Sosialisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses dimana seseorang (a) belajar
menjadi anggota sebuah kelompok atau masyarakat dan (b) belajar aturan-aturan sosial tentang arti
hubungan ke dalam kelompok atau masyarakat dimana ia akan masuk (Kozier, Erb dan Blais,1997).
Sosialisasi meliputi belajar tentang tingkah laku, perasaan dan melihat dunia (orang) lain dalam suatu
pandangan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dimana orang tersebut menempati peran
yang sama dalam posisi tersebut.
Tujuan sosialisasi profesional adalah untuk menanamkan norma, nilai, sikap dan tingkah laku
yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan sebuah profesi.
Suatu aspek instrinsik dari proses sosialisasi adalah sosial kontrol yaitu kapasitas dari sebuah
kelompok soaial untuk mengatur atau meregulasi dirinya sendiri melalui penyesuaian diri dan ketaatan
terhadap norma kelompok untuk mempertahankan perintah atau keinginan kelompok sosial atau
organisasi tersebut. Sanksi digunakan untuk memaksa menjalankan norma. Penghargaan atau reward
adalah sangsi positif bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri terhadap norma yang belaku di
kelompok sosial tersebut dan begitupun sanksi hukuman atau punishment digunakan terhadap mereka
yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di organisasi atau kelompok sosial
tersebut.
Sosialiasi profesional meliputi pemaparan terhadap berbagai agen sosialiasi. Agen sosialisasi
adalah orang yang memulai proses sosialisasi seperti anggota keluarga, guru, anak dari pemberi
pelayanan, kelompok dan media masa.
Model Simpson
Ida Harper Simpson (1967) secara garis besar membedakan menjadi 3 bagian dari fase sosialisasi
professional. Fase yang pertama, seseorang berkonsentrasi dan menjadi cakap dalam tugas yang
spesifik. Fase kedua, seseorang menjadi akrab dengan orang lain atau kelompok yang dilayani dalam
bekerja. Fase ketiga, seseorang menginternalisasi nilai kelompok professional dan mengadopsi tingkah
laku yang disyaratkan.
Model Hinshaw
AdaSue Hinshaw (1986) memberikan model umum sosialisasi professional menjadi 3 fase yang
diadaptasi dari Model Simpson.
Selama fase pertama, individu merubah image peran dari dari menyiapkan atau
mengantisipasi konsep ke peran yang diharapkan dimana seseorang yang berada dalam tatanan
pelayanan sesuai standar yang ada.
Hinshaw mengatakan bahwa:
(a) orang dewasa yang masuk dalam suatu profesi harus siap belajar sejumlah peran dan nilai yang
membantu mereka mengevaluasi peran barunya,
(b) individu ini secara aktif terlibat dalam proses sosialisasi, yang mengharuskan memilih peran baru
yang diharapkan dan masuk dalam proses sosialisasi.
Model Davis
Fred davis (1966) menggambarkan enam tahapan proses doktrin pada mahasiswa keperawatan.
Tahap pertama: Kemurnian awal (initial innoncence). Saat mahasiswa masuk dalam suatu
program professional, mereka mempunyai suatu image apa yang mereka inginkan dan bagaimana
mereka akan bertindak atau bertingkah laku. Mahasiswa keperawatan biasanya masuk pada suatu
program pendidikan dengan orientasi pelayanan dan berharap melihat seseorang setelah
mengalami sakit.
Sementara itu, pengalaman pendidikan biasanya akan berbeda dengan apa yang mahasiswa
keperawatan harapkan. Selama fase ini, mahasiswa mengalami kekecewaan dan frustrasi
terhadap pengalaman yang dialaminya dan mungkin mereka bertanya tentang nilai atau keyakinan
dirinya.
Tahap kedua: Melabel ketidakcocokan yang ditemukan ( labeled recognition of incongruity ). Pada
fase ini mahasiswa memulai mengidentifikasi, mengartikulasi dan membagi masalahnya. Mereka
belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya. Mereka
akan membentuk kelompok dan membagi masalahnya dalam kelompok tersebut.
Tahap ketiga dan keempat: Penjiwaan dan stimulasi peran ( Psyching out and role stimulation ).
Inti dari tahap ini, kerangka dasar kognitif untuk menginternalisasi nilai-nilai professional
keperawatan memulai tertanam. Mahasiswa mulai mengidentifikasi tingkah laku dimana ia dapat
diterima dan menunjukan hal tersebut serta mencari model peran dan mempraktikan tingkah laku
tersebut. Dalamistilah yang digunakan oleh Davis adalah psyching out (penjiwaan). Hal ini akan
lebih efektif jika stimulasi peran dilakukan, dan lebih baik lagi jika seseorang tersebut mempercayai
tingkah laku tersebut dan hal ini merupakan bagian dari orang tersebut.
Bagaimanapun, penyiapan mahasiswa pada tatanan kerja hanya merupakan proses sosialisasi.
Nilai baru dan tingkah laku akan dibentuk lagi ditempat kerja. Banyak faktor yang dapat menfasilitasi
proses sosialisasi.
Faktor tersebut adalah:
Kejelasan dan consensus dimana occupan dan aspiran (mahasiswa) menerima atau
merasakan peran dan posisinya.
Derajat kecocokan dengan seperangkat peran yang ada termasuk pada semua orang yang
terlibat seperti staf perawat, kepala ruangan, doter, klien dan keluarganya serta kerabatnya.
Pembelajaran yang dilakukan sebelum memasuki pada posisi tertentu
Kemampuan seseorang yang sedang melakukan sosialisasi untuk memanage proses
sosialisasi.
Model peran yang mendemontrasikan karakteristik yang diharapkan dan dapat meningkatkan
internalisasi suatu kualitas peran yang dikaguminya.
Orientasi yang dikembangkan dengan baik atau program intensif yang mungkin melibatkan
preceptor (misalnya guru/ dosen)
Dukungan kelompok terhadap orang baru untuk berbagi masalah tentang posisi yang baru.