Anda di halaman 1dari 15

TEORI KEBENARAN DALAM FILSAFAT ILMU

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh

untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para

rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang

diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,

kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan

harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang

tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu

pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau

simplifikasi atas fenomena tersebut.


Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal

menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut

menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan

struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi

adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap

kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,

khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan

ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat

pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar

terstruktur dengan jelas.


Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan

aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan

ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan

sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya

dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari

pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan

berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan.

Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu

pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode

ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut

tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-

materialistis.

Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek

ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang

dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara

konsekuen dan penuh disiplin. misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-

rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan

berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat

pengenal.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar

pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan

masalah-masalah yang akan di bahas, antara lain :

1 Bagaiman Pengertian kebenaran?

2 Bagaimana Teori-teori kebenaran filsafat ilmu?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai

nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau

martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu

kebenaran.1 Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna

dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh

manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-

tahap metode ilmiah.

Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan

realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup

religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di

sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan

manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang

disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi

fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai

masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya,

yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek

sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa

mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil

temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.2

1
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta : Bumi Aksara, 1995). h. 86
2
Kunto Wibisono, Aktualitas Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Gadjah Mada Press , 1984). h.
37
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah

telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan

fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian

dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran

manusia.

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran

ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak

bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah

kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya

(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran

(keburukan).

Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna

“kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun

langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya

merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu

efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran

merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu

secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu

terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya

harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.3

Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara

pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu

harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.4 Jadi pengetahuan benar adalah

pengetahuan obyektif.

3
Daldjoeni, N, Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985). h. 235
4
Poedjawijatna, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1987). h. 16
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran

mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang

lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan

keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian

dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk

mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat

diluar jangkauan manusia.

Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,

kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika,

ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.

Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia

merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran

metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena

yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari

kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.5

B. Teori-Teori Kebenaran

Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran

ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal

itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan.6 Hanya pengetahuan

tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis,

melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut

sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang

kebenaran, antara lain :

5
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). h. 90
6
Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , (Yogyakarta : Kanisius,
2001). h. 73
1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)

Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling

diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah

kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah

persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara

pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk

melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau

pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.7

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori

korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang

dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang

dituju oleh pernyataan tersebut.8 Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan

“kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab

pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang

benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa

“kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak

benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal

ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan

di pulau Jawa”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai

hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau

kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika

sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak,

maka pertimbangan itu salah.9

7
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 237
8
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 57
9
Ibid, 1990, h. 237
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai

persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan

kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan

memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam

pernyataan itu.

Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim

sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal

sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau

dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan

objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran

sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran

suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi

atau teori didukung fakta atau tidak.

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita

oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek

(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan

kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi

(corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu

kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu

pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau

pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang

berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.10 Dengan demikian ada

lima unsur yang perlu yaitu :

a. Statemaent (pernyataan)

b. Persesuaian (agreemant)

10
Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis ,( Yogyakarta : Kanisius,
2001). h. 75
c. Situasi (situation)

d. Kenyataan (realitas)

e. Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan

kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan

moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,

serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.11

2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu

bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang

dianggap benar.12 Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat

konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang

koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia

pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si

Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab

pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa

karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya

dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran

pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah

pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan

berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress)

atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.

11
Sonny keraf, 2001, h. 78
12
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 55
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai

keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran

sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu

mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.

Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi

lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran

pernyataan tersebut.13

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,

Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan

begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang

parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari

keseluruhan tersebut.14 Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi

kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu

situasi lingkungan tertentu.

3. Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam

sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals

Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang

kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering

dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah

William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead

(1863-1931) dan C.I. Lewis.15

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan

rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan

13
S. Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, (Jakarta : Hasta Mitra,1982). h. 23
14
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 239
15
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 57
dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan,16 Sehingga dapat dikatakan

bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah

apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya

yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan

dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan

manusia.17

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan

kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang

sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan

dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu

fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar,

sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan

ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu

ditinggalkan,18 demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung

menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :

a. Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita

b. Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.

c. Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan

pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling

bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang

kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita

kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita

dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan

16
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 241
17
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 1980). h.
130
18
Jujun, 1990, h. 59
konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan

benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.19

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan

kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari

pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. 20 Dalam

pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah

mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih

disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai

kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak

mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether

really or ideally).

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari

pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk

menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi

memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan

penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang

akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa

konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide

yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori

yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya,

ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita

memenuhi kebutuhan kita.

19
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 245
20
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 58
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang

benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh

suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu.

Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu

ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat

diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan

sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar

dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar

jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada

pemukiman manusia.21

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku

atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful)

dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,

batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan

akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini

tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung

pada manfaat dan akibatnya.

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari

ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar

tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori

tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus

bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

21
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 249
BAB III

PENUTUP

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam

kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan

manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah

menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Dari

beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :

Teori Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian

antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh

merupakan halnya/faktanya"

Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat

dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang

berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian

(korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar

kebenaran/keadaan benar.

Teori Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan

(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan

antara putusan-putusan itu sendiri ".

Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan

realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya,

yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori

konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan

membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap

benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan
putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka

sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan

benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.

Teori Pragmatis : "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut

berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu

diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".

Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun

putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum

pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu

bermanfaat atau memuaskan.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar

Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.

Arifin, S., Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta : Hasta Mitra,1982.

Daldjoeni, N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985.

Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2002.

Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

Kera, Sonny f, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius,

2001.

Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.

Poedjawijatna, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987

Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987.Sahidah,

Ahmad, Kebenaran dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.

Rasyidi, M., Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.


Sumiasumantri, Jujun S. , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :

Pustaka Sinar harapan, 1990.

Wibisono, Kunto, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press , 1984.

Anda mungkin juga menyukai