Anda di halaman 1dari 28

Elektif II : Keperawatan Luka

PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA


Dosen Pengampuh : Ns. Pipin Yunus, M.Kep

DISUSUN OLEH :
KELAS A 2017
KELOMPOK 2

1. NURFITRIAH I. NASIR
2. NUR AZMI S. SULEMAN
3. TIANSI HIDAYATI PAKAYA
4. AVRILIANI SAGITA MOLOU
5. DEWANTI K. HASAN
6. JUMRIATI THALIB
7. HARTATI PULUBUHU
8. VIDYA SALSABILA TAIB
9. NURUL HASANAH
10. SITI NURKHOLIZAH MASIONU
11. SRI SUSANTI ABDULLAH
12. ELSILAWATI YUNUS

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
TA.2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat Nya
penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah asuhan keperawatan ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “Konsep Pengkajian
Dan Konsep Debridement” ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan dari
mata kuliah Elektif II: Keperawatan Luka diprogram studi ilmu keperawatan.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan
makalah ini di masa akan datang.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat di jadikan sebagai bahan
untuk menambah pengetahuan para mahasiswa, masyarakat dan pembaca.

Gorontalo, 01 Februari 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Maslah ........................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................... 2
D. Manfaat Pembahasan .................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

A. Konsep Pengkajian Luka ............................................................. 3


B. Konsep Debridement .................................................................... 13
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 24

A. Kesimpulan.................................................................................... 24
B. Saran.............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kulit adalah salah satu organ ekternal terbesar tubuh yang terdiri dari tiga
lapisan utama yaitu; lapisan epidermis, dermis dan hipodermis (subkutan).
Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu
sebagai pelindung dari bakteri dan mikroba lainya, dari trauma mekanik,
kimiawi, suhu ekstrim panas, dingin, kelembapan, kekeringan serta radiasi
ultraviolet.(Sari 2018)

Adanya suatu trauma baik itu secara mekanik, kimia, radiasi dan lainnya
akan menyebabkan struktur kulit rusak dan menimbulkan suatu keadaan yang
disebut sebagai luka. Luka merupakan suatu trauma pada kulit atau struktur
dibawahnya yang dapat atau tidak menyebabkan kehilangan intergritas kulit
dan terganggunya fungsi jaringan. Penyembuhan luka adalah suatu proses
yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Proses penyembuhan luka
melalui beberapa fase yang tumpang tindih meliputi fase koagulasi, inflamasi,
proliferasi, dan fase remodelling. Pada setiap fase penyembuhan luka tersebut
diperlukan tidak hanya mengaplikasikan balutan luka tetapi melakukan
perawatan luka secara total pada klien dengan luka, meliputi pembersihan
luka dan debridemen, pengolesan preparat antibiotik topikal atau dresing luka
serta tidak kalah penting adalah memperhatikan faktor sistemik terutama
nutrisi yang sangat berperan dalam penyembuhan luka.

Manajemen sistemik dalam perawatan luka inilah yang sering tidak


dilakukan perawat yaitu memperhatikan kebutuhan nutrisi untuk perbaikan
jaringan selama proses penyembuhan luka. Peran perawat dalam hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan terapi keperawatan komplementer yang
membantu mempercepat penyembuhan luka salah satunya dengan terapi

1
herbal. Manajemen lokal pada luka dimulai dengan pengkajian terhadap
kondisi luka untuk mengetahui intervensi yang akan dilakukan. Setelah
menentukan 3 kebutuhan intervensi terhadap luka selanjutnya perawatan luka
dengan cleansing, debridement dan dressing. Seorang perawat dapat secara
mandiri menentukan jenis cleansing yang digunakan untuk membantu
membersihkan luka secara aman tanpa merusak jaringan dan mengganggu
kenyamanan pasien. Membuang dan membersihkan jaringan mati pada luka
sangat dibutuhkan untuk membantu mengoptimalkan proses penyembuhan
luka.

Pemilihan dressing yang juga sangat membantu memfasilitasi proses


penyembuhan luka, karena jenis dresing dapat mempengaruhi kelembapan
dasar luka. Manajemen luka yang berkembang pesat saat ini adalah perawatan
luka dengan lingkungan luka lembab atau moist wound healing. Moist wound
healing merupakan suatu metode yang mempertahankan lingkungan luka tetap
lembab untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pengkajian luka?
2. Bagaimana konsep debridement?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep pengkajian luka
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep debridement
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui segala hal tentang konsep pengkajian luka
dan konsep debridement
2. Mahasiswa dapat mengaplikasikan dan menerapkan konsep pengkajian
luka dan konsep debridement di lingkungan kerja atau praktik lapangan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pengkajian Luka
1. Definisi Luka
Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang dapat
diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan sirkulasi,
perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport oksigen dan
juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim, injury, alergen,
radiasi, zat-zat kimia. Pembagian luka yang dihubungkan dengan waktu
penyembuhan terbagi menjadi 2, yaitu:
1) Luka akut yaitu luka yang proses penyembuhannya sesuai dengan
waktu pada konsep penyembuhan luka.
2) Luka kronik yaitu luka yang proses penyembuhannya gagal dan tidak
sesuai dengan waktu pada konsep penyembuhan luka.(Utara 2019)
2. Tujuan Pengkajian
1) Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka
2) Memonitor proses penyembuhan luka
3) Menentukan program perawatan luka pada pasien
4) Mengevaluasi keberhasilan perawatan
3. Pengkajian Riwayat Pasien
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna
bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada
namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat
penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat
penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor
yang perlu diidentifikasi antara lain :
1) Faktor Umum
a) Usia

3
b) Penyakit Penyerta
c) Vaskularisasi
d) Status Nutrisi
e) Obesitas
f) Gangguan Sensasi atau mobilisasi
g) Status Psikologis
h) Terapi Radiasi
i) Obat-obatan
2) Faktor Lokal
a) Kelembaban luka
b) Penatalaksanaan manajemen luka
c) Suhu Luka
d) Tekanan, Gesekan dan Pergeseran
e) Benda Asing
f) Infeksi Luka

Sedangkan pada penatalaksanaan perawatan luka perawat harus


mengevaluasi setiap pasien dan lukanya melalui pengkajian terhadap :

1) Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena)


2) Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini
3) Usia pasien
4) Durasi luka; akut (<12 minggu) atau kronis (> 12 minggu)
5) Kecukupan saturasi oksigen
6) Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan
luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data
laboratorium (kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial,
hitung jumlah limposit total)
7) Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung,
penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal, sepsis,

4
dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan, malnutrisi atau
cachexia
8) Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan
shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang
meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat
penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya;
ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama
memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya?
Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien
diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas? (Tinggi et al. 2020)

4. Menurut Carville (1998), Pengkajian luka meliputi :


1) Type luka
2) Type Penyembuhan
3) Kehilangan jaringan
4) Penampilan klinis
5) Lokasi
6) Ukuran Luka
7) Eksudasi
8) Kulit sekitar luka
9) Nyeri
10) Infeksi luka
11) Implikasi psikososial
5. Jenis Luka
1) Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui
intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh
melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang tepat
pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas anatomis sesuai
dengan proses penyembuhan secara fisiologis.

5
2) Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak
sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan penyembuhannya
mengalami komplikasi, terhambat baik oleh faktor intrinsik maupun
ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada individu, luka atau
lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka kronis merupakan
kegagalan penyembuhan pada luka akut.
6. Type Penyembuhan
1) Primary Intention, Jika terdapat kehilangan jaringan minimal dan
kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips atau
tape (plester). Jaringan parut yang dihasilkan minimal.
2) Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau mengandung
benda asing dan membutuhkan pembersihan intensif, selanjutnya
ditutup secara primer pada 3-5 hari kemudian.
3) Secondary Intention,. Penyembuhan luka terlambat dan terjadi
melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan parut
cukup luas.
4) Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal digunakan untuk mempercepat
proses penyembuhan dan mengurangi resiko infeksi.
5) Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada luka
yang berasal dari jaringan terdekat.
7. Kehilangan jaringan.
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau
berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
1) Superfisial. Luka sebatas epidermis.
2) Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis.
3) Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan
jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I –
IV ).

6
1) Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun terdapat erithema atau
perubahan warna.
2) Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan
epidermis dan dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri, panas
dan edema. Exudte sedikit sampai sedang mungkin ada.
3) Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan
terbentuknya rongga (cavity), terdapat exudat sedang sampai banyak.
4) Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya
(cavity), yang melibatkan otot, tendon dan/atau tulang. Terdapat
exudate sedang sampai banyak.
8. Lokasi
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh
dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama. Lokasi
luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis perawatan yang
diberikan. Lokasi luka di area persendian cenderung bergerak dan
tergesek, mungkin lebih lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel
terkena trauma (siku, lutut, kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau
gaya lipatan (shear force ) akan lambat sembuh (pinggul, bokong),
sedangkan penyembuhan meningkat diarea dengan vaskularisasi baik
(wajah).
9. Ukuran Luka
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau
diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan penyembuhan
luka dan modalitas terapi adalah komponen penting dari perawatan luka.
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka dan
pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
1) Pengkajian dua dimensi.
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti penggaris
untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan lingkaran (tracing of

7
circumference) luka direkomendasikan dalam bentuk plastik
transparan atau asetat sheet dan memakai spidol.
2) Pengkajian tiga dimensi.
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan
pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah menggunakan
instrumen berupa aplikator kapas lembab steril atau kateter/baby
feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari dan telunjuk pada titik
yang berhubungan dengan batas tepi luka. Hati-hati saat menarik
aplikator sambil mempertahankan posisi ibu jari dan telunjuk yang
memegangnya. Ukur dari ujung aplikator pada posisi sejajar dengan
penggaris sentimeter (cm).
10. Exudate.
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna,
konsistensi dan bau.
1) Jenis Exudate
a) Serous – cairan berwarna jernih.
b) Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang.
c) Sanguenous - cairan berwarna darah kental/pekat.
d) Purulent – kental mengandung nanah.
2) Jumlah
Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti tampak pada luka
bakar atau fistula dapat mengganggu keseimbangan cairan dan
mengakibatkan gangguan elektrolit. Kulit sekitar luka juga
cenderung maserasi jika tidak menggunkan balutan atau alat
pengelolaan luka yang tepat.
3) Warna
Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga menjadi indikator
klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada pada luka terinfeksi
(contoh, pseudomonas aeruginosa yang berwarna hijau/kebiruan).

8
4) Konsistensi
Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat bermakna pada luka
yang edema dan fistula.
5) Bau
Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka oleh
cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau mungkin juga
berhubungan dengan proses autolisis jaringan nekrotik pada balutan
oklusif (hidrocolloid).
11. Kulit sekitar luka
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada
sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau maserasi.
Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya dicatat. Catat
warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika luka mendapatkan
penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi terutama saat mengkaji luka di
tungkai bawah. Penting untuk memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya
epithelisasi dan/atau kontraksi.(Pedoman and Klinis 2018)
12. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka adalah sebuah proses yang kompleks dan
dinamis yang menghasilkan perbaikan kontuinitas anatomi dan fisiologi.
Untuk mengembalikan fungsi tubuh yang maksimal setelah terjadinya
luka, maka tubuh sesaat setelah terjadinya luka akan memulai proses
metabolisme untuk membangun kembali jaringan yang rusak.
Proses penyembuhan luka ini terdiri dari 3 fase, yaitu:
1) Fase inflamasi/eksudasi
Fase inflamasi adalah fase pertama yang terjadi pada proses
penyembuhan luka dimana vaskular dan seluler berespon terhadap
terjadinya luka dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dan
membersihkan area luka dari benda asing, mikroba, dan sel-sel

9
mati. Fase inflamasi ini menyebabkan luka bersiap untuk
melanjutkan proses penyembuhan berikutnya.
Pada awalnya rusaknya pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet untuk menutup pembuluh darah yang terbuka,
juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga perdarahan akan
terhenti, periode ini berlangsung cepat sekitar 5-10 menit.
Selanjutnya akan terjadi vasodilatasi akibat respon syaraf sensori
dan juga akan mengeluarkan histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin sendiri selain mengakibatkan vasodilatasi juga akan
meningkatkan permeabilitas vena sehingga cairan plasma akan
berpindah ke daerah luka.
Peningkatan permeabilitas ini juga akan mengakibatkan
terjadinya perpindahan sel leukosit ke area luka. Netrofil yang
merupakan agen sel leukosit akan melakukan fagositosis benda
asing dan bakteri selama 3 hari dan selanjutnya akan digantikan
oleh makrofag.
Adapun fungsi makrofag selain dari fagositosis adalah sintesa
kolagen, bersama-sama dengan fibroblast membentuk jaringan
granulasi, memproduksi growth factor dan berperan dalam
reepitelisasi dan melakukan angiogenesis atau pembentukan
kapiler-kapiler baru. Secara klinis, tanda dan gejala terjadinya fase
inflamasi ini adalah eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa
sakit yang berlangsung 3 sampai 5 hari.
2) Fase proliferative
Pada fase ini terjadi proses untuk memperbaiki dan
menyembuhkan luka yang ditandai dengan adanya pembelahan sel.
Fibroblast memiliki peran yang sangat penting dalam proses
penyembuhan yaitu bertanggung jawab dalam persiapan untuk

10
menghasilkan struktur protein baru yang akan terlibat dalam proses
rekonstruksi jaringan.
Fibroblast yang selama ini berada di jaringan penunjang
menjadi aktif ketika terjadi luka kemudian fibroblast ini akan
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin,
hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycan dan akan berperan
dalam membentuk jaringan yang baru.
Kolagen merupakan cikal bakal munculnya jaringan baru.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang berada di jaringan
baru disebut dengan jaringan granulasi, sedangkan proses
proliferasi fibroblast dengan aktifitas enzim-enzimnya disebut
fibroplasia.
Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah
kapiler baru di dalam luka. Kegagalan pembentukan pembuluh
darah kapiler ini mengakibatkan tertundanya proses penyembuhan
karena kurangnya asupan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan
untuk penyembuhan luka. Pada fase ini angiogenesis dan
fibroplasia bekerja terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi
yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi. Pada proses ini fibroblast
akan mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF) dan
berperan dalam merangsang mitosis sel epidermis. Proses ini
dimulai dari pinggir luka dan akhirnya akan membentuk barier
yang menutupi seluruh permukaan luka. Bersama-sama dengan
kolagen pembentukan lapisan dermis semakin berkualitas dengan
mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.
Fibroblast akan merubah bentuknya menjadi myofibroblas dan
memiliki kemampuan untuk melakukan kontraksi pada jaringan.
Selanjutnya fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan

11
lapisan kolagen telah terbentuk. Fase ini akan berlangsung hingga
3 minggu.
3) Fase maturase
Fase ini dimulai dari minggu ke 3 sejak luka dan akan berakhir
sampai kurang lebih 1 tahun. Fase ini bertujuan agar dihasilkan
jaringan baru yang kuat dan menyerupai jaringan yang dulu telah
rusak.
Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi,
warna kemerahan yang ada pada jaringan akan mulai berkurang
karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Pembentukan
kolagen yang telah terbetuk sejak fase proliferasi akan berlanjut di
fase ini. Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan
kolagen oleh enzim kolagenase.
Pembentukan dan pemecahan ini harus seimbang agar
penyembuhan optimal terjadi. Bila pembentukan lebih banyak
maka terjadi pembentukan penebalan jaringan parut, namun bila
pemecahan yang lebih banyak maka kekuatan jaringan parut
melemah dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh
bila kontuinitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut yang kuat
dan tidak mengganggu aktifitas yang normal.

12
B. Konsep Debridement
1. Definisi Debridement
Debridement adalah suatu proses usaha yang menghilangkan jaringan
nekrotik atau jaringan nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi
dari bed luka dengan mempertahankan secara maksimal struktur anatomi
yang penting seperti syaraf, pembuluh darah, tendo dan tulang.
Tujuan dasar debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka
untuk mengontrol dan mencegah infeksi. Jika jaringan nekrotik tidak
dihilangkan akan berakibat tidak hanya menghalangi penyembuhan luka
tetapi juga dapat terjadi kehilangan protein, osteomielitis, infeksi sistemik
dan kemungkinan terjadi sepsis, amputasi tungkai atau kematian. Setelah
debridement/membuang jaringan nekrotik akan terjadi perbaikan sirkulasi
dan terpenuhi pengangkutan oksigen yang ade kuat ke luka.
Ambrose Pare (1509-1590) Pertama kali memperkenalkan bahwa
membuang jaringan non vital penting pada penyembuhan luka. Istilah
Debridement pertama kali digunakan oleh Desault saat menjelaskan
tentang upaya pembedahan untuk membuang debris dari luka terbuka.
Banyak tindakan rekonstruksi pasca trauma dan infeksi mengalami
kegagalan lebih disebabkan karena tidak adekuatnya debridement
dibandingkan dengan kegagalan teknik rekonstruksi. Debridement
merupakan upaya untuk mempercepat penyembuhan luka dimana luka
yang mengandung jaringan nekrotik akan lama sembuhnya . Jaringan
nekrotik akan menjadi tempat koloni bakteri dan menimbulkan bau yang
tidak enak.(Melitus, Kaki, and Wagner 2019)
Isitilah debridement sangat erat kaitannya dengan pembedahan
sehingga seolah-olah tindakan debridement merupakan tindakan bedah
saja. Sejak berkembangnya konsep preparasi bed luka secara luas dimana
debridement merupakan bagian penting disamping kontrol bakteri dan

13
pengelolaan eksudat . Mulai banyak dikenal beberapa teknik debridement
non-bedah yang sebenarnya sudah cukup lama dilakukan .Teknik
debridement dapat dilakukan mulai dari yang kurang invasif sampai yang
paling invasif dimana irigasi merupakan tindakan yang paling sedikit
mencenderai jaringan serta pembedahan merupakan prosedur yang paling
ablatif.
Debridement dapat dilakukan dengan teknik pembedahan, enzimatik,
otolitik, mekanik dan biologi. Debridement pembedahan adalah tindakan
menggunakan scalpel , gunting, kuret atau instrument lain untuk
membuang jaringan mati dari luka. Tindakan ini merupakan pilihan
pertama jika faktor kecepatan dan ketutasan menjadi pertimbangan, cara
ini paling efektif mengatasi jaringan nekrotik, eksudat dan mengatasi
infeksi, tetapi mempunyai kekurangan yaitu rasa nyeri dan biaya yang
relatif tinggi.
Debridement enzimatik merupakan teknik debridement menggunakan
topical ointment enzim yang mempunyai tingkat selektifitas yang paling
tinggi untuk membuang jaringan nekrotik. Topikal ointment yang popular
saat ini adalah kolagenase yang telah dipakai secara luas . Enzim
kolagenase adalah hasil permentasi dari clostridium histolytikum yang
mempunyai kemampuan unik mencerna kolagen dalam jaringan nekrotik .
Kolagenase dapat membersihkan luka dari jaringan mati dan menjadikan
bed luka siap untuk penyembuhan . Enzim kolagenase terutama efektif
untuk luka ulkus kronis seperti ulkus tekan, ulkus arterial, ulkus vena,
ulkus diabetik dan juga luka bakar. Saat ini sedang dikembangkan
penggunakan enzim bromelain dari ekstrak nanas yang terbukti cukup
efektif dalam melakukan pengangkatan eskar pada luka bakar dan jaringan
nekrotik pada luka kronik.(Romdhani 2019)

14
Debridement otolitik atau invivo enzymes self digest devitalized tissue
adalah proses usaha tubuh untuk melakukan pembuangan jaringan mati
dengan cara mempertahankan suasana luka supaya tetap lembab. Dalam
keadaan luka lembab akan mengaktifkan enzim proteolitik yang berefek
melisiskan jaringan nekrotik, sehingga mampu membersihkan luka dari
jaringan nekrotik. Tindakan ini merupakan prosedur debridement yang
tidak nyeri dan relatif biayanya rendah.
Debridement mekanik disebut juga gauze debridement, prinsip
kerjanya adalah wet to dry dressing. Luka ditutup dengan kasa yang telah
dibasahi normal saline, setelah kasa kering jaringan yang mati atau debris
akan melekat pada kasanya. Saat mengganti balut jaringan mati akan ikut
terbuang. Tindakan ini dilakukan berulang 2 sampai 6 kali perhari.
Biasanya tindakan ini sebagai pelengkap surgical debridement. Prosedur
ini membuat tidak nyaman bagi penderita karena sering diganti
balutannya, dapat merusak jaringan granulasi baru merusak epitel yang
masih fragile dan potensial timbul maserasi disekitar luka. Biasanya
dipilih bila teknik lain belum memungkinkan untuk dilakukan, secara
umum teknik ini kurang efektif dan berbiaya tinggi karena frekuensi
perawatannya tinggi.
Debridement biologi merupakan upaya debridement menggunakan
larva disebut sebagai maggot debridement therapy (MDT). Larva yang
digunakan Phanenicea sericata (green blow fly). Prosedur ini dapat
membersihkan jaringan nekrotik dan infeksi, desinfeksi membunuh
bakteri dan stimulasi penyembuhan luka. Metode ini merupakan
biomechanical debridement, telah digunakan sejak tahun 1932 dan sukses
untuk menangani abses, luka bakar, selulitis, gangren, ulkus, osteomielitis
dan mastoiditis.
Debridement dilakukan pada luka akut maupun luka kronis. Setelah
luka dibersihkan dari jaringan nekrotik, eksudat dan waste metabolic

15
diharapkan akan memperbaiki dan mempermudah proses penyembuhan
luka. Timbunan jaringan nekrotik biasanya terjadi akibat buruknya suplai
darah pada luka atau dari peningkatan tekanan interstitial. Dari hasil studi
luka didapatkan secara statistic bermakna bahwa ada peningkatan
penyembuhan luka setelah debridement dibandingkan tanpa debridement
pada kasus ulkus vena.
Tujuan dasar debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka
untuk mengontrol dan menjegah infeksi. Jika jaringan nekrotik tidak
dihilangkan akan berakibat tidak hanya menghalangi penyembuhan luka
tetapi juga dapat terjadi kehilangan protein, osteomielitis, infeksi siskemik
dan kemungkinan terjadi sepsis, amputasi tungkai atau kematian. Setelah
debridement membuang jaringan nekrotik akan terjadi perbaikan sirkulasi
dan terpenuhi pengangkutan oksigen yang adekuat ke luka.
Banyak tindakan rekonstruksi pasca trauma dan infeksi mengalami
kegagalan lebih disebabkan karena tidak edukuatnya debridement
dibandingkan dengan kegagalan teknik rekonstruksi. Ambrose pertama
kali memperkenalkan bahwa membuang jaringan non vital penting pada
penyembuhan luka . Istilah debridement pertama kali digunakan oleh
Desault di Hotel Dieu in Paris saat menjelaskan tentang upaya
pembedahan untuk membuang debris dari luka terbuka.
Debridement merupakan upaya untuk mempercepat penyembuhan
luka dimana luka yang mengandung jaringan nekrotik akan lama
sembuhnya.
Jaringan nekrotik akan menjadi tempat koloni bakteri dan
menimbulkan bau yang tidak enak. Istilah debridement erat kaitannya
dengan pembedahan, sehingga seolah-olah tindakan debridement
merupakan tindakan bedah saja. Sejak berkembangnya konsep preparasi
bed luka secara luas dimana debridement merupakan bagian penting
disamping control bakteri dan pengelolaan eksudat. Mulai banyak dikenal

16
beberapa teknik debridement yang sebenarnya sudah cukup lama
dilakukan.

2. Teknik Debridement
Teknik debridement selain pembedahan dapat dibagi mulai dari yang
kurang invasive sampai yang paling invasive dimana irigasi merupakan
tindakan yang paling sedikit mencederai jaringan serta pembedahan
merupakan prosedur yang paling abiative.(Aloe, Dalam, and Luka 2020)
Teknik debridement :
a) Surgical debridement

Surgical Debridement adalah tindakan mnggunakan scalpel,


gunting, kuret, atau instrument lain disertai irigasi untuk membuang
jaringan nekrotik dari luka. Teknik ini merupakan cara debridement
yang paling cepat dan paling efisien. Sharp debridement adalah bagian
dari pembedahan dimana tindakannya kurang infasif dan secara rutin
bisa dikerjakan di tempat tidur perawatan ( Dolynchuck., 2001 )
dengan segala keterbatasannya sedangkan surgical debridement
dilakukan dikamar operasi.Tanpa debridement proses penyembuhan
luka tidak dapat dimulai. Membuang jaringan nonvital merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk kesuksesan pengelolaan luka.
Pada luka akut sebelum membuang jaringan nonvital perlu dilakukan
penilaian tes vitalis jaringan. Dilakukan Split Thincness Skin Excision
(STSE) yang berfungsi diagnostic maupun terapi. Tindakan ini untuk
menentukan batas jaringan yang akan dibuang, sekaligus jika
diperlukan kulit hasil STSE dapat digunakan untuk menutup luka
sebagai Skin Graft.

Surgical debridement tidak dapat dilakukan pada semua penderita


seperti pada kondisi klinis yang tidak dapat memungkinkan dilakukan

17
pembiusan dan ada masalah dengan pembiayaan. Hambatan yang
mungkin dijumpai sehingga penderita tidak memungkinkan untuk
dilakukan pembedahan adalah :

 Keadaan umum penderita jelek


 Persyaratan pembiusan (kadar hemoglobin, kadar gula darah,
albumin, elektrolit, batuk, pilek dll)
 Tidak ada yang mengurus penderita
 Antrian jadwal operasi
 Tidak ada biaya

Dalam kondisi seperti hal yang tersebut diatas perlu dipikirkan


prosedur debridement selain pembedahan. Pilihan dapat dilakukan
sesuai dengan kondisi luka dan fasilitas yang memungkinkan. Faktor
pentik untuk pertimbangan dalam pemilihan metode debridement
untuk pengelolaan luka adalah : kecepatan debridement, kemampuan
seleksi jaringan, nyeri luka, jumlah eksudat, infeksi luka dan biaya.

b) Autolytic debridement
Autolytic debridement (invivi enzymes self digest devitalizet
tissue) adalah suatu proses usaha tubuh untuk melakukan pembuangan
jaringan mati. Didalam luka akan muncul enzim yang berefek
mencairkan jaringan nonvital. Keadaan ini perlu dibantu dengan
mempertahankan suasana luka supaya tetap lembab menggunakan
penutup luka yang dapat mempertahankan kelembaban luka. Dalam
suasana lembab tubuh mampu membersihakan jaringan nonvital.
Produk yang dapat mempertahankan suasana lembab dan menjadikan
Autolytic debridement berhasil adalah hydrocolloid, transparent film,
dan hidrogeis. Penggunaan pembalutan lembab interaktif seperti
hydrogel, hydrocolloid dll akan mengoptimalkan suasana untuk

18
debridement oleh sel fagosit dan membuat suasana yang mampu
melisiskan jaringan serta timbulnya jaringan granulasi.

c) Enzymatic debridement
Enzymatic debridement merupakan suatu teknik debridement
menggunakan topical oinmet. Pemakaian pertama enzim secara luas
untuk debridement sekitar tahun 1975, digunakan untuk melepas
eschar pada luka bakar, enzim tersebut adalah Soutilens bacteria
(Travase). Topikal ointment yang populer saat ini adalah kologenase
(Santyl) yang telah dilakukan studi dan telah dipakai secara luas.
Enzim kologenase adalah hasil fermentasi dari clostiridium
histolyticum yang mempunyai kemampuan unik mencerna kolagen
dalam jaringan nekrotik. Kolagenase dapat membersihkan luka dari
jaringan mati dan menjadikan bed luka siap untuk penyembuhan.
Enzim kolagenasi terutama efektif untuk luka ulkus kronis seperti
pressure ulcers, arterial ulcers, venous ulcers, diabetes ulcers, dan juga
untuk luka bakar. Saat ini telah dikembangkan penggunaan enzymatic
debridement menggunakan bromealin dari ekstrak nanas yang terbukti
cukup efektif dalam melakukan pengangkatan eschar pada luka bakar.
d) Mechanical debridement

Mechanical Debridement disebut juga gauze debridement, Prinsip


kerjanya adalah wet to dry dressing. Luka ditutup dengan kasa yang
telah dibasahi normal saline, setelah kering kasa akan melekat dengan
jaringan yang mati. Saat mengganti balut jaringan mati akan ikut
terbuang. Tindakan ini dilakukan berulang 2 sampai 6 kali perhari.
Biasanya tindakan ini sebagai pelengkap surgical debridement .
Prosedur ini membuat tidak nyaman bagi penderita saat mengganti

19
balutan, merusak jaringan granulasi baru, merusak epitel yang masih
fragile dan potensial timbul maserasi disekitar luka. Termasuk dalam
metode mechanical debridement ini adalah hydrotherapy (whirlpool
debridement) dan irigasi (pulsed lavage debridement).

e) Biological debridement
Biological Debridement merupakan terapi upaya debridement
secara biological menggunakan larva disebut sebagai maggot
debridement therapy ( MDT ). Larva yang digunakan Phaenicea
sericata ( green blow fly ) digunakan pertama kali tahun 1931 dan
mulai sukses digunakan sebagai sejak perang dunia kedua.
Prosedur ini dapat :
 Membersihkan jaringan nekrotik dan infeksi
 Desinfeksi membunuh bakteri
 Stimulasi penyembuhan luka

Pada tahun 1995 telah dilakukan sebanyak 40.000 treatment dan


digunakan di lebih dari 1300 senter.

Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua


jaringan nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat
jaringan nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen juga
dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka.10,15 Saat ini terdapat
beberapa jenis debridemen yaitu autolitik, enzimatik, mekanik,
biologik dan tajam.

Debridemen dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang


yang nonviable.Tujuan debridemen yaitu untuk mengevakuasi jaringan
yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga
dapat mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal. Debridemen yang teratur dan

20
dilakukan secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap bersih dan
merangsang terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan ulkus.

3. Perawatan luka

Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound


healing atau menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab.6,10,11
Bila ulkus memroduksi sekret banyak maka untuk pembalut (dressing)
digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya bila ulkus kering maka
digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus cukup
lembab, maka dipilih pembalut ulkus yang dapat mempertahankan
kelembaban.

Disamping bertujuan untuk menjaga kelembaban, penggunaan


pembalut juga selayaknya mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan
lokasi ulkus.15 Untuk pembalut ulkus dapat digunakan pembalut
konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan dengan NaCl 0,9%
maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa jenis pembalut
modern yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid,
hydrogel, calcium alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan pembalut
yang akan digunakan hendaknya senantiasa mempertimbangkan cost
effective dan kemampuan ekonomi pasien.(Zuhan and Rahman 2017)

4. Mencegah kambuhnya ulkus


Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari
amputasi kaki. Pasien diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki,
memeriksa kaki setiap hari,menggunakan alas kaki yang tepat, mengobati
segera jika terdapat luka, pemeriksaan rutin ke podiatri, termasuk
debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu

21
dengan sol yang mengu-rangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi
kaki berisiko tinggi merupakan elemen penting dari program pencegahan.

5. Pengelolaan infeksi
Infeksi pada UKD merupakan faktor pemberat yang turut menentukan
derajat agresifitas tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan UKD.
Dilain pihak infeksi pada UKD mempunyai permasalahan sendiri dengan
adanya berbagai risiko seperti status lokalis maupun sistemik yang
imunocompromised pada pasien DM, resistensi mikroba terhadap
antibiotik, dan jenis mikroba yang adakalanya memerlukan anti biotik
spesifik yang mahal dan berkepanjangan. Dasar utama pemilihan
antibiotik dalam penatalaksanaa UKD yaitu berdasarkan hasil kultur
sekret dan sensitivitas sel. Cara pengambilan dan penanganan sampel
berpengaruh besar terhadap ketepatan hasil kultur kuman. Telah
dilaporkan bahwa terdapat perbedaan jenis kuman yang didapat pada
bahan sekret yang diambil superfisial dengan yang deep swab.
Sambil menunggu hasil kultur, pada UKD yang terinfeksi penggunaan
antibiotik dapat dipilih secara empirik. Terdapat berbagai klasifikasi
pengelolaan kaki diabetes mulai dari yang sederhana sampai kompleks
yang mencantumkan tuntunan penggunaan antibiotika. Beberapa
klasifikasi tersebut yaitu klasifikasi Wagner, The University of Texas
classification, klasifikasi PEDIS oleh International Consensus on the
Diabetic Foot, dan klasifikasi berdasarkan derajat keparahan oleh
Infectious Disease Society of America (IDSA).
6. Irigasi dan Debridement Luka
Bermacam metode irigasi luka untuk debridemen luka saat ini
dilakukan dan dibandingkan antara Normal Salin, Iodophor dan Hidrogen
Peroxide. Namun yang paling efektif membersihkan bakteri adalah

22
Normal Salin. Irigasi luka untuk tindakan debridement luka rutin sangat
direkomendasikan pada tahap awal dari patah tulang terbuka di klinik-
klinik trauma atau Uint Gawat Darurat.
Teknik irigasi juga akan menentukan tingkat penyembuhan luka.
Irigasi yang baik akan membersihkan luka dari kotoran-kotoran yang akan
menghambat penyembuhan luka. Irigasi yang baik saat ini lebih baik
menggunakan larutan NaCl 0,9%. 11 Irigasi dengan tekanan akan mampu
membersihkan seluruh debris yang ada pada luka. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa 53% dilakukan irigasi luka dengan tekanan
menggunakan siringe atau penekanan botol NaCl. Irigasi luka akan lebih
efektif jika menggunakan teknik irigasi dengan tekanan karena mampu
mengeluarkan lebih banyak debris dan material organik (bakteri, virus)
dari permukaan luka tanpa menyebabkan kerusakan pada jaringan-
jaringan sekitar luka. (Langi 2018)

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang sudah di jelaskan diatas mengenai pengkajian luka dan
pengkajian debridement dapat di ambil kesimpulan bahwa pengkajian luka
harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna bahwa pengkajian luka
bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada namun juga menemukan
berbagai factor yang dapat menghambat penyembuhan luka. Sedangkan
debridement adalah suatu proses usaha yang menghilangkan jaringan nekrotik
atau jaringan nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka
dengan mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting
seperti syaraf, pembuluh darah, tendo dan tulang.

B. Saran
Setelah kita mengetahui konsep pengkajian luka dan konsep debridement,
hal ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai materi tersebut
baik untuk mahasiswa dan perawat lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aloe, Therapy, Vera Dalam, and Manajemen Luka. 2020. “Manajemen Luka” 1:
121–29.
Langi, Yuanita A. 2018. “PENATALAKSANAAN ULKUS KAKI DIABETES
SECARA TERPADU,” no. Dm: 95–101.
Melitus, Diabetes, Ulkus Kaki, and Diabetik Wagner. 2019. “DEBRIDEMENT
SEBAGAI TATALAKSANA ULKUS KAKI DIABETIK Made Agustya
Darmaputra Wesnawa. S.Ked Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar-Bali ABSTRAK,” no. tabel 1: 10–15.
Pedoman, Buku, and Keterampilan Klinis. 2018. “Buku Pedoman.” Keperawatan 1.
Romdhani, AM. 2019. Pedoman KETERAMPILAN MEDIK 3. Edited by Airlangga
University Press. Surabaya.
Sari, Adelia Devita. 2018. “PENERAPAN PROSES KEPERAWATAN DALAM
MENANGANI PERAWATAN LUKA.” Keperawatan Luka 2 (1): 2.
Tinggi, Sekolah, Ilmu Kesehatan, Sariasih Arum Dati, Mustiah Yulistiani, Fakultas
Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sokaraja Kulon,
Kabupaten Banyumas, and Jawa Tengah. 2020. “Validitas Format Pengkajian
Luka Time Modifikasi Bates-Jensen” 12 (4): 555–66.
Utara, Universitas Sumatera. 2019. “Universitas Sumatera Utara.” Manajemen Luka 3
(1).
Zuhan, Arif, and Hadian Rahman. 2017. “Profil Penanganan Luka Pada Pasien
Trauma Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat” 5 (3): 21–26.

25

Anda mungkin juga menyukai