Teori Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu
Teori Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu
BAB I
PENDAHULUAN
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan
ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan
sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya
dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari
materialistis.
rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan
berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar
pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
kebenaran.1 Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan
realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup
religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di
manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya,
sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa
mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
1
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta : Bumi Aksara, 1995). h. 86
2
Kunto Wibisono, Aktualitas Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Gadjah Mada Press , 1984). h.
37
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah
manusia.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran
ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran
(keburukan).
“kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun
merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu
pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu
harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.4 Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
3
Daldjoeni, N, Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985). h. 235
4
Poedjawijatna, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1987). h. 16
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika,
ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
B. Teori-Teori Kebenaran
ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal
tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis,
melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut
sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang
5
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). h. 90
6
Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , (Yogyakarta : Kanisius,
2001). h. 73
1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara
“kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab
pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang
benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa
“kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal
ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan
di pulau Jawa”.
kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika
sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak,
7
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 237
8
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 57
9
Ibid, 1990, h. 237
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai
persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan
kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan
pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal
sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau
dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran
suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi
oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.10 Dengan demikian ada
a. Statemaent (pernyataan)
b. Persesuaian (agreemant)
10
Sonny Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis ,( Yogyakarta : Kanisius,
2001). h. 75
c. Situasi (situation)
d. Kenyataan (realitas)
e. Putusan (judgements)
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan
moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
dianggap benar.12 Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat
konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang
koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia
pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si
Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa
pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan
berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress)
11
Sonny keraf, 2001, h. 78
12
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 55
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai
keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran
sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu
mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.
Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi
lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut.13
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
3. Teori Pragmatik
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals
Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
13
S. Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, (Jakarta : Hasta Mitra,1982). h. 23
14
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 239
15
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 57
dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan,16 Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan
manusia.17
kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang
sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan
dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang
kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita
kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita
dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan
16
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 241
17
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 1980). h.
130
18
Jujun, 1990, h. 59
konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan
benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.19
Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally).
penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang
akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa
konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide
yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori
yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya,
ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita
19
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 245
20
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 58
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang
benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh
Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu
ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat
sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar
dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar
jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada
pemukiman manusia.21
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful)
dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,
batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari
ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
21
H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 249
BAB III
PENUTUP
manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah
antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh
merupakan halnya/faktanya"
dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang
kebenaran/keadaan benar.
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan
realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya,
yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori
benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan
putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka
sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan
diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".
putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum
pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu
Arifin, S., Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta : Hasta Mitra,1982.
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
2001.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Wibisono, Kunto, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press , 1984.