban
Definisi: Keluarga memiliki jamban keluarga untuk kegiatan Mandi, Cuci, Kakus
yang sesuai kriteria jamban sehat menurut Depkes RI tahun 1985.
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Memiliki Jamban sehat
2 = Tidak memiliki jamban sehat
h. Asupan Energi
Definisi: Asupan energi total dalam sehari (kkal), kemudian dibandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi(AKG) yang dianjurkan
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Formulir semikuantitatif
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Rendah (<100% AKG)
2 = Cukup (>100% AKG)
i. Asupan Protein
Definisi: Asupan protein dalam sehari (gram), kemudian dibandingkan dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Formulir Semikuantitatif
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Rendah (<100% AKG)
2 = Cukup (>100% AKG)
j. Status Penyakit Infeksi
Definisi: Status balita terhadap penyakit infeksi (ISPA dan Diare) dalam satu
bulan terkhir
Alat Ukur: Kuesioner

36
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Ya (balita pernah menderita ISPA atau diare pada satu bulan
terakhir)
2 = Tidak (balita pernah menderita ISPA atau diare pada satu
bulan terakhir)
k. Pemberian ASI Eksklusif
Definisi: Pemberian hanya ASI saja untuk bayi lahir sampai usia 6 bulan
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur:Ordinal
Hasil Ukur: 1 = ASI eksklusf
2 = Tidak ASI ekslusif
l. Status Imunisasi
Definisi: Kelengkapan imunisasi dasar yang didapat balita sesuai dengan
umurnya
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Uur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Tidak lengkap
2 = Lengkap
m. Usia Balita
Definisi: Waktu yang dilalui atau lama kehidupan balita yang dihitung
berdasarkan bulan penuh pada saat ibu diwawancara
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = 25 - 36 bulan
2 = 36 - 48 bulan
3 = 49 – 60 bulan
n. Jenis Kelamin Balita
Definisi: Penampilan fisik balita yang membedakan antara lai-laki dan
perempuan

37
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Nominal
Hasil Ukur: 1 = Perempuan
2 = Laki-laki
o. Berat Lahir Balita
Berat badan balita pada pada saat dilahirkan yang diukur dengan menggunakan
timbangan
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = BBLR (BBL < 2500 gram)
2 = Normal (BBL > 2500 gram)
p. Pendidikan Orang Tua
Jenjang Pendidikan formal terkahir yang dicapai oleh ayah dan ibu
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Rendah (tamat SMP kebawah)
2 = Menengah (tamat SMA)
3 = Tinggi (tamat Perguruan Tinggi)
q. Pekerjaan Ibu
Definisi: Pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau
pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Tidak bekerja
2 = Bekerja
r. Pekerjaan Ayah
Definisi: Pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau
pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar
Alat Ukur: Kuesioner

38
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Jasa
2 = Pegawai Negeri
3 = Pegawai Swasta
s. Status Ekonomi Keluarga
Definisi: Gambaran status ekonomi keluarga balita yang dikelompokkan
berdasarkan jumlah pengeluaran per kapita sebulan untuk golongan makanan
Alat Ukur: Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Skala Ukur: Ordinal
Hasil Ukur: 1 = Rendah (kuintil 1,2, dan 3)
2 = Tinggi (kuntil 4 dan 5)

3.6 Cara Pengumpulan Data


3.6.1 Sumber Data
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
didapat dari hasil wawancara menggunakan kuesioner pada responden yang menjadi sampel
dalam penelitian. Data primer yang diperlukan antara lain:

a. Data status gizi TB/U (tinggi badan menurut umur) balita dengan melakukan
pengukuran antropometri tinggi badan balita menggunakan microtoise.
b. Data Mengenai Intervensi GERMAS yakni aktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan
buah, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin,
membersihkan lingkungan, menggunakan jamban didapatkan melalui pengisian
kuesioner dan wawancara.
c. Data tentang pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status ekonomi keluarga, usia
balita, jenis kelamin balita, berat lahir balita, status infeksi, pemberian ASI eksklusif,
dan status imunisasi yang didapatkan melalui pengisian kuesioner dan wawancara.
d. Data tentang asupan energi dan asupan protein yang didapatkan melalui lembar
kuesioner frekuensi makanan/FFQ (Food Frequency Questionnaire) semikuantitatif.

3.6.2 Cara Pengumpulan Data

39
Pengumpulan data dilakukan oleh 2 – 3 orang, yang terdiri dari peneliti sendiri dibantu
oleh pengumpul data yang lain yaitu mahasiswa program studi profesi dokter FK UNSRI
angkatan 2013 dan 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara setelah
adanya persetujuan untuk melakukan wawancara yang ditandatangani pada lembar inform
consent oleh responden. Pada lembar kuesioner terdapat juga tempat untuk mengisi hasil
pengukuran tinggi badan sampel (anak balita). Hasil pengukuran tinggi badan (TB) yang telah
diperoleh akan diolah untuk mencari status gizi berdasarkan antropometri dengan
menggunakan standar baku WHO-2005 (Z-skor tinggi badan menurut umur).

3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
a. Pengolahan Data Antropometri
Pengolahan data antropometri berdasarkan hasil pengukuran tinggi badan diolah untuk
menentukan nilai z-score anak. Niai Z-score pada indeks antropometri tinggi badan
menurut umur (TB/U) akan menunjukkan status gizi anak dalam keadaan stunting atau
tidak. Nilai z-score akan dihitung dengan menggunankan standar baku WHO-2005.
b. Pengolahan Data Kuesioner Intervensi Germas
Data yang didapatkan per variable kemudian dikelompokkan berdasarkan hasil
keluaran.
c. Pengolahan Data FFQ Semikuantitatif
Data asupan zat gizi yang akan dianalisis adalah asupan energy dan protein. Data
asupan zat gizi diperoleh dari frekuensi makan dan porsi makanan yang biasa
dikonsumsi balita, kemudian diolah menggunakan program perangkat lunak
pengolahan data asupan zat gizi.

3.7.2 Editing
Hasil dari kuesioner yang diperoleh perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Apabila
teryata masih ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan
pengulangan, maka kuesioner tersebut dikeluarkan.

3.7.3 Coding

40
Setelah semua data terkumpul dan diedit, tahap selanjutnya adalah memberi kode-
kode terhadap data-data yang ada berdasarkan kategori yang telah dibuat oleh penulis.
Lembaran kode berisi nomor responden, dan nomor- nomor pertanyaan.

3.7.4 Transfering
Data yang telah dikode dimasukan dalam komputer kemudian data tersebut diolah
dengan program komputer. Program yang digunakan adalah program SPSS.

3.7.5 Tabulating
Tabulating merupakan proses pembuatan tabel dari data masing- masing variabel
penelitian yang kita lakukan agar mudah dibaca.

3.7.6 Analisis Data


a. Analisis Univariat
Analisi ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi tiap variable yang
diteliti, baik variable dependen (kejadian stunting) maupun variable independen
(aktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan buah, tidak merokok, tidak mengonsumsi
alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan, menggunakan
jamban, konsumsi energi dan protein, status infeksi, pola asuh pemberian ASI
eksklusif, status imunisasi, karakteristik balita, dan karakteristik keluarga). Data yang
dihasilkan dapat berupa kategorik sesuai dengan hasil ukur yang terdapat dalam
definisi operasional.

b. Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen. Dalam penelitian ini, data yang dihasilkan dikelompokkan
sehingga menghasilkan data kategorik. Pada analisis tingkat bivariat, tiap variabel
independen ditabulasi-silangkan dengan variabel dependen.
Pada tabulasi silang 2x2 akan dicari OR (Odds Ratio) untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Selain itu juga akan
dilakukan uji statistik menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui kemaknaan
hubungan antara variabel independen dengan variable dependen secara statistik. Uji
Chi-square dipilih sesuai dengan salah satu kegunaannya, yaitu untuk menguji

41
independensi antara dua variabel.74 Selain itu, uji statistik menggunakan uji Chi-
square akan dilakukan untuk mengetahui kemaknaan hubungannya secara statistik.
Jika p value <0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna secara statistik.

42
3.8 Kerangka Operasional

Populasi

Kriteria Eksklusi

Kriteria Inklusi

Sampel

Pengumpulan Data

Pengolahan dan analisis


data

Penyajian data (Hasil)

43
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Kota Palembang
Kota Palembang adalah ibukota Propinsi Sumatera Selatan yang mempunyai luas
wilayah 400.61 km2 dengan jumlah penduduk 1.481.814 jiwa, yang berarti setiap km2 dihuni
oleh 3.699 jiwa. Kota Palembang dibelah oleh Sungai Musi menjadi dua daerah, yaitu
Seberang
105 Km. Oleh karena itu, perilaku air laut sangat berpengaruh yang dapat dilihat dari adanya
pasang surut antara 3 – 5 meter.
Kota Palembang terletak antara 20 52’–30 5’ LS dan 1040 37’–1040 52’ BT
merupakan daerah tropis dengan angin lembab nisbi, suhu cukup panas antara 23,40C-31,70C
dengan curah hujan terbanyak pada bulan April sebanyak 338 mm, minimal pada bulan
September dengan curah hujan 10 mm. Struktur tanah pada umumnya berlapis alluvial liat
dan berpasir, terletak pada lapisan yang masih muda, banyak mengandung minyak bumi, dan
juga dikenal dengan nama lembah Palembang–Jambi. Permukaan tanah relatif datar dengan
tempat- tempat yang agak tinggi di bagian utara kota. Sebagian besar tanahnya selalu
digenangi air pada saat atau sesudah hujan yang terus-menerus dengan ketinggian tanah
permukaan rata- rata 8 m dari permukaan laut.
Kota Palembang berbatasan dengan daerah-daerah sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan desa Pangkalan Benteng, desa Gasing, dan Kenten
Laut Kecamatan Talang Kelapa Kab. Banyuasin.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Bakung Kec. Inderalaya Kab. Ogan
Komering Ilir dan Kec. Gelumbang Kab.Muara Enim.
 Sebelah Timur berbatasan dengan desa Balai Makmur Kec. Banyuasin I Kab.
Banyuasin
 Sebelah Barat berbatasan dengan desa Sukajadi Kec. Talang Kelapa Kab. Banyuasin.
Kota Palembang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Selatan, yang terdiri dari
enam belas kecamatan, yaitu Ilir Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat II, Seberang Ulu
I, Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus, Kemuning, Kalidoni, Plaju,
Kertapati, Alang-Alang Lebar dan Sematang Borang.
Penduduk Palembang pada kelompok umur 0 - 4 tahun yang laki - laki 71.244 dan
perempuan 70.461 orang, sedangkan kelompok umur 5 - 14 tahun yang laki-laki 130.822
orang dan perempuan 130.596 orang. Dengan demikian untuk kelompok umur dibawah 15
44
tahun jumlah laki- laki 11 % dan perempuan 13 % dari jumlah seluruh penduduk. Untuk
kelompok umur 45 - 64 tahun jumlah laki- laki adalah 122.172 atau sebesar 6.6 % dan
perempuan 121.237 orang atau sebesar 6.6 % dari jumlah penduduk. Sedangkan untuk
kelompok umur lebih dari 65 tahun jumlah laki- laki 33.051 atau sebesar 1,8 % dan
perempuan 31.213 orang atau sebesar 1.7 % dari jumlah seluruh penduduk.
Dilihat dari status sosial ekonomi masyarakat kota Palembang cenderung mengalami
peningkatan kearah yang berarti. Secara umum pengeluaran perkapita penduduk dikota
Palembang dan propinsi Sumatera Selatan berkisar antara 500.000-1.000.000 rupiah perbulan
yang berarti pendapatan perkapita masyarakat sekarang ini masih sangat rendah dengan mata
pencaharian penduduk sebagian besar pedagang, nelayan, buruh, karyawan, wiraswasta dan
sebagian kecil adalah PNS,TNI/Polri, pensiunan dan lain sebagainya, oleh karena itu jumlah
usia angkatan kerja sangat mempengaruhi angka beban tanggungan. Penduduk usia angkatan
kerja tahun 2010 di kota Palembang sekitar 68.4% dari total penduduk kota Palembang.
Sejalan dengan pesatnya kemajuan pembangunan di kota Palembang, tingkat pendidikan
masyarakat juga semakin meningkat dan kualitas sumber daya manusia secara umum sudah
mulai menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik.
4.2 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi dari tiap
variabel yang diteliti. Data-data yang dianalisis adalah tinggi badan menurut umur balita
sebagai variabel dependen dan konsumsi energi, konsumsi protein, status penyakit infeksi,
Intervensi GERMAS, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, jenis kelamin balita, berat
lahir balita, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan status ekonomi keluarga sebagai
variabel independen. Data yang dikumpulkanmerupakan data primer yang berasal dari 104
responden yang diwawancara secara langsung. Pada proses perencanaan penelitian, hasil
perhitungan besar sampel dua proporsi adalah sebesar 100 anak, lalu peneliti mengambil
sampel berdasarkan kriterian inklusi dan kriteria eksklusi.
4.2.1 Gambaran Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Tiggi Badan Menurut Umur
(TB/U)
Gambaran status gizi balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang menggunakan
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yang diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: status gizi
stunting (stunting dan severely stunting) dan normal. Distribusi frekuensi status gizi
berdasarkan TB/U dapat dilihat pada tabel 4.1.

45
Tabel. 4.1. Gambaran Status Gizi

Status Gizi Frekuensi Persentase

Stunting (< -2 SD) 28 28


Normal 72 72
Total 100 100 %

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa 28% balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang
memiliki status gizi pendek dan sebanyak 72% normal (-2 s.d. 2 SD).
4.2.2 Gambaran Penerapan Intervensi GERMAS
Gambaran penerapan intervensi GERMAS dikota Palembang diukur berdasarkan kuesioner
penelitian dalam bentuk skala nominal. Hasil pengukuran penerapan intervensi GERMAS
dikota Palembang meliputi 7 kegiatan GERMAS yakni melakukan aktivitas fisik,
mengkonsumsi buah dan sayur, tidak merook, tidak mengkonsumsi alcohol, memeriksa
kesehatan secara rutin, memiliki dan menggunakan amban sehat, dan membersihkan
lingkungan rumah. Distribusi penerapan GERMAS dikota Palembang dapat dilihat pada tabel
4.2. sampai tabel 4.9.

Tabel. 4.2. Melakukan Aktivitas Fisik


Melakukan Aktivitas Fisik Frekuensi Persentase

Cukup Melakukan Aktivitas Fisik 26 26%

Kurang Melakukan Aktivitas Fisik 74 74%

Total 100 100%

Pada tabel 4.2. dapat dilihat sebanyak 74% responden mengaku melakukan aktivitas fisik
setidaknya selama 30 menit perhari dan paling sedikit 3-5 kali perminggu, sedangkan
sebanyak 26% responden mengkau tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup.

Tabel 4.3. Mengkonsumsi Buah dan Sayur

Mengkonsumsi Buah dan Sayur Frekuensi Persentase


Tidak mengkonsusi cukup buah dan 34 34%
sayur
Mengkonsumsi cukup buah dan sayur 66 66%

46
Total 100 100%

Pada tabel 4.3. menunjukkan sebanyak 66% balita mengkonsumsi buah dan sayur secara
cukup sebanyak 300 gram perhari, sementara 34% balita belum mengkonsumsi buah dan
sayur secara cukup.

Tabel 4.4. Konsumsi Rokok

Konsumsi Rokok Frekuensi Persentase


Merokok 64 64
Tidak merokok 36 36
Total 100 100

Sebanyak 64% keluarga responden memiliki paling tidak satu orang perokok didalam
keluarga, sementra sisanya 36% mengaku tidak memilii anggota keluarga yang merokok
seperti yang ditunjukkan tabel 4.4.

Tabel 4.5. Konsumsi Alkohol

Konsumsi Alkhol Frekuensi Persentase


Mengkonsumsi alcohol 23 23
Tidak mengkonsumsi alcohol 77 77

Total 100 100

Pada tabel 4.5. menggambarkan bahwa sebanyak 77% responden di kota Palembang yang
memiliki anak balita tidak memiliki pola konsumsi alcohol, sementara sebanyak 23%
responden mengaku memiliki anggota keluarga yang memiliki pola konsumsi merokok.

Tabel 4.6. Pemeriksaan Kesehatan Rutin

Pemeriksaan Kesehatan Rutin Frekuensi Persentase


Tidak Memeriksa kesehatan rutin 39 39
Memeriksa kesehatan rutin 61 61

Total 100 100

47
Pada tabel 4.6. menunjukkan sebanyak 61% responden mengaku memeriksakan kesehatan
balita dan keluarga secara rutin sesuai dengan buku panduan GERMAS, dan sebanyak 39%
responden tidak melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

Tabel.4.7. Jamban Sehat

Jamban Sehat Frekuensi Persentase


Tidak memiliki jamban sehat 13 13
Memiliki jamban sehat 87 87

Total 100 100

Pada tabel 4.7. menggambarkan hanya sebesar 13% keluarga yang memiliki balita 25-60
bulan yang belum memiliki jamban dengan dilengkapi dengan tanki septik dan sebanyak 87%
responden mengaku sudah memiliki dan menggunakan jamban sehat.

Tabel 4.8. Membersihkan Lingkungan Rumah

Kebiasaan Membersihkan Frekuensi Persentase


Lingkungan Rumah
Tidak Membersihkan Lingkungan 30 30
Membersihkan lingkungan 70 70

Total 100 100

Sebanyak 70% keluarga responden memiliki kebiasaan membersihkan lingkungan rumah


seperti yang ditunjukkan tabel 4.8., namun 30% keluarga responden tidak memiliki kebiasaan
membersihkan lingkungan rumah.

4.2.3 Gambaran Asupan Energi Balita


Asupan energi balita dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan cukup.
Asupan energi balita dikategorikan rendah apabila < 100% angka kecukupan gizi (AKG) dan
dikatakan cukup jika ≥ 100% AKG. Kebutuhan energi untuk balita usai 1 – 3 tahun menurut
AKG adalah 1000 kkal dan untuk usia 4 – 6 tahun sebesar 1550 kkal. Distribusi frekuensi
asupan balita dapat dilihat pada tabel 4.9. Asupan energi balita di Kota Palembang yang
dikategorikan cukup lebih banyak dibandingkan dengan asupan energi yang rendah, yaitu
berturut 75% dan 25%.
48
Tabel 4.9. Asupan Kalori

Asupan Energi Frekuensi Persentase


Rendah (<100% AKG) 25 25
Cukup (>100% AKG) 75 75

Total 100 100

4.2.4 Gambaran Asupan Protein Balita


Pada penelitian ini asupan protein balita dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah dan cukup.
Kategori asupan protein rendah apabila < 100% dari asupan protein menurut AKG dan
kategori asupan cukup apabila ≥ 100% dari asupan protein menurut AKG. Kebutuhan protein
untuk balita usai 1 – 3 tahun adalah 25 gram dan untuk usia 4 – 6 tahun sebesar 39 gram.
Analisis univariat variabel asupan protein balita disajikan di tabel 4.10 Asupan protein balita
di Kota Palembang sebagian besar cukup, yaitu sebanyak 53% balita dan sisanya 47% adalah
balita dengan asupan protein yang rendah.
Tabel 4.10. Asupan Protein

Asupan Protein Frekuensi Persentase


Rendah (<100% AKG) 47 47
Cukup (>100% AKG) 53 53

Total 100% 100%

4.2.5 Gambaran Status Penyakit Infeksi


Status penyakit infeksi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu tidak sakit dan
sakit. Balita dikategorikan tidak sakit jika dalam satu bulan terakhir tidak mengalami sakit
ISPA dan/atau diare dan dikategorikan sakit jika dalam satu bulan terakhir mengalami sakit
ISPA dan/atau diare. Distribusi frekuensi status penyakit infeksi dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11. Status Penyakit Infeksi

Status Penyakit Infeksi Frekuensi Persentase


Sakit 52 52
Tidak sakit 48 48

Total 100 100

49
Tabel 4.11. menunjukkan bahwa sebanyak 52% balita mengalami sakit dalam 1 bulan terakhir
dan hanya 48% balita yang tidak sakit. Jenis penyakit yang banyak dialami sampel di
antaranya demam, batuk, pilek, dan diare.

4.2.6 Gambaran Pemberian ASI Eksklusif


Distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua
kategori yaitu tidak ASI eksklusif dan ASI eksklusif. Balita dapat dikatakan diberi ASI
Eksklusif jika balita mulai menerima makanan atau minuman tambahan selain ASI setelah
usia 6 bulan dan dikategorikan tidak diberi ASI Eksklusif jika balita sudah menerima
makanan atau minuman tambahan selain ASI sebelum usia 6 bulan. Analisis univariat untuk
variabel pemberian ASI Eksklusif dapat dilihat pada tabel 4.12

Tabel 4.12. Gambaran ASI Eksklusif

ASI Eksklusif Frekuensi Persentase


Tidak ASI eksklusif 22 22
ASI eksklusif 78 78

Total 100 100

Berdasarkan tabel 4.12, dapat diketahui bahwa didapatkan balita tidak ASI eksklusif sebanyak
22% dan sisanya 78% balita yang mendapatkan ASI Eksklusif.

4.2.7 Gambaran Status Imunisasi


Status imunisasi balita dilihat dari kelengkapan imunisasi yang didapat oleh balita. Dalam hal
ini, status imunisasi balita dibagi menjadi dua kategori yaitu status imunisasi tidak lengkap
dan lengkap. Distribusi frekuensi status imunisasi balita dapat dilihat pada tabel 4.13.

Tabel 4.13. Gambaran Status Imunisasi

Imunisasi lengkap Frekuensi Persentase


Tidak Imunisasi lengkap 16 16
Imunisasi lengkap 84 84

Total 100 100

50
Tabel 4.13. memperlihatkan distribusi frekuensi status imunisasi balita, sebesar 84% balita
memiliki status imunisasi yang lengkap sedangkan sisanya yaitu 16% balita tidak lengkap
status imunisasinya.

4.2.8 Gambaran Usia Balita


Distribusi frekuensi usia balita dapat dilihat pada tabel 4.14.
Tabel 4.14. Gambaran Usia Balita

Usia Frekuensi Persentase


25-36 bulan 35 35
37-48 bulan 42 42
49-60 bulan 23 23

Total 100 100

Berdasarkan tabel tersebut sebagian besar responden adalah balita berusia 37-48 bulan yaitu
sebanyak 42%, 35% balita berusia 25-36 bulan, dan sisanya 23% balita berusia 49 – 60 bulan.

4.2.10 Gambaran Jenis Kelamin Balita


Distribusi frekuensi jenis kelamin balita dapat dilihat pada tabel 5.11. Berdasarkan tabel
tersebut sebagian besar responden adalah balita laki-laki yaitu sebanyak 54% dan sisanya
46% balita perempuan.

Tabel 4.15. Gambaran Jenis Kelamin Balita

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase


Perempuan 46 46
Laki-laki 54 54

Total 100 100

4.2.11 Gambaran Berat Lahir Balita


Berat lahir balita dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu: bayi berat lahir rendah
(BBLR) dan berat lahir normal. Berat lahir bayi dikatakan rendah apabila < 2500 gram dan
normal jika ≥ 2500 gram. Distribusi frekuensi berat lahir balita dapat dilihat pada tabel 4.16.

51
Tabel 4.16. Gambaran Berat Lahir Balita

Berat Lahir Frekuensi Persentase


BBLR 18 18
Normal 82 82

Total 100 100

4.2.11 Gambaran Pendidkan Orang Tua


Gambaran pendidikan orang tua balita di Kota Palembang yang diklasifikasikan menjadi 3,
yaitu pendidikan rendah, menengah, dan tinggi. Pendidikan orangtua dikatakan rendah
apabila pendidikan terakhir adalah lulus SMP atau dibawahnya, sedangkan dikatakan rendah
apabila tamat SMA, serta tinggi apabila pendidikan terakhir orangtua adalah lulus perguruan
tinggi. Tabel 4.17 dan tabel 4.18 menunjukkan distribusi frekuensi pendidikan ibu dan ayah
responden berturut-turut.

Tabel 4.17 Gambaran Pendidikan Ibu


Pendidikan Ibu Frekuensi Persentase
Tingkat Pendidikan rendah (<SMP) 19 19
Tingkat Pendidikan menengah (Tamat 46 46
SMA)
Tingkat Pendidikan Tinggi (Perguruan 35 35
tinggi)
Total 100 100

Tabel 4.18 Gambaran Pendidikan Ayah

Pendidikan Ayah Frekuensi Persentase


Tingkat Pendidikan rendah (<SMP) 16 16
Tingkat Pendidikan menengah (Tamat 39 39
SMA)
Tingkat Pendidikan Tinggi (Perguruan 45 45
tinggi)
Total 100 100

Berdasarkan tabel 5.15 dapat diketahui bahwa sebanyak 19% ibu responden berpendidikan
rendah 46% berpendidikan menengah, dan sisanya 35% ibu berpendidikan tinggi. Sedangkan
pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa sebagian besar ayah responden berpendidikan menengah

52
yaitu 39% ayah dengan pendidikan rendah sebesar 16%, serta yang berpendidikan tinggi
sebesar 45%.

4.2.12 Gambaran Pekerjaan Orang Tua


Gambaran pekerjaan orang Ayah balita di Kota Palembang yang diklasifikasikan menjadi 6,
yaitu: tidak bekerja, sekolah, jasa (buruh cuci, ojek, supir, buruh bangunan),
PNS/TNI/POLRI, pegawai swasta, dan dagang/wiraswasta. Gambaran Pekerjaan Ibu
diklasifikasikan menjadi dua, yakni bekerja dan tidak bekerja. Distribusi frekuensi pekerjaan
ibu dapat dilihat pada tabel 4.19 dan pekerjaan ayah pada tabel 4.20.

Tabel 4.19. Gambaran Pekerjaan Ibu

Pekerjaan Ibu Frekuensi Persentase


Tidak bekerja 51 51
Bekerja 49 49

Total 100 100

Tabel 4.20. Gambaran Pekerjaan Kepala Keluarga

Pekerjaan Ayah Frekuensi Persentase


Tidak Bekerja 0 0
Pelajar 3 3
Jasa(Ojek, Buruh, Sopir, Bangunan) 26 26
PNS/TNI/POLRI/BUMN 24 24
Pegawai Swasta 29 29
Pedagang 18 18

Total 100 100

Hasil analisis univariat pada tabel 4.19. menunjukkan distribusi frekuensi pekerjaan ibu balita
yaitu sebanyak 52% ibu balita tidak bekerja, dan 49% ibu bekerja. Sedangkan pada tabel 4.20.
menunjukkan distribusi frekuensi pekerjaan ayah balita yaitu 3% bekerja di Sekolah, 26%
bekerja dibidang jasa (ojek, supir, buruh bangunan), 24% bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI,
29% bekerja sebagai pegawai swasta, 18% berdagang/wiraswasta.

4.2.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga

53
Gambaran status ekonomi keluarga balita di Kota Palembang dibagi menjadi 5 kuintil. Tabel
5.21 memperlihatkan distribusi frekuensi status ekonomi keluarga dimana terdapat 21,2%
status ekonomi keluarga berada pada kuintil 1 (≤ Rp. 265.416), 20,2% pada kuintil 2 (Rp.
265.417 – Rp. 391.250), 8,7% pada kuintil 3 (Rp. 391.251 – Rp. 469.285), 12,5% pada kuintil
4 (Rp. 469.286 – Rp. 560.000), dan sisianya 37,5% pada kuintil 5 (> Rp. 560.000).

Status ekonomi keluarga dalam penelitian ini diukur berdasarkan pengeluaran pangan yang
kemudian dikategorikan menjadi dua untuk analisis bivariat. Status ekonomi keluarga
responden dikatakan rendah apabila berada pada kuintil 1, 2, dan 3, dikatakan tinggi apabila
berada pada kuintil 4 dan 5. Tabel 5.22 memperlihatkan distribusi frekuensi status ekonomi
keluarga responden.

Tabel 4.21. Gambaran Status Ekonomi Keluarga

Status Ekonomi Frekuensi Persentase


Kuintil 1,2,3 52 52
Kuintil 4,5 48 48

Total 100 100

Berdasarkan tabel 4.21 dapat dilihat bahwa terdapat jumlah yang hamper sama antara
keluarga dengan status ekonomi rendah dan tinggi, yaitu masing-masing 52% dan 48%.

4.3 Analisis Bivariat


4.3.1 Hubungan antara Asupan Energi dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Berdasarkan hasil bivariat yang disajikan pada tabel 4.22, diketahui bahwa balita dengan
Asupan energi rendah dan status gizi stunting didapatkan sebanyak 32%, dan balita dengan
asupan energi cukup dan stunting sebanyak 67.9%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan kejadian stunting pada balita di Kota
Palembang, hal ini dapat dilihat dari nilai p = 0.200 (p > 0.05).

Tabel 4.22. Hubungan antara Asupan Energi dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur.

Asupan Energi Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % N % N % CI)

54
Rendah (<100% AKG) 9 32% 15 20% 24 24%

Cukup (>100% AKG) 19 67.9% 57 80% 76 76% 1.895 0.200

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.2 Hubungan antara Asupan Protein dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Tabel 4.23. menunjukkan adanya kecenderungan balita yang asupan proteinnya rendah
menjadi stunting lebih tinggi, yaitu sebesar 82.1% dibandingkan dengan dengan balita yang
asupan proteinnya cukup, yaitu hanya sebanyak 17.9%. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting pada balita
di Kota Palembang, hal ini dapat dilihat dari nilai p = 0,000 (p < 0,05). Selain itu, diperoleh
juga nilai OR (Odds Ratio) sebesar 9.200 (95% CI: 1,569 – 21,26), hal tersebut menunjukkan
bahwa balita yang asupan proteinnya rendah memiliki peluang 9.200 kali menjadi stunting
dibandingkan dengan balita yang asupan proteinnya cukup.

Tabel 4.23. Hubungan antara Asupan Protein dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur.

Asupan Protein Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Rendah (<100% AKG) 23 82.1% 24 33% 47 47% 9.200 0.000

Cukup (>100% AKG) 5 17.9% 48 66.7% 53 53%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.3 Hubungan antara Status Penyakit Infeksi dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur pada Balita di Kota Palembang
Pada tabel 4.24 menunjukkan proporsi balita yang pernah menderita penyakit infeksi dalam
satu bulan terakhir memiliki status gizi stunting lebih banyak yaitu sebesar 85.7%
dibandingkan dengan balita yang tidak menderita penyakit infeksi yaitu sebesar 14.3%.
Diperoleh nilai p = 0,000 (p ><0,05) dari hasil uji statistik, dengan demikian terdapat
hubungan yang bermakna antara status penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada balita
di Kota Palembang dengan kecendrungan 9.429 kali.

Tabel 4.24. Hubungan antara Status Penyakit Infeksi dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur

55
Penyakit Infeksi Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Penyakit Infeksi 24 85.7% 28 38.9% 56 56% 9.429 0.000

Tidak Penyakit Infeksi 4 14.3% 44 61.1% 48 48%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.4 Hubungan antara Intervensi Germas Terhadap Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Intervensi GERMAS dikota Palembang meliputi 7 kegiatan GERMAS yakni melakukan
aktivitas fisik, mengkonsumsi buah dan sayur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alcohol,
memeriksa kesehatan secara rutin, memiliki dan menggunakan jamban sehat, dan
membersihkan lingkungan rumah. Hubungan antara intervensi GERMAS dan Status gizi
TB/U dijelaskan dalam tabel 4.25. sampai tabel 4.31.

Tabel 4.25. Hubungan antara Intervensi Germas Melakukan Aktivitas Fisik Terhadap Status
Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Melakukan 6 21.4% 20 27.8% 26 26% 0.709 0.516
Aktivitas Fisik
Melakukan Aktivitas 22 78.6% 52 72.2% 74 74%
Fisik
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Pada tabel 4.25. didapatkan balita stunting dengan keluarga tidak melakukan aktivitas fisik
lebih sedikit dibandingkan dengan kaluarga yang melakukan aktivitas fisik, yakni sebanyak
21.4% dibandingkan dengan 78.6%. Pada uji statistic didapatkan p value sebesar 0.0516 (P >
0.05) sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara melakukan
aktivitas fisik dan terjadinya stunting di Kota Palembang.

Tabel 4.26. Hubungan antara Intervensi Germas Mengkonsumsi Buah dan Sayur Terhadap
Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Konsumsi buah dan 16 57.1% 18 25% 34 34% 4.000 0.002
sayur tidak cukup
Cukup konsumsi buah 12 42.9% 54 75% 66 66%

56
dan sayur
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Seperti yang terlihat pada tabel 4.26. balita yang mengkonsumsi cukup buah dan sayur lebih
sedikit menderita stunting dibandingkan dengan balita yang tidak mengkonsumsi buah dan
sayur cukup. Pada ui statistic dengan Chi-square didapatkan nilai p sebesar 0.002 (P<0.05)
dimana dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara mengkonsumsi
buah dan syaur yang cukup terhadap stunting, dengan nilai OR sebesar 4.000.

Tabel 4.27. Hubungan antara Intervensi Germas Tidak Merokok Terhadap Status Gizi Tinggi
Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Merokok 23 82.1% 41 56.9% 64 64% 3.478 0.018

Tidak Merokok 5 17.9% 31 43.1% 36 36%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Didapatkan kecendrungan sebesar 6.218 pada keluarga responden yang merokok untuk
memiliki balia stunting. Pada tabel 4.27. didapatkan sebanyak 82.1% balita stunting memiliki
riwayat keluarga perokok lebih banyak dibandingkan yang tidak perokok sebanyakan 17.9%.
berdasarkan ui statistic didapatkan nilai p value sebesar 0.018 (P<0.05) dimana dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perokok dan kejadian stunting
di Kota Palembang.

Tabel 4.28. Hubungan antara Intervensi Germas Tidak Mengkonsumsi Alkohol Terhadap
Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P


Stunting Normal (95% Value
N % n % N % CI)
Mengkonsumsi Alkohol 16 57.1% 7 9.7% 23 23% 12.381 0.000

Tidak Mengkonsumsi 12 42.9% 65 90.3% 77 77%


Alkohol
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Pada tabel 4.28. didapatkan proporsi keluarga yang mengkonsumsi alcohol dan memiliki
balita stunting sebesar 57.1% lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak
mengkonsumsi alcohol yakni 42.9%. Pada uji statistic didapatkan nilan p sebesar 0.000 (p <
0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan
mengkonsumsi alcohol dan teradinya stunting di Kota Palembang, dan uga didapatkan nilai

57
Odd Ratio sebesar 8.020 dimana dapat diartikan keluarga yang memiliki kebiasaan
mengkonsumsi alcohol memiliki kecendrungan untuk memiliki balita stunting 8,020 kali
lebih besar.

Tabel 4.29. Hubungan antara Intervensi Germas Memeriksa Kesehatan Secara Rutin Terhadap
Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Rutin Memeriksa 16 57.1% 23 31.9% 39 39% 2.481 0.020
Kesehatan
Rutin Memeriksa 12 42.9% 49 68.1% 61 61%
Kesehatan
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Seperti yang ditampilkan pada tabel 4.29. dapat dilihat bahwa proporsi responden yang tida
memiliki kebiasaan memeriksakan kesehatan secara rutin dan mengalami stunting lebih besar
dibandingkan dengan keluarga yang memiliki kebiasaan memeriksakan kesehatan secara rutin
yakni sebesar 57.1% dibandingkan dengan 42.9%. Pada uji statistik didapatkan nilai p sebesar
0.020 (p<0.05) sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara
Intervensi Germas memeriksakan kesehatan secara rutin dengan terjadinya stunting di Kota
Palembang.

Tabel 4.30. Hubungan antara Intervensi Germas Memiliki Jamban Sehat Terhadap Status Gizi
Tinggi Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Memiliki Jamban 10 35.7% 3 4.2% 13 13% 12.778 0.000
Sehat
Memiliki Jamban Sehat 18 64.3% 69 95.8% 87 87%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Tabel 4.30. Menunjukkan proporsi reponden yang tidak memiliki jamban sehat dan stunting
sebesar 35.7% dan responden yang memiliki jamban sehat dan menderita stunting sebesar
64.3%. Pada ui statistic dengan chi-square didapatkan p-value sebesar 0.000 dan odd ratio
sebesar 12.778 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara
memiliki jamban sehat dan stunting di kota Palembang dengan nilai kecendrungan 12.778 kali
lebih besar untuk terjadi stunting pada keluarga yang tidak memiliki jamban sehat.

58
Tabel 4.31. Hubungan antara Intervensi Germas Membersihkan Lingkungan Rumah Terhadap
Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Intervensi Germas Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Membersihkan 18 64.3% 12 16.7% 30 30% 9.000 0.000
Lingkungan Rumah
Membersihkan 10 36.7% 60 83.3% 70 70%
Lingkungan Rumah
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Pada tabel 4.31. menunjukkan proporsi responden yang tidak membersihkan lingkungan
lingkungan rumah dan menderita stunting sebesar 64.3% lebih besar dibandingkan dengan
responden yang membersihkan lingkungan rumah yakni sebesar 36.7%. Hasil uji statistic
dengan chi-square didapatkan nilai p sebesar 0.000 dan OR 9.000 yang berarti terdapat
hubungan yang signifikan antara kebiasaan membersihkan lingkungan dan status gizi stunting
dengan kecendrungan 9 kali.

4.3.5 Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur pada Balita di Kota Palembang
Pada tabel 4.33. memperlihatkan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dan memiliki
status gizi stunting sebanyak 39.3% berbanding dengan balita yang diberikan ASI Eksklusif
dan tidak stunting sebesar 84.7%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 3.558 dan p = 0,009 (p <
0,05) dari hasil uji statistik, dengan demikian terdapat hubungan yang bermakna antara
pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.

Tabel 4.33. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur
ASI Eksklusif Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak ASI Eksklusif 11 39.3% 11 15.3% 22 22% 3.558 0.009

ASI Eksklusif 17 60.7% 61 84.7% 78 78%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.6 Hubungan antara Status Imunisasi dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Pada tabel 4.34. memperlihatkan proporsi balita yang tidak diberi imunisasi dasar lengkap
memiliki status gizi stunting sebesar 35.7% dibandingkan dengan balita yang diberi imunisasi
59
dasar lengkap yaitu sebesar 64.3%. Diperoleh nilai p = 0.002 (p < 0,05) dari hasil uji statistik,
dengan demikian terdapat hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian
stunting pada balita di Kota Palembang.

Tabel 4.34. Hubungan antara Status Imunisasi dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
pada Balita

Status Imunisasi Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % N % N % CI)
Imunisasi Tidak 10 35.7% 6 8.3% 16 16% 6.111 0.002
Lengkap
Imunisasi Lengkap 18 64.3% 66 91.7% 84 84%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.7 Hubungan antara Usia dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur pada
Balita di Kota Palembang
Pada tabel 4.35 memperlihatkan proporsi balita usia 25 – 36 bulan dengan status gizi stunting
sebesar39.3%, sedangkan balita usia 37 – 48 bulan 50%, dan pada balita usia 49 – 60 bulang
terdapat balita stunting sebanyak 10.7%. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p = 0,187 (p
> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara usia
dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang

Tabel 4.35. Hubungan antara Usia dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
Usia Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % N % N % CI)
25-36 bulan 11 39.3% 24 33.3% 35 35% 0.187

37-48 bulan 14 50.0% 28 38.9% 42 42%

49-60 bulan 3 10.7% 20 27.8% 23 23%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.8 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
pada Balita di Kota Palembang
Pada tabel 4.36 memperlihatkan proporsi balita laki-laki dengan status gizi stunting lebih
banyak yaitu sebesar 71.4% dibandingkan dengan balita perempuan yaitu sebesar 28.6%.
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p = 0,044 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian stunting pada balita
60
di Kota Palembang dengan kecendrungan balita perempuan memiliki risiko 0.358 kali untuk
terjadi stunting dibandingkan dengan balita laki-laki.

Tabel 4.36. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
Jenis Kelamin Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Perempuan 8 28.6% 38 52.8% 46 46% 0.358 0.044

Laki-laki 20 71.4% 34 47.2% 54 54%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.9 Hubungan antara Berat Lahir dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
pada Balita di Kota Palembang
Hasil Analisis hubungan antara berat lahir dengan status gizi TB/U (tabel 4.37.) didapatkan
bahwa proporsi balita dengan berat lahir rendah memiliki status gizi stunting yaitu sebesar
32.1% dibandingkan dengan balita yang berat lahirnya normal yaitu hanya sebesar 53.6%.

Tabel 4.37. Hubungan antara Berat Lahir dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Berat Badan Lahir Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Tahu 4 14.3% 7 9.7% 11 11%

BBLR 9 32.1% 9 12.5% 18 18% - 0.058

Normal 15 53.6% 56 77.8% 71 71%

Jumlah 24 100% 65 100% 100 100%

Tabel 4.37 memperlihatkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.058 (p > 0,05), dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir
dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.

4.3.10 Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Tabel 4.38 menunjukkan bahwa proporsi ibu dengan pendidikan rendah memiliki balita
stunting sebesar 39.3%, sedangkan ibu dengan pendidikan menengah sebesar 53.6%, serta ibu
dengan pendidikan tinggi memiliki balita stunting hanya sebesar 7.1%.

Tabel 4.38. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur
61
Pendidikan Ibu Status Gizi (TB/U) Total OR P Value
Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tingkat Pendidikan 11 39.3% 8 11.1% 19 19% 0.000
Rendah (< SMP)
Tingkat Pendidikan 15 53.6% 31 43.1% 46 46% -
Menengah (Tamat SMA)
Tingkat Pendidikan 2 7.1% 33 45.8% 35 35%
Tinggi (PT)
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Tabel 4.38 memperlihatkan hasil uji statistik menghasilkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), hal
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan
kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.

4.3.11 Hubungan antara Pendidikan Ayah dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Berdasarkan tabel 4.39 memperlihatkan bahwa proporsi ayah dengan pendidikan rendah
memiliki balita stunting sebesar 50%, sedangkan ayah dengan pendidikan menengah 35.7%,
serta ayah berpendidikan tinggi memiliki balita stunting hanya sebesar 14.3%.

Tabel 4.39. Hubungan antara Pendidikan Ayah dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur

Pendidikan Ayah Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tingkat Pendidikan 14 50% 2 2.8% 16 16% - 0.000
Rendah (< SMP)
Tingkat Pendidikan 10 35.7% 29 40.3% 39 39%
Menengah (Tamat SMA)
Tingkat Pendidikan 4 14.3% 41 56.9% 45 45%
Tinggi (PT)
Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Tabel 4.39 memperlihatkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,011 (p < 0,05), dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan
kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.

4.3.12 Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang

62
Pada tabel 4.40 memperlihatkan proporsi ibu yang tidak bekerja memiliki anak dengan status
gizi stunting lebih banyak yaitu sebesar 75% dibandingkan dengan ibu yang bekerja yaitu
sebesar 25%. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p = 0,003 (p < 0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian
stunting pada balita di Kota Palembang.

Tabel 4.40. ubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Pekerjaan Ibu Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Tidak Bekerja 21 75% 29 40.3% 50 50% - 0.003

Bekerja 7 25% 43 59.7% 50 50%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

4.3.13 Hubungan antara Pekerjaan Ayah dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut
Umur pada Balita di Kota Palembang
Berdasarkan tabel 4.41 memperlihatkan bahwa proporsi ayah yang bekerja jasa memiliki
balita stunting sebesar 64.3%, ayah bekerja sebagai pegawai swasta sebesar 10.7% , serta
ayah bekerja sebagai pegawai negeri memiliki balita stunting sebesar 10.7% (2).

Tabel 4.41. Hubungan antara Pekerjaan Ayah dengan Status Gizi Tinggi Badan Menurut Umur

Asupan Energi Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Pelajar 0 0% 3 4.2% 3 3% - 0.000

Jasa (Ojek, Buruh, Sopir, 18 64.3% 8 11.1% 26 26%


Bangunan)
PNS/TNI/POLRI/BUMN 3 10.7% 21 29.2% 24 24%

Pegawai Swasta 3 10.7% 26 36.1% 29 29%

Pedagang 4 14.3% 14 19.4% 18 18%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Tabel 4.41. memperlihatkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05), dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan kejadian
stunting pada balita di Kota Palembang.

63
4.3.14 Hubungan antara Status Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur pada Balita di Kota Palembang
Tabel 4.42. memperlihatkan bahwa kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih
banyak ditemukan pada keluarga dengan status ekonomi rendah yaitu sebesar 85.7%
sedangkan hanya 14.3% balita stunting ditemukan pada keluarga dengan status ekonomi
tinggi.

Tabel 4.42. Hubungan antara Status Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Tinggi Badan
Menurut Umur

Status Ekonomi Status Gizi (TB/U) Total OR P Value


Stunting Normal (95%
N % n % N % CI)
Kuintil 1,2,3 24 85.7% 15 20.8% 39 39% 6.856 0.000

Kuintil 4,5 4 14.3% 57 79.2% 61 61%

Jumlah 28 100% 72 100% 100 100%

Berdasarkan hasil uji statistik yang disajikan pada tabel 4.42 diperoleh nilai p = 0,000 (p <
0,05) ,maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status
ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang. Selain itu,
diperoleh juga nilai OR (Odds Ratio) sebesar 6,353 (95% CI: 1,974 – 20,451), hal tersebut
menunjukkan bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah memiliki peluang 6,856 kali
balitanya menjadi stunting dibandingkan dengan keluarga berstatus ekonomi tinggi.

64
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Status Gizi Stunting
Balita Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada dan
severe stunting didefinisikan kurang dari minus 3 standar deviasi (-3 SD).44 Hasil analisis
univariat menunjukkan bahwa 28% balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang memiliki
status gizi pendek dan sangat pendek serta sisanya yaitu sebanyak 72% normal (-2 s.d. 2 SD)..
Hal tersebut menunjukkan bahwa stunting pada balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena berada diatas batas yang telah ditetapkan
oleh WHO yaitu sebesar 20%. Tidak hanya di daerah tempat penelitian ini, ternyata stunting
adalah masalah kesehatan masyarakat utama di hampir semua provinsi di Indonesia, dan
peringatan telah diberikan oleh Presiden RI, yang tertantang untuk mengurangi stunting di
Indonesia.81 Prevalensi stunting dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan
(berturut-turut sebesar 50% dan 24%) dibandingkan anak-anak berusia 0- 23 bulan. Hasil
penelitian ini jug serupa dengan hasil dari penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan mana
anak-anak berusia 24-59 bulan yang ditemukan berada pada risiko yang lebih besar yang
terhambat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk anak usia 24-59 bulan stunting bersifat
irreversible.82
5.2. Intervensi GERMAS
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu tindakan sistematis
dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan
kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pelaksanaan GERMAS harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil
dari masyarakat yang membentuk kepribadian.8
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan gerakan nasional yang
diprakarsai oleh Presiden RI melalui instruksi presiden nomor 1 tahun 2017 dalam
mengoptimalkan upaya promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan upaya kuratif-
rehabilitatif sebagai payung besar tercapainya hidup sehat,dan penurunan prevalensi
penyakit.9 Gerakan masyarakat hidup sehat yang diluncurkan pada tahun 2016 ini merupakan
kebijakan atau gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden RI yang dikemas dalam
bentuk kegiatan terpadu dan terkonsep.9

65
GERMAS merupakan salah satu Upaya intervensi terhadap stunting melalui tujuh
kegiatan germas meliputi melakukan aktivitas fisik, mengkonsumsi buah dan sayur, tidak
merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin, memiliki dan
menggunakan jamban sehat, dan membersihkan lingkungan rumah. Penerapan GERMAS
dikota Palembang memiliki hubungan yang signifikan terhadap teradinya stunting dikota
Palembang. Hal ini berhubungan dengan penyakit-penyakit infeksi pada balita yang dapat
dihubungkan dengan rendahnya higienitas, ketersediaan air bersih, pola pemenuhan konsumsi
yang basanya banyak ditemui pada kondisi masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah.
Pada analisis hubungan intervensi GERMAS melakukan aktivitas fisik di Kota
Palembang terhadap stunting tidak didapatkan hubungan yang bermakna, hal ini diduga
berhubungan dengan distribusi pekerjaan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang
sebagian bekerja dibidang jasa sebagai ojek, buruh, bangunan yang melakukan aktivitas fisik
ringan sampai berat setiap hari. Mengkonsumsi buah dan sayur merupakan salah satu kegiatan
GERMAS yang memiliki hubungan signifikan terhadap terjadinya stunting di kota
Palembang. Pemenuhan kebutuhan buah dan sayur sebanyak 300 gram perhari pada balita
dihubungkan dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas pangan balita. Keluarga yang
memiliki anggota keluarga perokok memiliki kecendrungan 6.218 kali lebih besar untuk
memiliki balita stunting. Paparan terhadap asap rokok akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit infeksi terutama ISPA. Peningkatan kemungkinan terjadinya ISPA pada
balita diakibatkan oleh terganggunya mekanisme pembersihan saluran nafas oleh silia pada
permukaan saluran nafas selain itu paparan asap rokok sendiri merupakan iritan pada saluran
pernafasan. Mengkonsumsi alkohol memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya
stunting di Kota Palembang, hal ini diduga berhubungan dengan toksisitas dan berkurangnya
produktivitas keluarga yang mengkonsumsi alcohol.
5.3. Asupan Energi Balita
Asupan energi merupakan salah satu variabel dalam penelitian ini untuk menilai
konsumsi makanan balita. Pada penelitian ini, asupan energi balita dibagi menjadi dua yaitu
asupan energi kurang (< 100% AKG) dan cukup (≥ 100% AKG). Hasil penelitian ini
menunjukkan balita yang mengasup energi adekuat sesuai kebutuhan yaitu sebesar 76%,
sebagian lagi 24% balita asupan energinya masih dibawah kebutuhan (<100% AKG). Hal ini
sejalan dengan penelitian pada balita di Maluku yang hasilnya menunjukkan sebagian besar
balita termasuk dalam kategori cukup yaitu 73,6%.83 Berdasarkan hasil bivariat terlihat bahwa
kecenderungan balita yang stunting lebih besar pada balita yang asupan energinya rendah

66
(27,8%) dibandingkan dengan yang asupan energinya cukup (17,6%). Rendahnya konsumsi
energi pada kelompok anak stunting kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya frekuensi dan jumlah pemberian makan, densitas energi yang rendah, makanan
bersifat kamba (dietary bulk), nafsu makan berkurang dan penyakit infeksi. 83 Namun, hasil uji
statistik yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan energi dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.
Penelitian yang dilakukan oleh Assis et al. dan Theron et al sejalan dengan hasil penelitian
ini, dimana tidak ditemukannya hubungan yang siginifikan antara asupan energi dengan
kejadian stunting. Studi dari Bangladesh dan Filipina menunjukkan asupan energi makanan
tidak terkait dengan pertumbuhan anak.85,86,87.
Asupan makanan bukan satu-satunya penyebab stunting, tetapi penyebabnya
multifaktorial. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kepadatan penduduk dan kemungkinan
kontaminasi makanan serta penyakit infeksi dapat berdampak pada status kesehatan anak. 86
Namun, hasil penelitian ini bertolak-belakang dengan penelitian sumatera, Kalimantan Barat,
dan Maluku yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsumsi energi
denga kejadian stunting. 83,88,89 Hal tersebut dikarenakan asupan zat gizi yang tidak adekuat,
terutama dari total energi, berhubungan dengan defisit pertumbuhan fisik di anak pra sekolah.
Ketidakbermaknaan hubungan antara asupan energi balita dengan kejadian stunting pada
penelitian ini bisa terjadi dikarenakan penggunaan metode FFQ semikuantitatif. Pada
dasarnya kegunaan metode FFQ semikuantitatif adalah untuk mengetahui kebiasaan makan,
lalu dikembangkan sehingga bisa mengetahui asupan zat gizi juga, namun hasilnya akan
cenderung berlebihan karena semua makanan yang terdapat dalam lembar FFQ seolah-olah
dikonsumsi dalam satu hari.
5.3. Asupan Protein Balita
Asupan protein balita dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah dan cukup. Kategori
asupan protein rendah apabila < 100% AKG dan kategori asupan cukup apabila ≥ 100% dari
AKG. Asupan protein pada balita di Kota Palembang sebanyak 53% telah tercukupi namun
angka balita dengan asupan protein kurang masih cukup tinggi yakni sekitar 47%. Beberapa
Hasil penelitian menunjukkan hal yang serupa dimana sebanyak 66,9% dan 72% balita
memiliki asupan protein yang baik.83,89 Hasil analisis bivariat menunjukkan ada
kecenderungan balita yang asupan proteinnya rendah menjadi stunting lebih tinggi, yaitu
sebesar 54,5% dibandingkan dengan dengan balita yang asupan proteinnya cukup. Senada
dengan penelitian ini penelitian yang dilakukan pada balita di Suku Nuaulu Kabupaten

67
Maluku Tengah menunjukkan proporsi balita pendek lebih banyak terjadi pada balita yang
asupan proteinnya kurang (73,7 %) daripada balita dengan asupan protein yang cukup. 83 Hasil
uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan
kejadian stunting pada balita di Kota Palembang, hal ini dapat dilihat dari p value 0,011 (p <
0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Stephenson menyebutkan hal yang sama dengan
penelitian ini, bahwa pada anak usia 2 – 5 tahun di Kenya dan Nigeria asupan protein yang
tidak adekuat berhubungan dengan kejadian stunting.87 Penelitian yang dilakukan oleh Fitri
berdasarkan analisis data RISKESDAS 2010 di provinsi yang berbeda, terdapat hubungan
signifikan antara konsumsi protein dengan kejadian stunting pada balita.88 Protein penting
untuk fungsi normal dari hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan demikian defisit
dalam zat gizi ini memiliki banyak efek klinis. Di sub-Sahara Afrika 38% anak stunting dan
9% wasting, walaupun etiologi dari kelainan antropometri adalah multi-faktorial, namun
beberapa anak- anak di daerah tersebut, hidup dengan diet dengan asupan protein yang tidak
memadai.85 Selain itu, terdapat bukti kumulatif dari studi observasional pada manusia dan
studi intervensi pada hewan sangat mendukung gagasan bahwa asupan protein dibawah
batasan normal selama waktu pertumbuhan statural terjadi, akibatnya adalah stunting.87
5.4. Status Penyakit Infeksi Balita
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung status gizi balita
disamping konsumsi makanan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 52% balita yang
menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir dan 48% sisanya tidak sakit. Hal serupa
juga terdapat pada penelitian Masithah, Soekirman, & Martianto dimana sebagian besar balita
menderita penyakit infeksi. Analisis bivariat memperlihatkan proporsi balita yang memiliki
status gizi stunting lebih banyak menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir (22,1%)
dibandingkan dengan yang tidak menderita penyakit infeksi (19,4%). Uji statistik yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara peyakit infeksi
(Diare dan ISPA) dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang.
Anak balita yang menderita diare memiliki hubungan positif dengan indeks status gizi
tinggi badan menurut umur (TB/U).90 Penelitian lain di Libya juga menyatakan bahwa
penyakit diare menjadi faktor kejadian stunting pada anak dibawah 5 tahun. Penelitian yang
dilakukan oleh Hien dan Kam(2008) dan Janevic et al. (2010) menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara penyakit diare dan batuk dengan kejadiam stunting pada balita di
Nghean, Vietnam dan di Roma.

68
Penyakit infeksi menunjukan hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U
pada balita (Neldawati, 2006; Astari, Nasoetion, dan Dwiriani, 2005). Hasil penelitian ini
memang tidak sesuai dengan teori yang sebenarnya, yang menyatakan bahwa terdapat
interaksi bolak-balik antara status gizi dengan penyakit infeksi. Malnutrisi dapat
meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi, yang
mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan terhadap penyakitnya
rendah, jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya
untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition.95 Hasil
penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi
dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang. Hal tersebut bisa terjadi karena
penyakit infeksi yang ditanyakan hanya dalam jangka waktu satu bulan terakhir, yang belum
tentu bisa merepresentasikan penyakit infeksi yang telah dialami balita selama hidupnya.
Stunting sendiri merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah
yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan.
5.5. Pemberian ASI Eksklusif Balita
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6
bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan
mineral tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertamapemberian ASI eksklusif, bayi tidak
diberikan makanan dan minuman lain (Kemenkes, 2010). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebanyak 22% balita di Kota Palembang tidak mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan
sisanya 78% balita diberi ASI Eksklusif.
Berdasarkan hasil bivariat memperlihatkan proporsi balita yang tidak mendapatkan
ASI eksklusif memiliki status gizi stunting cukup tinggi yaitu sebesar 39.3% secara
keseluruhan. Diperoleh nilai p < 0,05 dari hasil uji statistik, dengan demikian terdapat
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada
balita di Kota Palembang. Penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Hien
dan Kam yang menyatakan risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak
diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI Eksklusif
(≥ 6 bulan). Pada dasarnya, sebagian besar bayi di negara yang berpenghasilan rendah,
membutuhkan ASI untuk pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat bertahan hidup
karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah didapat. Menurut
Henningham & McGregor dalam Gibney tahun 2008, ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu
meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit, berdasarkan penelitian pemberian ASI dapat

69
menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus
respiratorius, serta infeksi telinga.
Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap status gizi anak.
Kurangnya pemberian ASI dan pemberian MP-ASI secara dini (sebelum usia anak 6 bulan)
dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting pada masa awal kehidupan.

5.6. Usia Balita


Pada penelitian ini terdapat tiga pengkatergorian usia, yaitu 25 – 36, 37 – 48, dan 49 –
60 bulan. Terdapat 35% balita dengan usia 25 – 36 bulan, 42% balita dengan usia 37 – 48
bulan, serta 23% sisanya adalah balita dengan usia 49 – 60 bulan. Berdasarkan tabel 4.35
kecenderungan balita stunting banyak pada balita usia 37 - 48 bulan yaitu sebesar 50%. Hasil
penelitian ini hampir mirip dengan data RISKESDAS 2010 dimana prevalensi stunting lebih
tinggi pada usia 24 – 35 bulan (41,4%), diikuti oleh usia 36 – 47 bulan (38,3%) dan sisanya
30,9% balita stunting terdapat pada usia ≥ 48 bulan. Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel
4.35 didapatkan nilai p > 0,05, hal tersebut menandakan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang. Menurut
WHO (1986) dalam Gibson (2005), prevalensi stunting tertinggi terdapat pada usia 2 – 3
tahun. Berbeda dengan hasil penelitian Ramli, et al. (2009) pada balita di Maluku Utara dan
Semba et al., (2008) pada balita di Indonesia dan Bangladesh yang menyatakan bahwa
bertambahnya usia memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada anak.
Prevalensi stunting mulai naik pada usi 3 bulan dan proses stunting akan melambat pada usia
3 tahun. Hal tersebut menandakan semakin bertambahnya usia semakin tinggi juga risiko
stunting pada anak (Ramli, et al., 2009). Untuk anak-anak pada kelompok umur dibawah 2-3
tahun, tinggi badan menurut usia (TB/U) mencerminkan kelanjutan proses dari“gagal
tumbuh” atau yang disebut stunting, sedangkan untuk kelompok anak yang lebih tua, status
gizi indeks TB/U mencerminkan kondisi “telah gagal tumbuh” atau sudah stunting (de Onis,
2001).
5.7. Jenis Kelamin Balita
Pada penelitian ini terdapat 46% balita perempuan dan 54% balita laki-laki. Berdasarkan hasil
analisis bivariat (tabel 4.36) memperlihatkan proporsi balita laki-laki dengan status gizi
stunting lebih banyak yaitu sebesar 71.4% dibandingkan dengan balita perempuan yaitu
sebesar 28.6%. Hal tersebut senada dengan penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi stunting (Ramli,

70
et al., 2009; Lesiapeto, et al., 2010; Medhin, 2010). Menurut Lee (2008), laki- laki 2 kali lebih
tinggi dibanding perempuan untuk menjadi stunting. Prevalensi stunting lebih tinggi di anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan pada penelitian ini, hal tersebut mirip dengan hasil
penelitian lain. Menurut Ramli, et al. (2009), bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam
jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara berkembang termasuk
Indonesia. Penyebab ini ketidaksesuain tidak diperlihatkan secara jelas dalam literatur, tetapi
ada kepercayaan bahwa anak laki-laki lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan
dibandingkan anak perempuan (Hien dan Kam, 2008).

5.8. Berat Lahir Balita


Berat lahir balita pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu bayi berat
lahir rendah (BBLR) dan berat lahir normal. Berat lahir bayi dikategorikan BBLR apabila <
2500 gram dan normal apabila ≥ 2500 gram. Berdasarkan hasil univariat mayoritas balita di
Kota Palembang lahir dengan berat badan normal yaitu antara 71-82% dan sisanya yang
BBLR hanya 11%. Jika dibandingkan dengan angka nasional, prevalesni BBLR di Indonesia
lebih tinggi daripada hasil penelitian ini, yaitu sebesar 11,1%, begitu juga dengan prevalensi
BBLR di Jawa Barat yaitu sebesar 10,9% (Kemenkes, 2010). Pada tabel 5.31 memperlihatkan
hasil analisis bivariat, yaitu proporsi proporsi balita dengan berat lahir rendah lebih banyak
yang memiliki status gizi stunting yaitu sebesar 75% dibandingkan dengan balita yang berat
lahirnya normal hanya sebesar 19% . Hal serupa juga terdapat pada penelitian Aerts, Drachler,
& Giugliani (2004) pada balita di Brazil, yang menunjukkan bahwa kecenderungan balita
stunting lebih banyak pada balita dengan berat lahir < 2500 gram (18,8%) dibandingkan
dengan berat lahir ≥ 2500 gram (5,4%). Dari hasil uji statistik yang telah dilakukan diperoleh
nilai p = 0,058 (p > 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kota
Palembang. Berbeda halnya penelitian ini, pada penelitian sebelumnya berat lahir rendah
diketahui berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian Nojomi, Tehrani, dan Abadi
(2004) dan Semba, et al. (2008) memperlihatkan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu
adanya hubungan antara berat lahir rendah (< 2500 gram) dengan kejadian stunting pada
balita berturut-turut di Iran dan Indonesia. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat
lahir rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah memiliki efek
yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, efek dari berat lahir
rendah terhadap kesehatan anak adalah faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup

71
anak (Taguri et al., 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Medhin (2010) juga
menunjukkan berat lahir merupakan prediktor yang signifikan dalam kejadian stunting pada
bayi usia 12 bulan. Analsisi data sekunder yang dilakukan oleh Fitri (2012) juga menunjukkan
hal yang berbeda, beratlahir merupakan faktor dominan terjadinya stunting pada balita usia 12
– 59 bulan di Sumatera. Balita dengan berat lahir < 2500 gram memiliki risiko menjadi
stunting 5,6 kali dibandingkan dengan balita dengan berat lahir ≥ 2500 gram (Hien dan Kam,
2008). Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih cenderung
mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan
meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju (Henningham & McGregor
dalam Gibney, 2008).

5.9. Pendidikan Ibu


Pada penelitian ini, pendidikan ibu di Kota Palembang dikategorikan menjadi tiga, yaitu
rendah apabila ibu menamatkan pendidikannya hingga SMP (≤ SMP), menengah apabila
mendidikan terakhit ibu adalah SMA, dan dikatakan tinggi apabila pendidikan terakhir ibu
adalah perguruan tinggi. Berdasarkan hasil univariat, diketahui bahwa terdapat 19% ibu yang
berpendidikan rendah, 46% berpendidikan menengah, dan sisanya 35% ibu balita di Kota
Palembang adalah ibu dengan pendidikan tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian di
Kalimantan dimana lebih banyak ibu yang berpendidikan ≤ SMP (80,5%) dan pada penelitian
di Maluku tengah hanya sebanyak 1,5% ibu yang menamatkan pendidikan sampai SMA.89
Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kecenderungan kejadian stunting
pada balita lebih banyak terjadi pada ibuyang berpendidikan rendah yakni sebesar 38,9%.
Terdapat juga 14% ibu dengan pendidikan menengah serta 5,6% ibu berpendidikan tinggi
yang memiliki balita stunting. Hal tersebut senada dengan hasil penelitian pada balita di
Indonesia dan Bangladesh yang dilakukan oleh Semba et al. (2008) dimana kecenderungan
balita stunting lebih tinggi pada ibu yang berpendidikan rendah (≤ 9 tahun). Terdapat
hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada balita di Kota
Palembang, berdasarkan dari uji statistik diperoleh nilai p = 0,004 (p < 0,05). Penelitian
Taguri, et al. pada balita di Libya pada tahun 2007 juga menyatakan hal yang sama, yaitu
adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada balita.
Ibu yang berpendidikan diketahui lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak.
Keluarga yang berpendidikan hidup dalam rumah tangga yang kecil, di rumah yang lebih
layak, dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan lebih mahir

72
menjaga lingkungan yang bersih.55 Adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu
dengan kejadian stunting pada balita juga ditunjukkan dalam penelitian Semba et al. (2008)
pada anak-anak di Indonesia. Menurut penelitian tersebut, dengan meningkatkan pendidikan
ibu dapat mengurangi kejadian stunting dibandingkan dengan meningkatan pendidikan ayah,
karena ibu pada umumnya pengasuh utama bagi anak, dan tingkat pendidikan ibu yang
diharapkan memiliki pengaruh kuat terhadap stunting pada anak daripada ayah. Penelitian lain
di Ethiopia juga menunjukkan bahwa pendidikan ibu berhubungan signifikan terhadap
kejadian malnutrisi kronis.63 Selain itu, penelitian yang dilakukan pada batita di Desa Mulya
Harja, diketahui bahwa lamanya pendidikan ibu berhubungan signifikan positif dengan status
gizi batita indeks TB/U.75 Beberapa teori berikut mendukung hasil penelitian yang
menyatakan adanya hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada
balita. Ibu yang berpendidikan lebih mungkin untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya. Selain itu, Ibu yang berpendidikan
cenderung menyekolahkan semua anaknya sehingga memutus rantai kebodohan, serta akan
lebih baik menggunakan strategi demi kelangsunganhidup anaknya, seperti ASI yang
memadai, imunisasi, terapi rehidrasi oral, dan keluarga berencana. Maka dari itu, mendidik
wanita akan menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan prevalensi malnutrisi,
terutama stunting.76 Selain itu, dengan pendidikan yang baik, diperkirakan memiliki
pengetahuan gizi yang baik pula. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan tahu
bagaimana mengolah makanan, mengatur menu makanan, serta menjaga mutu dan kebersihan
makanan dengan baik.84
5.10. Pendidikan Ayah
Pada penelitian ini, sama halnya dengan pendidikan ibu, pendidikan ayah juga
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu rendah apabila ayah menamatkan pendidikannya
hingga SMP (≤ SMP), menengah apabila pendidikan terakhir ayah adalah SMA, serta
dikatakan tinggi apabila pendidikan terakhir ayah adalah perguruan tinggi. Hasil univariat
menunjukkan bahwa terdapat ayah balita berpendidikan rendah sebanyak 16%, menengah
sebanyak 39%, dan sisanya 45% adalah ayah dengan pendidikan tinggi. Berbeda dengan hasil
penelitian di Kalimantan dimana lebih banyak ayah yang berpendidikan ≤ SMP (78,4%) dan
pada penelitian di Maluku tengah hanya sebanyak 2,9% ayah yang menamatkan pendidikan
sampai SMA.83,89 Pada tabel 5.33 memperlihatkan bahwa kecenderungan kejadian stunting
pada balita lebih banyak terjadi pada ayah yang berpendidikan rendah yakni sebesar 50%
dibandingkan dengan ayah yang berpendidikan menengah 35.7% dan pendidikan tinggi

73
14.3%. Penelitian serupa juga terdapat dalam hasil penelitian pada balita di Indonesia dan
Bangladesh yang dilakukan oleh Semba et al. (2008) dimana kecenderungan balita stunting
lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan rendah (≤ 9 tahun). Hasil uji statistik untuk analisis
bivariat menunjukkan nilai p = 0,011 (p < 0,05), yang berarti terdapat hubungan signifikan
antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada balita di Kota Palembang. Penelitian-
penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini dalam
haladanya hubungan antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada balita. Salah
satunya adalah penelitian di Libya yang menunjukkan bahwa pendidikan ayah merupakan
faktor signifikan terkait dengan stunting pada anak usia dibawah 5 tahun. (Taguri, et al.,
2007). Penelitian lain yang senada juga dikemukakan oleh Semba et al. (2008), bahwa
pendidikan ayah berhubungan dengan kejadian stunting pada anak di Bangladesh. Hal ini
dikarenakan, wanita memiliki status sosial yang rendah di Bangladesh dan memiliki pengaruh
yang terbatas dalam membuat keputusan dalam rumah tangga. Penelitian yang dilakukan oleh
Astari, Nasoetion, dan Dwiriani (2005) menyatakan tingkat pendidikan ayah pada kelompok
anak stunting relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok anak normal. Rata-rata
lama pendidikan ayah balita stunting yaitu 7,6±2,2 tahun sedangkan pada kelompok anak
normal yaitu 9,0±2,8 tahun. Hasil uji statistik pada penelitian ini menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0,05) tingkat pendidikan ayah antara kelompok anak stunting dan kelompok
anak normal. Menurut Taguri, et al. (2007), pendidikan tinggi pada ayah dapat mencerminkan
pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih memperhatikan gizi anak. Suami yang lebih
terdidik akan cenderung memiliki istri yang juga berpendidikan.
5.11. Pekerjaan Ibu
Pada penelitian ini pekerjaan ibu dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak bekerja dan bekerja.
Terdapat 50% ibu balita yang tidak bekerja dan 50% ibu yang bekerja. Berbeda dengan hasil
penelitian pada balita di Kelurahan Ambacang Kota Padang, terdapat lebih banyak ibu yang
bekerja yaitu 60,5% dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja hanya 39,5% (Diana, 2006).
Berdasarkan hasil analisis bivariat (tabel 5.34) memperlihatkan proporsi ibu balita yang tidak
bekerja memiliki anak dengan status gizi stunting lebih banyak yaitu sebesar 75%
dibandingkan dengan ibu yang bekerja yaitu sebesar 25%. Pada penelitian Neldawati (2006)
dan Hidayah (2010) menyatakan hal yang sama dengan hasil penelitian ini. Terdapat
kecenderungan balita stunting lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja dibandingkan pada ibu
yang bekerja. Selain itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan
kejadian stunting pada balita. Hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0,05, yang berarti terdapat

74
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian stunting di Kota Palembang.
Ibu yang bekerja dapat membantu pemasukan keluarga, karena pekerjaan merupakan faktor
penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas pangan (Suhardjo, 1989). Kejadian balita
stunting di Kota Palembang lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja dapat
disebabkan karena status ekonomi keluarga pada ibu yang tidak bekerja ini cenderung rendah.
Maka dari itu, meskipun ibu balita yang tidak bekerja lebih mempunyai banyak waktu di
rumah untuk mengasuh anaknya, namun bila tidak diikuti dengan status ekonomi yang baik
untuk mendukung kebutuhan balita, hal tersebut belum tentu bisa berpengaruh baik terhadap
status gizi balita.
5.12. Pekerjaan Ayah
Pada penelitian ini pekerjaan ayah dikategorikan berdasarkan penghasilan, sehingga
didapatkan tiga kategori, yaitu jasa, pegawai negeri, dan pegawai swasta. Berdasarkan hasil
univariat sebagian besar ayah balita bekerja sebagai pegawai swasta 29%, 26% bekerja
dibidang jasa, 24% bekerja sebagai pegawai negeri, 18% pedagang, dan sisanya 3% ayah
balita berstatus sebagai pelajar. Tabel 4.41. memperlihatkan kecenderungan balita stunting
lebih banyak terjadi pada balita yang memiliki ayah dengan pekerjaan di bidang jasa yaitu
sebesar 64.3%, selanjutnya pada ayah yang bekerja sebagai pegawai swasta (10.7%),
pedagang 14.2%, serta pegawai negeri (10.7%). Pekerjaan ayah atau kepala keluarga erat
hubungannya dengan status ekonomi keluarga. Pekerjaan ayah pada bidang jasa cenderung
memiliki penghasilan yang tidak tetap, berbeda dengan pegawai negeri dan swasta yang
setiap bulannya sudah mendapatkan penghasilan yang tetap, sehingga status ekonomi
keluarga tersebut cenderung stabil dan baik. Pengaruh pendapatan per kapita pada defisit
pertumbuhan dapat dihubungkan dengan kepentingannya untuk pembelian makanan dan serta
benda-benda lain yang berguna bagi kesehatan anak (Aerts, Drachler, & Giugliani (2004).
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 (nilai p < 0,05) yang berarti terdapat
hubungan bermakna antara pekerjaan ayah dengan kejadian stunting pada balita. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Ramli, et al (2009),
yang menyatakan adanya hubungan antara pekerjaan ayah dengan kejadian severe stunting
pada balita usia 0 -59 bulan.
5.13. Status Ekonomi Keluarga
Status ekonomi keluarga dalam penelitian ini diukur berdasarkan pengeluaran pangan
keluarga selama sebulan. Hal tersebut dipilih karena menurut Berg dan Muscat (1985), di
negara berkembang seperti Indonesia ini, biasanya masyarakatnya membelanjakan sebagian

75
besar dari pendapatannya untuk membeli makanan. Seperti halnya variabel-variabel
independen yang lain, status ekonomi keluarga juga dibagi menjadi dua kategori yaitu rendah
dan tinggi. Status ekonomi keluarga responden dikatakan rendah apabila berada dalam kuintil
1, 2, dan 3 dan dikatakan tinggi apabila berada pada kuintil 4 dan 5. Hasil univariat
menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden berada pada status ekonomi tinggi
yaitu sebanyak 61%, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 39% adalah keluarga dengan status
ekonomi rendah. Selanjutnya hasil bivariat yang memperlihatkan bahwa kecenderungan
kejadian stunting pada balita lebih banyak ditemukan pada keluarga dengan status ekonomi
rendah yaitu sebesar 85.7% dibandingkan dengan keluarga yang status ekonominya tinggi
yaitu hanya sebesar 14.3%. Pada penelitian di Ethiopia, terdapat kecenderungan yang sama
dengan hasil penelitian ini, dimana prevalensi stunting lebih tinggi pada status ekonomi
rumah tangga yang dibawah rata-rata (47,3%) dibandingkan dengan status ekonomi rumah
tangga yang tinggi 34,5% (Yimer, 2000). Menurut Walker et al., (2011) retardasi
pertumbuhan linier atau stunting diperkirakan mempengaruhi 34% anak usia kurang dari 5
tahun di negara berpenghasilan menengah kebawah. Penelitian Zere & McIntyre pada tahun
2003 menyatakan hal yang sama bahwa, malnutrisi terutama stunting, lebih dipengaruhi oleh
dimensi sosial ekonomi. Selain itu, status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak
yang signifikan terhadap probabilitas seorang anak menjadi pendek dan kurus. Dalam hal ini,
WHO merekomendasikan status gizi pendek atau stunting sebagai alat ukur atas tingkat
sosial-ekonomi yang rendah dan sebagai salah satu indikator untuk memantau ekuitas dalam
kesehatan. Maka dari itu, orang yang lebih tinggi seharusnya mempunyai kesempatan
memperoleh penghasilan yang lebih tinggi pula, seperti hasil penelitian Strauss & Thomas
pada tahun 1998 di Brazil bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh penghasilan yang
lebih tinggi dibandingkan pria pendek, dimana peningkatan tinggi badan sebanyak 1%
dihubungkan dengan kenaikan upah sebesar 7% (Damanik, Ekayanti, & Hariyadi, 2010).
Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status
ekonomi keluarga dengan kejadia stunting pada balita di Kota Palembang (p value < 0,05).
Penelitian senada juga menyebutkan status ekonomi rumah tangga juga memiliki efek yang
signifikan terhadap kejadian malnutrisi kronis pada anak di Ethiopia (Yimer, 2000). Hal yang
sama juga diungkapkan dalam penelitian Astari, Nasoetion, dan Dwiriani (2005). Secara
statistik, pendapatan keluarga yang dihitung menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita
per bulan, pada kelompok anak normal lebih tinggi secara nyata (p < 0,05) dibandingkan
dengan pendapatan keluarga pada kelompok anak stunting. Penelitian lain juga menyatakan

76
bahwa status ekonomi keluarga yang rendah di Maluku Utara berhubungan signifikan dengan
kejadian stunting dan severe stunting pada balita usia 0 – 59 bulan (Ramli, et al., 2009). Status
ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak. Sebagai contoh,
keluarga dengan status ekonomi baik bisa mendapatkan pelayanan umum yang lebih baik
juga, yaitu pendidikan, pelayanan kesehatan, aksesibilitas jalan, dan sebagainya. Melalui
fasilitas-fasilitas tersebut keluarga dengan status ekonomi baik akan berdampak positif
terhadap status gizi anak (Bishwakarma, 2011). Hal ini menunjukkan perbaikan kecil dalam
status sosial ekonomi memiliki dampak penting pada kesehatan anak.
5.14. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan yang bisa dijadikan bahan
pertimbangan, keterbatasan tersebut antara lain adalah disain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah disain cross-sectional. Disain cross sectional merupakan disain penelitian
dimana variabel – variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun independen, didapat
dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, disain ini sulit mengetahui variabel mana yang
terlebih dahulu menjadi penyebab atau akibat.
Peneliti menggunakan uji statistik untuk menganalisis hasil penelitian guna menguji
kebenaran hipotesis. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini hanya analisis univariat
dan bivariat, maka dari itu hubungan yang diketahui hanya sebatas hubungan satu arah dari
variabel independen ke dependen, bukan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat atau dua
arah. Alat antropometri yang digunakan untuk mengukur tinggi badan balita pada penelitian
ini adalah microtoise. Alat ini memiliki ketelitian hingga 0,1 cm. Di lain pihak, alat ini juga
mempunyai kelemahan, yaitu keakuratan hasil pengukuran dapat dipengaruhi oleh
penglihatan pengukur serta kekuatan lem saat menempel microtoise di dinding. Pada saat
penelitian ini berlangsung juga tidak dilakukan kalibrasi (menggunakan tongkat 1 meter untuk
memastikan ukuran 1 meter benar 1 meter). Kelemahan tersebut dapat dijadikan
pertimbangan keterbatasan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini metode yang digunakan
untuk menghitung asupan zat gizi balita adalah FFQ semikuantitatif. FFQ merupakan metode
yang digunakan untuk memperoleh kebiasaan konsumsi makanan, untuk memperoleh
informasi nilai gizi yang diasup dalam lembar FFQ semikuantitatif disediakan kolom ukuran
rumah tangga (URT) dan cara pengolahan makanan. Selain itu, dalam lembar FFQ
semikuantitatif terdapat jumlah makanan yang banyak sehingga balita seolah-olah
mengonsumsi semua makanan tersebut dalam satu hari. Sehingga asupan zat gizi yang
cenderung berlebihan.

77
78
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis intevensi GERMAS terhadap
terjadinya Stunting di kota Palembang, dapat disimpulkan bahwa :
1. Prevalensi kejadian Stunting pada balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang adalah
sebesar 28%.
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein, berat lahir, pendidikan ibu,
pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah dan status ekonomi keluarga dengan
kejadian Stunting pada balita usia 25 – 60 bulan di Kota Palembang.
3. Beberapa kegiatan dalam intervensi GERMAS memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya stunting yakni mengkonsumsi buah dan sayur, merokok, konsumsi
alkohol, memeriksa kesehatan rutin, memiliki jamban sehat, membersihkan
lingkungan, sementara itu hanya kegiatan melakukan aktivitas fisik yang tidak
memiliki hubungan signifikan terhadap terjadinya stunting Kota Palembang.

6.2 Saran

1. Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting pada balita, baik
secara langsung maupun tidak langsung, diharapkan dapat dilakukan penelitian
dengan memasukkan berbagai variabel yang tidak terdapat dalam penelitian ini,
seperti faktor genetik dan pola asuh.
2. Diharapkan adanya penelitian dengan disain yang dapat menggambarkan hubungan
sebab-akibat agar lebih pasti untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab
terjadinya Stunting pada balita.
3. Diharapkan kepada keluarga untuk melakukan aktivitas fisik paling tidak 30 menit
perhari, mngkonsumsi buah dan sayur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alcohol,
melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, memiliki dan menggunakan jamban
sehat, dan membersihkan lingkungan rumah.
4. Diharapkan kepada keluarga terutama ibu dapat memberikan asupan gizi yang adekuat
sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya Stunting pada balita.

79
5. Diharapkan kepada ibu hamil dapat menjaga pola makannya sesuai dengan gizi
seimbang agar tidak melahirkan bayi berat lahir rendah sehingga dapat mengurangi
risiko terjadinya Stunting pada balita.
6. Diharapkan kepada masyarakat dapat mencegah pernikahan usia dini, sehingga dapat
melanjutkan pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan status ekonomi
keluarga.
7. Diharapkan kepada masyarakat dan petugas kesehatan terutama kader posyandu
sebaiknya dapat mengetahui lebih dini kejadian Stunting pada balita
8. Diharapkan kepada keluarga terutama ibu dapat memberikan asupan gizi yang adekuat
sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya Stunting pada balita.
9. Diharapkan kepada ibu hamil dapat menjaga pola makannya sesuai dengan gizi
seimbang agar tidak melahirkan bayi berat lahir rendah sehingga dapat mengurangi
risiko terjadinya Stunting pada balita.
10. Diharapkan kepada masyarakat dan petugas kesehatan terutama kader posyandu
sebaiknya dapat mengetahui lebih dini kejadian Stunting pada balita.
11. Diharapkan Dinas Kesehatan bersama Pemerintahan Kota Palembang, serta instansi-
instansi lain yang terkait dapat memberikan solusi atau membuat kebijakan-kebijakan
dalam rangka memperbaiki status gizi balita khususnya Stunting.
12. Diharapkan Dinas Kesehatan dapat memberikan informasi secara luas baik melalui
penyuluhan maupun pelatihan kepada masyarakat ataupun kader kesehatan mengenai
status gizi balita khususnya

80
DAFTAR PUSTAKA

1. UNICEF, 2013. IMPROVING CHILD NUTRITION The achievable imperative for


global progress, New York: UNICEF.
2. World Health Organization. Nutrition Landscape Information System: Country
profile indicators. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2010
3. Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kemenkes RI. 2013.
4. Profil kesehatan provinsi sumatera selatan
5. Caulfield LE, Ricard SA, Rivera JA, Musgrove P, Black RE. 2010. Stunting, wasting
and micronutrient deficiency disorders. In : Jamison DT, Breman JG, Measham AR,
Alleyne G, Cleason M, Evans DB, et al, editors. Disease Control Priorities In
Developing Countries. 2nd ed. The World Bank and Oxford Universit Pess. New
York.
6. Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat Untuk Mengurangi Stunting. In:
Corporation MC, editor. Jakarta: MCA-Indonesia; 2014.
7. Buku Panduan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Jakarta : Kemenkes
RI.2016
8. Bank Data Dinas Kesehatan, Bank Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2017.
9. Buku Panduan GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), 2016.
10. Pedoman Umum, Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2016.KemenkesRI.2018. Pendekatan program
kesehatan masyarakat tahun 2018. Buku Data Direktur Jendral Kesehatan
Masyarakat.2018
11. Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
12. Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
13. Arisman. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
14. WHO. Millenium Development Goals (MDGs). Jakarta: United Nations; 2008
15. Branca, Francesco. 2006. “Nutritional Solutions to Major Health Problems of
Preschool Children: How to Optimise Growth and Development”. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition 43:S4–S7.
16. Sedgh, Gilda, et al. 2000. “Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are
Associated with Reversal of Stunting in Children”. The Journal of Nutrition, 130:
2520-2525.
17. Hunt, J.M. 2001. “Investing in Children: Child Protection and Economic Growth”.
Asian Development Bank.
18. Semba, R. D. dan M. W. Bloem. 2001. Nutrition and Health in Developing Countries.
New Jersey: Humana Press.
19. Black, R., et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition Study Group. Lancet,
371243-60
81
20. Sedgh, Gilda, et al. 2000. “Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are
Associated with Reversal of Stunting in Children”. The Journal of Nutrition, 130:
2520-2525.
21. ACC/SCN. 1997. “3 rd Report on The World Nutrition Situation”. Geneva. dari
www.unscn.org
22. USAID. 2010. “Nutrition Assessment For 2010 New Project Design”. dari
www.indonesia.usaid.gov
23. UNSCN. 2008. “6 th Report on The World Nutrition Situation, Progress in Nutrition”.
dari www.unscn.org
24. Branca, Francesco. 2006. “Nutritional Solutions to Major Health Problems of
Preschool Children: How to Optimise Growth and Development”. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition 43:S4–S7.
25. Gulliford, M. 2006. What is 'continuity of care'?.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 17018200
26. UNICEF, 2013. IMPROVING CHILD NUTRITION The achievable imperative for
global progress, New York: UNICEF.
27. Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat Untuk Mengurangi Stunting. In:
Corporation MC, editor. Jakarta: MCA-Indonesia; 2014.
28. Gilbert A., Churchill, 2005. Dasar-rDasar Riset Pemasaran. Edisi 4. Jilid I. Alih
Bahasa oleh Andriani. Penerbit Erlangga. Jakarta.
29. Arisman MB. Buku ajar ilmu gizi dalam daur kehidupan. 2nd Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG; 2010. Dalam: Amany, Tazkya. Hubungan Status Gizi Dengan
Prestasi Belajar Siswa SDN 03 Pondok Cinta Tahun 2015. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016.
30. Gibney MJ. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC; 2009.
31. KemenkesRI.2018. Pendekatan program kesehatan masyarakat tahun 2018. Buku Data
Direktur Jendral Kesehatan Masyarakat.2018
32. Direktorat Gizi Masyarakat, 2015. Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
33. World Health Organization and UNICEF, 2004. Low Birth Weight. Geneva.
34. Sinclair, David. 1986. Human Growth After Birth Fouth Edition. New York: Oxford
University Press.
35. Brown, J. E. 2008. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Belmont:
Thomson Wadswoth.
36. Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
37. Keast Nicklas, O Neil, 2010. National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES). Am. J. Clin Nutr;92-428-35
38. Gibson RS, 2005. Principle of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford
University Press. New York. Dalam: Ayu SD. Pengaruh Program Pendampingan Gizi
Terhadap Pola Asuh, Kejadian Infeksi dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein
(Tesis). Semarang :Universitas Diponegoro. 2008.
39. World Health Organization, 2003. Global Database on Child Growth and
Malnutrition, Geneva.

82
40. Ramli, et al. 2009. “Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia”. BMC Pediatrics 9: 64.
Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.biomedcentral.com
41. Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
42. Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita (12
– 59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) (Thesis). Depok: FKM UI.
43. ACC/SCN. 1997. “3 rd Report on The World Nutrition Situation”. Geneva. Diakses
pada 24 Oktober 2018 dari www.unscn.org
44. Bogin, Barry. (1999). Patterns of Human Growth second edition. United Kingdom:
Cambridge University Press.
45. Sinclair, David. 1986. Human Growth After Birth Fouth Edition. New York: Oxford
University Press.
46. Assis, AMO, et al. 2004. “Childhood Stunting in Northeast Brazil: The Role Of
Schistosoma Mansoni Infection and Inadequate Dietary Intake”. European Journal of
Clinical Nutrition (2004) 58, 1022–1029. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.nature.com/ejcn
47. Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. “Hubungan Karakteristik
Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan”. Media
Gizi dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.repository.ipb.ac.id
48. Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita (12
– 59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) (Thesis). Depok: FKM UI.
49. Damanik, MR, Ekayanti, I, & Hariyadi, D. 2010. “Analisis Pengaruh Pendidikan Ibu
Terhadap Status Gizi Balita di Provinsi Kalimantan Barat”. Jurnal Gizi dan Pangan,
vol. 5 no. 2. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.journal.ipc.ac.
50. Asrar, M., H. Hadi, & D. Boediman, 2009. “Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi,
dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku”. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, Vol. 6 No. 2, 84 – 94. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.ijcn.or.id
51. Theron, M., et al. 2004. “Inadequate Dietary Intake is Not The Cause of Stunting
Amongst Young Children Living in an Informal Settlement in Gauteng and Rural
Limpopo Province in South Africa: The Nutrigro Study”. Public Health Nutrition:
10(4), 379–389. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.ncbi.nlm.nih.gov
52. Maxwell, Stephanie. 2011. “Module 5: Cause of Malnutrition”. Diakses pada 24
Oktober 2018 dari www.unscn.org
53. Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan Dan
Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”. Media Gizi
Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.repository.ipb.ac.id
54. Taguri, A. E., et al. 2008. “Risk Factor For Stunting Among Under Five in Libya”.
Public Health Nutrition, 12 (8), 1141-1149. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov

83
55. Berg A. dan Muscat R. J. 1985. Faktor Gizi (Di-Indonesiakan oleh Achmad Djaeni
Sediaoetama). Jakarta: Bhratara Karya Aksara
56. Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun
2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
57. Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, et al
(alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.
58. –
59. Kalanda, BF, FH Verhoeff, dan BJ Brabin. 2006. Breast and Complementary Feeding
Practices In Relation to Morbidity and Growth In Malawian Infants. European Journal
of Clinical Nutrition 60, 401–407. 24 Oktober 2018. www.ncbi.nlm.nih.gov.
60. Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku Ibu dalam Pemberian
ASI Eksklusif dengan Status Gizi Baduta di Puskesmas Biaro Kecamatan Ampek
Angkek Kabupaten Agam Tahun 2011 (Skripsi). Depok: FKM UI.
61. -
62. Yimer, G. 2000. “Malnutrition Among Children in Southern Ethiopia: Levels and Risk
Factors”. Ethiop. J. Health Dev, 14(3): 283-292. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ejhd.uib.no
63. Milman, Anna, et al. 2005. “Differential Improvement among Countries in Child
Stunting Is Associated with Long-Term Development and Specific Interventions”. The
Journal of Nutrition, 135: 1415-1422. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov
64. Taguri, A. E., et al. 2008. “Risk Factor For Stunting Among Under Five in Libya”.
Public Health Nutrition, 12 (8), 1141-1149. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov
65. Brown, J. E. 2008. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Belmont:
Thomson Wadswoth.
66. Ramli, et al. 2009. “Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia”. BMC Pediatrics 9: 64.
Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.biomedcentral.com
67. Sedgh, Gilda, et al. 2000. “Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are
Associated with Reversal of Stunting in Children”. The Journal of Nutrition, 130:
2520-2525. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.jn.nutrition.org
68. Lesiapeto, et al. 2010. “Risk Factors of Poor Anthropometric Status In Children Under
Five Years of Age Living In Rural Districts of The Eastern Cape And Kwazulu-Natal
Provinces, South Africa”. S Afr J Clin Nutr, 23(4): 202-207. Diakses pada 24 Oktober
2018 dari www.sajcn.co.za
69. Semba, R. D. dan M. W. Bloem. 2001. Nutrition and Health in Developing Countries.
New Jersey: Humana Press.
70. Khanna, S. B., et al. 2007. “Fetal Origin of Adult Disease”. JK Science Vol. 9 No. 4.
Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.jkscience.org
71. Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, et al
(alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.

84
72. Kusharisupeni. 2004. “Peran Status Kelahiran Terhadap Stunting pada Bayi : Sebuah
Studi Prospektif”. J Kedokter Trisakti, Vol.23 No.3. Diakses pada 24 Oktober 2018
dari www.univmed.org
73. Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. “Hubungan Karakteristik
Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan”. Media
Gizi dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.repository.ipb.ac.id
74. Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan Dan
Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”. Media Gizi
Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.repository.ipb.ac.id
75. Senbanjo, I. O., et al. 2011. “Prevalence of and Risk factors for Stunting mong School
Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria”. J Health Popul Nutr,
29(4): 364-370. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.bioline.org
76. Semba, R. D., et al. 2008. “Effect of Parental Formal Education on Risk of Child
Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study”. The Lancet Article,
371: 322–328. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.lancet.com
77. Suharjo. 1996. Gizi dan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya
Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan & Gizi. Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada
Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
78. Diana, F. M. 2006. “Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Batita di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004”. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, I (1). Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.jurnalkesmas.com
79. Zere, Eyob & Diane McIntyre. 2003. “Inequities In Under-five Child Malnutrition In
South Africa”. International Journal for Equity in Health. International Journal for
Equity in Health, 2:7. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.ncbi.nlm.nih.gov
80. USAID. 2010. “Nutrition Assessment For 2010 New Project Design”. Diakses pada
24 Oktober 2018 dari www.indonesia.usaid.gov
81. Ramli, et al. 2009. “Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia”. BMC Pediatrics 9: 64.
Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.biomedcentral.com
82. Asrar, M., H. Hadi, & D. Boediman, 2009. “Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi,
dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku”. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, Vol. 6 No. 2, 84 – 94. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.ijcn.or.id
83. Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. “Hubungan Karakteristik
Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan”. Media Gizi
dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.repository.ipb.ac.id
84. Assis, AMO, et al. 2004. “Childhood Stunting in Northeast Brazil: The Role Of
Schistosoma Mansoni Infection and Inadequate Dietary Intake”. European Journal of
Clinical Nutrition (2004) 58, 1022–1029. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.nature.com/ejcn

85
85. Theron, M., et al. 2004. “Inadequate Dietary Intake is Not The Cause of Stunting
Amongst Young Children Living in an Informal Settlement in Gauteng and Rural
Limpopo Province in South Africa: The Nutrigro Study”. Public Health Nutrition:
10(4), 379–389. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.ncbi.nlm.nih.gov
86. Stephenson, K. et al. 2010. “Consuming Cassava As A Staple Food Places Children 2-5
Years Old at Risk For Inadequate Protein Intake, an Observational Study In Kenya and
Nigeria”. Nutrition Journal, 9:9. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.nutritionj.com
87. Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita (12 –
59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) (Thesis). Depok: FKM UI.
88. Damanik, MR, Ekayanti, I, & Hariyadi, D. 2010. “Analisis Pengaruh Pendidikan Ibu
Terhadap Status Gizi Balita di Provinsi Kalimantan Barat”. Jurnal Gizi dan Pangan,
vol. 5 no. 2. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.journal.ipc.ac.id
89. Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan Dan
Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”. Media Gizi
Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.repository.ipb.ac.id
90. Hien, N. N. dan S.Kam. 2008. “Nutritional Status and the Characteristics Related to
Malnutrition in Children Under Five Years of Age in Nghean, Vietnam”. J Prev Med
Public Health, 41(4): 232-240. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov
91. Janevic et al. 2010. “Risk Factors for Childhood Malnutrition in Roma Settlements in
Serbia”. BMC Public Health, 10:509. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.biomedcentral.com
92. Lee. 2008. The Effect of Community Water and Sanitation Characteristics on Stunted
among Children in Indonesia (Disertasi). Los Angeles: University of California.
Diakses pada 24 Oktober 2018 dari ProQuest Information and Learning Company.
93. Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian Makan pada Anak dan Karakteristik Lain
dengan Status Gizi Balita 6-59 Bulan di Laboratorium Gizi Masyarakat Puslitbang Gizi
dan Makanan (P3GM) (Analisis Data Sekunder Data Balita Gizi Buruk Tahun 2005)
(Skripsi). Depok: FKM UI.
94. Maxwell, Stephanie. 2011. “Module 5: Cause of Malnutrition”. Diakses pada 24
Oktober 2018 dari www.unscn.org
95. Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun
2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
96. Berg A. dan Muscat R. J. 1985. Faktor Gizi (Di-Indonesiakan oleh Achmad Djaeni
Sediaoetama). Jakarta: Bhratara Karya Aksara
97. Bogin, Barry. (1999). Patterns of Human Growth second edition. United Kingdom:
Cambridge University Press.
98. Hidayah, N. R. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada
Balita Usia 24 – 59 Bulan di Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 (Analisis Data
Riskesdas 2010) (Skripsi). Depok: FKM UI.
99. Nojomi, M., A. Tehrani, dan S. N. Abadi. 2004. “Risk Analysis of Growth Failure in
Under-5-Year Children”. Arch Iranian Med, 7 (3): 195 – 200. Diakses 24 Oktober 2018
dari www.razi.ams.ac.ir

86
100. Kusharisupeni. 2004. “Peran Status Kelahiran Terhadap Stunting pada Bayi : Sebuah
Studi Prospektif”. J Kedokter Trisakti, Vol.23 No.3. Diakses pada 24 Oktober 2018
dari www.univmed.org
101. Yimer, G. 2000. “Malnutrition Among Children in Southern Ethiopia: Levels and Risk
Factors”. Ethiop. J. Health Dev, 14(3): 283-292. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.ejhd.uib.no
102. Senbanjo, I. O., et al. 2011. “Prevalence of and Risk factors for Stunting mong School
Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria”. J Health Popul Nutr,
29(4): 364-370. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari www.bioline.org
103. Aerts, D, Drachler, MDL, dan Giugliani, ERJ. 2004. “Determinants of Growth
Retardation in Southern Brazil”. Cad. Saúde Pública, vol. 20, no.5. Diakses pada 24
Oktober 2018 dari www.scielosp.org
104. Walker, et al., (2011). “Inequality in Early Childhood: Risk and Protective Factors For
Early Child Development”. Lancet, 378: 1325–38. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari
www.thelancet.com
105. Bishwakarma, Ramu. 2011. “Spatial Inequality in Child Nutrition in Nepal:
Implications of Regional Context and Individual/Household Composition (Disertasi)”.
University of Maryland. Diakses pada 24 Oktober 2018 dari ProQuest Information and
Learning Company.

87
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS INTERVENSI GERAKANMASYARAKAT HIDUP SEHAT TERHADAP
PENYEBAB TERJADINYA STUNTING DI KOTA PALEMBANG TAHUN 2018
Tanggal Wawancara :
Nama Pewawancara :
Waktu :
Identifikasi Keluarga Responden Koding
IKR 1 RW
IKR 2 RT
IKR 3 No. Responden
IKR 4 Nama Kepala Keluarga
IKR 5 Nama Responden (Ibu)
IKR 6 Tanggal Lahir Responden
(Ibu)
IKR 7 Pendidikan Kepala Keluarga 1. Tidak Sekolah
2. Tamat SD/MI
3. Tamat SLTP/MTS
4. Tamat SMA
5. Diploma (D1/D2/D3)
6. Sarjana (S1/S2)
7. Lainnya_____________
IKR 8 Pendidikan Responden (Ibu) 1. Tidak Sekolah
2. Tamat SD/MI
3. Tamat SLTP/MTS
4. Tamat SMA
5. Diploma (D1/D2/D3)
6. Sarjana (S1/S2)
7. Lainnya_____________
IKR 9 Pekerjaan Kepala Keluarga 1. Tidak Bekerja
2. Sekolah
3. Jasa (Ojek/Supir)/Bangunan
4. PNS/TNI/POLRI
5. Pegawai Swasta
6. Dagang/Wirausaha
7. Lainnya____________
IKR 10 Pekerjaan Responden (Ibu) 1. Tidak Bekerja
2. Sekolah
3. Jasa (Ojek/Supir)/Bangunan
4. PNS/TNI/P
5. OLRI
6. Pegawai Swasta
7. Dagang/Wirausaha
8. Lainnya____________
IKR 11 Pendapatan Rumah Tangga Rp._______________
per Bulan
IKR 12 Jumlah Anggota Rumah
Tangga
(Yang masih dibiayai Orang
Tua)
IKR 13 Alamat Lengkap
Identitas Balita
IB 1 Nama Balita
IB 2 Tanggal Lahir Balita
IB 3 Umur Balita
IB 4 Jenis Kelamin Balita 1. Perempuan
2. Laki-laki
Antropometri
AN Tinggi badan anak ___ ___ ___ , ___ cm
___ ___ ___ , ___ cm
Komponen GERMAS
1. Melakukan Aktivitas Fisik
Apakah keluarga anda selalu melakukan aktifitas fisik setiap hari?
(seperti:membersihkan rumah, bekerja di kebun,dll; minimal 30 menit/hari)
a. Ya
b. Tidak
2. Mengonsumsi buah dan sayur Pada FFQ
3. Tidak Merokok
Apakah semua anggota keluarga anda tidak merokok ?
a. Ya
b. Tidak (ada yang merokok)
Jika b, apakah merokok selalu di luar rumah saja?
a. Ya
b. Tidak (di dalam rumah)
4. Tidak Mengonsumsi Alkohol
Apakah semua anggota keluarga anda tidak mengkonsumsi alcohol?
a. Ya
b. Tidak (ada yang mengkonsumsi alcohol)
5. Memeriksa Kesehatan Secara Rutin
Apakah ibu rutin memeriksakan kesehatan dan gizi anak dan anggota keluarga lain ke
Posyandu atau Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya secara berkala?
a. Ya
b. Tidak
6. Jamban Sehat
Apakah rumah anda menggunakan dan memiliki jamban keluarga dengan tangki
septik?
a. Ya
b. Tidak
7. Membersihkan Lingkungan
Apakah keluarga anda ada upaya untuk menjaga lingkungan untuk selalu bersih?
(menyapu halaman, membuang sampah pada tempatnya, menguras bak mandi setiap
minggu, dan mengubur barang-barang bekas)?
a. Ya
b. Tidak
A. Pola Asuh (Praktik Pemberian Asi Eksklusif)
1. Apakah Anda :
a. Mempunyai bayi (anak dibawah 1 tahun)
b. Mempunyai balita (anak usia 1-5 tahun)
2. Apakah anak Anda ditimbang di POSYANDU setiap bulannya? (Lihat KMS)
a. Ya
b. Tidak
3. Jika pertanyaan No. 1 dijawab a:
Berapa usia bayi anda?
a. <6 bulan
b. 6-12 bulan
Jika <6 bulan, apakah bayi anda diberi ASI saja sampai sekarang (24
jam terakhir)?
a. Ya
b. Tidak
Jika 6-12 bulan, apakah bayi anda diberi ASI eksklusif selama 6 bulan?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah saat ini (nama anak) masih diberi ASI (disusui)?
a. Ya  Lanjut ke 5
b. Tidak
5. Apakah (nama anak) sudah diberi makanan/minuman tambahan selain ASI?
Yang dimaksud dengan makanan/minuman disini adalah makanan/minuman
tambahan yang diberikan secara teratur
a. Ya
b. Tidak
6. Pada usia beraa (nama anak) mulai menerima makanan/minuman
tambahan tersebut? ….. bulan
B. Penyakit Infeksi
B1 Apakah (nama anak) pernah sakit?
a. Ya
b. Tidak
B2 Penyakit apa yang pernah dialami oleh (nama anak)?
Sebutkan,
1. ______________(berapa lama sakitnya____________)
2. ______________(berapa lama sakitnya____________)

B3 Apakah dalam 1 bulan terakhir anak Ibu (nama anak) mempunyai keluhan kesehatan
seperti dibawah ini?
(Sebutkan pilihan jawaban yang pertama saja selanjutnya ditanyakan dengan
pertanyaan, ada lagi bu?)
Jenis Penyakit Kondisi Lama (hari)
a. Panas 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
b. Batuk 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
c. Pilek 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
d. Asma 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
e. Napas Cepat/sesak 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
(Pneumonia)
f. Penyakit paru dan 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
diobati 6 bulan
(TBC)
g. Diare/buang-buang 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
air
h. Campak 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
i. Cacar 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
j. DBD 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
k. Typhus 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
l. Cacingan 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
m. Lainnya, sebutkan 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]

n. Tidak sakit lanjut 1.Ya 2. Tidak [ ] ….. hari [ ]
B4
B4 Kapan terakhir (nama anak) sakit?
………………….. bulan lalu

C. Berat Lahir dan Panjang Lahir


C1. Berapa berat anak ibu saat lahir?
a. ……… gram
b. Tidak tahu/lupa
c. Tidak ditimbang
C2 Berapa Panjang anak Ibu saat lahir?
a. ……… gram
b. Tidak tahu/lupa
c. Tidak ditimbang
D. Status Imunisasi
D1. Apakah anak Ibu diimunisasi?
a. Ya  lanjut ke D2
b. Tidak
D2. Imunisasi apa yang sudah dilakukan? (lihat KMS)
Ya Tidak
a. BCG (biasanya dilengan kanan atas) A B
b. DPT (biasanya dipaha) … kali A B
c. Polio (ditetes) ... kali A B
d. Campak A B
e. Hepatitis A B

E. Status Sosial Ekonomi


Pengeluaran Rumah Tangga untuk Makanan Selama Sebulan Terakhir Jumlah
(Berasal dari Pembelian, Produk Sendiri, Pemberian) (Rp.)
1. Padi-padian
a. Beras
b. Lainnya (jagung, terigu, tepung beras, tepung jagung, dll)
2. Umbi-umbian (ketela pohon, ketela rambat, kentang, gaplek, dll)
3. Ikan/udang/cumi/kerrang
a. Segar/basah
b. Asin/diawetkan
4. Daging (daging sapi/kerbau/kambing/babi/ayam, jeroan, hati, lima,
abon, dendeng, dll)
5. Telur dan susu
a. Telu ayam/itik/puyuh
b. Susu murni, susu kental, susu bubuk, dl
6. Sayur-sayuran (bayam, kangkong, ketimun, wortel, kacang Panjang,
buncis, bawang, cabe, tomat, dll)
7. Kacang-kacangan (kacang tanah/ hijau/kedelai/merah/tunggak/mete,
tahu, tempe, tauco, oncom, dll)
8. Buah-buahan (jeruk, manga, apel, durian, rambutan, salak, duku,
nanas, semangka, pisang, papaya, dll)
9. Minyak dan lemak (minyak kelapa/goreng, kelapa, mentega, dll)
10. Bahan minuman (gula pasir, gula merah, the, kopi, coklat, sirup, dll)
11. Bumbu-bumbuan (garam, kemiri, ketumbar, merica, terasi, kecap,
vetsin, dll)
12. Konsumsi lainnya
a. Mie instan, mie basah, bihun, macaroni/mie kering
b. Lainnya (kerupuk, emping, dll)
13. Makanan dan minuman jadi
a. Makanan jadi (roti, biscuit, kue basah, empek-empek, bubur,
bakso, gado-gado, nasi remes, dll)
b. Minuman non alcohol (soft drink, es sirop, limun, air mineral, dll)
c. Minuman mengandung alcohol (bir, anggur, dan minuman keras
lainnya)
14. Tembakau dan sirih
a. Rokok (rokok kretek, rokok putih, cerutu)
b. Lainnya (sirih, pinang, tembakau, dll)
15. Jumlah pengeluaran makanan (rincian nomor 1-14)
Rp.
LEMBAR FOOD FREQUENCY QUESTIONNAIRE SEMIKUANTITATIF

NAMA ANAK: ______________________ UMUR: _____BULAN

No. Bahan Frekuensi URT Berat Cara Ket.


Makanan … … … … Tidak (gr) Pengolahan
kali/ kali/ Kali/ kali/ Pernah
Hari Minggu Bulan Tahun
Sumber Karbohidarat
1. Nasi
2. Jagung
3. Mie (mie
instan, mie
kering, dll)
4. Ubi jalar
5. Singkong
6. Kentang
Sumber Protein Hewani
1. Telur dan
produk
olahannya
2. Daging sapi
3. Daging
kambing
4. Daging ayam
5. Ikan air tawar
6. Ikan teri
7. Ikan laut
Susu dan produk susu
1. Susu bubuk
2. Susu kental
manis
3. Keju
4. Yogurt
Sumber Protein Nabati
1. Tahu
2. Tempe
3. Kacang hijau
4. Kacang
merah
5. Kacang
polong
Sayuran
1. Kangkung,
bayam,
caissim
2. Wortel
3. Kacang
panjan
4. Mangga
5. Lainnya
Jajanan
1. Gorengan
2. Roti
3. Biscuit
4. Agar-agar
5. Chiki
Lainnya
1. Madu
2. Air teh
Status gizi TB/U
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Stunting 28 25.2 28.0 28.0
Normal 72 64.9 72.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Melakukan Aktivitas Fisik


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Melakukan Aktivitas 26 23.4 26.0 26.0
Fisik
Melakukan Aktivitas Fisik 74 66.7 74.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Mengkonsumsi Buah dan Sayur


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Mengkonsumsi Cukup 34 30.6 34.0 34.0
Buah dan Sayur
Mengkonsumsi Cukup Buah 66 59.5 66.0 100.0
dan Sayur
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Tidak Merokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Merokok 64 57.7 64.0 64.0
Tidak Merokok 36 32.4 36.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Tidak Mengkonsumsi Alkohol


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Mengkonsumsi Alkohol 23 20.7 23.0 23.0
Tidak Mengkonsumsi 77 69.4 77.0 100.0
Alkohol
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Memeriksa Kesehatan Secara Rutin


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Rutin Mememriksa 39 35.1 39.0 39.0
Kesehatan
Rutin Mememriksa 61 55.0 61.0 100.0
Kesehatan
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Memiliki Jamban Sehat


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memiliki Jamban 13 11.7 13.0 13.0
Sehat
Memiliki Jamban Sehat 87 78.4 87.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Membersihkan lingkungan rumah


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Membersihkan 30 27.0 30.0 30.0
Lingkungan
Membersihkan Lingkungan 70 63.1 70.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Asupan Karbohidrat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Mengkonsumsi Cukup 23 20.7 23.5 23.5
Karbohidrat
Mengkonsumsi Cukup 75 67.6 76.5 100.0
Karbohidrat
Total 98 88.3 100.0
Missing System 13 11.7
Total 111 100.0

Asupan Protein
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Mengkonsumsi Cukup 47 42.3 47.0 47.0
Protein
Mengkonsumsi Cukup 53 47.7 53.0 100.0
Protein
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Penyakit Infeksi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Penyakit Infeksi 52 46.8 52.0 52.0
Tidak Penyakit Infeksi 48 43.2 48.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

ASI Eksklusif
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ASI Eksklusif 22 19.8 22.0 22.0
ASI Eksklusif 78 70.3 78.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Status Imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Imunisasi Lengkap 16 14.4 16.0 16.0
Imunisasi Lengkap 84 75.7 84.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Kategori Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 25-36 bulan 35 31.5 35.0 35.0
37-48 bulan 42 37.8 42.0 77.0
349-60 bulan 23 20.7 23.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Jenis Kelamin Balita


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Perempuan 46 41.4 46.0 46.0
Laki-laki 54 48.6 54.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Pendidikan Ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tingkat Pendidikan Rendah 19 17.1 19.0 19.0
Tingkat Pendidikan 46 41.4 46.0 65.0
Menengah
Tingkat Pendidikan Tinggi 35 31.5 35.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Pendidikan Kepala Keluarga


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tingkat Pendidikan Rendah 16 14.4 16.0 16.0
Tingkat Pendidikan 39 35.1 39.0 55.0
Menengah
Tingkat Pendidikan Tinggi 45 40.5 45.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Pekerjaan Ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Bekerja 50 45.0 50.0 50.0
Bekerja 46 41.4 46.0 96.0
3 1 .9 1.0 97.0
4 3 2.7 3.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0
Pekerjaan Kepala Keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pelajar 3 2.7 3.0 3.0
Jasa(Ojek, Buruh, Sopir, 26 23.4 26.0 29.0
Bangunan)
PNS/TNI/POLRI/BUMN 24 21.6 24.0 53.0
Pegawai Swasta 29 26.1 29.0 82.0
Pedagang 18 16.2 18.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0

Status Ekonomi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ekonomi Rendah 39 35.1 39.0 39.0
Ekonomi Cukup 61 55.0 61.0 100.0
Total 100 90.1 100.0
Missing System 11 9.9
Total 111 100.0
Asupan Karbohidrat * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal To
Asupan Karbohidrat Tidak Mengkonsumsi Cukup Count 9 14
Karbohidrat % within Status gizi TB/U 32.1% 20.0%
Mengkonsumsi Cukup Count 19 56
Karbohidrat % within Status gizi TB/U 67.9% 80.0%
Total Count 28 70
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 1

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1.642 1 .200
b
Continuity Correction 1.035 1 .309
Likelihood Ratio 1.577 1 .209
Fisher's Exact Test .291 .154
Linear-by-Linear Association 1.625 1 .202
N of Valid Cases 98
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.57.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .129 .106 1.279 .204
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .129 .106 1.279 .204
N of Valid Cases 98
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Asupan 1.895 .707 5.078
Karbohidrat (Tidak
Mengkonsumsi Cukup
Karbohidrat / Mengkonsumsi
Cukup Karbohidrat)
For cohort Status gizi TB/U = 1.545 .814 2.932
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .815 .573 1.161
Normal
N of Valid Cases 98

Asupan Protein * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Asupan Protein Tidak Mengkonsumsi Cukup Count 23 24 4
Protein % within Status gizi TB/U 82.1% 33.3% 47.0%
Mengkonsumsi Cukup Protein Count 5 48 5
% within Status gizi TB/U 17.9% 66.7% 53.0%
Total Count 28 72 10
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 19.281 1 .000
b
Continuity Correction 17.371 1 .000
Likelihood Ratio 20.335 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 19.088 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.16.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .439 .085 4.838 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .439 .085 4.838 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Asupan Protein 9.200 3.111 27.204
(Tidak Mengkonsumsi Cukup
Protein / Mengkonsumsi Cukup
Protein)
For cohort Status gizi TB/U = 5.187 2.143 12.553
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .564 .421 .756
Normal
N of Valid Cases 100

Penyakit Infeksi * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Penyakit Infeksi Penyakit Infeksi Count 24 28 52
% within Status gizi TB/U 85.7% 38.9% 52.0%
Tidak Penyakit Infeksi Count 4 44 48
% within Status gizi TB/U 14.3% 61.1% 48.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 17.710 1 .000
b
Continuity Correction 15.883 1 .000
Likelihood Ratio 19.275 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 17.533 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.44.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .421 .081 4.592 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .421 .081 4.592 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Penyakit Infeksi 9.429 2.957 30.068
(Penyakit Infeksi / Tidak
Penyakit Infeksi)
For cohort Status gizi TB/U = 5.538 2.072 14.803
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .587 .450 .766
Normal
N of Valid Cases 100
Melakukan Aktivitas Fisik * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Melakukan Aktivitas Fisik Tidak Melakukan Aktivitas Fisik Count 6 20
% within Status gizi TB/U 21.4% 27.8%
Melakukan Aktivitas Fisik Count 22 52
% within Status gizi TB/U 78.6% 72.2%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .422 1 .516
b
Continuity Correction .157 1 .692
Likelihood Ratio .434 1 .510
Fisher's Exact Test .617 .352
Linear-by-Linear Association .418 1 .518
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.28.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R -.065 .096 -.645 .521
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.065 .096 -.645 .521
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Melakukan .709 .251 2.005
Aktivitas Fisik (Tidak Melakukan
Aktivitas Fisik / Melakukan
Aktivitas Fisik)
For cohort Status gizi TB/U = .776 .354 1.701
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = 1.095 .846 1.416
Normal
N of Valid Cases 100

Mengkonsumsi Buah dan Sayur * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Mengkonsumsi Buah dan Sayur Tidak Mengkonsumsi Cukup Count 16 18
Buah dan Sayur % within Status gizi TB/U 57.1% 25.0%
Mengkonsumsi Cukup Buah Count 12 54
dan Sayur % within Status gizi TB/U 42.9% 75.0%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 9.282 1 .002
b
Continuity Correction 7.905 1 .005
Likelihood Ratio 8.988 1 .003
Fisher's Exact Test .004 .003
Linear-by-Linear Association 9.189 1 .002
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.52.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .305 .101 3.167 .002
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .305 .101 3.167 .002
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Mengkonsumsi 4.000 1.595 10.028
Buah dan Sayur (Tidak
Mengkonsumsi Cukup Buah
dan Sayur / Mengkonsumsi
Cukup Buah dan Sayur)
For cohort Status gizi TB/U = 2.588 1.387 4.829
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .647 .462 .906
Normal
N of Valid Cases 100

Tidak Merokok * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Tidak Merokok Merokok Count 23 41 64
% within Status gizi TB/U 82.1% 56.9% 64.0%
Tidak Merokok Count 5 31 36
% within Status gizi TB/U 17.9% 43.1% 36.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.556 1 .018
b
Continuity Correction 4.516 1 .034
Likelihood Ratio 5.987 1 .014
Fisher's Exact Test .021 .015
Linear-by-Linear Association 5.500 1 .019
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.08.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .236 .087 2.401 .018
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .236 .087 2.401 .018
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Tidak Merokok 3.478 1.189 10.178
(Merokok / Tidak Merokok)
For cohort Status gizi TB/U = 2.588 1.077 6.218
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .744 .594 .932
Normal
N of Valid Cases 100

Tidak Mengkonsumsi Alkohol * Status gizi TB/U


Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Tidak Mengkonsumsi Alkohol Mengkonsumsi Alkohol Count 16 7
% within Status gizi TB/U 57.1% 9.7%
Tidak Mengkonsumsi Alkohol Count 12 65
% within Status gizi TB/U 42.9% 90.3%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 25.598 1 .000
b
Continuity Correction 22.990 1 .000
Likelihood Ratio 23.686 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 25.342 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.44.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .506 .098 5.807 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .506 .098 5.807 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Tidak 12.381 4.201 36.486
Mengkonsumsi Alkohol
(Mengkonsumsi Alkohol / Tidak
Mengkonsumsi Alkohol)
For cohort Status gizi TB/U = 4.464 2.485 8.020
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .361 .193 .674
Normal
N of Valid Cases 100

Memeriksa Kesehatan Secara Rutin * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Memeriksa Kesehatan Secara Tidak Rutin Mememriksa Count 16 23
Rutin Kesehatan % within Status gizi TB/U 57.1% 31.9%
Rutin Mememriksa Kesehatan Count 12 49
% within Status gizi TB/U 42.9% 68.1%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 5.381 1 .020
b
Continuity Correction 4.374 1 .036
Likelihood Ratio 5.298 1 .021
Fisher's Exact Test .024 .019
Linear-by-Linear Association 5.327 1 .021
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.92.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .232 .100 2.361 .020
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .232 .100 2.361 .020
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Memeriksa 2.841 1.158 6.970
Kesehatan Secara Rutin (Tidak
Rutin Mememriksa Kesehatan /
Rutin Mememriksa Kesehatan)
For cohort Status gizi TB/U = 2.085 1.109 3.921
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .734 .550 .981
Normal
N of Valid Cases 100

Memiliki Jamban Sehat * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Memiliki Jamban Sehat Tidak Memiliki Jamban Sehat Count 10 3
% within Status gizi TB/U 35.7% 4.2%
Memiliki Jamban Sehat Count 18 69
% within Status gizi TB/U 64.3% 95.8%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 17.740 1 .000
b
Continuity Correction 15.061 1 .000
Likelihood Ratio 15.837 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 17.563 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.64.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .421 .102 4.597 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .421 .102 4.597 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Memiliki Jamban 12.778 3.181 51.331
Sehat (Tidak Memiliki Jamban
Sehat / Memiliki Jamban Sehat)
For cohort Status gizi TB/U = 3.718 2.237 6.178
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .291 .107 .790
Normal
N of Valid Cases 100

Membersihkan lingkungan rumah * Status gizi TB/U


Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Membersihkan lingkungan Tidak Membersihkan Count 18 12
rumah Lingkungan % within Status gizi TB/U 64.3% 16.7%
Membersihkan Lingkungan Count 10 60
% within Status gizi TB/U 35.7% 83.3%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 21.769 1 .000
b
Continuity Correction 19.560 1 .000
Likelihood Ratio 20.794 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 21.551 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.40.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .467 .097 5.222 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .467 .097 5.222 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Membersihkan 9.000 3.341 24.241
lingkungan rumah (Tidak
Membersihkan Lingkungan /
Membersihkan Lingkungan)
For cohort Status gizi TB/U = 4.200 2.206 7.997
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .467 .298 .731
Normal
N of Valid Cases 100

ASI Eksklusif * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
ASI Eksklusif Tidak ASI Eksklusif Count 11 11 22
% within Status gizi TB/U 39.3% 15.3% 22.0%
ASI Eksklusif Count 17 61 78
% within Status gizi TB/U 60.7% 84.7% 78.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 6.771 1 .009
b
Continuity Correction 5.445 1 .020
Likelihood Ratio 6.301 1 .012
Fisher's Exact Test .015 .012
Linear-by-Linear Association 6.704 1 .010
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.16.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .260 .107 2.668 .009
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .260 .107 2.668 .009
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for ASI Eksklusif 3.588 1.328 9.692
(Tidak ASI Eksklusif / ASI
Eksklusif)
For cohort Status gizi TB/U = 2.294 1.268 4.150
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .639 .414 .987
Normal
N of Valid Cases 100

Status Imunisasi * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Status Imunisasi Tidak Imunisasi Lengkap Count 10 6
% within Status gizi TB/U 35.7% 8.3% 16.0
Imunisasi Lengkap Count 18 66
% within Status gizi TB/U 64.3% 91.7% 84.0
Total Count 28 72 1
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 11.246 1 .001
b
Continuity Correction 9.301 1 .002
Likelihood Ratio 10.131 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .002
Linear-by-Linear Association 11.133 1 .001
N of Valid Cases 100
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.48.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .335 .108 3.524 .001
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .335 .108 3.524 .001
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status Imunisasi 6.111 1.958 19.078
(Tidak Imunisasi Lengkap /
Imunisasi Lengkap)
For cohort Status gizi TB/U = 2.917 1.669 5.098
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .477 .251 .907
Normal
N of Valid Cases 100

Kategori Usia * Status gizi TB/U


Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Kategori Usia 25-36 bulan Count 11 24 35
% within Status gizi TB/U 39.3% 33.3% 35.0%
37-48 bulan Count 14 28 42
% within Status gizi TB/U 50.0% 38.9% 42.0%
349-60 bulan Count 3 20 23
% within Status gizi TB/U 10.7% 27.8% 23.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 3.349 2 .187
Likelihood Ratio 3.738 2 .154
Linear-by-Linear Association 1.869 1 .172
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 6.44.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .137 .090 1.373 .173
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .131 .092 1.304 .195
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Kategori Usia
(25-36 bulan / 37-48 bulan)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Jenis Kelamin Balita * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Jenis Kelamin Balita Perempuan Count 8 38 46
% within Status gizi TB/U 28.6% 52.8% 46.0%
Laki-laki Count 20 34 54
% within Status gizi TB/U 71.4% 47.2% 54.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.756 1 .029
b
Continuity Correction 3.831 1 .050
Likelihood Ratio 4.895 1 .027
Fisher's Exact Test .044 .024
Linear-by-Linear Association 4.708 1 .030
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.88.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R -.218 .094 -2.212 .029
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.218 .094 -2.212 .029
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin .358 .140 .918
Balita (Perempuan / Laki-laki)
For cohort Status gizi TB/U = .470 .229 .964
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = 1.312 1.028 1.674
Normal
N of Valid Cases 100

Berat Badan Lahir * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Berat Badan Lahir Tidak Tahu Count 4 7 11
% within Status gizi TB/U 14.3% 9.7% 11.0%
BBLR Count 9 9 18
% within Status gizi TB/U 32.1% 12.5% 18.0%
Normal Count 15 56 71
% within Status gizi TB/U 53.6% 77.8% 71.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 6.367 2 .041
Likelihood Ratio 5.997 2 .050
Linear-by-Linear Association 3.591 1 .058
N of Valid Cases 100
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 3.08.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .190 .104 1.921 .058
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .223 .104 2.267 .026
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Berat Badan
Lahir (Tidak Tahu / BBLR)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Pendidikan Ibu * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Pendidikan Ibu Tingkat Pendidikan Rendah Count 11 8 19
% within Status gizi TB/U 39.3% 11.1% 19.0%
Tingkat Pendidikan Menengah Count 15 31 46
% within Status gizi TB/U 53.6% 43.1% 46.0%
Tingkat Pendidikan Tinggi Count 2 33 35
% within Status gizi TB/U 7.1% 45.8% 35.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 17.530 2 .000
Likelihood Ratio 19.308 2 .000
Linear-by-Linear Association 17.347 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 5.32.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .419 .082 4.563 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .418 .079 4.556 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Pendidikan Ibu
(Tingkat Pendidikan Rendah /
Tingkat Pendidikan Menengah)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Pendidikan Kepala Keluarga * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Pendidikan Kepala Keluarga Tingkat Pendidikan Rendah Count 14 2
% within Status gizi TB/U 50.0% 2.8%
Tingkat Pendidikan Menengah Count 10 29
% within Status gizi TB/U 35.7% 40.3%
Tingkat Pendidikan Tinggi Count 4 41
% within Status gizi TB/U 14.3% 56.9%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 36.357 2 .000
Likelihood Ratio 35.135 2 .000
Linear-by-Linear Association 30.659 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 4.48.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .556 .080 6.631 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .523 .083 6.070 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Pendidikan
Kepala Keluarga (Tingkat
Pendidikan Rendah / Tingkat
Pendidikan Menengah)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Pekerjaan Ibu * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Count 21 29 50
% within Status gizi TB/U 75.0% 40.3% 50.0%
Bekerja Count 6 40 46
% within Status gizi TB/U 21.4% 55.6% 46.0%
3 Count 1 0 1
% within Status gizi TB/U 3.6% 0.0% 1.0%
4 Count 0 3 3
% within Status gizi TB/U 0.0% 4.2% 3.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 13.703 3 .003
Likelihood Ratio 14.938 3 .002
Linear-by-Linear Association 6.991 1 .008
N of Valid Cases 100
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .28.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .266 .082 2.729 .008
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .298 .093 3.089 .003
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Pekerjaan Ibu
(Tidak Bekerja / Bekerja)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Pekerjaan Kepala Keluarga * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal
Pekerjaan Kepala Keluarga Pelajar Count 0 3
% within Status gizi TB/U 0.0% 4.2%
Jasa(Ojek, Buruh, Sopir, Count 18 8
Bangunan) % within Status gizi TB/U 64.3% 11.1%
PNS/TNI/POLRI/BUMN Count 3 21
% within Status gizi TB/U 10.7% 29.2%
Pegawai Swasta Count 3 26
% within Status gizi TB/U 10.7% 36.1%
Pedagang Count 4 14
% within Status gizi TB/U 14.3% 19.4%
Total Count 28 72
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 30.733 4 .000
Likelihood Ratio 30.049 4 .000
Linear-by-Linear Association 10.110 1 .001
N of Valid Cases 100
a. 2 cells (20.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is .84.

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .320 .100 3.339 .001
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .337 .102 3.538 .001
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for Pekerjaan
Kepala Keluarga (Pelajar /
Jasa(Ojek, Buruh, Sopir,
Bangunan))
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a 2*2
table without empty cells.

Status Ekonomi * Status gizi TB/U

Crosstab
Status gizi TB/U
Stunting Normal Total
Status Ekonomi Ekonomi Rendah Count 24 15 39
% within Status gizi TB/U 85.7% 20.8% 39.0%
Ekonomi Cukup Count 4 57 61
% within Status gizi TB/U 14.3% 79.2% 61.0%
Total Count 28 72 100
% within Status gizi TB/U 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 35.672 1 .000
b
Continuity Correction 32.997 1 .000
Likelihood Ratio 37.093 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 35.316 1 .000
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.92.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures
Asymptotic Approximate
a b
Value Standard Error Approximate T Significance
c
Interval by Interval Pearson's R .597 .080 7.372 .000
c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .597 .080 7.372 .000
N of Valid Cases 100
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status Ekonomi 22.800 6.856 75.822
(Ekonomi Rendah / Ekonomi
Cukup)
For cohort Status gizi TB/U = 9.385 3.525 24.986
Stunting
For cohort Status gizi TB/U = .412 .275 .616
Normal
N of Valid Cases 100

Anda mungkin juga menyukai