Anda di halaman 1dari 47

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat TUHAN yang Maha Esa karena atas segala
rahmat-Nya sehingga rangkaian kegiatan penelitian dalam rangka praktika senior wound care
mengenai “Pola Manajemen Luka” telah selesai dilakukan sesuai dengan rancangan yang
telah disusun. Dengan berbagai tingkat kesulitan yang dihadapi penulis selama proses, pada
akhirnya dapat diatasi dengan baik meskipun banyak ketidaksempurnaan di dalamnya.
Adapun semua tahap penelitian sudah dilaksanakan dari persiapan, penggalian data,
pengolahan data dan pembahasan.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Kesempurnaan itu hanya milik TUHAN
semata, sehingga saran dan perbaikan akan sangat diperlukan untuk penyempurnaan
penelitian ke depan.

Blitar, 10 Juni 2017

Penulis
Yuventus M.A Nahak, S.Kep

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................


DAFTAR ISI...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................
1.1 LATAR BELAKANG ..........................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................
1.3 TUJUAN ...............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................
2.1DEFINISI ...............................................................................
2.2 ETIOLOGI ............................................................................
2.3 PATOFISIOLOGI .................................................................
2.4 MANIFESTASI KLINIS ......................................................
2.5 KOMPLIKASI ......................................................................
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG ..........................................
2.7 PENATALAKSANAAN ......................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN .........................................
3.1 PENGKAJIAN .....................................................................
3.2 DIAGNOSA ..........................................................................
3.3 RENCANA KEPERAWATAN ...........................................
BAB IV PENUTUP ........................................................................
4.1 KESIMPULAN .....................................................................
4.2 SARAN .................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penanganan luka tidak bisa dianggap remeh, namun hingga kini penanganan luka
masih dilakukan dengan cara lama. Biasanya penanganan luka atau disebut sebagai
manajemen luka, khususnya luka ringan adalah dengan cara membersihkan luka dan
mengoleskan obat luka yang dikenal dengan obat merah. Sementara pada luka berat, langkah
yang diambilpun hampir sama. Banyak yang tidak memikirkan apakah luka tersebut perlu
dibalut atau tidak.
Cara lain yang telah dikembangkan untuk membantu penyembuhan luka, seperti
dengan menjahit luka, menggunakan antiseptic dosis tinggi, dan juga pembalutan dengan
menggunakan bahan yang menyerap. Namun, ketika diteliti lebih lanjut, ternyata cara
penyembuhan seperti ini sama sekali tidak membantu bahkan berisiko memperburuk luka.
Menggunakan antiseptic pada luka dengan tujuan menjaga luka tersebut agar menjadi ‘steril’.
Bahkan antiseptic seperti hydrogen peroxide, povidone iodine, acetic acid, dan
chlorohexadine selalu digunakan untuk menangani luka. Masalah utama yang timbul adalah
antiseptic tersebut tidak hanya membunuh kuman-kuman yang ada, tapi juga membunuh
leukosit yaitu sel darah yang dapat membunuh bakteri pathogen dan jaringan fibroblast yang
membentuk jaringan kulit baru. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada proses
penyembuhan luka.
Perawatan luka tergantung dari derajat luka tersebut, semakin dalam lapisan kulit
yang terkena, maka akan memakan waktu yang lebih lama. Apalagi jika pasien memiliki
riwayat penyakit yang memperlama penyembuhan luka seperti diabetes melitus. Luka pada
penderita diabetes melitus, jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan gangren dan
bahkan dapat berakibat diamputasi. Namun, tindakan amputasi dapat dicegah jika dirawat
dengan cara yang seksama dan metode yang benar dan dilakukan oleh perawat yang ahli.
Namun sekarang, perkembangan perawatan luka atau disebut dengan wound care
berkembang sangat pesat sejak 15 tahun yang lalu di dunia kesehatan. Manajenen luka yang
berkembang saat ini adalah perawatan luka dengan menggunakan prinsip moisture balance,
dimana disebutkan dalam beberapa literatur lebih efektif untuk penyembuhan luka jika
dibandingkan dengan metode penyembuhan luka konvensional. Perawatan luka dengan
menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode modern dressing dan

1
memakai alat ganti balut yang lebih modern. Turner dan Hartman (1999) menyatakan bahwa
perawatan luka dengan konsep lembab yang diakukan secara kontinyu akan mempercepat
pengurangan luka dan mempercepat proses pembentukan jaringan granuasi dan reepitelisasi.
Menurut Ovington (2002) bahwa penggunaan kassa baik dengan cara kering atau
dilembabkan memiiki beberapa kekurangan yaitu dapat menyebabkan rasa tidak nyaman saat
penggantian balutan, menunda proses penyembuahan terutama epitelisasi, meningkatkan
resiko infeksi dan kurang efektif serta efisien dalam hal penggunaan waktu dan tenaga.
Manajemen tersebut memang belum banyak dikenal dan dipahami oleh perawat Indonesia.
Namun metode perawatan luka modern dressing ini telah berkembang di Indonesia terutama
rumah sakit besar di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Sedangkan di rumah sakit tingkat kabupaten, perawatan luka menggunakan modern dressing
masih belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu perlu kiranya manajemen luka yang
dilakukan pada pasien dengan luka kronis diabetes mellitus dengan perawatan luka modern
dressing untuk melihat keefektifan dan keefisienan metode ini.
B. Perumusan Masalah
Penyususnan guide book ini berusaha mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
1. Bagaimana cara manajemen luka yang dilakukan pada Ny. P dengan perawatan luka
modern dressing?
2. Bagaimana kefektifan manajemen luka yang dilakukan pada Ny. P dengan perawatan
luka modern dressing?
C. Tujuan
Penyususnan guide book ini ingin mengetahui keefektifan pola manajemen luka yang
dilakukan pada Ny. P dengan menerapkan perawatan luka modern dressing.
C. Manfaat
1. Bidang kesehatan dan keperawatan.
Guide book ini berguna untuk menyediakan data dan informasi yang akurat dan
ilmiah tentang manajemen luka sehingga bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan
bidang kesehatan.
2. Bagi masyarakat luas
Dengan diketahuinya manajemen luka pada Ny. P serta analisanya, maka diharapkan
masyarakat memiliki pilihan terkait dengan perawatan pada masalah kesehatan (luka)
yang dialami.

2
BAB I1

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
DM ( Diabetes Meliitus ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dimana tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif di dalam
tubuh, gangguan primer terletak pada metabolism. ( Askandar, 2004 ).
Diabetes Militus adalah keadaan kronik,yang berkarakteristik penyakit progresif
oleh ketidakmampuan tubuh untuk metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
menuju pada hiperglikemia(peningkatan gula darah). Diabetes militus mengacu sebagai
“gula yang tinggi” oleh pasien dan penyedia perawatan kesehatan. (Jane Hokanson
Hawks. 2005. Buku Ajar medical surgical nursing,edisi 8,vol 1,hal:1062.)

Diabetes Melitus adalah salah satu penyakit yang berbahaya yang kerap
disebut sebagai silent killer selain penyakit jantung, Orang lazim menyebutnya
sebagai penyakit gula atau kencing manis.Sebelum menjelaskan lebih lanjut soal
penyebab dan cara perawatan pasien diabetes melitus ada baiknya kita simak dulu
definisi mengenai diabetes melitus itu sendiri.

Diabetes mellitus atau penyakit gula atau kencing manis adalah penyakit yang
ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) akibat
tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar
5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram.
Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik
hewan maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan
yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang
merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya
menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar
pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.

3
b. Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau
langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau
langerhans yang terkecil adalah 50 , sedangkan yang terbesar 300 , terbanyak adalah
yang besarnya 100 – 225 . Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
a. Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon
yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti
insulin like activity “.
b. Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
c. Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat
pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat
dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering
ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan
reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia.
Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B.
Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari
disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin
dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam
membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran
berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi
efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah
meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar
glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan
hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi

4
metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui
membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
C. KLASIFIKASI DM (Diabetes Mellitus)
a. DM Tipe 1 Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( IDDM)
Merupakan dimana penderita diabetes sangat bergantung terhadap insulin karena
terjadi proses auto imun yang menyerang insulinnya. IDDM merupakan jenis DM
yang diturunkan ( inherited).
b. DM Tipe II Non Dependent Diabetes Mellitus ( NIDDM)
Diabetes mellitus type II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), yang
dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
a). Non obesitas
b). Obesitas
Jenis DM ini dipengaruhi baik oleh keturunan maupun factor lingkungan
Seseorang mempunyai resiko yang besar untuk menderita NIDDM jika orang
tuanya adalah penderita DM dan menganut gaya hidup yang salah. Pada diabetes
tipe ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer ( insulin
resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pancreas tidak mampu memproduksi
insulin yang cukup untuk menkompensasi insulin resistan. Kedua hal ini
menyebabkan defisiensi insulin relatif. Kadar insulin bias normal, rendah maupun
tinggi , sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.
c). Diabetes Mellitus TIpe Lain
 Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan
hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin,
kelainan genetik dan lain-lain.
 Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :
Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik.
 Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama
kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan
kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik
somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam
amino dan glukosa ke fetus.

5
D. ETIOLOGI
Secara umum penyebab terjadinya DM tidak diketahui secara pasti, namun
dimungkinkan karena faktor :

1. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)


a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.

2. Diabetes Mellitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang
kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja
insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor.

Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang
responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara

6
komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin,
tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia (Price,1995).

Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin
(DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan
suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama
dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
1. Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
4. Kelompok etnik
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala diabetes mellitus type 1 muncul secara tiba–tiba pada usia anak–anak
sebagai akibat dari kelainan genetika sehingga tubuh tidak memproduksi insulin dengan
baik. Gejala–gejalanya antara lain adalah sering buang air kecil, terus menerus lapar dan
haus, berat badan turun, kelelahan, penglihatan kabur, infeksi pada kulit yang berulang,
meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni, cenderung terjadi pada mereka yang
berusia dibawah 20 tahun.
Sedangkan diabetes mellitus tipe II muncul secara perlahan–lahan sampai menjadi
gangguan kulit yang jelas, dan pada tahap permulaannya seperti gejala pada diabetes
mellitus type I, yaitu cepat lemah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, sering buang
air kecil, terus menerus lapar dan haus, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada
penyebabnya, mudah sakit yang berkepanjangan, biasanya terjadi pada mereka yang
berusia diatas 40 tahun tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak–
anak dan remaja.
Gejala–gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat
kerja. Jika glukosa darah sudah tumpah ke saluran urine sehingga bila urine tersebut
tidak disiram akan dikerubungi oleh semut adalah tanda adanya gula. Gejala lain yang
biasa muncul adalah penglihatan kabur, luka yang lam asembuh, kaki tersa keras,
infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita, impotensi pada pria.

7
F. KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronik ( Carpenito, 2001 ).

1. Komplikasi Akut
Komplikasi Akut, ada 3 komplikasi akut pada diabetes mellitus yang penting dan
berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, ketiga
komplikasi tersebut adalah ( Smeltzer, 2002 : 1258 )
a. Diabetik Ketoasedosis (DKA)
Ketoasedosis diabetik merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu
perjalanan penyakit diabetes mellitus. Diabetik ketoasedosis disebabkan oleh tidak
adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata ( Smeltzer, 2002 :
1258 )
b. Koma Hiperosmolar Nonketotik (KHHN)
Koma Hiperosmolar Nonketotik merupakan keadaan yang didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran.
Salah satu perbedaan utama KHHN dengan DKA adalah tidak terdapatnya ketosis
dan asidosis pada KHHN (Smetzer, 2002 : 1262).
c. Hypoglikemia
Hypoglikemia (Kadar gula darah yang abnormal yang rendah) terjadi kalau
kadar glukoda dalam darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Keadaan ini dapat
terjadi akibat pemberian preparat insulin atau preparat oral yang berlebihan,
konsumsi makanan yang terlalu sedikit (Smeltzer, 2002 : 1256).
2. Komplikasi kronik
Diabetes Melitus pada adsarnya terjadi pada semua pembuluh darah diseluruh
bagian tubuh (Angiopati Diabetik). Angiopati Diabetik dibagi menjadi 2 yaitu (Long
1996) :
1. Mikrovaskuler
a. Ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan–perubahan mikrovaskuler adalah
perubahan pada struktural dan fungsi ginjal. Bila kadar glukosa darah
meningkat, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang
menyebabkan kebocoran protein darah dalam urin (Smeltzer, 2002 : 1272)
b. Penyakit Mata (Katarak)

8
Penderita Diabetes melitus akan mengalami gejala penglihatan sampai
kebutaan. Keluhan penglihatan kabur tidak selalui disebabkan retinopati
(Sjaifoellah, 1996 : 588). Katarak disebabkan karena hiperglikemia yang
berkepanjangan yang menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan
lensa (Long, 1996 : !6).
c. Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf - saraf perifer, sistem saraf otonom,
Medsulla spinalis, atau sistem saraf pusat. Akumulasi sorbital dan
perubahan–perubahan metabolik lain dalam sintesa atau fungsi myelin yang
dikaitkan dengan hiperglikemia dapat menimbulkan perubahan kondisi saraf
(Long, 1996 : 17)
2. Makrovaskuler
a. Penyakit Jantung Koroner
Akibat kelainan fungsi pada jantung akibat diabetes melitus maka terjadi
penurunan kerja jantung untuk memompakan darahnya keseluruh tubuh
sehingga tekanan darah akan naik atau hipertensi. Lemak yang menumpuk
dalam pembuluh darah menyebabkan mengerasnya arteri (arteriosclerosis),
dengan resiko penderita penyakit jantung koroner atau stroke

b. Pembuluh darah kaki


Timbul karena adanya anesthesia fungsi saraf – saraf sensorik, keadaan
ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi
yang menyebabkan gangren. Infeksi dimulai dari celah–celah kulit yang
mengalami hipertropi, pada sel–sel kuku yang tertanam pada bagian kaki,
bagia kulit kaki yang menebal, dan kalus, demikian juga pada daerah–daerah
yang tekena trauma (Long, 1996 : 17)

c. Pembuluh darah otak


Pada pembuluh darah otak dapat terjadi penyumbatan sehingga suplai
darah ke otak menurun (Long, 1996 : 17)

9
G. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar patofisiologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek
utama kekurangan insulin sebagai berikut :
1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan
kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang
mengakibatkan aterosklerosis.
3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes
mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes
mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus
meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai
dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit
tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang, > 200 mg/dL.
b. Gula darah puasa (FBS) ; >140 mg/dl
c. Kadar glukosa sewaktu (GDS) ; >200 mg/dl
d. Urinolisa positif terhadap glukosa dan keton.
Pada respon terhadap defisiensi intraseluler, protein dan lemak diubah menjadi
glukosa (glukoneogenesis) untuk energi.selama perubahanini asam lemak bebas
dipecah menjadi badan keton oleh hepar. Ketosis terjadi ditujukkan oleh
ketonuria.glukosuria menunjukkan bahwa ambang ginjal terhadap reabsorbsi glukosa
tercapai.
Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat, menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
ateroskerosis.
Essei hemoglobin glikosilat di atas rentang normal. Tes ini mengukur presentase
glukosa yang melekat pada hemoglobin. Glukosa tetap melekat pada hemoglobin
selama hidup sel darah merah. Rentang normal adalah 5-6%.

10
I. PENTALAKSANAAN MEDIS

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitasinsulin


dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskulerserta
neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa
darah normal ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1.Diet
a. Latihan
b. Pemantauan
c. Terapi (jika diperlukan)
d. Pendidikan
2.Perencanan Makan (Meal Planning)

Pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) telah


ditetapkan bahwa standart yang diajurkan adalah santapan dengan komposisi
seimbang berupa karbohidrat (60-70%) protein (10-15%) dan lemak (20-25%).
Apabila diperlukan santapan karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang
baik. Terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai
berat badan ideal, jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hr. Jumlah kandungan serat
+ 25 g/hr, diutamakan jenis serat larut, konsumsi garam dibatasi bila terdapat
hipertensi, pemanis dapat digunakan secukupnya.

3.Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama + 0,5 jam yang
sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Progresive, Endurance Trainning).
Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkonsentrasi dan relaksasi
secara teratur, selang-seling antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari
sedikit kelatihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.
Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang,
bersepeda dan berdayung.

4.Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


a. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara

11
 Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan.
 Menurunkan ambang sekresi insulin.
 Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal
dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orang tua
karena resiko hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga glibenklamid,
untuk orang tua dianjurkan preparat dengan waktu kerja pendek (tolbutamid,
glikuidon). Glikuidon juga diberikan pada pasien DM dengan gangguan fungsi
ginjal atau hati ringan.

b. Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah
normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk
pasien gemuk (indeks masa tubuh / IMT >30) sebagai obat tunggal. Pada pasien
dengan berat lebih (IMT 27-30) dapat dikombinasikan dengan obat golongan
sulfonilurea.

c. Inhibitor dan Glukosidase


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim dan
glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

d. Insulin Sensitizing Agent


Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah
resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemia. (Arif Mansjoer. 2001: 585)

12
BAB III

KONSEP LUKA

A. PENGERTIAN LUKA
Luka merupakan suatu kerusakan yang abnormal pada kulit yang menghasilkan
kematian dan kerusakan sel-sel kulit (Carville K, 2007). Luka juga dapat diartikan sebagai
interupsi kontinuitas jaringan, biasanya akibat dari suatu trauma atau cedera (Wound Care
Solutions Telemedicine, 2010).
Luka dapat diklasifikasikan secara umum, yaitu; luka akut dan luka kronis (Carville K,
2007). Luka akut adalah luka yang sesuai dengan proses penyembuhan yang normal, yang
dapat dikategorikan menjadi luka pembedahan (insisi), non pembedahan (luka bakar) dan
atau trauma. Sedangkan luka kronis adalah suatu proses penyembuhan luka yang
mengalami keterlambatan, misalnya luka dekubitus, luka diabetik, dan atau leg ulcer. Luka
juga dapat diklasifikasikan dari kedalamanan luka itu sendiri berdasarkan The UK
consencious clasiffication of pressure sores yang diadaptasikan juga untuk
menggambarkan luka yang lain, seperti pada tabel 1 (Carville K, 2007).

Tabel 1. Stadium luka berdasarkan The UK consencious

STADIUM DESKRIPSI
1 Perubahan warna pada kulit sehat,kemerahan,lapisan epidermis masih
utuh.
2 Kehilangan lapisan kulit,kehancuran pada lapisan epidermis dan
dermis
3 Kehilangan kulit yang melibatkan kerusakan atau nekrosis jaringan
subkutaneus tanpa melibatkan tulang, tendon dan kapsul sendi (full
thickness).
4 Kehilangan kulit akibat kerusakan besar yang luas dan jaringan
nekrotik dengan melibatkan tulang, tendon dan kapsul sendi (full
thickness).

13
B. TIPE PENYEMBUHAN LUKA

Menurut Carville K (2007), luka dapat juga diklasifikasikan berdasarkan dari proses
penyembuhan lukanya. Tipe penyembuhan luka dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Penyembuhan Primer
Penyembuhan luka dengan alat bantu seperti jaritan, klip atau tape. Pada penyembuhan
primer ini, kehilangan jaringan minimal dan pinggiran luka ditutup dengan alat bantu.
Menghasilkan skar yang minimal. Misalnya; luka operasi, laserasi dan lainnya.
2. Penyembuhan Sekunder
Penyembuhan luka pada tepi kulit yang tidak dapat menyatu dengan cara pengisian
jaringan granulasi dan kontraksi. Pada penyembuhan ini, terdapat kehilangan jaringan
yang cukup luas, menghasilkan scar lebih luas, dan memiliki resiko terjadi infeksi.
Misalnya pada leg ulcers, multiple trauma, ulkus diabetik, dan lainnya
3. Penyembuhan Tersier
Ketika luka terinfeksi atau terdapat benda asing dan memerlukan perawatan luka/
pembersihan luka secara intensif maka luka tersebut termasuk penyembuhan primer
yang terlambat. Penyembuhan luka tersier diprioritaskan menutup dalam 3-5 hari
berikutnya. Misalnya luka terinfeksi, luka infeksi pada abdomen dibiarkan terbuka
untuk mengeluarkan drainase sebelum ditutup kembali, dan lainnya.
C. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Proses penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis (Hutchinson J, 2010).
Proses ini tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh faktor endegon seperti; umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-
obatan, kondisi metabolik . Fase-fase penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase
(Hutchinson J, 2010), yaitu;
a. Fase Inflamasi

14
Fase yang terjadi ketika awal terjadinya luka atau cedera (0-3 hari). Pembuluh kapiler
yang cedera mengalami kontraksi dan trombosis memfasilitasi hemostasis. Iskemik pada
luka melepaskan histamin dan agen kimia vasoaktif lainnya yang menyebabakan
vasodilatasi disekitar jaringan. Aliran darah akan lebih banyak ke daerah sekitar jaringan
dan menghasilkan eritema, pembengkakan, panas dan rasa tidak nyaman seperti rasa
sensasi berdenyut. Respon pertahanan melawan patogen dilakukan oleh PMN
(Polimononuklear) atau leukosit dan makrofag ke daerah luka. PMN akan melindungi luka
dari invasi bakteri ketika makrofag membersihkan debris pada luka.
b. Fase Rekontruksi

Fase ini akan dimulai dari hari ke-2 sampai 24 hari (6 minggu). Fase ini dibagi
menjadi fase destruktif dan fase proliferasi atau fibroblastik fase. Ini merupakan fase
dengan aktivitas yang tinggi yaitu suatu metode pembersihan dan penggantian
jaringan sementara. PMN akan membunuh bakteri patogen dan makrofag memfagosit
bakteri yang mati dan debris dalam usaha membersihkan luka. Selain itu, makrofag
juga sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena dapat menstimulasi
fibriblastik sel untuk membuat kolagen
Angiogenesis akan terjadi untuk membangun jaringan pembuluh darah baru.
Kapiler baru yang terbentuk akan terlihat pada kemerahan (ruddy), jaringan granulasi
tidak rata atau bergelombang (bumpy). Migrasi sel epitel terjadi diatas dasar luka yang
bergranulasi. Sel epitel bergranulasi dari tepi sekitar luka atau dari folikel rambut,
kelenjar keringat atau kelejar sebasea dalam luka. Mereka nampak tipis, mengkilap
(translucent film) melewati luka. Sel tersebut sangat rapuh dan mudah dihilangkan
dengan sesuatu yang lain daripada pembersihan dengan hati-hati. Migrasi berhenti
ketika luka menutup dan mitosis epetilium menebal ke lapisan ke 4-5 yang diperlukan
untuk membentuk epidermis

15
Fase kontraksi terjadi selama proses rekonstruksi yang menggambarkan tepi
luka secara bersamaan dalam usaha mengurangi daerah permukaan luka, sehingga
pengurangan jumlah jaringan pengganti diperlukan. Kontraksi luka terlihat baik
diikuti dengan pelepasan selang drainase luka. Pada umumnya, 24-48 jam diikuti
dengan pelepasan selang drain, tepi dari sinus dalam keadaan tertutup
c. Fase Maturasi

Merupakan fase remodeling, dimana fungsi utamanya adalah meningkatkan


kekuatan regangan pada luka. Kolagen asli akan diproduksi selama fase rekonstruksi
yang diorganisir dengan kekuatan regangan yang minimal. Selama masa maturasi,
kolagen akan perlahan-lahan digantikan dengan bentuk yang lebih terorganisasi,
menghasilkan peningkatan kekuatan regangan. Ini bertepatan dengan penurunan
dalam vaskularisasi dan ukuran skar. Fase ini biasanya membutuhkan waktu antara 24
hari sampai 1 tahun.
Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan
banyak sel. Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan
semua cedera jaringan lunak, baik luka ulseratif kronik (dekubitus dan ulkus tungkai),
luka traumatis (laserasi, abrasi, luka bakar atau luka akibat pembedahan. Pada gambar
3 dapat dilihat proses penyembuhan luka dari fase inflamasi, fase proliferatif dan fase
maturasi dan pada bagan 1 dapat dilihat bagaimana fisiologi penyembuhan luka.
D. MANAJEMEN PENYEMBUHAN LUKA
Manajemen luka sebelumnya tidak mengenal adanya lingkungan luka yang lembab.
Manajemen perawatan luka yang lama atau disebut metode konvensional hanya
membersihkan luka dengan normal salin atau ditambahkan dengan iodin povidine,
kemudian di tutup dengan kasa kering. Tujuan manajemen luka ini adalah untuk
melindungi luka dari infeksi (Carville, 2010). Ketika akan merawat luka di hari

16
berikutnya, kasa tersebut menempel pada luka dan menyebabkan rasa sakit pada klien,
disamping itu juga sel-sel yang baru tumbuh pada luka juga rusak.
Menurut Carville K (2007) manajemen luka yang dilakukan tidak hanya melakukan
aplikasi sebuah balutan atau dressing tetapi bagaimana melakukan perawatan total pada
klien dengan luka. Manajemen luka ditentukan dari pengkajian klien, luka klien dan
lingkungannya serta bagaimana kolaborasi klien dengan tim kesehatan. Tujuan dari
manajemen luka, yaitu:
a. Mencapai hemostasis
b. Mendukung pengendalian infeksi
c. Membersihkan (debride) devaskularisasi atau material infeksi
d. Membuang benda asing
e. Mempersiapkan dasar luka untuk graft atau konstruksi flap.
f. Mempertahankan sinus terbuka untuk memfasilitasi drainase
g. Mempertahankan keseimbangan kelembaban
h. Melindungi kulit sekitar luka
i. Mendorong kesembuhan luka dengan penyembuhan primer dan penyembuhan
sekunder
Beberapa dekade ini, metode konvensional sudah tidak digunakan lagi, walaupun
masih ada rumah sakit tertentu terutama di daerah yang jauh dari kota masih
menerapkannya. Manajemen luka yang lama diganti dengan manajemen luka terbaru yang
memiliki tujuan salah satunya yaitu menciptakan lingkungan luka yang lembab untuk
mempercepat proses penyembuhan luka (moist wound healing).
Perkembangan moist wound healing diawali pada tahun 1962 oleh Winter, yang
melakukan penelitian eksperimen menggunakan luka superfisial pada babi (Rainey J,
2002). Setengah dari luka ini dilakukan teknik perawatan luka kering dan sebagian
ditutupi polythene sehingga lingkungan luka lembab. Hasilnya menunjukkan bahwa
perawatan luka dengan polythene terjadi epitelisasi dua kali lebih cepat dari pada
perawatan luka kering. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan luka yang kering
menghalangi sel epitel yang migrasi di permukaan luka, sedangkan dengan lingkungan
lembab sel-sel epitel lebih cepat migrasinya untuk membentuk proses epitelisasi (Carville
K, 2007).
Moist wound healing merupakan suatu metode yang mempertahankan lingkungan
luka tetap lembab untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka (Carville K, 2007).
Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan occlusive dressing/ semi-occlusive
17
dressing. Dengan perawatan luka tertutup (occlusive dressing) maka keadaan yang lembab
dapat tercapai dan hal tersebut telah diterima secara universal sebagai standar baku untuk
berbagai tipe luka. Alasan yang rasional teori perawatan luka dengan lingkungan luka
yang lembab adalah:
1. Fibrinolisis; Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dengan cepat dihilangkan
(fibrinolitik) oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.
2. Angiogenesis; Keadaan hipoksi pada perawatan tertutup akan lebih merangsang lebih
cepat angiogenesis dan mutu pembuluh kapiler. Angiogenesis akan bertambah dengan
terbentuknya heparin dan tumor nekrosis faktor – alpha (TNF-alpha)
3. Kejadian infeksi lebih rendah dibandingkan dengan perawatan kering (2,6% vs 7,1%)
4. Pembentukan growth factors yang berperan pada proses penyembuhan dipercepat
pada suasana lembab. Epidermal Growth Factor (EGF), Fibroblast Growth Factor
(FGF) dan Interleukin 1/Inter-1 adalah substansi yang dikeluarkan oleh magrofag
yang berperan pada angiogenesis dan pembentukan stratum korneum. Platelet
Derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor- beta (TGF-beta)
yang dibentuk oleh platelet berfungsi pada proliferasi fibroblast
5. Percepatan pembentukan sel aktif; Invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag,
monosit, dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.
Keuntungan lainnya menggunakan moist wound healing juga akan mengurangi biaya
perawatan pada klien dan mengefektifkan jam perawatan perawat di rumah sakit (Rainey
J, 2002). Untuk menciptakan kelembaban lingkungan luka maka diperlukan pemilihan
balutan luka atau dressing yang tepat. Dressing yang ideal digunakan untuk menciptakan
lingkungan lembab, yaitu occlusive dressing/ semi-occlusive dressing .
Occlusive dressing adalah penutupan luka dengan menggunakan balutan tertentu
seperti transparan film atau hidrokoloid untuk menciptakan lingkungan luka yang lembab.
Occlusive dressing memberikan pengaruh pada luka dengan menjaga kelembaban di dasar
luka. Kelembaban tersebut akan melindungi permukaan luka dengan mencegah
kekeringan (desiccation) dan cedera tambahan . Selain itu, balutan tertutup juga dapat
mengurangi risiko infeksi. Menurut penelitian Holm (1998) pada luka pembedahan
abdominal ditemukan perbedaan signifikan angka kejadian infeksi pada perawatan luka
dengan occlusive dressing (3%) dan perawatan luka konvensional (14%) (Burrows E,
2010). Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al pada tahun 1996, menunjukkan bahwa
balutan hidrokoloid dengan occlusive dressing lebih efektif, efisiensi waktu dan cost
efektif daripada kasa basah dan kering.
18
Tujuan manajemen luka selain mempertahankan keseimbangan kelembaban (moist
wound healing) dengan occlusive dressing adalah mempersiapkan dasar luka sebelum
dilakukan pemasangan graft atau flap konstruksi. Menurut Scnultz et al (2003),
mempersiapkan dasar luka atau disebut wound bed preparation adalah manajemen luka
untuk mempercepat penyembuhan endogenous atau untuk memfasilitasi keefektifan
pengukuran terapeutik lainnya (Carville K, 2007). Sedangkan Falanga (2004) menyatakan
bahwa manajemen luka dengan wound bed preparation memiliki tahapan-tahapan yang
disingkat dengan TIME, yaitu; tissue management (manajemen jaringan), infection or
inflammation control (pengendalian infeksi), moisture balance (keseimbangan
kelembaban), dan edge of wound (pinggiran luka) (Carville K, 2007). Pelaksanaan wound
bed preparation dengan TIME, yaitu;
1. Manajemen Jaringan
Cara melakukan manajemen jaringan adalah dengan debridemen surgikal (sharp
debridement), conservative sharp wound debridement (CSWD), enzimatik debridemen,
autolitik debridemen, mekanik debridemen, kimiawi debridemen dan biologikal atau
parasit debridemen
2. Mengendalikan Infeksi dan Inflamasi
Dapat mengenal dan mengatasi tanda inflamasi (tumor, rubor, calor, dolor) dan tanda
infeksi (eksudat purulen). Balutan yang dapat digunakan untuk mengembalikan
keseimbangan bakteri yaitu; cadexomer iodine powder/paste/sheet dressing, povidine
iodine impregnated tulle gras, chlorhexidine impregnated tulle gras, madu luka, silver
impregnated dressing.
3. Mempertahankan Keseimbangan Kelembaban
Berdasarkan penelitian Winter tahun 1962, menyatakan kelembaban pada lingkungan
luka akan mempercepat proses penyembuhan luka. Dengan demikian, untuk
menciptakan lingkungan luka yang lembab maka diperlukan pemilihan balutan atau
dressing yang tepat. Pemilihan balutan akan dipengaruhi oleh hasil pengkajian luka
yang dilakukan, seperti; apakah luka kering, eksudat minimal, sedang atau berat, oedem
yang tidak terkontrol. Berikut balutan yang dapat mengoptimalkan keseimbangan
kelembaban yang dapat digunakan secara occlusive/ tertutup atau compression/
kompresi;
a. Luka kering; hidrogel, hidrokoloid, interaktif balutan basah
b. Minimal eksudat; hidrogel, hidrokoloid, semipermeabel film, kalsium alginate

19
c. Eksudat sedang; kalsium alginat, hidrofiber, hidrokoloid pasta, powder dan sheet,
foams
d. Eksudat berat; balutan hidrofiber, foam sheet/cavity, ektra balutan absorben
kering, kantung luka/ostomi.
4. Kemajuan Tepi Luka
Epitelisasi pada tepi luka memerlukan perhatian khusus terhadap adanya pertumbuhan
kuman dan hipergranulasi yang dapat menghambat epitelisasi dan penutupan luka.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengontrol hipergranulasi sehingga tepi
luka dapat menyatu, antara lain;
a. Pemberian topikal antimikroba untuk mengtasi keseimbangan bakteri
b. Hipertonik impregnated dressing untuk mengendalikan edema dan keseimbangan
bakteri
c. Tekanan lokal menggunakan foam dressing dan perban kompresi atau tape fiksasi
d. Konservatif debridemen luka tajam (CSWD)
e. Kimiawi debridemen dengan silver nitrat atau cooper sulfate (dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan nekrosis jika tidak digunakan hati-hati)
f. Topikal kortikosteroid
E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYEMBUHAN LUKA
a. Status Imunologi
b. Kadar gula darah (impaired white cell function)
c. Hidrasi (slows metabolism)
d. Nutritisi
e. Kadar albumin darah (‘building blocks’ for repair, colloid osmotic pressure –
oedema)
f. Suplai oksigen dan vaskularisasi
g. Nyeri (causes vasoconstriction)
h. Corticosteroids (depress immune function)
F. CARA PERAWATAN LUKA DENGAN MODERN DRESSING
Perkembangan perawatan luka (wound care ) berkembang dengan sangat pesat di
dunia kesehatan. Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah perawatan luka
dengan menggunakan prinsip moisture balance, dimana disebutkan dalam beberapa
literature lebih efektif untuk proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan metode
konvensional.

20
Perawatan luka dengan menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai
metode modern dressing dan memakai alat ganti balut yang lebih modern. Metode tersebut
belum begitu familiar bagi perawat di Indonesia
Biasanya, tidak banyak yang dilakukan untuk merawat luka. Apalagi jika hanya luka
ringan. Langkah pertama yang diambil adalah membersihkannya kemudian langsung
diberi obat luka atau yang lebih dikenal dengan obat merah. Sementara pada luka berat,
setidaknya langkah yang diambil tidak jauh dari membersihkannya dahulu, setelah itu
diberi obat. Sering orang tidak memperhatikan perlukah luka tersebut dibalut atau tidak.
Sementara itu, menurut Anik Enikmawati SKep NS dari Akper Muhammadiyah
Surakarta, kepada Joglosemar beberapa waktu lalu mengungkapkan perawatan luka
berbeda-beda tergantung pada tingkat keparahan luka tersebut. “Perawatan luka paling
sulit tergantung pada derajat luka. Jika luka mendalam sampai ke lapisan kulit paling
dalam, proses sembuhnya tentu saja juga paling lama.” ungkapnya.
Seperti pada kasus luka akibat penyakit diabetes misalnya, papar Anik, terdapat kasus
bahwa luka tersebut harus diamputasi. Namun, tindakan amputasi ternyata bisa digagalkan
setelah dirawat dengan saksama dan dengan metode yang benar dan tentunya dilakukan
oleh perawat ahli. “Kesembuhan luka pada tingkat tertentu seperti pada kasus luka akibat
diabetes tergantung pada kedisiplinan perawatan. Untuk itu harus diperkenalkan pada
masyarakat bahwa telah ada program perawatan di rumah atau home care dengan perawat
datang ke rumah,” ujar Anik.
Namun sekarang, perkembangan perawatan luka atau disebut dengan wound care
berkembang sangat pesat di dunia kesehatan. Metode perawatan luka yang berkembang
saat ini adalah perawatan luka dengan menggunakan prinsip moisture balance, di mana
disebutkan dalam beberapa literatur lebih efektif untuk penyembuhan luka bila
dibandingkan dengan metode konvensional.
Perawatan luka dengan menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai
metode modern dressing dan memakai alat ganti balut yang lebih modern. Metode tersebut
memang belum familier bagi perawat di Indonesia. Di sisi lain, metode perawatan luka
modern dressing ini telah berkembang di Indonesia terutama rumah sakit besar di kota-
kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Sedangkan di rumah
sakit-rumah sakit tingkat kabupaten, perawatan luka menggunakan modern dressing
tersebut masih belum berkembang dengan baik. Untuk itu, belum lama Akper
Muhammadiyah Surakarta mengadakan workshop dengan tajuk A Half Day Workshop on

21
Wound Management di Balai Muhammadiyah Surakarta. Sebagai pembicara, hadir
Widasari SG SKP RN WOC (ET) N WCS, Direktur Wocare Klinik.
Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka
tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang seimbang
kelembabannya memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen di dalam matriks
nonselular yang sehat. Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor
pertumbuhan, cytokines dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan
menstabilkan matriks jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembabannya.
Dikatakan Widasari, terlalu lembab di lingkungan luka dapat merusak proses
penyembuhan luka dan merusak sekitar luka, menyebabkan maserasi tepi luka. Sementara
itu, kurangnya kondisi kelembaban pada luka menyebabkan kematian sel, dan tidak terjadi
perpindahan epitel dan jaringan matriks.
Untuk menciptakan suasana lembab, pada cara perawatan luka konvensional
memerlukan kasa sebagai balutan dan Na Cl untuk membasahi. Kemudian luka dikompres
kasa lembab dan diganti sebelum kasa mengering, dalam hal ini, memerlukan penggantian
kasa yang sering. Sementara untuk metode perawatan modern, dalam menciptakan
suasana lembab menggunakan modern dressing, misalnya dengan ca alginat atau
hydrokoloid.
Dikatakan Widasari, pada perawatan luka secara modern ini harus tetap diperhatikan
pada tiga tahapnya yakni mencuci luka, membuang jaringan mati dan memilih balutan.
“Mencuci luka bertujuan untuk menurunkan jumlah bakteri dan membersihkan dari sisa
balutan lama, serta debrimen jaringan nekrotik atau membuang jaringan dari sel yang mati
dari permukaan luka. Dalam hal ini harus diperhatikan pada pemilihan cairan pencuci
yang tepat, hati-hati terhadap pemakaian antiseptik. Sedangkan teknik pencucian dapat
dengan cara perendaman atau irigasi,” tuturnya.
Di sisi lain, pemilihan balutan merupakan tahap penting untuk mempercepat proses
penyembuhan pada luka. Tujuan dari pemilihan balutan luka ini adalah untuk membuang
jaringan mati, benda asing atau partikel dari luka. Belutan juga dapat mengontrol kejadian
infeksi atau melindungi luka dari trauma dan invasi bakteri. Pemilihan balutan harus
mampu mempertahankan kelembaban luka, selain juga berfungsi sebagai penyerap cairan
luka. Balutan juga harus nyaman digunakan dan steril serta cost effective.
Sebagai pengganti perawatan luka secara konvensional yang harus sering mengganti
kain kasa dengan Na Cl sebagai pembalut luka, sekarang telah ada metode perawatan luka
secara modern yang memiliki prinsip menjaga kelembaban luka. Dalam hal ini, jenis
22
balutan yang digunakan adalah kasa. Metode yang dikenal dengan modern dressing ini
beberapa contoh di antaranya yakni dengan penggunaan bahan seperti hydrogel.
Hydrogel berfungsi untuk menciptakan lingkungan luka tetap lembab. Selain itu juga
melunakkan dan menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat yang
akan terserap ke dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut. Hydrogel juga dapat
meningkatkan autolityk debrimen secara alami. Menurut Widasari SG SKP RN WOC
(ET)N WCS, Direktur Wocare Klinik, debrimen berarti proses pembuangan jaringan
nekrosis atau kematian sel yang disebabkan oleh penurunan proses enzimatic tubuh dari
permukaan luka. “Modern Dressing dengan hydrogel tidak menimbulkan trauma dan sakit
pada saat penggantian balutan dan dapat diaplikasikan selama tiga hari sampai lima hari,”
tuturnya.
Jenis modern dressing lainnya yakni Ca Alginat dimana kandungan Ca dapat
membantu menghentikan perdarahan. Kemudian hydroselulosa dengan fungsi mampu
menyerap cairan dua kali lipat dari Ca Alginat. Selanjutnya adalah hydrokoloid yang
mampu menjaga dari kontaminasi air dan bakteri serta dapat digunakan untuk balutan
primer dan balutan sekunder. Penggunaan jenis modern dressing tentunya disesuaikan
dengan jenis indikasi luka.
Di sisi lain, Widasari menyarankan untuk penggunaan kasa serta metcovazin dalam
perawatan luka dengan kondisi luka yang memiliki warna dasar merah, kuning dan hitam.
“ Metcovazin memiliki fungsi untuk mendukung autolytik debrimen, menghindari trauma
saat membuka balutan, mengurangi bau tidak sedap yang ditimbulkan luka serta
mempertahankan suasana lembab. Bentuknya salep dalam kemasan,” tandasnya. n
Triawati Prihatsari Purwanti
G. PENGKAJIAN LUKA
1) Kondisi luka
a. Warna dasar luka
Dasar pengkajian berdasarkan warna yang meliputi : slough (yellow), necrotic tissue
(black), infected tissue (green), granulating tissue (red), epithelialising (pink).
b. Lokasi ukuran dan kedalaman luka
c. Eksudat dan bau
d. Tanda-tanda infeksi
e. Keadaan kulit sekitar luka : warna dan kelembaban
f. Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung
2) Status nutrisi klien : BMI, kadar albumin
23
3) Status vascular : Hb, TcO2
4) Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan immunosupresan yang lain
5) Penyakit yang mendasari : diabetes atau kelainan vaskularisasi lainnya

Gambar 1. Luka dengan warna dasar merah tua atau terangdan selalu tampak lembap
merupakan luka bersih denganbanyak vaskulerisasi, karenanya luka mudah berdarah.

Gambar 2. Luka dengan warna dasar kuning/kuning kecoklatan/kuning kehijauan/kuning


pucat adalah jaringan nekrosismerupakan kondisi luka yang terkontaminasi atau terinfeksi
dan avaskuler.

24
Gambar 3. Luka dengan warna dasar hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan jaringan
avaskuler.

Berdasarkan kondisi warna luka, metodeyang sering dikenal adalah RYB/Red YellowBlack
(Merah – Kuning – Hitam).
1). Luka dasar merah (Gambar 1)
Tujuan perawatan luka dengan warna dasarmerah adalah mempertahankan
lingkunganluka dalam keadaan lembap, mencegah trauma/perdarahan serta
mencegaheksudat.
2). Luka dasar kuning (Gambar 2):
Tujuan perawatan adalah meningkatkansistem autolisis debridement agar
lukaberwarna merah, kontrol eksudat,menghilangkan bau tidak sedap
danmengurangi/menghindari kejadian infeksi.
3). Luka dasar hitam (Gambar 3):
Tujuan perawatan sama dengan luka dasarwarna kuning, yaitu pembersihan
jaringanmati dengan debridement, baik denganautolysis debridement maupun
denganpembedahan.
H. PERENCANAAN
1. Pemilihan Balutan Luka
Balutan luka (wound dressings) secara khusus telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat selama hampir dua dekade ini. Revolusi dalam perawatan luka ini dimulai
dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor G.D Winter pada tahun
1962 yang dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan yang optimal
untuk penyembuhan luka. Menurut Gitarja (2002), adapun alasan dari teori perawatan luka
dengan suasana lembab ini antara lain:

25
a. Mempercepat fibrinolisis. Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan
lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.
b. Mempercepat angiogenesis. Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup
akan merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan lebih cepat.
c. Menurunkan resiko infeksi
d. Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perawatan
kering.
e. Mempercepat pembentukan Growth factor. Growth factor berperan pada proses
penyembuhan luka untuk membentuk stratum corneum dan angiogenesis, dimana
produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab.
f. Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif. Pada keadaan lembab, invasi
netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi
lebih dini.
Pada dasarnya prinsip pemilihan balutan yang akan digunakan untuk membalut luka harus
memenuhi kaidah-kaidah berikut ini:
a. Kapasitas balutan untuk dapat menyerap cairan yang dikeluarkan oleh luka
(absorbing)
b. Kemampuan balutan untuk mengangkat jaringan nekrotik dan mengurangi resiko
terjadinya kontaminasi mikroorganisme (non viable tissue removal)
c. Meningkatkan kemampuan rehidrasi luka (wound rehydration)
d. Melindungi dari kehilangan panas tubuh akibat penguapan
e. Kemampuan atau potensi sebagai sarana pengangkut atau pendistribusian antibiotic
ke seluruh bagian luka (Hartmann, 1999; Ovington, 1999)

Dasar pemilihan terapi harus berdasarkan pada :


a. Apakah suplai telah tersedia?
b. Bagaimana cara memilih terapi yang tepat?
c. Bagaimana dengan keterlibatan pasien untuk memilih?
d. Bagaimana dengan pertimbangan biaya?
e. Apakah sesuai dengan SOP yang berlaku?
f. Bagaimana cara mengevaluasi?

26
2. Jenis-jenis balutan dan terapi alternative lainnya
a. Film Dressing
1. Semi-permeable primary atau secondary dressings
2. Clear polyurethane yang disertai perekat adhesive
3. Conformable, anti robek atau tergores
4. Tidak menyerap eksudat
5. Indikasi : luka dgn epitelisasi, low exudate, luka insisi
6. Kontraindikasi : luka terinfeksi, eksudat banyak
7. Contoh: Tegaderm, Op-site, Mefilm
b. Hydrocolloid
1. Pectin, gelatin, carboxymethylcellulose dan elastomers
2. Support autolysis untuk mengangkat jaringan nekrotik atau slough
3. Occlusive –> hypoxic environment untuk mensupport angiogenesis
4. Waterproof
5. Indikasi : luka dengan epitelisasi, eksudat minimal
6. Kontraindikasi : luka yang terinfeksi atau luka grade III-IV
7. Contoh: Duoderm extra thin, Hydrocoll, Comfeel
c. Alginate
1. Terbuat dari rumput laut
2. Membentuk gel diatas permukaan luka
3. Mudah diangkat dan dibersihkan
4. Bisa menyebabkan nyeri
5. Membantu untuk mengangkat jaringan mati
6. Tersedia dalam bentuk lembaran dan pita
7. Indikasi : luka dengan eksudat sedang s.d berat
8. Kontraindikasi : luka dengan jaringan nekrotik dan kering
9. Contoh : Kaltostat, Sorbalgon, Sorbsan
d. Foam Dressings
1. Polyurethane
2. Non-adherent wound contact layer
3. Highly absorptive
4. Semi-permeable
5. Jenis bervariasi
6. Adhesive dan non-adhesive
27
7. Indikasi : eksudat sedang s.d berat
8. Kontraindikasi : luka dengan eksudat minimal, jaringan nekrotik hitam
9. Contoh : Cutinova, Lyofoam, Tielle, Allevyn, Versiva
e. Terapi alternatif
1. Zinc Oxide (ZnO cream)
2. Madu (Honey)
3. Sugar paste (gula)
4. Larvae therapy/Maggot Therapy
5. Vacuum Assisted Closure
6. Hyperbaric Oxygen

I. Implementasi
1. Luka dengan eksudat & jaringan nekrotik (sloughy wound)
a. Bertujuan untuk melunakkan dan mengangkat jaringan mati (slough tissue)
b. Sel-sel mati terakumulasi dalam eksudat
c. Untuk merangsang granulasi
d. Mengkaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
e. Balutan yang dipakai antara lain: hydrogels, hydrocolloids, alginates dan hydrofibre
dressings
2. Luka Nekrotik
a. Bertujuan untuk melunakan dan mengangkat jaringan nekrotik (eschar)
b. Berikan lingkungan yg kondusif u/autolysis
c. Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
d. Hydrogels, hydrocolloid dressing
3. Luka terinfeksi
a. Bertujuan untuk mengurangi eksudat, bau dan mempercepat penyembuhan luka
b. Identifikasi tanda-tanda klinis dari infeksi pada luka
c. Wound culture – systemic antibiotics
d. Kontrol eksudat dan bau
e. Ganti balutan tiap hari
f. Hydrogel, hydrofibre, alginate, metronidazole gel (0,75%), carbon dressings, silver
dressings

28
4. Luka Granulasi
a. Bertujuan untuk meningkatkan proses granulasi, melindungi jaringan yang baru,
jaga kelembaban luka
b. Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
c. Moist wound surface – non-adherent dressing
d. Treatment overgranulasi
e. Hydrocolloids, foams, alginates
5. Luka epitelisasi
a. Bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk “re-surfacing”
b. Transparent films, hydrocolloids
c. Balutan tidak terlalu sering diganti
6. Balutan kombinasi
a. Untuk hidrasi luka : hydrogel + film atau hanya hydrocolloid
b. Untuk debridement (deslough) : hydrogel + film/foam atau hanya hydrocolloid atau
alginate + film/foam atau hydrofibre + film/foam
c. Untuk memanage eksudat sedang s.d berat : extra absorbent foam atau extra
absorbent alginate + foam atau hydrofibre + foam atau cavity filler plus foam

PERBANDNGAN PROSES PENYEMBUHAN LUKA MENGGUNAKAN KONSEP


LAMA DENGAN KONSEP BARU

Berikut ini merupakan contoh perbandingan konsep lama dengan konsep baru dalam
hal kecepatan proses penyembuhan luak,yang bisa dilihat pada tabel dibawah ini

No Pokok-pokok Konsep lama Konsep baru

1 Penjagaan luka Luka dijaga tetap kering karena luka Luka dijaga tetap lembab
yang basah dikhawatirkan rawan dan dilindungi dari
infeksi kontaminasu agar proses
penyembuhan berjalan luka
2 Penggunaan  Pada zaman dahulu,orang percaya  Pada era sekarang,balutan
balutan bahwa membiarkan luka dalam dlam kondisi lembab atau
kondisi bersih dan kering akan sedikit basah merupakan
mempercepat proses penyembuhan cara yang paling efektif
luka untuk menyembuhkan luka
 Sehingga pada zaman dahulu,luka di  Balutan tersebut tidak
balut dengan kain pembalut yang menghambat aliran
tipis,yang memungkinkan udara oksigen,nitrogen dan at-zat
masuk dan membiarkan luka udara yang lain.
mengering hingga
berbentuk”koreng”

29
 namun,seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan
sekarang telah membuktikan bahwa
luka dalam kondisi kering dapat
memperlambat proses penyembuhan
luka dan akan menimbulkan bekas
luka).
3 Pengetahuan  Pengetahuan dahulu menyatakan  Sedangkan menurut
dahulu dan bahwa scab/keropeng atau bekas pengetahuan sekarang,kita
sekarang luka yang mengering atau kering dapat mengoptimalkan
tentang ‘luka merupakan penghalang alami untuk lingkungan yang lembab
yang mencegah hilangnya kelembapan. pada luka,proses
mengering’  Scab juga mencegah sel-sel baru penyembuhan luka akan
untuk berkolonisasi di area luka. berlangsung daridaerah
 Ketika scab tersebut mulai berubah pinggir atau sekitar dan dari
bentuk,sel episermis harus masuk ke dalam secara serempak.
lapisan dermis yang paling dalam
sebelum melakukan
proliferasi,karena di sanalah daerah
yang lembab sehingga sel dapat
hidup.
 Dari proses tersebut,diketahui bahwa
dalam lingkungan kering,luka akan
memulih dari dalam keluar
4 Pendapat  Penyembuhan dengan menggunakan  Klien dengan luka yang
masyarakat lingkungan yang lembab masih biasanya akn lebih jaran
tentang menjadi hal yang baru dan jarang gmengeluh rasa sakit atau
lingkungan diaplikasikan di masyarakat nyeri yang dirasakan pada
lembab  Masyarakat kebanyakan berpendapat saat luka dibiarkan dalam
bahwa lingkungan yang lembab akan lingkungan yang lembab
menjadi tempat berkembak biaknya ,yaitu dengan pembalutn
kuman penyakit yang lembab.
 Pernyataan yang seperti yang  Balutan tersebut akan
dinyatakan masyarakat pada menjaga saraf dari
umumnya tersebut di atas tidak di lingkungan luar dengan
sertai kenyataan bahwa tubuh kita memberikan lingkungan
mempunyai sistem imun yang sangat yang lembab,sehingga dapat
efisien mengurangi rasanyeri
 Segala jenis luka dengan berbagai  Jika dengan balutan yang
tingkat kesterilannya memang kering,dikhawatirkan syaraf
merupakan bentuk kolonesasi dari akan mudah mengalami
bakteri, tetapi koloni bakteri tersebut risiko kerusakan selama
selama masih dalam jumlah yang berproliferasi
wajar tidak menimbulkan risiko
infeksi.
 Masalah akan timbul jika bakteri
tersebut mulai melipat gandakn
koloninya
 Jika tubuh kita dalam kondisi yang

30
normal, maka antibodi dalam tubuh
akan dapar mencegah bakteri untuk
tidak bermitosis.
5 Perbandingan Luka dijaga tetap kering dan di balut Luka dijaga tetap lembab
berbandingkan dengan kassa. dan di balut dengan film
antara konsep polyyrethane
lama dengan
konsep baru
Sifat pembalut Penggunaan kassa dengan konsep Penggunaan film
6 lama (kering) polyurithane
 Menyerap eksudat  Tembus pandang
 Eksudat bisa menembus ke  Elastismengikuti lekuk
permukaan sehingga memberi jalan tubuh
pada bakteri  Menjaga kelembapan luka
 Eksudat bisa menguap sehingga  Kedap air dan bakteri
temperatur luka dingin  Tembus uap air dan udara
 Melekat pada luka  Menjaga temperatur luka

7 Efek  Di bawah kassa, karena penguapan  Di bawah balutan


temperatur temperatur jarang lebih dari 28 moderen (film
pada proses derajat celsius sehingga mitosis polyurethane), temperatur
mitosis berjalan lambat. luka berada pada 30
(epitelisasi)  Pada saat balutas di lepas, derajat celsius-32 derajat
dimana mitosis temperatur turun dan perlu 3 jam celsius.
(epitelisasi) untuk mengembalikan proses  Epitelisasi (mitosis)
berjalan lancar mitosis pada kecepatan optimalnya. berjalan lebih cepat pada
pada luka lembab,karena :
temperatur 25  Tidak perlu menembus ke
C-38 C bawah keropeng dan
temperatur luka terjaga
(30 -32 derajat celsius)
 Proses penyembuhan luka
lembab lebih cepat,baik
untuk luka dangkal
maupun pada luka dalam.
 Setelah menemukan
konsep penyembuhan luka
lembab,maka kriteria
pembalut luka menjadi
sebagai berikut :
 Bisa mengontrol
eksudat
 Menjaga permukaan
luka tetap lembab
 Tidak melekat pada
luka
 Kedap bakteri dan air
 Tembus uap dan udara

31
8 Kontroversi  Pada konsep lama,dalam Namun,pada konsep
penggunaan kehidupan sehari-hari,biasanya baru,penggunaan menurut
antiseptik petugas atau masyarakat umumnya banyak penelitian
akan menggunakan antiseptik pada mengemukakan bahwaa
luka dengan tujuan menjaga luka peenggunaan antiseptik
tersebut agar menjadi steril. dapat mengganggu proses
 Bahkan antiseptik seperti hidrogen penyembuhan dari tubuh
proksida (H2O2),providone- sendiri.pada konsep terbaru
iodine,acetic acid dan ditemukan bahwa masalah
cholorohexadine selalu tersedia utama yang timbul dalam
dalam kotak obat penggunaan antiseptik pada
perawatan luka adalah
antiseptik tidak hanya
membunuh kuman-kuman
yang ada ,tetapi juga
membunuh leukosit ,yaitu
sel darah yang dapat
membunuh bakteri patogen
dan jaringan fibrolast yang
membentuk jaringan kulit
baru.sehingga untuk
membersihkan luka,cara
yang tebaik adalah dengan
cara membersihkannya
dengan menggunakan
cairan saline dan untuk luka
yang sangat kotor dapat
digunakan ‘water
pressure’untuk perawatan
dirumah,dapat
menggunakan air yang
mengalir atau air shower.

32
PERBEDAAN PEMAKAIAN BALUTAN LUKA (WOUND DRESSING) DALAM
PENANGANAN LUKA SECARA TRADISIONAL DAN SECARA MODEREN

Terdapat perbedaan pemakaian balutan luka (wound dressing) dalam penanganan luka
secaratradisional dan secara modern,yang antara lain dijelaskan pada tabel beikut ini :

No Pokok-pokok Secara trdisional Secara modern

1 Jenis balutan  Penggunaan anti septik  Hidrocolloid


 Zat pewarna  Hydrogel
 Antibiotik yg biasang  Absorbent dressing
diberikan secara topikal  Alginate
 Kassa sederhana  foam
 plester

2 Hal-hal yang  Dpt melekatan pd luka  Hal-hal yang tidak di inginkn


perlu di serta menyebabkan pd cara tradisional dapat di
perhatikan kerusakan n kesakitan hindari
ktika dlakukan  Membuat luka yang kering
penggantian balutan menjadi basah dan membuat
 Al ini akan membuat luka luk basah menjadi kering
kembali ke fase awal  Dg membuat luka tetap
dimana terjadi proses lembab di harapkan proses
inflamasi penyembuhan luka bisa
 Akibatnya, proses menjadi lebih cepat
penyembuhan lebih lama

PERKEMBANGAN WOUND DRESSING

Tabel berikut ini merupakan uraian dari perkembangan balutan luka dari masa ke massa :

No Pokok-pokok Uraian
1 Klasifikasi balutan luka  Tradisional
 Konvensional
 Advance

2 Kriteria balutan luka  Menyerap darah dan eksudat luka


tradisional  Melindungi luka dari tauma dan
 Menyembunyikan luka dari pandangan
kekurangannya:
 Melekat pada luka
 Membuat luka kering krena dehidrasi
 Meninggalkan serabut-serabut pada luka

3 Kriteria balutan luka  Melindungi luka dari trauma dan kontaminasi


konvensional bakteri
 Bersifat absorbent

33
 Tidak meninggalkan serat pda luka
 Hampir tidak melekat pada luka
 Aman di pakai

4 Kriteria balutan luka  Mempertahankan permukaan luka tetap lembab


advance: setelah dengan mengontrol eksudat luka
ditemukan konsep proses  Kedap air dan bakteri
penyembuhan luka  Tembus uap air dan oksigen
lembab tahun 1962 oleh  Tidak perlu sering diganti
Dr.George Winer.maka
diproduksi balutan luka
advance.
5 Contoh balutan luka a.keunggulan
advance (1)FILM  memenuhi seluruh kriteria balutan luka advance
 di tambah hal-hal berikut ini : tembus
pandang,tipis,elastis,mengikuti lekuk permukaan
tubuh,mudah di asang.
b. kekurangan : kurang tepat untuk luka bereksudat
banyak.
6 Contoh balutan luka a.keunggulan
advance (2)  memenuhi seluru kriteria balutan luka advance
FOAM/BUSA  di tambah hal-hal berikut ini : berdaya serap
tinggi,cocok untuk luka bereeksudat banyak.
b.kekurangan : tidak tembus pandang
7 Contoh balutan luka a.keunggulan :
advance (3)HIDROGEL  Berbentuk gel
 Menjaga kelembapan luka
 Sedikit efek debridement
b.kekurangan : kotor,berbau dan melekat di tep luka

8 Contoh balutan luka a.keunggulan :


advance (4)  Saat kontak dengan eksudat membentuk gel
ALGINATE  Berdaya serap sedang
 Berfungsi heomostat
 Mudah digunakan
 Bentuk kassa,film,lembaran,kapas yang berasal
dari semacam rumput laut.
b.kekurangan : melekat pada luka kering,pada luka
dalam sulit dibersihkan
9 Contoh balutan luka a.keunggulan :
advance (5)  Cocok untuk luka terinfeksi dan bereksudat
BAHAN POKOK GULA banyak karena gula menyerap eksudat
 Mengurangi edema
 Bisa mengatasi infeksi (ph:3,7)
 Sedikit efek debridement
b.kekurangan : kotor,menyebabkan rasa sakit pada saat
dipakai
10 Klasifikasi balutan luka  Balutan luka aktif : Termasuk balutan luka tradisional
yang baru dan jonvesional.tidak membantu proses penyembuhan.
34
 Balutan luka interaktif : Balutan luka
advance.membantu memperlancar proses
penyembuhan.
 Balutan luka boaktif : Balutan luka baru
yangmengandung growth factor yang bisa mengontrol
pertumbuhan sel.mempercepat proses pertumbuhan,

APA YANG DIMAKSUD PERAWATAN LUKA MODERN?

Perawatan luka modern adalah teknik perawatan luka dengan menciptakan kondisi
lembab pada luka sehingga dapat membantu proses epitelisasi dan penyembuhan luka,
menggunakan balutan semi occlusive, full occlusive dan impermeable dressing berdasarkan
pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), keamanan (safety) (Schulitz, et al. 2005.,
Hana, 2009., Saldy, 2010).
MANFAAT DARI PERAWATAN LUKA MODERN

1. Mencegah luka menjadi kering dan keras.


2. Menurunkan nyeri saat ganti balutan.
3. Meningkatkan laju epitelisasi.
4. Mencegah pembentukan jaringan parut
5. Dapat menurunkan kejadian infeksi.
6. Balutan tidak perlu diganti setiap hari (Cost effective).
7. Memberikan keuntungan psikologis.
8. Mudah digunakan dan aman.(Schulitz, et al. 2005., Hana, 2009., Saldy, 2010)
JENIS BALUTAN MODERN (MODERN DRESSING)
a. Transparant Films Dressing
1. Transparan, perkembangan penyembuhan luka dapat di monitor tanpa membuka
pembalut
2. Tidak tembus bakteri dan air, elastis dan tahan air, sehingga bisa dipakai pada saat
mandi
3. Ekonomis, tidak memerlukan penggantian balutan dalam jangka waktu yang pendek

35
b. Hydrocolloids
Balutan ini mengandung partikel hydroactive (hydrophilic) yang terikat dalam polymer
hydrophobic. Partikel hydrophilic-nya mengabsorbsi kelebihan kelembaban pada luka dan
menkonversikannya ke dalam bentuk gel.
1. Menjaga kestabilan kelembaban luka dan daerah sekitar luka bersamaan dengan
fungsinya sebagai penyerap cairan luka
2. Pembalut dapat diganti tanpa menyebabkan trauma atau rasa sakit, dan tidak lengket
pada luka
3. Nyaman untuk permukaan kulit
4. Ekonomis dan hemat waktu pengobatan, meminimalkan penggantian pembalut
dibanding dengan menggunakan pembalut konvensional (tahan 5-7 hari tanpa
penggantian pembalut baru tergantung karakter eksudat)

c. Hydrogels
Salah satu contoh colloid yang berbahan dasar gliserin atau air, mengembang dalam air
(exudat luka). Mirip dengan hydrocolloid tapi dalam bentuk gel.
1. Menciptakan lingkungan luka yang tetap lembab
2. Lembut dan fleksibel untuk segala jenis luka
3. Melunakkan dan menghancurkan jaringan nekrotik, tanpa merusak jaringan sehat
4. Mengurangi rasa sakit karena mempunyai efek pendingin

36
d. Calcium Alginate
Terbuat dari polysakarida rumput laut (seawed polysacharida), dapat menghentikan
perdarahan minor pada luka, tidak lengket, menyerap eksudat dan berubah menjadi gel bila
kontak dengan cairan tubuh. Dapat diaplikasikan selama 7 hari

e. Foam
Mengandung Polyurethane foam, tersedia dalam kemasan sheets (lembaran) atau ‘cavity
filling’.
a. Foam memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengabsorbsi eksudat yang banyak
b. Foam juga mampu menyerap kelebihan kelembaban sehingga mengurangi resiko
maserasi
c. Tidak menimbulkan nyeri dan trauma pada jaringan luka saat penggantian.

37
CAIRAN PENCUCI LUKA

1. CHLOREXIDINE GLUCONATE & CETRIMIDE (SAVLON)


Sering digunakan untuk luka kotor Antiseptik dan disinfeksi dengan kandungan aqua dan
alcohol Mempunyai kandungan emulsi dan detergent.
a. Keuntungan
Efektif melawan bakteri gram negatif & gram positif
efek detergen berguna untuk membersihkan debris dari luka
dapat digunakan untuk mendesinfeksi alat kesehatan
b. Kekurangan
Toksik terhadap fibroblast Dapat terjadi iritasi kulit
Berkontaminasi dengan pseudomonas Aeruginosa
c. Rekomendasi
Cairan ini tidak direkomendasikan untuk pencucian luka yang rutin
2. CAIRAN LUKA “HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2)”
a. Keuntungan
Oksigen bebas membuat efek berbusa yang dapat membantu debridemen mekanik
Melawan bakteri anaerob karena pelepasan oksigen
b. Kekurangan
Efek busa mengangkat jaringan ephitel Toksik terhadap jaringan Dapat menguraikan
bekuan sehingga menimbulkan perdarahan Oksidasi kuat merangsang jaringan parut
c. Rekomendasi
Tidak direkomendasikan penggunaannya secara rutin gunakan dengan air mengalir
dan sabun untuk mengurangi paparannya. Yang terpenting dalam pencucian luka.
Cairan pencuci luka aman digunakan pada luka (tidak mengganggu proses
penyembuhan luka). Pencucian luka bertujuan untuk mengangkat koloni bakteri
(infeksi), mengurangi trauma dan mencegah infeksi. Cairan Antiseptik dapat
membunuh bakteri (infeksi) tetapi juga merusak jaringan dan mengganggu proses
penyembuhan luka Saat terjadi infeksi pada luka, cairan antiseptik tidak wajib
digunakan dan sebaiknya menjadi pertimbangan dalam penggunaan antibiotik
sistemik , hindari penggunaan cairan pencuci luka (antiseptik) secara rutin, karena
dapat terjadi resistensi

38
MANAJEMEN LUKA: TIME APPROACH
Luka bukan hanya masalah ‘lubang pada kulit’ tapi lebih dari itu ada banyak aspek
yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai tujuan tertutupnya ‘lubang’ tersebut. Untuk itu
perlu sebuah pendekatan sistematis dalam mendesain kerangka kerja agar tujuan
penyembuhan luka dapat tercapai.
Falanga (2004) mengembangkan kerangka kerja yang dikenal sebagai TIME untuk
mendukung pendekatan yang lebih komprehensif dalam perawatan luka kronik. Istilah ini
kemudian dimodifikasi eleh European Wound Management Association WBP Advosory
Board untuk memaksimalkan penggunaannya agar lebih universal. Adapun kerangka kerja
TIME adalah sebagai berikut:
T : Tissue Management.
I : Inflammation and infection control.
M : Moisture balance.
E : Epithelial (edge) advancement.
A. TISSUE MANAGEMENT
Tissue management atau manajemen jaringan luka ditujukan untuk menyiapkan bantalan
luka. Oleh karena itu dipandang perlu untuk segera melakukan debridement untuk
mengangkat jaringan nekrotik dan slough. Debridement dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, yaitu:
a. Autolytic debridement.
Debridement autolitik didasarkan pada kemampuan macrofag untuk memfagositosis
debris dan jarngan nekrotik. Penggunaan Hydrocoloids dan hydrogels digunakan
secara luas untuk mendukung lingkungan yang lembab yang akan meningkatkan
aktifitas makrofag. Alginat juga dapat digunakan untuk mendukung suasana lembab.
b. Biological debridement.
Maggots atau belatung berasal dari larva lalat lucilia sericata yang mensekresikan
enzim yang dapat memecah jaringan nekrotik menjadi semi-liquid form (lunak)
sehingga dapat dicerna oleh belatung dan hanya meninggalkan jaringan yang sehat
(Thomas, 2001).
c. Enzymatic debridement.
Debridemen enzimatik juga dapat mendukung autolysis sontohnya penggunaan
enzym seperti elastase, collagenase, dan fibrinolysin. Enzim-enzim tersebut dapat
melepaskan ikatan jaringan nekrotik terhadap bantalan luka (Douglass, 2003).

39
d. Mechanical debridement.
Metode mechanical debridement antara lain; wet-to-dry dressing dengan
menggunakan kasa yang dilembabkan dengan NaCL kemudian ditempelkan pada luka
dan dibiarkan mengering, setelah itu diangkat. Cara ini dapat mengangkat slough dan
eschar ketika balutan luka diganti namun efek negatifnya menimbulkan nyeri pada
pasien dan dapat merusak jaringan yang baru. Irigasi dengan tekanan tinggi juga dapat
digunakan dan efektif untuk jumlah bakteri pada luka dibanding dengan mencuci luka
dengan cara biasa.
e. Sharp atau Surgical debridement.
Merupakan metode debridement yang paling cepat namun tidak cocok untuk semua
jenis luka (utamanya luka dengan perfusi jelek) selain itu sharp/surgical debridement
dapat menimbulkan resiko perdarahan, oleh karena itu harus dilaksanakan oleh
petugas yang telah kompeten, terlatih dan profesional (Faibairn, et el., 2002).
B. INFLAMMATION AND INFECTION CONTROL
Luka kronik selalu dianggap terkontaminasi sehingga terjadi kolonisasi bakteri yang pada
akhirnya akan mengakibatkan infeksi. Sibbald (2002) menggambarkan pentingnya
mempertahankan keseimbangan bakteri ketika luka terkontaminasi atau terkolonisasi oleh
bakteri tapi tidak mengganggu proses penyembuhan. Jika luka tidak sembuh dengan
penggunaan topical therapy, penggunaan antibiotic sistemik dapat dipertimbangkan,
utamanya jika terjadi infeksi jaringan dalam.
Schultz et al. (2003) menekankan pentingnya debridement sebab dapat mengurangi
jumlah bakteri dengan mengangkat jaringan yang mati. Penggunaan belatung untuk
debridement juga sangat berguna bahkan dapat mencerna dan menghancurkan bakteri,
termasuk MRSA (Thomas, 2001).
Untuk pengunaan antiseptic topical seperti slow-release silver dan iodine hanya
menunjukkan efektifitas dalam dua minggu (Edmonds et al., 2004;Moffat et al., 2004).
Topical antibiotic sangat tidak direkomendasikan karena resiko resistensi.
C. MOISTURE BALANCE
Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang, hingga banyak. Luka
dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan maserasi pada kulit sekitar luka dilain pihak
luka dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi kering. Oleh karena itu perlu ada
keseimbangan kelembaban pada luka. Untuk menjaga keseimbangan kelembaban (moisture
balance) pada luka maka dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

40
a. Untuk luka dengan eksudat yang sangat banyak, gunakan balutan yang memiliki daya
serap yang tinggi. Contohnya alginate, foams, dan hydrofiber dressing. Bila tidak ada
dapat dimodifikasi misalnya penggunaan pampers dan pembalut.
b. Untuk luka dengan eksudat yang produktif seperti sinus dan fistula, dapat digunakan
‘system kantong’ untuk menampung eksudat. ‘system kantong’ dapat mencegah
resiko kontaminasi kulit sekitar luka (yang mungkin masih sehat) dari eksudat,
volume dan warna eksudat dapat dipantau, dan bau eksudat dapat dikontrol. Untuk
aplikasi ‘system kantong’ dapat digunakan stoma bag, urostomy bag, fistula bag, atau
bila tidak ada dapat digunakan ‘parcel dressing’.
Apapun metode yang digunakan untuk menciptakan moisture balance, yang paling
penting adalah perawatan kulit sekitar luka. Eksudat yang berlebihan dapat menimbulkan
maserasi atau dermatitis irritant (Cutting & White, 2002).
D. EPHITELIAL (EDGE) ADVANCEMENT
Penyembuhan luka bukan hanya menyiapkan bantalan luka, tapi yang juga tak kalah
penting adalah menyiapkan tepi luka (wound edge). Selama ini dalam perawatan luka kita
hanya berfokus pada lukanya dan mengabaikan perawata kulit sekitar luka. Tepi luka yang
berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang menebal atau
tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.
Untuk perawatan tepi luka dapat dilakukan dengan mengontrol eksudat agar tidak
mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka dapat menggunakan skin
tissue, skin lotion, dll.

E. ASUHAN KEPERAWATAN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
No. RM :
Usia : 75 tahun
Tgl. Masuk :
Jenis kelamin :P
Tgl. Pengkajian :
Dx Medis : Diabetik food
KELUHAN UTAMA
Terasa sangat nyeri ( skala 8 )

41
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum  Baik √ Sedang 
Buruk
Tekanan darah 140/80 mmHg
Nadi √ Reguler  Irreguler Frek :88
x/m
Respirasi √ Normal  Dispneu 
Lain-lain Frek :…….x/m
Konjungtiva √ Tidak anemis  Anemis 
Lain-lain
Ekstremitas terdapat luka di tangan bagian kiri, di
pundak bagian kiri dan luka dipaha bagian
kanan

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
1. Adakah keyakinan/tradisi/budaya yang berkaitan dengan pelayanan yang akan
diberikan :√ Ya  Tidak ada
2. Kendala komunikasi √ Tidak ada  Ada, Jelaskan……….
3. Yang merawat di rumah  Tidak ada √Ada, Jelaskan……….
4. Kondisi saat ini  Tenang √ Gelisah  Takut terhadap tindakan
 Marah √ Mudah tersinggung

42
GAMBAR LUKA

43
44
45

Anda mungkin juga menyukai