Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PELAYANAN FARMASI

“HIPERTENSI”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI

DISSA ARYASANINDYA O1B1 18 004


HASFIA HISA RAHIM O1B1 18 008
JUFRIANA O1B1 18
MISTRIYANI O1B1 18
NANDA WIDIASTUTI O1B1 18
RAHMAH O1B1 18
RIDHO FAJRIYAH JAMRI O1B1 18
SANDRYANY O1B1 18
TRI MUNASARI O1B1 18
ZUHRI RESTU AMALIA O1B1 18 040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya

maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul

“HIPERTENSI”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan

persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pelayanan Farmasi.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih

yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan

makalah ini. Kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal

pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua

bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-

kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan

kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat

kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Kendari, Maret 2019

Penulis,

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan..............................................................................................1
1.2 Epidemiologi.............................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GEJALA KLINIS....................................................................................3
2.2 PATOFISIOLOGI...................................................................................5
2.2.1 Definisi Hipertensi.............................................................................5
2.2.2 Etiologi...............................................................................................5
2.2.3 Tanda dan Gejala................................................................................7
2.2.4 Klasifikasi Hipertensi.........................................................................7
2.2.5 Komplikasi.........................................................................................8
2.3 TUJUAN TERAPI...................................................................................8
2.4 PENATALAKSANAAN TERAPI..........................................................9
2.4.1 Terapi Non Farmakologi...................................................................9
2.4.2 Terapi Farmakologi..........................................................................10
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN
3.1 KASUS....................................................................................................30
3.1.1 Kasus no. 1.......................................................................................30
3.1.2 Kasus no. 2.......................................................................................30
3.2 ANALISIS SOAP..................................................................................32
3.2.1 Penyelesaian Kasus no. 1.................................................................32
3.2.2 Penyelesaian Kasus no. 2.................................................................34
DAFTAR PUSTAKA 42

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Penyakit kardiovaskuler secara tipikal menyerang usia pertengahan keatas.

Namun penyakit kardiovaskuler adalah hasil dari sebuah proses sepanjang hidup

manusia. Kejadian penyakit kardiovaskuler pada usia dewasa tersebut tidak lepas

dari interaksi terus menerus dari masa kanak – kanak hingga remaja. Beberapa

faktor resiko yang memungkinkan menjadi penyebab penyakit kardiovaskuler

pada remaja secara pasti belum diketahui, meskipun demikian secara umum

dikenal berbagai faktor resiko seseorang untuk menderita penyakit kardiovaskuler

contohnya hipertensi ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko

(Brian, dkk. 2005).


Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas - morbiditas di

Indonesia sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat

umum dilakukan di berbagai tingkat fasilitas kesehatan (PERKI, 2015). Hipertensi

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg,

merupakan silent killer dan perannya terhadap gangguan jantung serta otak tidak

diragukan lagi. Gejala dari hipertensi dapat bervariasi pada masing – masing

individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala – gejalanya

adalah sakit kepala / rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar – debar,

mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus) serta mimisan

(INFODATIN).

1
1.2 Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6% - 10%. Saat ini

jumlah penderita hipertensi di Indonesia diperkirakan 15 juta orang. Prevalensi

pada daerah urban dan rural berkisar antara 17 – 21% dan hanya 4% yang

merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi pada dewasa sebesar 6 – 15%, 50% di

antara orang dewasa yang menderita hipertensi tidak menyadari sebagai penderita

hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena

tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya sedangkan 90%

merupakan hipertensi esensial (Syahrini, 2013). Sedangkan di Amerika,

berdasarkan American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia

diatas 20 tahun penderita hipertensi telah mencapai angka hingga 64,5 juta jiwa

dengan 90 – 95% diantaranya belum diketahui pasti penyebabnya (INFODATIN).

Tekanan darah tinggi merupakan penyakit degenerative yang umumnya

tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko

penderita hipertensi yang tadinya tekanan darahnya normal pada populasi ≥ 55

tahun adalah 90%.2. Kebanyakan orang mempunyai tekanan darah prehipertensi

sebelum mereka didiagnosis menderita hipertensi, dan kebanyakan terjadi pada

umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun,

laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55

s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita

hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi

sebesar 65.4 % (Hajjar, 2003).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GEJALA KLINIS

Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah

mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik.

Faktor resiko mayor

 Hipertensi
 Merokok
 Obesitas (BMI ≥30)
 Immobilitas
 DislipidemiaDiabetes mellitus
 Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
 Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
 Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55

tahun atau perempuan < 65 tahun)

Kerusakan organ target

 Jantung : Left ventricular hypertrophy


 Angina atau sudah pernah infark miokard Sudah pernah revaskularisasi

koroner
 Gagal jantung
 Otak : Stroke atau TIA
 Penyakit ginjal kronis
 Penyakit arteri perifer
 Retinopathy
 BMI = Body Mass Index; GFR= glomerular Filtration Rate; TIA = transient

ischemic attack

Pemeriksaan laboratorium2

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai

terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,

kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk

3
HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional

termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin.

Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi

tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.

Kerusakan organ target

Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan

diagnostic sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah

ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis

danpemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:

 Otak: stroke, TIA, dementia


 Mata: retinopati
 Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard, pernah

revaskularisasi koroner
 Ginjal: penyakit ginjal kronisPenyakit arteri perifer

2.2 PATOFISIOLOGI

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa

oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana

tekanan darah persisten diatas 140/90 mmHg. Pada manula hipertensi

didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160 mmHg dan tekanan diastoliknya 90

mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002).

Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent

killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita

penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita

4
hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi

komplikasi. Kalaupun muncul gejala, seringkali dianggap sebagai gangguan biasa,

sehingga penderita terlambat menyadari penyakit hipertensi tersebut (Chobanian

dkk., 2004).

2.2.2 Etiologi

Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi

primer (esensial) dan hipertensi sekunder.

a) Hipertensi primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial

(primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi

faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam

menyebabkan hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat

menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron

dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah.

Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain

yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta

konsumsi alkohol dan merokok (Weber dkk., 2014).

Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal

merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi

natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung,

dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor

lingkungan dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan.

Stres, kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi

5
garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam

hipertensi (Robbins dkk., 2007).

b) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk.,

2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid

atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan

darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian

penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang

menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi

sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab hipertensi sekunder .

6
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006)
Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan
kadar estrogen tinggi)
Penyakit renovaskular NSAID, cox-2 ihibitor
Sindroma cushing Fenilpropanolamin dan analog
Phaeochromocytoma Siklosforin dan takromilus
Koarktasi aorta Eritropoietin
Penyakit tiroid atau paratiroid Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)

2.2.3 Tanda dan Gejala

Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan

hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya adalah :

1. Sakit kepala
2. Nyeri dada
3. Mudah lelah
4. Palpitasi (jantung berdebar)
5. Hidung berdarah
6. Sering buang air kecil (terutama malam hari)
7. Tinnitus (telinga berdenging)
8. Dunia terasa berputar (vertigo)

Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan

tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).

2.2.4 Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang

persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau

tekanan darah diastolik >90 mmHg, kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Depkes RI, 2006).

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)


Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah diastolic

7
Darah (mmHg) (mmHg)

Normal <120 dan <80


Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

2.2.5 Komplikasi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel

arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk

rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah

besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular

(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,

angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi

memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan

mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya. Menurut Studi

Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang

bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal

jantung (Dosh,2001).

2.3 TUJUAN TERAPI

 Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi

morbiditas dan kematian.

 Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi

tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus

serta ginjal kronik.

8
 TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskuler daripada

TDD dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol

hipertensi (Priyanto, 2009 : 184)

2.4 PENATALAKSANAAN TERAPI

Penatalaksanaan terapi hipertensi terdiri atas terapi non farmakologi dan

terapi farmakologi sebagai berikut:

2.4.1 Terapi Non Farmakologi

Terapi Non Farmakologi bagi penderita hipertensi dianjurkan untuk

mengatur pola hidup dengan memantau

 penurunan berat badan jika kelebihan berat badan,

 melakukan diet makanan sesuai dengan DASH (Dietary Approaches to Stop

Hypertension),

 mengurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol tiap hari (2,4 gram

natrium atau 6 gram natrium klorida),

 melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,

 mengurangi konsumsi alkohol dan

 menghentikan kebiasaan merokok (Chobanian et.al., 2003 : 26).

2.4.2 Terapi Farmakologi

Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas),

kematian (mortalitas), dan menurunkan tekanan darah. Algoritma hipertensi dapat

dilihat pada gambar berikut :

9
Tabel 3. Rekomendasi obat hipertensi untuk penyakit penyerta
Penyakit penyerta Rekomendasi obat hipertensi
Diuretik β-B ACEI ARB CCB Aldo Ant
Gagal jantung     
Pasca infark miokard   
Risiko tinggi penyakit    
coroner
Diabetes mellitus     
Penyakit ginjal kronik  
Pencegahan stroke  
berulang
Keterangan : BB = Beta blocker, ACEI = Angiotensin converting enzyme

inhibitor, ARB = Angiotensin II receptor blocker, CCB = Calcium

channel blocker, Aldo Ant = Aldosteron antagonist (Sumber :

Chobanian et.al., 2003 : 33)

Pemilihan obat hipertensi tergantung pada derajat meningkatnya tekanan

darah dan keberadaan penyakit penyerta. Terapi farmakologi untuk hipertensi

10
tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan diuretik tiazid. Penderita hipertensi tahap

2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi, salah satu obatnya diuretik tiazid

kecuali terdapat kontraindikasi (Chobanian et.al., 2003 : 30).

Obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi

beberapa jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007 : 544):

1. Meningkatkan pengeluaran air dari tubuh: diuretik.

2. Memperlambat kerja jantung: -blocker.

3. Memperlebar pembuluh: vasodilator langsung (di/hidralazin, minoxidil),

antagonis kalsium, penghambat ACE, dan angiotensin II receptor blocker.

4. Menstimulasi Susunan Saraf Pusat: agonis alfa-2 sentral seperti klonidin dan

moxonidin, metildopa, guanfasin, dan reserpin.

5. Mengurangi pengaruh Susunan Saraf Otonom tehadap jantung dan pembuluh,

yaitu:

a. Alfa-1 blocker: derivat quinazolin (prazosin, doxazosin, alfuzosin,

tamsulosin), dan ketanserin (ketansin).

b. Alfa-1 blocker dan alfa-2 blocker: fentolamin.

c. Beta blocker: propranolol, atenolol, metoprolol, pindolol, bisoprolol,

timolol, dan lain-lain.

d. Alfa blocker atau beta blocker: labetolol dan carvedilol.

Obat yang lazim digunakan untuk pengobatan awal lini pertama (first line

drug) hipertensi terbagi menjadi 5 kelompok yaitu, diuretik, penyekat reseptor

beta adrenergik (-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-

inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin II receptor blocker,

11
ARB), antagonis kalsium (CCB). Selain itu obat yang digunakan untuk

pengobatan lini kedua dikenal 4 kelompok obat yaitu, penyekat reseptor alfa

adrenergik (α-blocker), penghambat saraf adrenergik, agonis alfa-2 sentral dan

vasodilator (Mardjono, 2007 : 343).

Obat hipertensi yang digunakan untuk terapi hipertensi dapat dibagi dalam

beberapa kelompok:

1. Diuretik

Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi natrium, air,

dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibat

dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan tekanan darah.

Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular

diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk

sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang.

12
Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:

a. Diuretik kuat (Loop diuretic)

Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian

epitel tebal dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi

Na+, memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Mula kerja diuretik kuat

lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid

sehingga jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL)

atau gagal jantung. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga

diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari. Efek samping diuretik kuat

adalah menurunkan kalsium darah. Contoh obat golongan diuretik kuat:

furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat (Mardjono, 2007 :

345).

Kontraindikasi diuretik kuat antara lain: defisiensi elektrolit, anuria,

koma hepatik, kehamilan muda, hipokalemia, terapi bersama litium

( MIMS, 2007 : 54).

b. Golongan Tiazid

Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari

ginjal. Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi

ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain

bila tekanan darah tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja.

Tiazid seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena:

13
1) Dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan

mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi.

2) Tiazid mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek

obat-obat tersebut dapat bertahan.

Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik

dan antihipertensinya. Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan

kadar renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan

pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis

hidroklorotiazid 12,5 mg/hari.

Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh

antiinflamasi non steroid (AINS) karena antiinflamasi non steroid

menghambat sintesis prostaglandin yang berperan penting dalam

pengaturan aliran darah ginjal, transport air dan garam. Akibatnya

terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir

semua obat hipertensi.

Efek samping tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan

hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat

digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan

dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti

diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi angiotensin

(ACE-inhibitor), karena tiazid dapat menyebabkan hiponatremia,

hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Pada penderita diabetes

14
mellitus, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karena dapat

mengurangi sekresi insulin.

Contoh obat golongan tiazid: hidroklorotiazid,

bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik yang memiliki gugus

aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon) (Mardjono, 2007 :

344).

Kontraindikasi hidroklorotiazid antara lain: anuria, terapi

bersama litium, dekompensasi ginjal ( MIMS, 2007 : 54).

c. Diuretik hemat kalium

Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium

yang diperlukan oleh tubuh. Penggunaan diuretik hemat kalium dengan

diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat

menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal

ginjal, atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, penyekat reseptor

angiotensin II, penyekat β adrenoreseptor, antiinflamasi non steroid atau

dengan suplemen kalium. Penggunaan diuretik hemat kalium harus

dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL.

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan

obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer. Obat ini sangat

berguna pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dengan

intoleransi glukosa. Spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca ++ dan

gula darah. Efek samping spironolakton antara lain gangguan menstruasi

dan penurunan libido pada pria.

15
Contoh obat golongan diuretik hemat kalium: amilorid, triamteren

dan spironolakton (Mardjono, 2007: 345).

Kontraindikasi diuretik hemat kalium antara lain : insufisiensi ginjal

akut, anuria, hiperkalemia, hamil (MIMS, 2007 : 53).

2. Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)

Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat beta-

adrenergik isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan jalan

menempati secara bersaing reseptor β adrenergik. Blokade reseptor ini

mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan

noradrenalin (NA). Reseptor-β terdapat dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja,

2007 : 546) :

a. Reseptor β-1

Reseptor β-1 terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal. Blokade

reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif),

penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan

penyaluran impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).

b. Reseptor β-2.

Reseptor -2 terdapat di bronchia, dinding pembuluh darah, usus.

Blokade reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi

perifer agak ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu), mengganggu

mekanisme homeostatis untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek

hipoglikemia).

16
Mekanisme kerja penyekat β adrenoreseptor terhadap penurunan tekanan

darah dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β-1, antara lain (Mardjono,

2007 : 346):

a. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga

menurunkan curah jantung.

b. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal akibat penurunan

produksi angiotensin II.

c. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan

reseptor pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron

adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin.

Penyekat β adrenoreseptor dapat memiliki sifat-sifat khusus berikut ini

(Tjay dan Rahardja, 2007 : 547):

a. Kardioselektivitas

Kardioselektivitas, yaitu menghambat terutama reseptor β-1 dengan

penurunan tekanan darah tanpa menimbulkan penciutan bronchia dan

pembuluh perifer. Sifat ini terikat pada dosis, selektivitas berkurang

dengan dosis meningkat. Pasien asma, bronchitis dan diabetes sebaiknya

menggunakan dengan berhati-hati obat-obat kardioselektif seperti

asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan

metoprolol.

b. Efek adrenergik intrinsik

Efek adrenergik intrinsik (ISA = Intrinsic Sympathicomimetic Activity)

dimiliki oleh pindolol, asebutolol, alprenolol, celiprolol, dan oxyprenolol.

17
Sifat ini berhubungan dengan keasaman struktur kimianya dengan beta

adrenergik.

c. Efek stabilisasi membran

Efek stabilisasi membran juga disebut efek lokal anastetis yang terjadi

pada dosis tinggi. Efek ini dimiliki oleh propranolol, alprenolol,

oxprenolol, dan asebutolol. Beta bloker dengan khasiat lokal anastetik

tidak layak digunakan topikal pada mata.

Penyekat β adrenoreseptor digunakan sebagai obat tahap pertama pada

pasien hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan

penyakit jantung koroner (khususnya sesudah infark miokard akut), pasien

dengan aritmia supraventrikel (tachycardia), pasien muda dengan sirkulasi

hiperdinamik dan pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau

antipsikotik (karena efek antihipertensi beta bloker tidak dihambat oleh

obat-obat tersebut). Pendapat terbaru membuktikan bahwa beta bloker,

terutama carvedilol dan bisoprolol terbukti bermanfaat dan telah

direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan gagal jantung

dalam kombinasi dengan ACE inhibitor. Penyekat β adrenoreseptor lebih

efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut.

Penurunan tekanan darah oleh penyekat β adrenoreseptor yang

diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24

jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai dan tidak diperoleh penurunan

tekanan darah lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini

tidak menimbulkan retensi air dan garam.

18
Kontraindikasi penyekat β adrenoreseptor adalah pada pasien dengan

asma bronchial. Penyekat β adrenoreseptor dapat menyebabkan

bradikardia, blokade AV, menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh

karena itu obat penyekat β adrenoreseptor dikontraindikasikan pada

keadaan asma, bradikardi, blokade AV (atrioventrikuler) derajat 2 dan 3,

sick sinus syndrome. Penyekat β adrenoreseptor dengan aktivitas

simpatomimetik intrinsik kurang efektif untuk penyakit jantung koroner

dan belum terbukti efektif untuk pasca infark miokard. Pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal kronik, pemakaian penyekat β adrenoreseptor

dapat memperburuk fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal.

Bila harus diberikan pada pasien dengan diabetes atau dengan gangguan

sirkulasi perifer, maka penghambat selektif β-1 (asebutolol, atenolol,

betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan metoprolol) adalah

lebih baik dibandingkan dengan beta bloker non selektif, karena efek

hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor β-2 yang

memperantarai vasodilatasi di otot rangka.

Efek samping penyekat β adrenoreseptor merupakan bronkospasme

pada pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK), sehingga pemakaian beta bloker termasuk yang

kardioselektif merupakan kontraindikasi untuk keadaan ini. Efek sentral

berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi dengan beta bloker

yang lipofilik seperti propranolol dan oksprenolol. Gangguan fungsi

19
seksual sering terjadi akibat pemakaian penyekat β adrenoreseptor,

terutama yang tidak selektif (Mardjono, 2007 : 346-347).

Interaksi obat penyekat β adrenoreseptor dengan obat lain dapat

terjadi bila digunakan secara bersamaan, antara lain (Tjay dan Rahardja,

2007 : 550):

a. Penggunaan bersama dengan antagonis kalsium (verapamil secara

intravena, ditiazem, nifedipin, lidokain, fenothiazin, glafenin, dan

floctafenin) dapat menyebabkan hipotensi.

b. Penggunaan bersama dengan barbital dapat mempercepat perombakan

beta bloker di hati sehingga memperlemah efek beta bloker.

c. Penggunaan bersama dengan antiinflamasi non steroid (indometasin

dan lain-lain) dapat menurunkan absorpsi beta bloker sehingga

memperlemah efek beta bloker.

d. Penggunaan bersama dengan klonidin dapat memperbesar risiko

hipertensi rebound, maka terapi dengan penyekat β adrenoreseptor perlu

dihentikan sebelum menggunakan klonidin.

3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi

aldosteron. Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan

mengurangi sekresi aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi

ekskresi air dan natrium, sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada

tendensi terjadinya hiperkalemia terutama pada gangguan fungsi ginjal.

20
Merintangi enzim ACE dapat mempertahankan keberadaan zat lain yang disebut

bradikinin. Kerja bradikinin adalah melebarkan pembuluh darah.

Efek penghambat ACE pada gagal jantung akan sangat mengurangi beban

jantung dan akan memperbaiki keadaan pasien. Pemberian penghambat ACE

jangka panjang tidak menimbulkan toleransi dan penghentian obat ini biasanya

tidak menimbulkan hipertensi rebound. Penghambat ACE tidak mempunyai efek

terhadap metabolisme lipid atau glukosa dan mengurangi resistensi insulin

sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas.

Secara umum penghambat ACE dibedakan atas dua kelompok (Mardjono,

2007 : 354):

a. Yang bekerja langsung, contohnya: kaptopril dan lisinopril.

b. Prodrug, contohnya: enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril,

benazepril, dan fosinopril. Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif

yaitu: enalaprilat, kuinaprilat, perindoprilat, ramiprilat, silazaprilat,

benazeprilat, dan fosinoprilat.

Kontraindikasi penghambat ACE pada wanita hamil karena bersifat

teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena

penghambat ACE diekskresi melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi

ginjal bayi. Dalam JNC VII, penghambat ACE diindikasikan untuk hipertensi

dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus hati-hati terutama bila ada

hiperkalemia, karena penghambat ACE akan memperberat hiperkalemia. Kadar

kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian penghambat ACE. Bila terjadi

peningkatan kreatinin, maka obat harus dihentikan. Penghambat ACE

21
dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada

keadaan ginjal tunggal (Mardjono, 2007 : 356).

Efek samping penghambat ACE, antara lain (Mardjono, 2007 : 355):

a. Hipotensi dapat terjadi pada awal pemberian penghambat ACE, terutama pada

hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus berhati-hati

pada pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang

mendapat kombinasi beberapa antihipertensi.

b. Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan

insiden 5 - 20 %, lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada malam

hari. Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar

bradikinin dan prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya

dosis dan bersifat reversibel bila obat dihentikan.

c. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau

pada pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen

kalium atau beta bloker.

d. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga

terjadi dengan penghambat ACE yang lain. Diduga karena adanya gugus

sulfhifril (SH) pada kaptopril yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE yang

lain. Gangguan pengecapan (disgeusia) terjadi pada kira-kira 7 % pasien yang

mendapat kaptopril.

e. Edema angioneurotenik terjadi pada 0,1 - 0,2 % pasien berupa pembengkakan

di dinding, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan napas yang bisa

22
berakibat fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah

pemberian penghambat ACE.

f. Gagal ginjal yang akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan

stenosis arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi.

Hal ini disebabkan dominasi efek penghambat ACE pada arteriol eferen yang

menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi

glomerulus semakin berkurang.

g. Efek teratogenik terutama terjadi pada pemberian selama trisemester 2 dan 3

kehamilan yang dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus.

Interaksi obat penghambat ACE dengan obat lain dapat terjadi bila

digunakan secara bersamaan dengan (Mardjono, 2007 : 356):

a) Kombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat menimbulkan

hiperkalemia.

b) Kombinasi dengan antasida akan mengurangi absorpsi penghambat ACE.

c) Kombinasi dengan antiinflamasi non stroid akan mengurangi efek

antihipertensi dan menambah risiko hiperkalemia.

4. Penghambat adrenoseptor alfa (Alfa blocker)

Mekanisme kerja zat-zat ini memblok reseptor penghambat adrenoseptor

alfa yang terdapat di otot polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan

mukosa.

Penghambat adrenoseptor alfa dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (Tjay dan

Rahardja, 2007 : 545):

23
a. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif: fentolamin yang hanya

digunakan intravena pada krisis hipertensi.

b. Penghambat adrenoseptor alfa-1 selektif: derivate quinazolin (prazosin,

terazosin, dan tamsulosin) serta uradipil yang digunakan sebagai obat

hipertensi dan pada hiperplasia prostat.

c. Penghambat adrenoseptor alfa-2 selektif: yohimbin yang digunakan sebagai

obat perangsang syahwat (aphrodisiacum).

Penghambat adrenoseptor alfa yang selektif menghambat reseptor alfa-1

yang digunakan sebagai antihipertensi. Penghambat adrenoseptor alfa tidak

selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 di

ujung saraf adrenergik akan meningkatkan pelepasan norepinefrin dan

meningkatkan aktivitas simpatis. Hambatan reseptor alfa-1 menyebabkan

vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer.

Penghambat adrenoseptor alfa memiliki beberapa keunggulan : efek positif

terhadap lipid darah (menurunkan LDL dan trigliserida, meningkatkan HDL) dan

mengurangi resistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan

dislipidemia dan diabetes mellitus. Penghambat adrenoseptor alfa juga sangat baik

untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat karena hambatan reseptor alfa-1

akan merelaksasi otot polos prostate dan sfingter uretra sehingga mengurangi

retensi urin (Mardjono, 2007 : 348).

Efek samping penghambat adrenoseptor alfa-1, yaitu hipotensi orthostatis

yang terjadi khusus pada permulaan terapi dan setelah peningkatan dosis. Efek

samping ini dapat dihindari bila dimulai dengan dosis rendah , menaikkan dosis

24
secara berangsur-angsur dan minum dosis pertama sebelum tidur. Efek lain yang

dapat terjadi berupa pusing, nyeri kepala, pilek, gangguan tidur, udema, debar

jantung dan perasaan lemah. Kombinasi dengan beta bloker dan antagonis kalsium

meningkatkan risiko hipotensi, sedangkan kombinasi dengan diuretik dan

penghambat ACE lebih sering menimbulkan pusing (Tjay dan Rahardja, 2007 :

545).

Kontraindikasi alfa bloker antara lain: gangguan fungsi ginjal, insufisiensi

hati berat ( MIMS, 2007 : 262).

5. Antagonis kalsium (CCB)

Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion

kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler

menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008 : 865).

Penggolongan antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi dalam 2

kelompok, yaitu:

a. Derivat dihidropiridin: efek vasodilatasinya amat kuat, maka digunakan

sebagai obat hipertensi. Contoh: nifedipin, nisoldipin, amlodipin, felodipin,

nicardipin, nimodipin, nitrendipin, lercanidipin, lacidipin, dan isradipin.

b. Obat-obat lain: verapamil, diltiazem, dan bepridil. Verapamil bekerja terhadap

jantung (menurunkan frekuensi dan daya kontraksi, memperlambat penyaluran

atrioventrikuler) dan terhadap sistem pembuluh (vasodilatasi). Diltiazem dapat

disamakan khasiatnya dengan verapamil, tetapi efek inotrop negatifnya lebih

ringan. Daya vasodilatasi kedua zat ini lebih lemah daripada zat

dihidropiridin, maka lebih banyak digunakan pada angina daripada sebagai

25
obat hipertensi. Bepridil tidak bekerja antihipertensi dan khusus digunakan

pada angina stabil.

Efek samping antagonis kalsium: pusing, nyeri kepala, dan rasa panas di

muka (flushing). Derivat dihidropiridin dapat menyebabkan takikardi dan udema

pergelangan kaki (akibat vasodilatasi perifer) yang bersifat sementara. Derivat

obat bukan dihidropiridin dapat menyebabkan bradikardi, atrioventrikuler block,

hipotensi, obstipasi, menghambat agregasi trombosit, gangguan penglihatan, dan

reaksi kulit alergis (Tjay dan Rahardja, 2007 : 556).

Kontraindikasi antagonis kalsium: wanita hamil dan menyusui, hipersensitif,

gagal jantung, hipotensi, bradikardi, infark miokard akut, dan penyakit ginjal

kronik ( MIMS, 2007 : 46).

6. Penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor bloker, ARB)

Penghambat reseptor angiotensin II menduduki reseptor angiotensin II yang

terdapat di dalam tubuh, antara lain: di miokard, dinding pembuluh, susunan saraf

pusat, ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti

peningkatan tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain

dari penekanan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan

produksi aldosteron, yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air

serta berkurangnya ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai

digunakan untuk lebih efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).

Penghambat reseptor angiotensin II sangat efektif menurunkan tekanan

darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti renovaskuler

dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin

26
yang rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, maka dosis penghambat reseptor

angiotensin II perlu diturunkan.

Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah

tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak

menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi

lipid dan glukosa darah.

Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan,

eprosartan, telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).

Losartan merupakan protipe obat golongan penghambat reseptor angiotensin

II yang bekerja selektif pada reseptor angiotensin I. Pemberian obat ini akan

menghambat semua efek angiotensin II, seperti: vasokonstriksi, sekresi

aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi

vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka

panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Penghambat

reseptor angiotensin II menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian

penghambat ACE. Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin,

maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan

angiodema seperti yang sering terjadi dengan penghambat ACE.

Kontraindikasi penghambat reseptor angiotensin II pada kehamilan

trisemester 2 dan 3, wanita menyusui, stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis

pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi. Penghambat reseptor angiotensin

II bersifat fetotoksik sehingga harus dihentikan bila pemakainya ternyata hamil.

27
Efek samping penghambat reseptor angiotensin II berupa hipotensi yang

dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin yang tinggi seperti hipovolemia,

gagal jantung, hipertensi renovaskular, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya

terjadi dalam keadaan tertentu, seperti: insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasi

dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium,

antiinflamasi non steroid dan juga bila asupan kalium berlebihan (Mardjono, 2007

: 356-357).

7. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.

Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2

adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan medulla).

Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer.

Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan

tekanan darah. Agonis alfa-2 adrenergik digunakan pada semua bentuk hipertensi

dan biasanya dikombinasi dengan diuretik. Zat ini bukan merupakan pilihan

pertama, melainkan hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi lainnya

kurang efektif.

Efek samping yang sering terjadi berupa efek sentral, antara lain: sedasi,

mulut kering, sukar tidur, hidung mampat, pusing, penglihatan kurang, bradikardi,

impotensi, depresi, dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering terjadi pada

klonidin dan jarang pada moxonidin, metildopa, dan guanfasin. Hipertensi

rebound dapat terjadi pada penghentian mendadak, terutama pada klonidin dan

reserpin.

28
Metildopa dapat digunakan oleh wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan

obat-obat lainnya belum memiliki cukup data. Klonidin, moxonidin, dan

metildopa dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena obat dapat masuk ke

dalam air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007 : 553).

8. Vasodilator.

Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap

arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi. Vasodilator

digunakan sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β

adrenoreseptor dan diuretik, bila kombinasi kedua obat penyekat β adrenoreseptor

dan diuretik kurang memberikan hasil. Kombinasi tersebut menguntungkan

karena efek samping vasodilator berupa takikardi dan retensi garam dan air

ditiadakan oleh masing-masing beta bloker dan diuretik.

Efek samping vasodilator adalah pusing, nyeri kepala, muka merah, hidung

mampat, debar jantung dan gangguan lambung. Biasanya efek ini bersifat

sementara.

Hanya hidralazin dapat digunakan oleh wanita hamil dengan aman,

sedangkan dari dihidralazin dan minoxidil belum tersedia cukup data. Hidralazin,

dihidralazin dan minoxidil dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena

dapat mencapai air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007 : 562).

29
BAB III

KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1 KASUS

3.1.1 Kasus no. 1

Ny. TG 47 thn, BB ± 155 cm, MRS dengan keluhan mual, muntah, pusing.

Mengaku memiliki riwayat DM dengan terapi Glibenklamide 1-1/2-0. Metformin

2x850 mg. Pasien juga mengaku tidak meminum obat secara rutin, karena diet

sudah ketat. Selanjutnya pasien didiagnosa dengan hipertensi maligna disertai

DM. Pada pemeriksaan awal dijumpai kadar gula acak 578 mg/dl, BP 170/110

mmHg. Bagaimana penatalaksanaan? Lakukan analisis SOAP (subjektif, objektif,

assessment dan planning)

3.1.2 Kasus no. 2

Anda adalah seorang apoteker rumah sakit yang mengunjungi bangsal

medis umum reguler Anda untuk meninjau pasien dan memberikan saran farmasi.

Mr.HA adalah akuntan berusia 50 tahun yang telah dirawat 2 hari yang lalu di

rumah sakit setelah whist padam menonton pertandingan sepak bola dengan

putranya.

Pemeriksaan pendahuluannya menunjukkan memar pada lengan kiri dan

paha atasnya yang telah diresepkan parasetamol 1 g empat kali sehari dan sesuai

kebutuhan ibuprofen 400 mg tiga kali sehari.Riwayat medis masa lalunya

menunjukkan bahwa ia tidak dalam pengobatan dan tampaknya pria yang cukup

sehat untuk usianya tanpa ada kondisi medis yang didiagnosis.

30
Pada pemeriksaan dia sedikit kelebihan berat badan di 81 kg, dia merokok

20 batang per hari dan minum sekitar 30 unit alkohol per minggu. Tekanan

darahnya saat masuk adalah 165/80 mmHg dengan denyut jantung 90 detak per

menit. Tingkat tekanan darah dan detak jantung yang meningkat ini telah

dipertahankan selama 48 jam terakhir. Dia kemudian didiagnosis menderita

hipertensi.

1. Apakah kasus ini adalah sebuah hipertensi?


2. Apa terapi yang tepat untuk tekanan darah pasien ini?
3. Selain tekanan darah, saran dan terapi apa yang dibutuhkan pasien ini untuk

memastikan risiko penyakit kardiovaskularnya berkurang? Berikan alasan

yang jelas untuk saran anda dan jelaskan risiko yang terkait apabila tidak

menerima saran ini.


4. Apa lini pertama dari obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi?
5. Kelas obat mana yang sesuai untuk pengobatan lini pertama untuk Mr.HA?

Bagaimana pilihan pengobatan ini akan terpengaruh jika pasien berasal dari

Afro-Karribbean?
6. Untuk salah satu kelas obat yang disebutkan dalam pertanyaan 4,

indikasikan untuk mengikuti:


 Obat dari kelas itu.
 Dosis dan frekuensi awal yang cocok.
 Dosis maksimum untuk hipertensi.
 Tiga kontraindikasi.
 Tiga efek samping yang sesuai.
7. Mengingat usia Mr.HA, ia memerlukan penilaian risiko kardiovaskular.

Bagaimana Anda menilai risiko kardiovaskular pasien ini?

31
3.2 ANALISIS SOAP

3.2.1 Penyelesaian Kasus no. 1

a) Subjective

Keluhan mual, muntah,pusing. Mengaku memiliki riwayat DM dengan

terapi Glibenklamide 1-1/2-0. Metformin 2x850 mg. Pasien juga mengaku

tidak meminum obat secara rutin, karena diet sudah ketat.

b) Objective

Pasien didiagnosa dengan hipertensi maligna disertai DM. Pada

pemeriksaan awal dijumpai kadar gula acak 578 mg/dl, BP 170/110

mmHg.

c) Asessment

Berdasarkan data klinis, pasien didiagnosa DM tipe 2 yang ditandai

dengan tingginya kadar A1C yaitu 8.6 %. kadar glukosa darah acak 578

mg/dL. Dokter meresepkan obat metformin 2 x 250 mg sehari dan

glibenklamid2 x 2,5mg sehari ½ tablet.

Gambar 1. (Dipiro, 2015)

Pasien juga memiliki riwayat hipertensi170/110 mmHg yang belum

diberikan terapi pengobatan sehingga harus diberikan terapi untuk

32
menurunkan tekanan darah untuk menghindari terjadinya faktor risiko

penyakit lain.

d) Planing

Terapi Farmakologi :

Terapi DM : penggunaan obat DM gilbeklamid Glibenklamide 1-1/2-0.

Metformin 2x850 mg.

Terapi HT : Berdasarkan standar yang dikeluarkan American diabetes

Associaton (ADA) obat yang digunakan untuk first line

therapy pada pasien DM komplikasi hipertensi dimulai dari

golongan ACE inhibitor dengan pemberian captopril dosis

awal 2 x 12.5mg.

Terapi Non farmakologi :

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan pengurangan berat badan,

pengurangan supan garam, olahraga teratur, dan menghindari stress untuk

mencegah hipertensi.

Monitoring :

1. Tekanan darah dibawah angka 130/80 mmHg


2. Kadar glukosa darah :
 Kadar glukosa darah sesudah makan = <180 mg/dl
 Kadar glukosa darah sewaktu 90-130 mg/dl
3. Kepatuhan minum obat ADO pasien.

3.2.2 Penyelesaian Kasus no. 2

a) Subjective

Identitas Penderita

Nama : Mr. HA

33
Umur : 50 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pemeriksaan pendahuluannya menunjukkan memar pada lengan kiri

dan paha atasnya yang telah diresepkan parasetamol 1 g empat kali sehari

dan sesuai kebutuhan ibuprofen 400 mg tiga kali sehari. Riwayat medis

masa lalunya menunjukkan bahwa ia tidak dalam pengobatan dan

tampaknya pria yang cukup sehat untuk usianya tanpa ada kondisi medis

yang didiagnosis.

Pada pemeriksaan dia sedikit kelebihan berat badan di 81 kg, dia

merokok 20 batang per hari dan minum sekitar 30 unit alkohol per

minggu.

b) Objective

Data Pemeriksaan :
Kelebihan berat badan 81 Kg
Tekanan darah 165/80 mmHg (denyut nadi 90 detak
per menit)

c) Asessment

Menurut data klinis tekanan darahnya saat masuk adalah 165/80

mmHg dengan denyut jantung 90 detak per menit. Tingkat tekanan darah

dan detak jantung yang meningkat ini telah dipertahankan selama 48 jam

terakhir. Dia kemudian didiagnosis menderita hipertensi.

d) Plan

1. Menurut Clinical Knowledge Summaries, 2007

34
Hipertensi (pada orang tanpa diabetes) didefinisikan sebagai tekanan

darah sistolik berkelanjutan (SBP) ≥140 mmHg, atau tekanan darah

diastolik berkelanjutan (DBP) ≥90 mmHg.


2. Menurut NICE, 2006
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi tekanan darah hingga

140/90 mmHg atau lebih rendah.


Catatan: Pasien yang tidak mencapai target ini, atau untuk siapa

perawatan lebih lanjut tidak sesuai, ditolak atau tidak ditoleransi

masih akan menerima beberapa manfaat yang bermanfaat dari

perawatan obat jika tekanan darah ini lebih rendah.


3. Pasien ini harus menerima saran yang tepat tentang berbagai tindakan

gaya hidup yang dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular

secara keseluruhan. Secara khusus ia perlu didorong untuk

menurunkan berat badan, berhenti merokok dan mengurangi asupan

alkoholnya hingga batas yang disarankan.Ringkasan pengetahuan

klinis tentang hipertensi (2007) menunjukkan bahwa orang dengan

hipertensi harus diberi nasihat tentang modifikasi gaya hidup yang

tepat untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Saran harus

diberikan pada:
 Berhenti merokok
 Menurunan berat badan dengan melakukan diet dan olahraga
 Tidak mengkonsumsi alkohol
Berikan alasan yang jelas untuk saran anda dan jelaskan risiko yang

terkait apabila tidak menerima saran ini


Menurut : North of England Hypertension Guideline Development

Group, 2006).
Ada bukti bahwa diet sehat, olahraga teratur, dan moderasi asupan

alkohol dapat mengurangi, menunda, atau menghilangkan kebutuhan

35
untuk pengobatan obat antihipertensi jangka panjang Menggabungkan

intervensi diet dan olahraga mengurangi tekanan darah setidaknya 10

mmHg pada sekitar seperempat orang dengan hipertensi. Saran diet,

olahraga, dan penurunan berat badan yang terperinci diberikan dalam

rencana diet untuk menghentikan hipertensi. Modifikasi gaya hidup

individu yang dikenal untuk mengurangi tekanan darah termasuk :


a) Latihan aerobik teratur selama 30-60 menit, tiga hingga lima kali

setiap minggu
b) Konsumsi alkohol moderat ke level yang disarankan (kurang dari

21 unit per minggu untuk pria; dan kurang dari 14 unit per minggu

untuk wanita)
c) Batasan garam natrium makanan menjadi kurang dari 6 g per hari

dengan mengurangi asupan atau substitusi dengan alternatif garam

rendah natrium
d) Penurunan berat badan pada orang yang kelebihan berat badan

(indeks massa tubuh [BMI] lebih dari 25 kg / m2).


e) Membatasi konsumsi kopi (dan minuman kaya kafein lainnya)

menjadi kurang dari lima cangkir per hari


f) Terapi relaksasi (mis. Manajemen stres, meditasi, terapi kognitif,

relaksasi otot, biofeedback) - dapat mengurangi tekanan darah, dan

individu mungkin ingin mengatasinya sebagai bagian dari

perawatan mereka (meskipun penyediaan rutin oleh tim perawatan

primer tidak tersedia secara luas maupun saat ini

direkomendasikan).
g) Menurut NICE, 2006
 Penurunan berat badan Hingga 30% dari semua kematian akibat

penyakit jantung koroner telah dikaitkan dengan diet yang tidak

36
sehat. Pada 1980, 8% wanita mengalami obesitas dan 6% pria.

Namun pada tahun 1998, prevalensinya hampir tiga kali lipat

menjadi 21% wanita dan 17% pria. Empat masalah paling

umum yang terkait dengan obesitas adalah penyakit jantung,

diabetes tipe 2, hipertensi dan osteoartritis (Kantor Audit

Nasional, 2001). Diet sehat dan rendah kalori memiliki efek

sederhanapada tekanan darah pada individu yang kelebihan

berat badan dengan peningkatan tekanan darah, mengurangi

tekanan darah sistolik dan diastolik rata-rata sekitar 5-6 mmHg

dalam percobaan. Namun, ada variasi dalam pengurangan

tekanan darah yang dicapai dalam uji coba dan tidak jelas

mengapa. Sekitar 40% pasien diperkirakan mencapai

pengurangan tekanan darah sistolik 10 mmHg sistolik atau lebih

dalam jangka pendek, hingga 1 tahun.


 Mengurangi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan (pria> 21 unit / minggu; wanita>

14 unit / minggu) dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah

dan hasil kardiovaskular dan hati yang lebih buruk. Intervensi

terstruktur untuk mengurangi konsumsi alkohol dapat

mengurangi SBP dan DBP rata-rata sebesar 3-4 mmHg dalam

uji klinis.
 Penghentian merokok
Tidak ada hubungan kuat antara merokok dan tekanan darah.

Tetapi bukti hubungan antara merokok dan penyakit

kardiovaskular dan paru-paru sangat banyak. Selain itu ada bukti

37
bahwa strategi penghentian merokok berbiaya efektif (NICE,

2006).
4. Apa lini pertama dari obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi
Diuretik Thailandzide, penghambat saluran kalsium, penghambat

enzim pengonversi angiotensin (ACE), penghambat beta (β-Bloker),

penghambat reseptor angiotensin II (ARB) dan Calcium Channel

Blocker (CCB)
5. Kelas obat mana yang akan menjadi pengobatan lini pertama yang

sesuai untuk Tn. HA? Bagaimana pilihan pengobatan ini akan

terpengaruh jika pasien tersebut berasal dari Afro Karibia?


Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) akan

menjadi pilihan awal yang tepat pada pasien ini. Jika pasien tersebut

berasal dari Afro Karibia maka diuretik thiazide atau calcium channel

blocker akan menjadi pilihan yang tepat.Diuretik Thailandzide,

penghambat saluran kalsium, pengham6. bat enzim pengonversi

angiotensin (ACE), penghambat beta dan penghambat reseptor

angiotensin II.
6. Untuk salah satu kelas obat yang disebutkan dalam pertanyaan 4

menunjukkan hal berikut:

Tiga kontraindikasi adalah:


a) pasien dengan hipersensitif terhadap ACE inhibitor (termasuk

angioedema),

38
b) pasien dengan penyakit reno vaskular yang diketahui atau diduga,

dan kehamilan.
Tiga efek samping yang umum adalah:

a) hipotensi dosis pertama,

b) batuk kering persisten dan

c) hiperkalemia.

Efek samping lain termasuk: efek gastrointestinal (mual, muntah,

dispepsia, diare, tes fungsi hati yang berubah, kelainan darah,

angioedema, ruam, kehilangan indera penciuman (lebih mungkin jika

juga pada agen penghilang kalium atau suplemen kalium)


7. Mengingat usia Mr HA, ia memerlukan penilaian risiko

kardiovaskular. Bagaimana Anda menilai risiko kardiovaskular pasien

ini? Menurut Pedoman Masyarakat Inggris Bersama tentang

pencegahan penyakit kardiovaskular (CVD) dalam praktik klinis

(British Cardiac Society et al., 2005)


pasien berikut harus dinilai, Orang dewasa > 40 tahun tanpa

riwayat CVD atau diabetes yang belum menjalani pengobatan untuk

tekanan darah atau lipid harus ditinjau secara oportunistik. Pasien <40

tahun dengan riwayat keluarga penyakit aterosklerotik prematur juga

harus dinilai risiko kardiovaskularnya.


Risiko kardiovaskular lebih dari 10 tahun> 20% berisiko tinggi

dan pasien harus menjadi sasaran saran untuk mengurangi risiko ini

(mis. Penurunan tekanan darah, aspirin, modifikasi diet dan

pengobatan obat untuk modifikasi lipid, berhenti merokok, dll).

39
Untuk menghitung risiko kardiovaskular untuk pasien

pencegahan primer seperti Tn. HA, gunakan kalkulator risiko yang

valid.

40
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 7 2007/2008.


Jakarta : CMP Medica.

Brian, H., Golbout, M. D., Michael, H., Davidson, M. D. 2005. Cardiovascular


Disease Practical Application of the NCEP ATP III Update Patient Care.
The Journal of Best Clinical Practices for Tody’s Pyhsicians.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Info DATIN Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta

Chobanian, A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, Jr,
J.L., Jones, DW., et al., 2003. The seventh report of The Joint National
Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high
blood pressure. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/42/6/1206,
diakses 28 April 2009.

Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1. Edisi 10. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.

ISFI. 2007. Pembekalan Tenaga Farmasi Rumah Sakit Tentang Penyakit Jantung,
Diabetes Mellitus, dan Hipertensi. Media Informasi Farmasi Indonesia.
MEDISINA. 1. (3) : 57.

Mardjono, M. 2007. Departemen Farmakologi Klinik dan Terapetik. Edisi ke-5.


Fakultas Kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular


Edisi Pertama. Jakarta : PERKI

Robbins, S.L., Cotran, R.S., Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Vol 2. Edisi 7.
Diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Syahrini, Erlyna Nur. 2012. Faktor – Faktor Risiko Hipertensi Primer di


Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Thesis. Universitas
Diponegoro Semarang.

Tjay, T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Cetakan Pertama.
Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.

41

Anda mungkin juga menyukai