MODUL DISEMINASI :
© Pemegang Hak Cipta Puslitbang Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum
©Pemegang Hak cipta Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan
ISBN : 978-602-264-122-3
Kode Kegiatan : 2432.008.005.040.A
Kata Kunci : keruntuhan lereng, jatuhan batuan, dinding penghalang
Koordinator Penelitian
Ir. Rudy Febrianto, MT., Puslitbang Jalan dan Jembatan
Diterbitkan oleh :
Kementerian Pekerjaan Umum Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan
Jl. A.H. Nasution No. 264 Ujungberung - Bandung 40294
Pemesanan melalui:
Perpustakaan Puslitbang Jalan dan Jembatan
info@pusjatan.pu.go.id
Anggota:
Ir. Benny Moestofa
Drs. M. Suherman
Dr. Hindra Mulya, MM
Dr. Ir. Imam Aschuri, MT
Abinhot Sihotang, ST., MT
MODUL DISEMINASI :
Teknologi Rekayasa dan Implementasi Manajemen Lereng Jalan;-cet.1-
© Pusjatan 2014
Modul ini disusun dengan sumber dana APBN tahun 2014, pada paket penyusunan modul dan
workshop (diseminasi) teknologi penanganan keruntuhan lereng batuan tipe jatuhan batuan
DIPA Puslitbang Jalan dan Jembatan.
Modul ini juga dibuat versi e-book dan dapat diunduh dari website pusjatan.pu.go.id.
Modul Teknologi dan Implementasi-Manjemen Lereng Jalan ini merupakan panduan umum
yang dirangkum untuk keperluan workshop dalam diseminasi dan sosialisasi penyebarluasan
hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan di Balai Geoteknik Jalan,
Puslitbang Jalan dan Jembatan yang dipersiapkan oleh Gugus Kerja Kelompok Program
Penelitian (KPP) Teknologi Rekayasa Lereng Jalan. Modul ini mencakup rangkuman yang
mencakup sebagian kasus permasalahan longsoran jalan yang dibangun di daerah
pegunungan. Permasalahan stabilitas lereng timbunan jalan disampaikan terpisah dalam
modul teknologi penanganan tanah problematik. Diharapkan kegiatan diseminasi dan
sosialisai ini dapat bermafaat sebagai sarana pertukaran informasi disamping untuk
mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan (stake holders) yang bermanfaat dalam
penyiapan program penelitian dan pengembangan terhadap teknologi penagnan longsoran
dan manajemen lereng jalan.
Hal lain yang diharapkan dari kegiatan ini adalah dapat lebih meningkatkan kesadaran
bagi seluruh pemangku kepentingan (stake holder) bahwa pembangunan jalan pada
tanah problematik perlu disingkapi dengan seksama baik dalam pemahamannya
maupun dalam menenetukan teknologi penanganannya.
Tujuan
2) Memahami karakteristik longsoran dan faktor penyebabnya antara skala regional dan
skala lokal.
3) Memahami prinsip penanganan longsoran jalan baik untuk jalan baru maupun jalan
eksisting.
1. Pendahuluan..................................................................................................................... 1
Gambar 1.Effect of drying on Atterberg Limit Value of Some Tropical Soils refer to
Cassagrande Classification System, (Morin and Tudor, 1975), Younger (1991),
Clark and Small (1982)) ...................................................................................... 4
Gambar 2. Perubahan karakteristik propertis tanah vulkanik yang ditunjukkan pada gradasi
butirannya (Marbun, 2000) ................................................................................ 4
Gambar 3. Klasifikasi terhadap stratifikasi Tanah / Batuan dari Batuan Vulkanik yang telah
mengalami proses degradasi (Cook and McGown (1997), and Marbun J. (2000)) 6
Gambar 4. Stratifikasi lapisan tanah yang divalidasi di lokasi Sumedang, Jawa barat (Marbun,
2000) ................................................................................................................. 6
Gambar 5. Kondisi Batuan secara Umum yang banyak dikenal terhadap Geologi Strukturnya. .. 8
Gambar 6. Uji Scmidt Hammer dan Interpretasi Hasil menggunakan grafik ............................... 8
Gambar 7. Penilaian Kondisi Lereng Batuan yang perlu dilakukan ........................................... 10
Gambar 8. Contoh Analisa Keruntuhan Lereng Batuan dengan menggunakan “Stereo Graphic
Projection”, Erik Eberhardt, 2014 ..................................................................... 11
Gambar 9. Tingkat Stabilitas Lereng secara Makro (Benjamin Thiebes, 2011) .......................... 13
Gambar 10. Stabilitas Lereng Jalan yang ditinjau dalam skala Mikro, yaitu dengan mempelajari
aspek pengontrol stabilitasnya (Benjamin Thiebes, 2011). ............................... 14
Gambar 11. Metode Slices , Rutter, EH. Et al. (2003) ............................................................... 14
Gambar 12. Faktor Pengontrol yang mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng (Benjamin Thiebes,
2011) ............................................................................................................... 16
Gambar 13. Contoh Longsoran dan penambang melintang yang dapat di kontrol baik dari
kondisi skala makro maupun mikro .................................................................. 17
Gambar 14. Beberapa Tipe Penanganan Longsoran yang dapat diterapkan............................. 18
Gambar 15. Sistim pengendalian drainase .............................................................................. 19
Gambar 16. Keruntuhan Jatuhan Batuan (Ritchie 1963) .......................................................... 20
Gambar 17. Teknologi Penanganan Longsoran batuan ............................................................ 21
Tabel 1. Scalling System untuk mengetahui tingkat stabilitas lereng singkapan batuan terhadap
waktu berdiri bila dilakukan penggalian ............................................................. 9
D
alam perencanaan dan pelaksanaan konstruksi jalan terutama pada jalan baru telah
ditentukan dalam spesifikasi Bina Marga harus sesuai dengan persyaratan
alinyemen jalan dan persyaratan teknis lainnya. Mengingat bahwa beberapa daerah
di Indonesia ini terrain-nya bervariasi dari yang berupa dataran sampai pegunungan sehingga
diperlukan pemikiran dan perhatian yang sifatnya lebih khusus karena akan mempengaruhi
tingkat stabilitasnya dan tentunya akan mempengaruhi umur layannya.
Indonesia dengan terrain dan morfologinya merupakan hamparan dataran rendah juga
merupakan daerah lereng yang berada did aerah terrain pegunungan dimana dijumpai
beberapa kondisi geologi yang sangat bervariasi seperti endapan batuan vulkanik, sedimen
dan material yang berasal dari lapukan berbagai satuan geologi batuan dasar, seperti breksi
vulkani, batu lempung dan batuan metamorf yang telah berafiliasi menjadi struktur yang teah
mengalami kerusakan strukturnya atau struktur batuan telah terganggu kondisi keasliannya.
Kerusakan struktur batuan tersebut dapat dikarenakan karena dipengaruhi oleh kondisi
geohidrologinya atau karena mengalami proses pelapukan alami yang disebabkan oleh proses
oksidasi yang tentunya akan sangat mempengaruhi sifat karakteristik propertisnya. Dengan
demikian tentunya akan mempengaruhi tingkat kemantapannya untuk mendukung struktur
konstruksi jalan dan jembatan. Menurut ketentuan spesifikasi Bana Marga tidak memenuhi
syarat sebagai bahan utama konstruksi jalan maupun
Atas dasar keberadaan jalan didaerah terrain pegunungan perlu bangun, maka persyaratan
geometrik jalan menjadi faktor utama yang harus di penuhi dikarenakan untuk memenuhi
persyaratan standar minimal pelayanan, yaitu aman, nyaman dan memenuhi kekuatan.
Dalam hal ini, stabilitas jalan terhadap kemungkinan mengalami gangguan longsoran perlu di
perhatikan. Ketidak mantapan lereng terhadap kejadian longsoran dapat berupa lereng alam
Sehubungan dengan keberadaan Indonesia berada pada daerah tropis yang mempunyai
humiditas tinggi, maka sifat karakteristik properties material tropis akan mudah terpengaruh
terhadap beberapa aspek pemucu seperti curah hujan, kegempaan dan proses oksidasi
sehingga mengalami perubahan nilai karakteristik propertisnya. Selanjutnya stabilitas lereng
juga akan mengalami penurunan stabilitasnya seiring dengan perubahan waktu.
Pengenalan kondisi Tanah / batuan secara umum sangat penting karena dapat menentukan
karakteristik tingkat stabilitasnya dan metode penanganannya. Walaupun di Indonesia
dijumpai banyak jenis tanah yang dikenal di daerah tropis tetapi dalam hal ini hanya dibahas
pada tanah berupa material vulkanik.
Kondisi tanah / batuan sebagai material utama dalam struktur konstruksi jalan dipengaruhi
oleh kondisi morfologinya berupa pegunungan / perbukitan, dataran dan kombinasinya.
Kondisi ini akan mempengaruhi karakteristik propertisnya dari waktu kewaktu sehingga dapat
mempengaruhi tingkat stabilitasnya. Selanjutnya faktor lain yang mempengaruhi adalah
proses pembentukannya satuan geologi batuan dasar (Van Bemmelen (1949)), dan tingkat
dekomposisi yang mengakibatkan berbagai tingkat derajad pelapukannya, Ollier (1969).
Selanjutnya jenis tanah adalah merupakan hasil dari proses lanjut dari lapukan batuan dan
keberadaanya dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
ii. Batuan yang berasal dari proses vulcanik dan di bidang geoteknik dapat dibedakan
terhadap tingkat dekompisisi / prosses pelapukannya baik dalam kondisi residual
maupun transported. Untuk yang berupa transported dapat berupa debris vulkanik yang
terdiri dari pasir, koral/kerakal, boulder.
iii. Batuan yang berasal dari proses metamorf / malihan akibat dampak panas adanya
intrusif magma dalam proses terbentuknya gunung api. Dilapangan dapat dikenali
beberapa tipe batuan metamofr yang terbentuk baik yang berasal dari batuan vulkanik
maupun yang berasal dari endapan sedimen. Yang menarik dari batuan metamorf yang
berasal dari endapan vulkanik ini dapat berupa batuan lempung yang sangat keras dan
bilamana terganggu seperti digali dan mengalami oksidasi maka akan berubah
karakteristik propertisnya manjadi sangat lunak.
iv. Batuan yang berasal intrusif magma gunung berapi atau dikenal dengan batuan beku dan
dilapangan dapat dikenal dengan batuan andesitik.
Pada suatu kasus jalan yang terganggu stabilitasnya karena mengalami longsor, maka
masalah lonsoran yang terjadi dapat mendominasi terhadap biaya keseluruhan jalan di lokasi
longsor berupa kasus geoteknik dan beberapa studi menyatakan sekitar 60 – 70 %. Kondisi ini
dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Tudor dan Morin (1975) pada tanah tropis dan
terhadap penelitian dari hasil kajian tanah vulkanik di Indonesia pada material galian di lokasi
Subang dan Sumedang provinsi Jawa barat (Marbun, 2000) yang diperlihatkan masing-masing
pada Gambar 2.
Bila diperhatikan antara Gambar 1 dan Gambar 2 terdapat kesesuaian yang artinya dapat
dibuktikan bahwa tanah tropis di Indonesia sangat mudah mengalami perubahan karakteristik
Selanjutnya bilamana diperlihatkan pada stratifikasi yang disampaikan oleh Cook and
McGown (1997) dan juga Marbun J. (2000) seperti diperlihatkan pada Gambar 3, maka
diperoleh gambaran bahwa stratifikasi tanah dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
i. CAP (Completely Altered Parent Materials): material yang telah mengalami proses
alterasi penuh seperti terjadi perubahan karakteristiknya akibat proses decomposisi.
ii. AP (Altered Parent Materials): material telah mengalami alterasi dan masih dapat
dikategorikan mempunyai struktur yang cukup kokoh.
iii. P (Parental Materials): material yang masih merupakan batuan asli sesuai dengan geologi
pembentukannya.
Berdasarkan ketentuan yang dijelaskan pada Gambar 3, selanjutnya menurut Marbun (2010)
melakukan kajian dengan memvalidasi di lapangan terhadap lokasi Sumedang dan Subang,
Jawa Barat dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
seiring dengan waktu pada lereng galian tanah menunjukkan adanya tendensi longsoran awal
yang diakibatkan karena perubahan karakteristik propertisnya.
Dengan demikian untuk mengetahui tingkat stabilitas lerengnya perlu dilakukan analisa
dengan mengevaluasi kemampuannya terhadap faktor keamanannya dengan
memperhitungkan nilai parameter kuat geser nya terhadap hubungan antara sudut lereng
dan ketinggiannya yang dapat diterapkan. Kajian terhadap faktor keamanan dilakukan baik
pada kondisi jangka pendek (short-term) maupun kondisi jangka panjang (long-term) nya.
Gambar 4. Stratifikasi lapisan tanah yang divalidasi di lokasi Sumedang, Jawa barat (Marbun,
2000)
S
eperti halnya lereng tanah maka di Indonesia juga dikenal berbagai jenis dan tipe
batuan yang dijumpai di daerah pegunungan, mulai dari breksi vulkanik, batu
lempung dan batuan metamorf yang telah beberapa diantaranya berafiliasi menjadi
struktur yang teah mengalami kerusakan atau struktur batuan telah terganggu kondisi
keasliannya sehingga mempengaruhi tingkat stabilitasnya.
Di lapangan kondisi tingkat ketidaksatabilan pada lereng batuan dapat dikenali dari adanya
struktur geologi yang berkembang, seperti lipatan, susunan lapisan yang berbeda, patahan
(perbedaan lapisan), dan hubungan join kekar antara fragmen batuan menyatu secara
imajiner dan umunya dicerminkan dengan ditemukannya fracture dan kondisi infilling-nya.
Pada Gambar 5 diperlihatkan berbagai kondisi Struktur Geologi yang berkembang dan mudah
dikenali dilapangan pada daerah pegunungan antara lain: perlipatan, patahan, perlapisan,
joint kekar. Mekanisme keruntuhan lereng batuan, stabilitasnya dipengaruhi oleh massa
kekuatan blok batuan yang terbentuk antara ketidakselarasan joint kekar yang dikenal
sebagai “structural controlled”. Selanjutnya dalam menjaga stabilitasnya tersebut yang
tergantung dari jumlah joint kekar dan di nilai dalam “scalling system”, maka akan
menunjukkan sebagai “stress controlled”. Stabilitas lereng batuan juga dipengaruhi oleh
waktu yang merupakan kemampuan dalam menjaga tingkat stabilitas lerengnya dan juga
dipengaruhi oleh tingkat pelapukannya.
Satu hal lagi yang perlu di evaluasi adalah kuat tekan batuan yang dilapangan dapat dilakukan
dengan uji kuat tekan dengan alat Schmidt hammer test dan interpretasi hasil uji
diperlihatkan pada Gambar 6.
Scaling system adalah salah satu metode empiris yang digunakan untuk mengetahui tingkat
stabilitas lereng batuan dan hasilnya dapat dikorelasikan pada RQD (Rock Quality Design).
Penilaian terhadap stabilitas lereng/singkapan batuan menggunakan sclling system
diperlihatkan pada Tabel 1 dan Gambar 7, walaupun beberapa metode juga dapat digunakan
seperti Q-Sustem dan RMR system (Hoek and Bray, 1076).
Tabel 1. Scalling System untuk mengetahui tingkat stabilitas lereng singkapan batuan
terhadap waktu berdiri bila dilakukan penggalian
Nilai RQD disamping dapat ditentukan dengan metode empiris tersebut juga dapat diperoleh
dari pemboran inti batuan dan juga dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat stabilitas lereng dapat ditentukan dengan penilaian
SMR (Slope Mass Rating) menggunakan persamaan:
Selanjutnya, dalam melakukan scalling terhadap lereng batuan diperlihatkan pada Gambar 7,
dengan tahapan pekerjaan sebagai berikut:
Beberapa cara lainnya dapat ditentukan penilaian RQD dengan metode Q-System yang
dikenal dengan Norwegian Syatem dan RMR-System, yang selanjutnya juga dapat diperoleh
“standing up time” atau waktu yang dapat diperkirakan untuk mencapai keadaan runtuh
terutama bila akan dilakukan penggalian.
Dengan mengetahui nilai RQD dan SMR, maka dapat diketahui stabilitas lereng batuannya
untuk waktu tertentu sebelum diputuskan perlu penanganan atau tidak karena dampaknya
akan berupa longsoran batuan.
Penilan terhadap kondisi lereng batuan yang diperlihatkan pada menunjukkan bahwa
pengukuran terhadap “Dip – Direction” perlu dilakukan untuk analisa stabilitasnya
menggunakan “Stereo Graphic Projection” dan diperlihatkan hasilnya pada Gambar 8.
Gambar 8. Contoh Analisa Keruntuhan Lereng Batuan dengan menggunakan “Stereo Graphic
Projection”, Erik Eberhardt, 2014
Permasalahan stabilitas lereng perlu diperhatikan karena sering dihadapi sehubungan dengan
ketentuan bahwa stabilitas jalan di daerah pegunungan harus memenuhi
persyaratan,ketentuan standar alinyemen dan geometrik lainnya sehingga kendaraan dapat
melewati dengan aman dan nyaman dalam kecepatan akselerasi yang sesuai. Akibatnya, ruas
jalan tersebut kemungkinan akan menghadapi kendala seperti melewati daerah yang secara
geologi akan berdampak menurunnya tingkat stabilitas. Kasus lain yang terjadi karena harus
memenuhi persyaratan tersebut, maka perlu dilakukan pekerjaan galian dan timbunan
bahkan galian tinggi dan timbunan tinggi kadang diperlukan. Dewasa ini dalam mengevaluasi
ruas jalan di suatu wilayah perlu dipikirkan suatu kajian yang sifatnya secara makro dan
mikro.
Kajian stabilitas jalan secara makro adalah merupakan bagian disiplin ilmu “Terrain Evaluation
Engineering” yang pada dasarnya menanalisa stabilitas terhadap tingkat kerentanannya yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor geologi, geohidrologi, curah hujan, jenis tanah / batuan dan
faktor lainnya yang diduga turut mempengaruhi tingkat stabilitasnya. Dengan
berkembangnya ilmu penginderaan jarak jauh maka analisa terrain evaluasi ini sangat
memungkinkan apalagi telah ditunjang dengan beberapa aplikasi piranti lunak seperti GIS
(Geographical Information System) yang memanfaatkan citra satelit, foto udara dan
sebagainya.
Untuk skala makro lebih dititik beratkan pada kajian secara regional untuk mengetahui
cakupan daerah yang tidak stabil dan faktor-faktor penting lainnya yang mempengaruhinya.
Kajian skala mikro adalah mengkaji kondisi stabilitas jalan secara detail yaitu mencakup
stabilitas terhadap lereng galian / timbunan dan stabilitas lereng alam yang diallui oleh ruas
jaringan jalan.
Kajian skala mikro lebih difokuskan pada solusi terhadap permasalahan baik yang akan terjadi
dan yang sudah terjadi pada suatu ruas jalan yang tingkat stabilitasnya akan terganggu
karena:
ET
RO
Gambar 10. Stabilitas Lereng Jalan yang ditinjau dalam skala Mikro, yaitu dengan mempelajari
aspek pengontrol stabilitasnya (Benjamin Thiebes, 2011).
Untuk lereng tanah seperti diperlihatkan pada Gambar 10, maka analisa dapat dilakukan
dengan beberapa metode yang salah satunya dengan menggunakan metode “slices” seperti
diperlihatkan pada Gambar 11.
Hal khusus yang juga menjadi ketentuan dan perlu dilakukan pada pekerjaan galian dan
timbunan untuk mewujudkan konstruksi se-ekonnomis mungkin, dapat mempertimbangkan
konstruksi bertahap atau tidak langsung ke pada penanganan tetapi dengan langkah pertama
tetap menjaga agar jaringan ruas jalan yang tidak stabil tetap dapat difungsikan sebelum
menentukan jenis penanganan yang tepat. Berdasarkan kegiatan studi penelitian yang telah
dikembangkan di Puslitbang Jalan dan Jembatan dilakukan penanganan dengan konstruksi
pengamanan material debris, khususnya untuk batuan.
Konstruksi penanganan dengan menerapkan beberap teknologi antara: jaring batuan, buffer
wall, catchment area dan shotcrete yang analisanya ditentukan berdasarkan analisa runtuhan
batuan dan dampak yang ditimbulkan seperti diperlihatkan pada modul terkait.
Atas dasar bahwasanya stabilitas suatu lereng pada infrastruktur jalan dipengaruhi oleh
beberapa faktor tersebut diatas, maka untuk agar lebih terfokus dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok besar yaitu:
ii. Kelompok yang berkaitan dengan penanganan preventif yaitu perlindungan terhadap
pengguna jalan terhadap keamanan dan kenyamanan berkendaraan.
Oleh karena itu, maka ketentuan yang diuraikan dalam modul pedoman sifatnya ini masih
terbatas pada kondisi tanah / batuan yang terbentuk berdasarkan geologi batuan dasarnya
sehingga tingkat stabilitasnya hanya dikontrol oleh tingkat dekomposisi batuan yang telah
dialami (Jiao J J, 2001).
Aspek pengontrol stabilitas lereng tersebut perlu diperhatikan terutama dalam hal
mengantisipasi tingkat stabilitasnya baik dengan teknologi penanganan terhadap longsoran
yang terjadi maupun teknologi antisipasi yaitu teknologi yang bersifat prenfentif atau
pencegahan terhadap kesalamatan dan kenyamanan pengguna jalan.
Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah faktor kegempaan yang tentunya juga
akan mengurangi tingkat stabilitas dalam masa layannya.
Untuk longsoran tanah yang diidentifikasi dapat dikontrol dari kondisi skala makronya maka
perlu dilakukan penelaahan secara potongan melintangnya seperti diperlihatkan pada
Gambar 13 Interpretasi keadaaan lereng seperti pada gambar tersebut sangat berguna
termasuk dalam membentuk geometri lereng sebagai persyaratan penerapan analisa
numerik.
Gambar 13. Contoh Longsoran dan penambang melintang yang dapat di kontrol baik dari
kondisi skala makro maupun mikro
Untuk menanggulangi longsoran dengan tujuan sebagai evaluasi dan analisa awal terhadap
stabilitasnya dapat di uraikan menjadi kelompok penanganan seperti diperlihatkan pada
Gambar 14 (Rutter, EH. Et al, 2003).
Bilamana sudah ada tendensi adanya ketidak stabilan lereng maka metode pengendalian
dengan sitim drainase dapat diterapkan seperti diperlihatkan pada Gambar 15.
Penanganan permasalahan longsoran batuan perlu analisa terhadap bidang kekarnya dan
dapat di identifikasi dengan “scalling investigation”. Keruntuhan batuan seperti diperlihatkan
pada terdiri dari beberapa bahan rombakan. Dengan kejadian runtuhan bahan rombakan
maka penanganan dapat dilakukan dapat dibedakan menjadi 2 hal pokok:
Dalam hal penanganan terhadap kinerja lerengnya diperlukan biaya yang cukup besar bila
dibandingkan dengan penanganan terhadap keberlangsungan fungsi jalan. Kondisi ini dapat
dipahami karena untuk penanganan terhadap kinerja lereng batuan juga mencakup
pengamanan terhadap keberlangsungan fungsi jalan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai teknologi penanganan longsoran batuan dijelaskan secara
terpisah yaitu pada modul – modul dalam diseminasi ini.
Teknologi untuk meningkatkan stabilitas lereng baik tanah dan batuan dapat dibedakan
menjadi teknologi yang dapat diterapkan untuk menjaga keberlangsungan fungsi jalan dan
teknologi yang menangani stabilitas secara penuh sehingga stabilitas lereng tercapai serta
keberlangsungan fungsi jalan dapat ditangani.
Diharapkan dengan dilakukan diseminasi ini, maka akan dapat diterapkan oleh stake holder
yang berminat untuk mengimplementasikan dan Puslitbang jalan dan jembatan akan
berusaha tetap melakukan pendampingan teknisnya.
Pantelidis L. 2010. Rock catchment area design charts. GeoFlorida 2010: Advances in Analysis,
Modeling & Design (GSP 199). ASCE
Prabudi, Slamet. 2013. Draft Pedoman Perencanaan Praktis Daerah Tangkapan Batuan.
Puslitbang Jalan dan Jembatan
Rutter, EH. Et al, 2003; strain displacement in the Mam Tor Landslide, Derbyshire, England. J.
Geol. Soc. London