Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN ANALISIS PENYAKIT STUNTING

DI KABUPATEN KETAPANG

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH

dr. Grace E. C. Korompis MHSM, DrPH

dr. Febi K. Kolibu MMRS

Adisti A. Rumayar SKM, M.Kes, MPH

ANGGOTA KELOMPOK 7

Andretha Muhaling 19111101126

Novelin G. Mamahit 19111101146

Keisya G. Saerang 19111101140

Moh Afif Mokodompit 19111101142

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ ANALISIS
KEJADIAN STUNTING DI KABUPATEN KETAPANG PROVINSI
KALIMANATAN BARAT ”ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Perencanaan & Evaluasi Program Kesehatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi kami penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. GRACE E.C. KOROMPIS, MHSM,


Dr.PH selaku dosen penanggung jawab mata kuliah Perencanaan & Evaluasi Program
Kesehatan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang Kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Manado, 12 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.2 Epidemiologi

2.3 Patofisiologi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi penelitian

3.2 Teknik pengumpulan data

3.3 Teknik analisis data

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gambaran umum wilayah

4.2 Analisi Deraja Kesehatan

4.3 Analisi Lingkungan Kesehatan

4.4 Angka Stunting Kabupaten ketapang, Kalimantan Barat

4.5 Faktor Penyebab Terjadinya Stunting


4.6 Hubungan Pola Asuh ibu terhadap Balita

4.7 Analisis Prilaku Kesehatan

4.8 Analisis Kependudukan

4.9 Analisis Program Dan Pelayanan Kesehatan

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,


dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar supaya dapat terwujudnya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. Hal ini sejalan dengan amanat
dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 yang menetapkan bahwa “Mendapatkan
pelayanan kesehatan yang optimal merupakan hak azasi manusia”.
Dengan status kesehatan gizi yang baik, merupakan salah-satu komponen
penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan daya
saing bangsa yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan Rencana
Pembangunan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang system Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa Satuan
kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun rencana Strategis yang selanjutnya
disebut Renstra Perangkat Daerah yang memuat mengenai tujuan, sasaran, kebijakan,
program dan kegiatan kerja pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan tugas dan
fungsinya, berpedoman pada Rencana pembangunan jangka menengah dan bersifat
indikatif.
Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan Gizi yang menjadi prioritas
dari Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini. Stunting ialah keadaan dimana
seorang anak yang mengalami keterlambatan dalam petumbuhan (fisik)
dibandingkan dengan anak seusiannya.
Kalimantan Barat merupakan salah satu yang tercatat sebagai Provinsi dengan
urutan ke-27 se-nasional angka Stunting atau masalah gizi kronis lainnya yang
terbilang tinggi,tercatat angka rata-rata 33,3 % menurut Riskesdes (Riset Kesehatan
Dasar) tahun 2018. Dari 14 kabupaten/kota se Kalimantan Barat setidaknya tercatat
ada 3 daerah dengan angka stunting paling tinggi, yaitu Kabupaten Ketapang,
Kabupaten Landak, dan yang terakhir Kabupaten Melawi.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran umum Wilayah kabupaten Ketapang ?


2. Bagaimana analisis kesehatan di kabupaten Ketapang ?
3. Bagaimana Kondisi dan Keadaan lingkungan Kabupaten Ketapang ?
4. Berapa Angka Stunting di Kabupaten Ketapang ?
5. Apa factor penyebab terjadinya stunting di Kabupaten Ketapang?
6. Bagaimana hubungan pemenuhan Kebutuhan Asuh ibu terhadap stunting pada balita?
7. Bagaimana Prilaku masyarakat terhadap Kesehatan di Kabupaten Ketapang?
8. Berapa Analisi Kependudukan di kabupaten Ketapang?
9. Apa saja program dan pelayanan kesehatan di kabupaten Ketapang?

1.3 Tujuan

1. Menejlaskan gambaran umum wilayah kabupaten ketapang


2. Menjelaskan mengenai Analisis kesehatan di kabupaten Ketapang
3. Menjelaskan seputar lingkungan di kabupaten ketapang
4. Menjelaskan jumlah stunting di Kabupaten Ketapang
5. Menjelaskan factor penyebab terjadinya Stunting di Kabupaten Ketapang
6. Menjelaskan tentang hubungan pemenuhan kebutuhan Asuh ibu terhadap stunting
pada balita.
7. Menjelaskan mengenai prilaku masyarakat terhadap kesehatan di kabupaten ketapang
8. Menganalisa mengenai angka kependudukan di kabupaten ketapang
9. Mencari tahu program kesehatan yang ada di kabupaten ketapang

1.4 Manfaat

Agar dapat menambah wawasan bagi pembaca maupun masyarakat mengenai


penyakit dbd khususnya masyarakat di daerah manado
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam
waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Seorang
anak dianggap mengalami stunting jika tinggi badan mereka lebih rendah atau pendek
(kerdil) dari standar usianya (berdasarkan WHO-MGRS).

Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan adanya gangguan
di masa yang akan datang yakni mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ) lebih rendah
dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI, 2018).

2.2 Epidemiologi

Stunting diperkirakan dialami oleh 21,9% balita atau 149 juta anak balita di seluruh
dunia pada tahun 2018. Di Asia Tenggara diperkirakan sekitar 14,4 juta balita mengalami
stunting. Walaupun jumlahnya menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun tetap
masih tinggi. WHO menyatakan bahwa prevalensi stunting di atas 20% merupakan masalah
kesehatan masyarakat.

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bahwa masih ada 30,8%
balita di Indonesia yang stunted/berperawakan pendek. Meskipun angka ini lebih rendah
dibandingkan tahun–tahun sebelumnya (Riskesdas 2013 balita pendek dan sangat pendek
sebesar 37,2%), namun jumlah ini masih sangat besar dan masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat
.2.3 PATOFISIOLOGI

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi


ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai (Mitra, 2015). Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi
pertumbuhan atau non patologis, karena penyebab secara langsung adalah masalah pada
asupan makanan dan tingginya penyakit infeksi kronis terutama ISPA dan diare, sehingga
memberi dampak terhadap proses pertumbuhan balita (Sudiman, 2018). Tidak terpenuhinya
asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi berulang menjadi faktor utama kejadian
kurang gizi. Faktor sosial ekonomi, pemberian ASI dan MP-ASI yang kurag tepat,
pendidikan orang tua, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai akan mempengaruhi
pada kecukupan gizi.

Kejadian kurang gizi yang terus berlanjut dan karena kegagalan dalam perbaikan gizi
akan menyebabkan pada kejadian stunting atau kurang gizi kronis. Hal ini terjadi karena
rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi kecukupan gizi yang sesuai
(Maryunani, 2016). Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya
lapisan lemak di bawah kulit hal ini terjadi karena kurangnya asupan gizi sehingga tubuh
memanfaatkan cadangan lemak yang ada, selain itu imunitas dan produksi albumin juga ikut
menurun sehingga balita akan mudah terserang infeksi dan mengalami perlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Balita dengan gizi kurang akan mengalami peningkatan
kadar asam basa pada saluran cerna yang akan menimbulkan diare (Maryunani, 2016).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Martono (2011) studi pustaka dilakukan untuk memperkaya pengetahuan


mengenai berbagai konsep yang akan digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam proses
penelitian. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
melalui literatur atau referensi yang ada. yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi
melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar,maupun dokumen
elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknikdeskriptif.
Menurut Sugiyono (2008) analisis data deskritif merupakan metodeanalisis yang
berlandaskan pada fenomenologi untuk meneliti pada kondisiobjek yang alamiah, dimana
peneliti adala sebagai instrumen kunci. Hasil penelitian ini lebih menekankan makna
mendalami masalah penelitian.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Wilayah

4.1.1 Administratif

a. Luas : 31.240,74 km2

b. Jumlah Penduduk : 504.008 jiwa (RISKESDAS 2018).

c. Adm. Pemerintahan : 20 Kecamatan, 9 kelurahan, dan 253 Desa.

4.1.2 Geografi
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Kalimantan Barat, terletak di antara garis 0º 19’00” - 3º 05’ 00” Lintang Selatan dan 108º
42’ 00” - 111º 16’ 00” Bujur Timur.
Dibandingkan kabupaten lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Ketapang merupakan
kabupaten terluas, memiliki pantai yang memanjang dari selatan ke utara dan sebagian
pantai yang merupakan muara sungai, berupa rawa-rawa terbentang mulai dari
Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir
Selatan, Kendawangan dan Pulau Maya Karimata, sedangkan daerah hulu umumnya
berupa daratan yang berbukit-bukit dan diantaranya masih merupakan hutan.
Sungai terpanjang di Kabupaten Ketapang adalah Sungai Pawan yang
menghubungkan Kota Ketapang dengan Kecamatan Sandai, Nanga Tayap dan Sungai
Laur serta merupakan urat nadi penghubung kegiatan ekonomi masyarakat dari desa
dengan kecamatan dan kabupaten.
Daerah pantai memanjang dari utara ke selatan dan daerah aliran sungai merupakan
dataran berawa-rawa, yakni mulai dari kecamatan Telok Batang, Simpang Hilir,
Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir Selatan, Kendawangan dan Pulau Maya
Karimata. Sedangkan wilayah perhuluan umumnya berupa daerah berbukit-bukit. Sungai
terpanjang di Kabupaten Ketapang adalah sungai Pawan. Juga terdapat sungai-sungai
besar lainnya, yakni sungai Merawan , Kendawangan dan Jelai.

4.1.3 Batas Wilayah

Wilayah Kabupaten Ke tapang dengan ibukota di Ketapang, terdiri atas dua puluh kecamatan,
lima kelurahan, dan dua ratus enam belas desa dengan batas-batas wilayah Kabupaten
Ketapang adalah sebagai berikut:

 Bagian utara : berbatasan dengan Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau,


Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Melawi;

 Bagian selatan : berbatasan dengan Laut Jawa;

 Bagian barat : berbatasan dengan Kabupaten Kayong Utara dan Laut Natuna;

 Bagian timur : berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten


Melawi.
Sebelah utara Kalbar terdapat empat kabupaten yang langsung berhadapan dengan negara
jiran yaitu; Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, yang membujur sepanjang
Pegunungan Kalingkang - Kapuas Hulu.

4.1.4 Pembentukan

Kabupaten Ketapang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820).

4.1.5 Kondisi Demografi

Kota Ketapang adalah kota yang multi suku dan etnis, yaitu Suku Dayak dan Melayu serta
Tionghua yang merupakan tiga suku terbesar di kota ini. Selain itu juga ada suku Jawa dan
Madura. Orang Tionghua di kota ini menggunakan dialek Tiochiu (dalam ejaan Mandarin:
Chaozhou) sebagai bahasa pengantar sesama warga Tionghua. Juga terdapat sebagian kecil
orang Tionghua yang menggunakan bahasa Khek (Hakka).

4.1.6 Keadaan Geologis

Kabupaten Ketapang merupakan bagian dari keadaan geologi regional sekitarnya. Kondisi
formasi geologi di Kabupaten Ketapang secara umum sebagain besar diliputi oleh Quarter.
Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Ketapang terdiri dari tanah
kuarter (49,64%), efusif tidak dibagi (17,38%), intrusive & plutonik asam (15,07%).
Klimatologi Kabupaten Ketapang memiliki wilayah dengan tutupan hutan primer dan
sekunder yang cukup luas sehingga secara klimatologis termasuk bertipe iklim hutan hujan
tropis. Berdasarkan pencatatan Stasiun Meteorologi Rahadi Oesman Ketapang, suhu rata –
rata 23,70° C – 26,70° C dan suhu pada siang hari mencapai 30,80° C serta memiliki curah
hujan rata – rata 3696,1 mm / tahundengan curah hujan rata – rata per tahun sebanyak 214
kali, sedangkan kecepatan angin adalah 3,1 Knot dan merupakan yang tertinggi di
Kalimantan Barat.
4.1.7 Kondisi Iklim

Kabupaten Ketapang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 23,70 °C - 26,70 °C dan suhu
pada siang hari mencapai 30,80 °C serta memiliki curah hujan rata-rata 3696,1 mm/tahun
dengan curah hujan rata-rata per tahun sebanyak 214 kali, sedangkan kecepatan angin adalah
3,1 knot dan merupakan yang tertinggi di Kalimantan Barat.

4.2 Analisi Derajat Kesehatan ( Mortalitas & Morbiditas )

Kesehatan adalah unsur Vital dan merupakan elemen konstitutif dari kehidupan
seseorang. Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi kebutuhan mendasari dan tentunya
menjadi kewajiban Negara dalam upaya pemenuhannya. Meningkatkan sumber daya manusia
yang berkualitas, sehat, dan produktif merupakan misi dari pemerintah kabupaten Ketapang.

. 4.2.1 Angka Lahir Mati

Angka lahir mati yaitu jumlah seluruh lahir mati dibandingkan terhadap seluruh kelahiran
(hidup dan mati) disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Jumlah kejadian lahir mati di
Kabupaten Ketapang tahun 2016 sebanyak 73 kejadian atau 9 per 1.000 kelahiran. Angka ini
meningkat dibandingkan angka lahir mati tahun 2015 yaitu 7,5 per 1.000 kelahiran.

Ada beberapa faktor penyebab meningkatnya angka lahir mati diantaranya adalah pernah
mengalami kejadian bayi lahir mati sebelumnya, kehamilan kembar atau lebih, usia saat
hamil, obesitas, merokok, minum alkohol dan obat-obatan. Angka lahir mati di Kabupaten
dari tahun 2012 – 2016 cenderung naik turun. Angka lahir mati tertinggi pada tahun 2012
yakni 10 per 1000 kelahiran dan terendah pada tahun 2015 yakni 7,5 per 1000 kelahiran,
Secara rinci angka lahir mati di Kabupataen Ketapang tahun 2012 s/d 2016.

4.2.2 Angka Kematian Bayi (AKB)

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan angka yang dapat menggambarkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat setempat karena bayi adalah kelompok usia yang paling rentan
terkena dampak dari perubahan lingkungan maupun sosial ekonomi. Indikator AKB terkait
langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan dan kesehatannya. Adapun yang
dimaksud kematian bayi yaitu kematian yang terjadi pada bayi usia 0 – 11 bulan (termasuk
kematian neonatal). Kematian neonatal yaitu kematian yang terjadi pada bayi usia sampai
dengan 28 hari. Angka kematian bayi dihitung dengan membandingkan jumlah kematian usia
0 – 11 bulan terhadap jumlah kelahiran hidup disuatu wilayah.

Kejadian kematian bayi pada tahun 2016 sebanyak 53 kejadian Kejadian ini jauh menurun
bila dibandingkan dengantahun 2015 yaitu 72 kejadian. Sedangkan angka kematian bayi
sejak tahun 2012 – 2016 berkisar antara 6 – 11 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian
bayi tertinggi terdapat pada tahun 2012 yakni 10,8 per 1000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi terendah terdapat pada tahun 2016 yakni 6,6 per 1000 kelahiran hidup.

4.2.3 Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balita (AKABA) dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat


permasalahan anak termasuk status gizi, sanitasi dan angka kesakitan lainnya. Kematian
Balita yaitu kematian yang terjadi pada bayi atau anak usia 0 – 59 bulan (bayi dan anak
balita). Angka kematian balita dihitung dengan membandingkan jumlah kematian usia 0 – 59
bulan disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Kematian balita tahun 2016 sebanyak 60
kejadian terdiri dari 53 kasus kematian bayi dan 7 kasus kematian balita, angka ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu sebanyak 75 kejadian.

AKABA (termasuk bayi dan balita) sejak tahun 2012 – 2016 berkisar antara 7 – 12 per
1.000 kelahiran hidup. AKABA tertinggi pada tahun 2012 yakni 11,7 per 1.000 kelahiran
hidup dan berangsur menurun menjadi 7,5 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2016.

4.2.4 Angka Kematian Ibu (AKI)

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan. Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau
kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya
kehamilan. Kematian ibu merupakan kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau
penanganannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan dan terjatuh.
Kejadian kematian ibu pada tahun 2016 sebanyak 8 kasus lebih rendah bila dibandingkan
dengan tahun 2015 sebanyak 10 kejadian. Angka kematian ibu (AKI) sejak tahun 2012–2016
cenderung naik turun dan berkisar antara 80,9–210,4 per 100.000 kelahiran hidup. AKI
tertinggi pada tahun 2014 dan AKI terendah terdapat pada tahun 2013.

4.2.5 HIV/AIDS dan Syphilis


HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah
terinfeksi berbagai penyakit yang lain. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih
dahulu dinyatakan HIV positif. Jumlah penderita HIV didapatkan dari layanan VCT
(Voluntary Counseling and Testing).

Sampai dengan Desember 2016 jumlah penderita HIV yang dilaporkan sebanyak 8 kasus.

Jumlah kasus HIV tersebut berada pada kelompok umur 25-49 tahun dan proporsi terbanyak
pada jenis kelamin laki-laki (62,5 %). Kelompok umur ini masuk kelompok usia produktif
yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik.
Sedangkan untuk kasus AIDS yang dilaporkan hingga Desember 2016 sebanyak 15 kasus.

4.2.6 DBD yang di temukan dan di tangani

Penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk kedalam
peredaran darah manusia menular melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes
aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat
menyerang semua kelompok umur. DBD merupakan masalah kesehatan di Kabupaten
Ketapang karena penyebarannya yang cepat. Jumlah kasus DBD dalam beberapa tahun ini
selalu meningkat, berpotensi menyebabkan kematian dan kasus semua wilayah Puskesmas
merupakan daerah endemis DBD.

Pada tahun 2016 jumlah kasus DBD sebanyak 89 kasus IR (Incidence Rate/angka
kesakitan 18,3 per 100.000 penduduk) dengan CFR (Case Fatality Rate/angka kematian
karena DBD = 0,0%, atau 0 kematian) angka ini turun signifikan dibandingkan tahun 2015
sebanyak 433 kasus IR 91,0 per 100.000 penduduk dengan CFR (Case Fatality Rate/angka
kematian karena DBD = 0,92% atau 4 kematian). Proporsi penderita DBD pada perempuan
(17,1%) lebih rendah dibandingkan pada laki-laki (19,5%). Kasus DBD di Kabupaten
Ketapang tertinggi pada tahun 2014 yakni sebanyak 924 kasus dan paling rendah pada tahun
2011 sebanyak 20 kasus.

4.2.7 Angka Kesakitan Malaria ( Annual Parasit Incidence/API)

Angka Kesakitan Malaria (Annual Parasite Insidence/API) merupakan indikator untuk


memantau perkembangan penyakit malaria. Penyakit malaria adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah
manusia dan ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles) betina serta dapat menyerang
semua golongan umur baik laki-laki maupun perempuan.

Cara memantau perkembangan penyakit malaria dengan sediaan darah yang diperiksa.
Pada tahun 2016 sediaan darah diperiksa sebanyak 10.057 dengan sediaan positif sebanyak
0,4% (40 sediaan). Tidak ada laporan kematian yang disebabkan penyakit malaria dari
fasilitas pelayanan kesehatan. Situasi angka kesakitan malaria (API/Annual Paracite
Incidence) sejak tahun 2012 – 2016 cenderung menurun, berkisar antara 0,1 – 2 per 1.000
penduduk. Tertinggi pada tahun 2013 sebesar 1.85 per 1.000 penduduk dan terendah pada
tahun 2016 sebesar 0,08 per 1.000 penduduk.

4.2.8 Penyakit Tidak Menular ( PTM)

Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, angka stunting atau
masalah gizi kronis di Kalimantan Barat masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka
rata-rata 33,3 persen. Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari
14 kabupaten/kota se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting
paling tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 persen,
disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen.

Stunting adalah kondisi di mana anak-anak memiliki tinggi badan yang lebih rendah dari
tinggi badan standar usianya. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya gizi
buruk, kurangnya kontrol frekuensi makan kepada bayi, hingga kurangnya pelayanan
kesehatan di daerah tersebut.

Untuk masalah stunting, Indonesia masih jauh di bawah Singapura dan Malaysia yang
masing-masing prevalensi stuntingnya hanya 4% dan 10%. Indonesia juga berada di bawah
Thailand (16%), Vietnam (23%), dan Myanmar (35%).

Indonesia sendiri berada di urutan ke-5 dunia dengan masalah stunting yang paling banyak.
Jika ditilik dari daftar, 10 daerah dengan angka stunting tertinggi di Indonesia, Kalimantan
Barat (Kalbar) berada di urutan pertama. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalbar, angka
stunting di daerah ini sebanyak 34% atau dialami oleh 139.884 anak.
Sementara kabupaten dengan prevalensi stunting terbanyak di Kalbar berada di Ketapang.
Kurangnya pengetahuan ibu akan kebutuhan gizi anak disebut sebagai salah satu
penyebabnya.

4.3 Analisi Lingkungan Kesehatan


Ditinjau dari aspek fasilitas air bersih dan fasilitas jamban di kecamatan Matan hilir
selatan masih rendah terutama air bersih. Hasil pengamatan dilapangan bahwa untuk
keperluan sehari-hari masyarkat memperoleh air berasal dari sumur, sungai dan air hujan. Di
kecamatan hilir selatan belum teralir air ledeng, begitu juga dengan fasilitas jamban yang
kurang. Masih ada masyarakat yang membuang air besar tidak dijamban seperti di badan air
atau di hutan. Hasil observasi tersebut dikuatkan dengan data data BPS Ketapang (2015)
persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat pembuangan air besar sendiri yaitu
67,45%, bersama 4,22, MCK Komunal 2,07 dan tidak ada 26,26%. Data tersebut
menggambarkan masih tingginya masyarakat belum memiliki fasilitas tempat pembuangan
air besar, sedangkan untuk fasilitas air bersih berdasarkan sumber air utama yang digunakan
rumah tangga untuk minum berasal dari mata air terlindungi, mata air tak terlindung
sebanyak 22,39%, yang menggunakan air kemasan atau air isi ulang sebesar 19,98%, leding
0,69% air hujan 12,91%, sumur terlindung sebesar 20,50%, sumur tak terlindung 14,47% dan
sumur bor 5,13%. Data tersebut menerangkan bahwa sumber air utama yang digunakan oleh
masyarakat ketapang didominasi berasal dari mata air terlindung, mata air tak terlindung dan
sumur terlindung, namun demikian masyarakat yang menggunakan sumber air yang berasal
dari sumber sumur tak terlindung juga masih tergolong tinggi (BPS Ketapang, 2015).
Hasil analisis jalur menjelaskan bahwa PHBS secara tidak langsung mempengaruhi
kejadian stunting melalui variabel riwayat penyakit infeksi yaitu dengan nilai koefisien 0,056
dengan besar pengaruh 0,31%, sedangkan pengaruh langsung PHBS terhadap variabel
riwayat penyakit infeksi yaitu 0,247 dengan besar pengaruh 6,10%, artinya PHBS
berpengaruh terhadap penyakit infeksi pada balita di kecamatan Matan hilir selatan.
Hubungan keterkaitan antara sanitasi lingkungan terhadap kejadian stunting juga diperkuat
dengan hasil penelitian Schmidt, C.W., (2014) yang menyatakan bahwa rendahnya kualitas
sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat memicu terjadinya penyakit gangguan saluran
pencernaan yang mengakibatkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dialihkan dan
digunakan untuk perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Hasil ini memperkuat penelitian
yang dilakukan Astari, L.D., Nasoetion, A., dan Dwiriani, C.M., (2005) bahwa praktek
sanitasi pangan mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan kerawatan terhadap
penyakit diare, sementara praktek sanitasi lingkungan mempengaruhi kejadian stunting
melalui peningkatan kerawanan terhadap penyakit ISPA. Penelitian lainnya yang juga
menunjukkan adanya pengaruh PHBS terhadap kejadian stunting yaitu hasil penelitian
Sulifana, A., (2014) menyatakan adanya pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat keluarga
terhadap penyakit diare balita yang mempengaruhi status gizi (BB/U) dan status gizi (TB/U).
Selain itu, perilaku hidup bersih dan sehat keluarga secara nyata berpengaruh terhadap
peningkatan resiko penyakit ISPA pada balita dan tidak berpengaruh nyata terhadap status
gizi (BB/U) dan status gizi (TB/U) balita.

Data sebaran riwayat penyakit infeksi dengan pendekatan pernah atau tidak menderita
penyakit infeksi dari 102 sampel balita di kecamatan Matan hilir selatan proporsinya hampir
sama antara yang infeksi dan tidak infeksi 51% dan 49%. Hasil ini menunjukkan
kecendrungan kejadian infeksi pada anak 24-59 bulan, rentan mengalami penyakit infeksi.
Hasil penelitian Kusumawati, E., (2015) mengungkapkan bahwa pada usia bayi ditemukan
tingginya risiko menderita penyakit infeksi yang disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang
kurang baik, kepadatan penduduk, kurangnya sarana pencegahan dan pengobatan penyakit,
masalah sosial ekonomi yang rendah serta kultur masyarakat. Akibatnya penyakit infeksi
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan pertumbuhan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa jenis penyakit yang paling dominan diderita
responden adalah penyakit diare dengan 18,6% atau sebanyak 19 orang dari jumlah sampel
102 orang, selanjutnya adalah penyakit muntaber dan cacar sebanyak 8,8 % dan 3,9%.
Menurut Kusumawati, Rahardjo dan Sari, (2015) menunjukkan tiga faktor yang secara
bersama-sama mempengaruhi stunting anak usia enam sampai 36 bulan, yaitu penyakit
infeksi, ketersediaan pangan dan sanitasi lingkungan dan yang paling dominan adalah
penyakit infeksi paling sering dialami adalah ISPA dan diare. Hal serupa juga diungkapkan
oleh Todaro & Smith (2009) dalam Hariyadi, D., (2011) yang menyatakan bahwa WHO telah
menemukan lima kondisi yang menyebabkan 70% kematian balita, yaitu infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), diare, cacar air, malaria dan kurang gizi. Kejadian penyakit infeksi
berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat keluarga. Berdasarkan analisis jalur PHBS
mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi dengan nilai koefisien 0,247 atau 6,10%. Temuan
ini dikuatkan pernyataan Notoatmojo (2007) yang mengungkapkan bahwa perilaku kesehatan
merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Hasil
temuan ini juga didukung oleh pernyataan Schmidt, C.W., (2014) yang menyatakan bahwa
rendahnya kualitas sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat memicu terjadinya penyakit
gangguan saluran pencernaan yang mengakibatkan energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dialihkan dan digunakan untuk perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Artinya
semakin sering terjadinya penyakit infeksi pada balita akan cenderung mengalami masalah
gizi, karena energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dialihkan untuk perlawanan tubuh
menghadap infeksi.

Cukup tidaknya asupan gizi akan memberikan perubahan pada status gizi. Semakin
tercukupnya asupan gizi maka status gizi akan semakin baik, artinya semakin baik asupan
gizi maka kejadian stunting akan semakin kecil. Sedangkan pengaruh asupan gizi terhadap
status gizi tinggi badan menurut umur dapat diketahui berdasarkan nilai koefisien jalur yaitu
sebesar 0,213, artinya dimana setiap kenaikan asupan gizi satu satuan maka variabel status
gizi tinggi badan menurut umur akan meningkat sebesar 0,213 satuan. Asupan gizi yang
kurang berkaitan dengan pengetahuan gizi ibu dan perilaku kadarzi terutama pola makan
yang beragam.

Dalam hal ini sikap dan perilaku dalam menentukan jenis dan variasi makanan
berkaitan dengan pengetahuan gizi Ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan
gizi ibu di kecamatan Matan hilir selatan didominasi tingkat pengetahun sedang yaitu sebesar
56,7% dan 15,7% tergolong rendah. Masih rendahnya pengetahuan gizi Ibu ini
mempengaruhi asupan gizi balita dalam menentukan jenis dan variasi makanan. Menurut
Adianti, dkk., (2016) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang terhadap gizi
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam menentukan jenis dan variasi makanan dan
selanjutnya akan berpen-garuh terhadap status gizi individu yang bersangkutan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan gizi atau kurangnya penerapan pengetahuan
gizi dalam praktek pemilihan jenis dan va-riasi makanan tiap hari dapat menyebabkan
timbulnya masalah gizi. Variasi atau aneka ragam makanan diperlukan, sebab tidak ada satu
jenis makanan yang mengandung semua zat gizi dan kesehatan yang dibutuhkan, kecuali ASI
(Adianti, dkk, 2016). Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa asupan gizi, riwayat infeksi,
pengetahuan gizi ibu, PHBS dan kadarzi memiliki pengaruh positif dan siginifikan terhadap
kejadian stunting baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan nilai koefisen
determinasi (R2) diketahui bahwa variabel asupan gizi, riwayat infeksi, pengetahuan gizi ibu
dan kadarzi mempengaruhi secara simultan terhadap varibel kejadian stunting dengan besar
pengaruh yaitu 0,397 (39,70%), sedangkan pengaruh lainnya sebesar 0,603 atau 60,3%.
Temuan ini bermakna bahwa kejadian stunting sebesar 39,70% dapat dijelaskan oleh variabel
asupan gizi, riwayat penyakit, perilaku kadarzi dan pengetahuan gizi serta PHBS, sedangakn
sebesar 60,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diamati. Temuan ini mempertegas
penelitian terdahulu yang menyimpulkan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh
multifaktor. Penelitian yang dilakukan Siahaan, N., dkk. (2014) menyatakan bahwa pekerjaan
orang tua, praktek menyusui, pendidikan orangtua, status ekonomi merupakan faktor yang
berhubungan dengan stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram
Kabupaten Batu. Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan Kusumawati, Rahardjo dan Sari,
(2015) yang menyatakan bahwa tiga faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi
stunting anak usia enam sampai 36 bulan, yaitu penyakit infek-si, ketersediaan pangan dan
sanitasi lingkungan dan yang paling dominan adalah penyakit infeksi paling sering dialami
adalah ISPA dan diare. Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan Fitri (2012) terdapat 4
faktor yang berhubungan dengan terjadinya stuntingyaitu berat lahir, jenis kelamin, wilayah
tempat tinggal, dan status ekonomi. Sedangkan yang merupakan faktor risiko determinan
terhadap kejadian stunting adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan
ayah, tinggi badan ibu dan pemberian ASI eksklusif (Wahdah, 2012).

Hasil penelitian ini juga memberikan makna bahwa kejadian stunting di kecamatan
Matan hilir selatan disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya asupan gizi, riwayat infeksi,
PHBS, pengetahuan gizi ibu dan kadarzi. Tetapi juga disebabkan oleh faktor lain yang secara
bersamaan maupun secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian stunting.
Kejadian stunting secara langsung di pengaruhi oleh variabel asupan gizi, riwayat infeksi,
pengetahuan gizi ibu dan kadarzi, sedangkan PHBS mempengaruhi kejadian stunting secara
tidak langsung melalui riwayat penyakit infeksi. Total Pengaruh langsung dan tidak langsung
yang paling dominan terhadap kejadian stunting adalah pengetahuan gizi ibu sebesar 0,31
atau sebesar 9,61%.

4.4 Angka Stunting Kabupaten Kalimantan Barat


Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada anak akibat kekurangan nutrisi dalam
waktu lama. Misalnya anak berusia 2-5 tahun dengan tinggi badan 120 cm, maka berat badan
yang ideal berkisar 23-25 kg. Sedangkan, seorang anak dikatakan stunting jika persen,
disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen, berat badannya hanya 19-20 kg
dengan tinggi yang sama.

Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, angka stunting atau
masalah gizi kronis di Kalimantan Barat masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka
rata-rata 33,3 persen. Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari
14 kabupaten/kota se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting
paling tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 Pemantauan
Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi,
yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta
tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak
balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita tahun
2016-2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil
kurang kalori dan protein, 7 dari 10 Balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita kurang
protein.

4.5 Faktor Penyebab Terjadinya Stuning

Untuk menekan angka tersebut, masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang
menyebabkan stunting. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak
(pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga,
anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.

Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal
kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses
terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman
pangan dan sumber protein hewani.

Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan
remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain
itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih
menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak. Menurut
BMCPublicHealth bahwa stunting berdampak negatif pada anak di kemudian hari, mulai ia di
sekolah hingga mencapai usia bekerja.

Berikut ada 5 faktor penyebab stunting pada anak :

1. Rendahnya berat badan bayi ketika lahir

Berat janin mencerminkan hasil perkembangan dalam kandungan pada kecukupan


nutrisinya saat dilahirkan.Bayi dikatakan memiliki berat lahir rendah atau BBLR apabila
memiliki berat badan kurang dari 2500 gr (2,5 kg) atau di bawah 1,5 kg.Dengan kondisi bayi
yang memiliki berat lahir rendah, kemungkinan akan mengalami masalah kesehatan dan
memiliki kecenderungan untuk menjadi stunting.Salah satu faktor yang memengaruhi berat
badan rendah pada bayi ialah status gizi buruk pada sang ibu sebelum maupun selama
kehamilan.Selain itu, postur tubuh ibu hamil yang pendek di bawah rata-rata (maternal
stunting) juga bisa membuat pertumbuhan janin di dalam kandungan jadi terhambat dan terus
berlanjut sampai kelahiran.

2. Kurangnya kebersihan lingkungan yang menyebabkan anak terkontaminasi bakteri

Ada kemungkinan besar bahwa ada hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak
dengan praktik sanitasi rumah tangga.Anak-anak yang terkontaminasi bakteri karena
kurangnya kebersihan di lingkungan rumah bisa mengarah ke infeksi usus. Hal inilah yang
juga memengaruhi status gizi mereka.Bahkan anak yang sering mengalami penyakit berulang
seperti diare dan infeksi cacing usus (helminthiasis) akibat paparan lingkungan kotor juga
dapat dikaitkan dengan stunting.Pasalnya, kondisi ini berpengaruh besar pada penurunan
kemampuan sistem pencernaan dan kekebalan sebagai penangkal organisme penyebab
penyakit. Akibatnya, nutrisi sang anak tidak diserap dengan sempurna.

Sementara memelihara kebiasaan yang sehat di rumah seperti mencuci tangan dengan sabun
antiseptik dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal merupakan cara terbaik untuk
mencegah stunting.

3. Janin kekurangan asupan makanan bernutrisi di masa kehamilan

Sebenarnya sejak bayi di dalam kandungan, ia harus tercukupi kebutuhan gizinya sampai
dilahirkan dan tumbuh besar.Jika ibu hamil kurang mengonsumsi makanan bernutrisi seperti
asam folat, protein, kalsium, zat besi dan omega-3 maka bisa melahirkan anak dengan kondisi
kurang gizi.
Pasalnya, stunting adalah kejadian yang tak dapat dikembalikan seperti semula jika sudah
terjadi gangguan pertumbuhan pada sang anak karena kekurangan gizi sejak ia di dalam
kandungan.

4. Melewatkan imunisasi bisa mengalami infeksi berulang pada anak

Stunting sendiri bisa diartikan sebagai pertumbuhan yang terhambat akibat gizi buruk
maupun terjadinya infeksi berulang.Sedangkan manfaat imunisasi adalah untuk menstimulasi
sistem imun dalam membentuk antibodi yang dapat mengurangi anak dari resiko infeksi.Di
mana peran imunisasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting.
Apabila sedari kecil mereka melewatkan jadwal imunisasi, maka ketika anak terkena
penyakit ia pun mengalami perubahan seperti tidak nafsu makan.Ketika kebutuhan zat gizi
anak tidak terpenuhi dengan baik, kemungkinan besar akan menghambat pertumbuhan dan
kecerdasannya yang mengakibatkan stunting.

5. Tidak mendapatkan ASI eksklusif menyebabkan malnutrisi pada anak

Tentunya, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama akan memberikan


perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal dan berkaitan dengan stunting. Infeksi tersebut
dapat menyebabkan malnutrisi yang parah.

Malnutrisi merupakan kondisi di mana tubuh tidak menerima asupan gizi yang
cukup.Sementara, jika sang anak tidak mendapatkan ASI sejak dilahirkan, ia akan
kekurangan gizi maupun sistem kekebalan dan pada akhirnya menyebabkan stunting.

Sedangkan ASI merupakan asupan nutrisi dan sumber protein berkualitas baik yang dapat
memenuhi ¾ kebutuhan protein pada bayi usia 6–12 bulan.

Agar anak tidak mengalami stunting, Mama bisa mencegahnya sejak awal kehamilan.
Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama kehamilan adalah langkah
yang tepat.

4.6 Hubungan Kebutuhan Asuh Ibu Terhadap Stunting pada Balita

Balita adalah anak yang telah berusia 1-5 tahun. Menurut Proverawati (2009) balita
dibedakan menjadi dua yaitu batita (1-3 tahun) sedangkan anak usia pra sekolah (3-5 tahun).
Anak balita masih sangat bergantung penuh kepada orang tua nya untuk melakukan kegiatan
seperti mandi, buang air dan makan (widia, 2015).
Golden Age (masa emas) merupakan masa yang sangat penting untuk membentuk karakter
dan tumbuh kembang anak (kertamuda, 2015). Kegagalan dari terpenuhinya kebutuhan anak
usia golden age baik dalam kandungan maupun dibawah usia 5 tahun dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak, salah satunya adalah balita
pendek (stunting).

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia balita disebabkan oleh gizi kronis
yang kurang dalam waktu lama. Kekurangan gizi ini dapat menyebabkan anak menjadi
terlalu pendek untuk seusianya (TNP2K, 2017). Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, kemudian menyebabkan penderitanya mudah
sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (Millennium Challenge Account,
2014). Dampak buruk lainnya yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka waktu pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan actor or dalam tubuh, sedangkan dalam jangka
panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan
prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,
stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat
pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemendes, 2017).Keadaan stunting merupakan
lingkaran setan yang akan berulang dari generasi ke generasi selama kemiskinan tersebut
tidak ditanggulangi (Soetjiningsih, 2012).

Di dunia terdapat 162 juta anak balita usia dibawah 5 tahun terancam dan beresiko
mengalami stunting, WHO (2014) memperkirakan jika stunting terus berlanjut maka pada
tahun 2025 diproyeksikan actor o 127 juta anak balita akan mengalami stunting. Di Asia
sendiri terdapat 56% anak dan di Afrika 36% anak (Kemenkes RI, 2016).

Angka balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang
harus ditanggulangi. Pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak
Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia (Millennium Challenge Account, 2014).
Prevalensi balita stunting di Asia posisi tertinggi diduduki oleh actor Indonesia (36,4%)
dibandingkan dengan dengan actor Asia lainnya seperti Myanmar (29,2%), Viet Nam
(24,6%), Brunei Darussalam (19,7%), Malaysia (17,7%), Thailand (16,3%) dan Singapura
(4,4%) (United Nations, 2017).
Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di
antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight
pada balita (Kemenkes RI, 2016). Status stunting berdasarkan provinsi tahun 2017 di
Kalimantan Barat termasuk ke dalam 10 provinsi tertinggi terjadinya stunting yaitu terdapat
36,5% (Kemenkes RI, 2018).Angka kejadian stunting pada balita di Kubu Raya 34,8%, data
ini lebih tinggi actor or dengan angka kejadian stunting dibeberapa daerah lainnya.
Kalimantan Barat seperti Kabupaten landak 33,3 %, Kabupaten Ketapang 33,0 %, dan
Kabupaten Kayong Utara 33,8%. Kota Pontianak sendiri angka kejadian stunting sendiri
berjumlah 28,4 %. Padahal Kabupaten Kubu Raya merupakan Kabupaten terdekat yang
berbatasan langsung dengan Kota Pontianak, akan tetapi data stunting masih sangat tinggi di
Kabupaten Kubu Raya dibandingkan kabupaten-kabupaten lainnya yang terletak jauh dari
Kota Pontianak (Kemenkes RI, 2018).

Salah satu penanganan yang dapat mencegah terjadinya stunting pada anak adalah dengan
dipenuhinya dalam tahap tumbuh kembang yaitu kebutuhan asuh, asih dan asah, kebutuhan
dasar ini yang berpengaruh terhadap status gizi. Kebutuhan dasar yang sangat berpengaruh
status gizi adalah pemenuhan kebutuhan asuh karena berkaitan langsung dengan lingkungan
fisik anak (Rahmawati, 2008).

Kebutuhan asuh adalah kebutuhan biomedis meliputi pemenuhan nutrisi yang mencukupi
dan seimbang, perawatan kesehatan dasar, pakaian, sanitasi, actor diri dan lingkungan serta
kesegaran jasmani (Nursalam, 2008; Sulist, 2017 ).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arifah (2013) menunjukan bahwa pemenuhan
kebutuhan dasar memiliki hubungan antara pertumbuhan balita gizi kurang. Akan tetapi
belum ada penelitian yang mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar (asuh) terkait dengan
stunting. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Pemenuhan
Kebutuhan Asuh Ibu Terhadap Status Stunting Pada Balita Usia 1-5 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas X Kabupaten Kubu Raya”.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di Puskesmas X Kabupaten Kubu Raya
didapatkan bahwa distribusi responden pada ibu yang bekerja lebih banyak mengalami balita
stunting yaitu 9 anak dengan persentase (50%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hanum dkk (2014) menunjukan bahwa didapatkan ibu tidak bekerja
(79%) akan tetapi ibu yang bekerja lebih banyak terjadinya anak stunting (23,4%)
dibandingkan ibu yang tidak bekerja (18,6%). Balita dengan ibu tidak bekerja lebih
cenderung tidak stunting karena peran ibu sangatlah penting dalam mengurus dan merawat
anak serta menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang nantinya dikonsumsi oleh anak,
namun, actor lain juga harus diperhatikan seperti tingkat pengetahuan dan pola asuh ibu
(Desyanti & Nindya, 2017). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan Agustiningrum (2016) menunjukan bahwa sebanyak 72 responden (50,3%) anak
stunting termasuk dalam kategori ibu tidak bekerja.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas X didapatkan bahwa


distribusi pendidikan ibu lebih dominan berpendidikan rendah yaitu SD sebanyak 19
responden (76%) memiliki balita stunting.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rahayu dkk (2014) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu mempunyai
peran penting dalam kejadian stunting. Ibu dengan pendidikan rendah 5,1 kali lebih berisiko
memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Fajrina (2016) juga didapatkan bahwa 37 responden (32,4%) yang
berpendidikan rendah terdapat 25 (67,6%) memiliki anak stunting hal ini dapat di artikan
adanya hubungan signifikan antara stunting dengan pendidikan ibu.

Berdasarkan hasil penelitian, yang dilakukan di Puskesmas X Kabupaten Kubu Raya,


didapatkan lebih banyak balita stunting usia 1-3 tahun sebanyak 30 orang balita (46%). Pada
umumnya, stunting terjadi pada balita, khususnya usia 1-3 tahun. Pada rentang usia tersebut
ibu sudah act melihat apakah si anak terkena stunting atau tidak. Menurut Kemendes (2017)
Stunting akan actor setelah anak berusia 2 tahun. Stunting disebabkan oleh Faktor Multi
Dimensi. Intervensi paling menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama Kehidupan).
Insiden stunting mencapai angka tertinggi pada periode usia 6-24 bulan karena anak memiliki
kebutuhan zat gizi yang tinggi. Disisi lain, kebutuhan zat gizi yang tinggi tersebut tidak
diimbangi dengan kualitas dan kuantitas MPASI yang adekuat, khususnya setelah masa
pemberian ASI Ekslusif (Paramashanti, 2015). Hasil penelitian yang telah peneliti lakukan di
Puskesmas X didapatkan bahwa distribusi jenis kelamin pada balita menunjukan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih banyak mengalami stunting sebanyak 25 balita (52%) sedangkan
balita stunting perempuan didapatkan 21 orang balita (40,3%). Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dkk (2016) didapatkan bahwa stunting berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak terjadi sebesar 25%. Penelitian lain yang serupa dengan
penelitian ini yang didapatkan oleh Ponamon dkk (2015) menyatakan bahwa status gizi
stunting lebih banyak terdapat pada laki-laki yaitu 16 anak (29,6%) dibandingkan dengan
anak perempuan yang hanya 11 anak (20,4%). Penelitian ini berbeda dengan penelitian
Hidayat dkk (2017) didapatkan hasil yang serupa yaitu balita perempuan lebih banyak
mengalami stunting dibandingkan laki-laki , hasil analisis regresi actor o menunjukkan,
anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29% terhadap stunting
dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada tahun pertama kehidupan, laki-laki lebih rentan
mengalami malnutrisi dari pada perempuan karena ukuran tubuh laki-laki yang besar dimana
membutuhkan asupan actor yang lebih besar pula sehingga bila asupan makan tidak
terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan
gangguan pertumbuhan. Balita yang memiliki tinggi badan normal dapat dipengaruhi oleh
beberapa actor seperti kecukupan gizi balita.

Kecukupan gizi anak sangat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga, keluarga dengan
status ekonomi tinggi akan cenderung dapat mencukupi kebutuhan nutrisi dengan baik dan
dapat lebih memberikan variasi makanan pada anak (Indrawati, 2016). Pada penelitian ini
didapatkan laki-laki balita dengan TB/U normal yaitu 23 balita (47,9%) sedangkan balita
dengan TB/U normal perempuan sebanyak 31 (59,6%). Hal ini diduga karena actor
kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap anak perempuan. Anak
perempuan dianggap anak yang lemah sehingga mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan
dengan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat (Rosha dkk, 2012).

Hasil penelitian yang telah peneliti lakukan di Puskesmas X didapatkan bahwa distribusi
pemberian ASI Ekslusif yang didapatkan pada pemberian ASI tidak ekslusif mempunyai
balita stunting lebih banyak dari pada balita normal yaitu 24 balita (50%). Sebagian besar
responden dalam katagori sangat pendek tidak mendapatkan ASI Ekslusif ada 9 responden
(18,8%). Responden dalam katagori pendek sebagian besar mendapatkan ASI Ekslusif yaitu
19 responden (36,5%), sedangkan responden dalam kategori normal sebagian besar
mendapatkan ASI Ekslusif yaitu 30 balita (57,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Indrawati (2016) menerangkan bahwa sebagian besar responden dalam
katagori sangat pendek tidak mendapatkan ASI Ekslusif 70,8%. Penelitian lain menunjukan
hal serupa yang dilakukan oleh Pangkong (2017) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
di wilayah kerja Puskesmas Sonder menunjukkan batita yang diberi ASI eksklusif berstatus
gizi stunting sebesar 20,7% dan batita yang tidak diberi ASI eksklusif berstatus stunting lebih
besar yaitu 26,8%. Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko lebih tinggi untuk
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan. Begitu juga anak yang
mengalami infeksi rentan terjadi status gizi kurang. Anak yang mengalami infeksi jika
dibiarkan maka berisiko terjadi stunting(Nugroho, 2016). ASI eksklusif dapat menurunkan
risiko kejadian stunting, karena kandungan kalsium pada ASI mempunyai bioavailabilitas
yang tinggi sehingga dapat diserap dengan optimal terutama dalam fungsi pembentukan
tulang anak.Hasil penelitian didapatkan ibu yang bekerja tidak memberikan ASI Ekslusif
sebesar 50%. Hal ini dikarenakan pada ibu yang bekerja singkatnya masa cuti
hamil/melahirkan mengakibatkan sebelum masa pemberian ASI eksklusif berakhir sudah
harus kembali bekerja. Hal ini mengganggu uapaya pemberian ASI eksklusif. Selain itu
gencarnya promosi susu formula dan kebiasaan memberikan makanan/minuman secara dini
pada sebagian masyarakat, menjadi pemicu kurang berhasilnya pemberian ASI eksklusif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas X didapatkan bahwa distribusi penyakit
infeksi menunjukan bahwa pada balita stunting sebagian besar balita memiliki riwayat
penyakit infeksi sebanyak 34 balita (54,8%). Penelitian ini didukung oleh Taliwongso dkk
(2017) didapatkan bahwa distribusi frekuensi keadaan diare pada balita stunting menunjukan
30,9% balita.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas X didapatkan bahwa distribusi


responden dengan status stunting telah didapatkan data sebanyak 46 anak yaitu sangat pendek
12 balita (12%) pendek 34 balita (34%) dan normal sebanyak 54 balita (54%). Pada
penelitian ini ditemukan balita normal lebih banyak dari pada balita stunting yakni dengan
jumlah 54 balita (54%) normal. Hal ini dapat dikarenakan pemenuhan pengasuhan ibu kepada
balitanya sudah tergolong baik. Faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting
yaitu keturunan dari orang tua balita. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Latif & Istiqomah
(2017) menunjukan bahwa proporsi terbanyak pendapatan orang tua responden, actor tinggi
badan orang tua, sosio demografi, asupan nutrisi dengan kondisi stunting. Terlihat bahwa
pada kelompok responden yang memiliki keturunan stunting (ayah dan ibu stunting, atau
salah satu dari orang tua stunting) hal ini menunjukan bahwa Faktor herediter tinggi badan
kedua orang tua atau salah satunya berhubungan signifikan dengan kejadian stunting.

Hasil penelitian yang telah peneliti lakukan di Puskesmas X didapatkan bahwa distribusi
responden dengan pemenuhan kebutuhan asuh menunjukan sebagian besar responden dalam
katagori baik yaitu sebanyak 54 balita (54%). Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan gizi
memang memegang peranan yang penting untuk menunjang proses tumbuh kembang. Akan
tetapi, dalam pemberian gizi, peran lingkungan dan interaksi anak dengan orang tua juga
diperlukan. Oleh sebab itulah perlu diterapkan pola asih, asuh dan asah dalam merawat anak
(Febri & Zulfito, 2008) Keluarga yang memberikan pengasuhan baik terutama terhadap
kebutuhan zat gizi, maka akan mempengaruhi status gizi anak. Pemberian MP-ASI yang tepat
pada anak usia 12-24 bulan akan menurunkan risiko malnutrisi, karena pada usia tersebut
kebutuhan zat gizi anak tidak dapat tercukupi hanya dari ASI saja (Anugraheni HS &
Kartasurya MI, 2012).

Status stunting di pengaruhi oleh pemenuhan pola pengasuhan kebutuhan dasar pada
balita. Semakin baik pola pengasuhan ibu maka akan semakin baik pertumbuhan anak. Pada
hasil penelitian ini menujukan bahwa ada hubungan antara pemenuhan kebutuhan asuh ibu
terhadap status stunting pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Sungai Durian Kabupaten
Kubu Raya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p= 0,02 (p < 0,05).

Kebutuhan dasar merupakan salah satu actor dari masalah kekurangan gizi, seperti BGM.
Pola asuh yang sigifikan mempengaruhi masalah kekurangan gizi yaitu kebutuhan dasar asuh,
asah dan asih. Kebutuhan dasar balita yang tidak terpenuhi secara optimal pada anak yang
memiliki masalah kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak tidak
berjalan secara optimal (Sulistiyani, 2010). Penelitian yang sejalan dengan penelitian ini yang
dilakukan oleh Rahmayana (2014) berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
mengenai hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan, maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara praktik pemberian
makan, rangsangan psikososial, praktik kebersihan/ Higyene, sanitasi lingkungan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting pada anak.

4.7 Analisis Prilaku Kesehatan

Distribusi frekuensi ditinjau dari perilaku kadarzi yaitu 60,8% atau sebanyak 62 orang
dinilai kategori baik, 33 orang atau sebesar 32,4% memiliki kategori sedang dan sebanyak 7
orang atau sebesar 6,9% diketegorikan rendah. Kadarzi diamati dari

lima perilaku, yaitu mengkonsumsi beraneka ragam makanan, menimbang berat badan secara
rutin setiap bulan terutama balita, ibu hamil dan ibu menyusui, mengkonsusmi garam
beryodium, memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, serta mendapatkan dan
memberikan suplementasi pada balita. Kemudian bila ditinjau dari Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat sebanyak 31 orang atau sebesar 30,4% dikategorikan memiliki perilaku hidup bersih
dan sehat yang baik, sebanyak 63 orang atau sebesar 61,8% kategori sedang dan sebanyak 8
orang atau sebesar 7,8 % dikategorikan memiliki PHBS yang kurang baik. Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat diamati dari 10 perilaku, yaitu pertolongan persalinan dengan tenaga
kesehatan, ASI eksklusif, menimbang badan, fasilitas air bersih, kebiasaan cuci tangan,
fasilitas jamban, pemberantasan jentik nyamuk, mengkon-sumsi sayur dan buah, melakukan
aktifitas fisik, dan kebiasaan merokok.

Berdasarkan hasil analisis univariat 60,8% memiliki kadarzi yang baik, 32,4%
memiliki perilaku yang sedang dan 6,9% memiliki perilaku kadarzi yang kurang baik. Data
tersebut menunjukkan bahwa perilaku kadarzi di kecamatan matan hilir masih actor o
rendah. Pernyataan tersebut didasari oleh data hasil pengamatan terhadap perilaku kadarzi
responden ter-utama ditinjau dari aspek penerapan pemberian ASI dan pola makan beragam.
Data hasil pengamatan untuk kedua actor or tersebut yaitu 65,7% responden memberikan
ASI eksklusif dan 64,7% responden memiliki pola makan beragam. Persentase pemberiaan
ASI eksklusif ini termasuk rendah jika diband-ingkan dengan data BPS Ketapang (2016)
yang menyatakan bahwa secara umum di kabupaten ketapang pada tahun 2015 terdapat
96,67% anak kurang dari 2 tahun yang pernah diberi ASI. Rendahnya persentase praktek
pemberian ASI di kecamatan matan hilir selatan mengindikasikan bahwa Ibu balita di
kecamatan matan hilir selatan masih belum menyadari pentingnya ASI bagi anaknya.
Rendahnya kesadaran Ibu akan pentingnya memberikan ASI pada balitanya dipengaruhi oleh
pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-kultural, terbatasnya petugas kesehatan dalam
memberikan penyuluhan, tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahir-kan (BPS
Ketapang, 2016). Selain actor or pemberian ASI yang rendah, actor or pemberian makan
beragam juga masih tergolong rendah yaitu 64,7%. Rendahnya konsumsi makan makan
aneka ragam terkait dengan pengetahuan gizi ibu dan tingkat ekonomi keluarga. Menurut
Adianti, dkk. (2016), Rendahnya perilaku keluarga untuk mengkonsumsi makanan beragam
dikarenakan rendahnya daya beli dan kurangnya pengetahuan Ibu sebagai penentu menu
makanan keluarga. Hasil ini memperkuat hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa
rumah tangga dengan perilaku kesadaran gizi (KADARZI) yang kurang baik berpeluang
untuk meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita 1.22 kali lebih besar daripada
rumah tangga dengan perilaku kesadaran gizi (KADARZI) yang baik (Hariyadi, D,. dan
Ekayanti, I. 2011).

Berdasarkan analisis jalur, diperoleh informasi bahwa perilaku kadarzi


memberikankontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ke-jadian
stunting. Pengaruh langsung kadarzi terhadap kejadian stunting diperoleh nilai koefisien jalur
yaitu 0,248, sedangkan pengaruh tidak langsung melalui asupan gizi yaitu 0,06 sehingga total
pengaruh yaitu 0,308 atau 9,49%. Hasil ini mempunyai makna bahwa kejadian stunting di
kecamatan Matan hilir selatan sebesar 9,49% dipengaruhi oleh actor o kadarzi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tersebut terkait dengan rendahnya perilaku
kadarzi keluarga terutama pada actor or ASI eksklusif dan makanan yang beragam.
Pramashanti., B.A., Hamam Hadi dan Gunawan, I.M.A., (2015) menjelaskan bahwa actor-
faktor yang berkontribusi pada siklus mal-nutrisi intergenerasi antara lain status gizi ibu yang
buruk, penyakit infeksi, pemberian air susu ibu (ASI) yang tidak adekuat, makanan
pendamping ASI (MPA-SI) yang buruk baik kualitas maupun kuantitasnya, pola asuh yang
tidak optimal dan actor-faktor lain seperti kondisi ekonomi, ketahanan pangan keluarga dan
akses terhadap pelayanan kesehatan.

Pemahaman dan pengetahuan ibu tentang gizi menjadi salah satu actor yang
mengakibatkan tingginya prevalensi stunting pada balita. Menurut Alamsyah. D., dkk.
(2015), mengungkapkan bahwa persoalan gizi kurang dan gizi buruk pada balita dapat
disebabkan sikap atau perilaku ibu yang menjadi actor dalam pemilihan makanan yang tidak
benar. Pemilahan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan
keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan
gizinya. Hasil analisis sebaran tingkat pengetahuan gizi Ibu diperoleh informasi bahwa Ibu
yang memiliki pengetahuan gizi tinggi hanya sebesar 27,5%, selebihnya memiliki
pengetahuan gizi sedang sebesar 56,9% dan 15,7% memiliki pengetahuan gizi rendah.
Rendahnya pengetahuan gizi ibu diduga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan Ibu dan
masih terdapat masyarakat yang buta huruf, sehingga akses dan kesempatan untuk
mendapatkan pengetahuan gizi sangat terbatas.

4.8 Analisis Kependudukan


4.8.1 Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Ketapang sampai dengan Tahun 2015 berdasarkan data
kecamatan dalam angka berjumlah 476.092 jiwa yang tersebar di 251 Kelurahan
maupun desa dalam 20 wilayah administratif Kecamatan. Jumlah penduduk tersebut
terbagi dalam 38.207 Kepala Keluarga (KK). Dengan luas wilayah seluas 31.588
Km2
4.8.2 Kepadatan
Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Ketapang sebesar 18 jiwa/km2. Angka
tersebut menunjukkan bahwa wilaya Kabupaten Ketapang jauh dari kepadatan
penduduk
4.8.3 Pertumbuhan
Proyeksi pertumbuhan penduduk Kabupaten Ketapang sampai tahun 2019 kurang
lebih berjumlah 523.581 orang penduduk atau terjadi kenaikan sekitar 9.07 %
dibanding lima tahun sebelumnya dengan pertambahan kepadatan kurang lebih 2
orang persatuan meter persegi.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang pada Tahun 2015 mengalami
peningkatan cukup signifikan dibanding tahun 2014 yang mencapai dua kali lipat.
Selama periode 2011-2015 pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditunjukkan tabel II-
6, terus mengalami kontraksi yang mengarah pada pelambatan dengan dengan jarak
interval yang cukup besar sejak tahun 2011 sebesar 7,54 % hingga ke tahun 2014
yang hanya tumbuh sebesar 2,75 %. Masyarakat Kabupaten Ketapang patut merasa
bersyukur karena perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berlangsung
lama, pada tahun 2015 terjadi peningkatan pertumbuhan dengan angka fantastis yakni
sebesar 5,53 % sebagai indikasi bergairahnya kembali aktivitas ekonomi masyarakat.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang pada tahun 2015 ternyata
berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Barat. Pada
Tahun yang sama pertumbuhan ekonomi Propinsi sebesar 4,81 persen mengalami
perlambatan pertumbuhan dibandingkan Tahun 2014 yaitu sebesar 5,02 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang periode Tahun 2011 – 2015
rata-rata tumbuh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi Provinsi
Kalimantan Barat. Untuk Tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ketapang
sebesar 5,53 persen.

4.9 Analisis Program Dan Pelayanan Kesehatan


4.9.1 Sarana Fasyankes
1. Rumah Sakit Umum : 1
2. Puskesmas : 24
3. Puskesmas Pembantu (Pustu) : 137
4. Rumah Sakit Bersalin : -
5. Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) : 195
6. Puskesmas Ranap : 8 puskesmas
7. Jumlah Puskesmas non ranap : 16 puskesmas
8. Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) : 88
9. Jumlah jejaring 108 (apotik, klinik , praktek)

4.9.2 Jumlah SDM Kesehatan


Dokter : 76 terdiri dokter spesialis, umum
Dokter gigi : 6 orang
Bidan : 578 org
Perawat : 965 orang
Perawat Gigi : 36
Farmasi : 39
Kesmas : 37 org
Kesling : 23 org
Gizi : 51 org

4.9.3 Analisis Program Kesehatan Kabupaten

Gambar Struktur Organisasi Tim Percepatan Penurunan Stunting


Kabupateng Ketapang
Tabel Program/Kegiatan Kovergensi
Penurunan Stunting di Kabupaten Ketapang

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan adanya gangguan
di masa yang akan datang yakni mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ) lebih rendah
dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, angka stunting atau
masalah gizi kronis di Kalimantan Barat masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka
rata-rata 33,3 persen. Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari
14 kabupaten/kota se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting
paling tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 Pemantauan
Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi,
yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta
tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak
balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan
remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain
itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih
menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak. Menurut
BMCPublicHealth bahwa stunting berdampak negatif pada anak di kemudian hari, mulai ia di
sekolah hingga mencapai usia bekerja.

Hasil observasi tersebut dikuatkan dengan data data BPS Ketapang (2015) persentase
rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat pembuangan air besar sendiri yaitu 67,45%,
bersama 4,22, MCK Komunal 2,07 dan tidak ada 26,26%. Data tersebut menggambarkan
masih tingginya masyarakat belum memiliki fasilitas tempat pembuangan air besar,
sedangkan untuk fasilitas air bersih berdasarkan sumber air utama yang digunakan rumah
tangga untuk minum berasal dari mata air terlindungi, mata air tak terlindung sebanyak
22,39%, yang menggunakan air kemasan atau air isi ulang sebesar 19,98%, leding 0,69% air
hujan 12,91%, sumur terlindung sebesar 20,50%, sumur tak terlindung 14,47% dan sumur
bor 5,13%.

Hasil observasi ini menunjukkan kecendrungan kejadian infeksi pada anak 24-59 bulan,
rentan mengalami penyakit infeksi. Hasil penelitian Kusumawati, E., (2015) mengungkapkan
bahwa pada usia bayi ditemukan tingginya risiko menderita penyakit infeksi yang disebabkan
oleh sanitasi lingkungan yang kurang baik, kepadatan penduduk, kurangnya sarana
pencegahan dan pengobatan penyakit, masalah sosial ekonomi yang rendah serta kultur
masyarakat. Akibatnya penyakit infeksi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
gangguan pertumbuhan.

Penelitian yang sejalan dengan penelitian ini yang dilakukan oleh Rahmayana (2014)
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan pola asuh ibu dengan
kejadian stunting anak usia 24-59 bulan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara praktik pemberian makan, rangsangan psikososial, praktik kebersihan/
Higyene, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting
pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180524/4125980/penyebab-
stunting-anak/

https://www.google.com/amp/s/lifestyle.okezone.com/amp/2018/03/25/481/1877642/stunt
ing-di-kalimantan-barat-tertinggi-se-indonesia-ini-2-pr-pemerintah-provinsi

https://www.kalbaronline.com/2020/01/18/riskesdas-2018-tiga-kabupaten-ini-tempati-
urutan-tertinggi-kasus-stunting-di-kalbar/amp/

https://dinkes.ketapangkab.go.id/index.php/download/renstra-2016-2021/

https://www.google.com/amp/s/docplayer.info/amp/50350883-Profil-kesehatan-provinsi-
kalimantan-barat-tahun-2015.html

https://kalbar.bpk.go.id/pemerintah-daerah-kabupaten-ketapang/

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws
_file/dokumen/rpi2jm/DOCRPIJM_1506593360Bab_II_a.pdf&ved=2ahUKEwj0
3prs063vAhVW8HMBHcycByUQFjAAegQIARAC&usg=AOvVaw2lJAxbYnZ7
cjMGw0dOEAgZ

https://kalbarprov.go.id/page/geografis

https://pontianak.tribunnews.com/2020/01/24/dinkes-ketapang-siapkan-tiga-strategi-utama
tingkatkan-pelayanan-kesehatan-ke-masyarakat

https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/viewFile/34335/75676582193

https://jurnalis.co.id/2021/03/23/pemkab-ketapang-terus-berupaya-turunkan-angka-stunting/

http://kalbar.bkkbn.go.id/peran-pemberdayaan-keluarga-untuk-tangani-stunting-dikalbar.html

Anda mungkin juga menyukai