KEPEMIMPINAN
DAN
KEWIRAUSAHAAN
STUDI
Kepemimpinan
ISLAM
i
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................... i
DAFTAR ISI.................................................... ii
BAB I Tinjauan Umum Mengenai
Kepemimpinan ................................................ 1
A.Pengertian Kepemimpinan .................... 1
B. Teori Kelahiran Pemimpin .................... 2
1. Teori Heriditas (Keturunan) ............. 2
2. Teori Environmental ......................... 4
3. Teori Situasi Personal........................ 5
4. Teori Humanistik............................... 5
5. Teori Fitrah........................................ 5
C. Unsur-unsur dalam Kepemimpinan ...... 6
1. Pemimpin ........................................................ 6
2. Anggota yang dipimpin.................................... 6
3. Sistem dan Mekanisme Kepemimpinan........... 7
4. Tujuan atau Visi dan Misi................................. 7
D. Prinsip-Prinsip Umum dalam Kepemimpinan ...... 8
E. Fungsi Kepemimpinan .......................................... 9
iii
F. Bentuk-bentuk Kepemimpinan.............................. 10
1. Kepemimpinan Formal..................................... 10
2. Kepemimpinan Informal.................................. 10
G. Tipe-tipe Kepemimpinan ...................................... 11
1. Otoritas ............................................................ 11
2. Militeristik......................................... 12
3. Paternalistik....................................... 12
4. Kharismatik....................................... 12
5. Demokratis........................................ 12
BAB II Kepemimpinan Dalam Islam ............. 13
A.Pengertian Kepemimpinan Islam .......... 13
B. Kepemimpinan dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Hadis .................................. 14
1. Hakikat Kepemimpinan .................... 14
2. Istilah-istilah Kepemimpinan dalam
Perspektif al-Qur’an dan Hadis.........
.......................................................19
C. Tujuan dan Hukum Menegakkan
Kepemimpinan....................................... 21
iv
D.Kriteria Pemimpin yang Ideal menurut
Islam...................................................... 23
E. Kepemimpinan Ideal dalam Pandangan
Barat....................................................... 26
F. Hukum Memperebutkan Jabatan
Kepemimpinan ...................................... 28
BAB III Prinsip-prinsip Kepemimpinan Islam
.....................................................................32
A.Prinsip Tauhid ....................................... 32
B. Prinsip Syura (Musyawarah)................. 32
C. Prinsip Keadilan (Al-A’dalah)............... 37
D.Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah).......... 39
BAB IV Demokrasi dalam Perspektif Islam . . 40
A.Pengertian Demokrasi............................ 40
B. Soko Guru Demokrasi........................... 42
C. Respon Umat Islam terhadap Gagasan
Demokrasi .............................................
...........................................................43
v
D.Problem Islam dan Demokrasi dalam
dataran Praksis-Implementatif...............
...........................................................45
E. Demokrasi dalam Catatan Kerja ...........
...........................................................47
BAB V Kepemimpinan Rasulullah ................
.....................................................................49
A.Karakteristik Kepemimpinan
Rasulullah .............................................
...........................................................49
B. Gaya Kepemimpinan Rasulullah ..........
...........................................................51
C. Fase-fase Kepemimpinan Rasulullah . . .
...........................................................53
1. Fase Makkah .....................................
.......................................................53
2. Fase Madinah....................................
.......................................................54
vi
D.Rahasia Kesuksesan Kepemimpinan
Rasulullah .............................................
...........................................................56
DAFTAR PUSTAKA ......................................
....................................................................57
vii
BAB I
TINJAUAN UMUM MENGENAI
KEPEMIMPINAN
A. Pengertian Kepemimpinan.
Dalam Bahasa Inggris, kepemimpinan
disebut dengan leadership, sedangkan
dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
khilafah, imarah, ziamah atau imamah.
Secara etimologi kepemimpinan berarti
daya memimpin atau kualitas seorang
pemimpin atau tindakan dalam memimpin
itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi, ada
beberapa definisi mengenai kepemimpinan
(leadership). Menurut David dan Newstrom,
kepemimpinan atau leadership adalah suatu
1
kemampuan untuk membujuk orang lain
agar dapat mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kepemimpinan adalah upaya untuk
mentransformasikan potensi-potensi yang
terpendam menjadi kenyataan. 1
Sementara itu, menurut Hadipoerwono
kepemimpiran adalah kemampuan
seseorang dalam mengkoordinasikan dan
menjalin hubungan antar sesama manusia,
sehingga mendorong orang lain untuk
melaksanakan tugas-tugasnya dengan hasil
yang maksimal.2 Definisi tersebut tidak
jauh berbeda dengan yang dikatakan
Fiedler, yaitu bahwa kepemimpinan
sebenarnya adalah suatu tindakan dalam
1
Bandingkan Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan, hlm, 39-41
2
Lihat Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm.5
2
mengarahkan dan memimpin pekerjaan
suatu kelompok, yang meliputi tindakan
membentuk hubungan kerja, memuji dan
mengkritik anggota-anggota kelompok
tersebut, serta menunjukkan perhatian
terhadap kesejahteraan dan
perasaananggota-anggota yang
dipimpinnya.3
Dari beberapa definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pada intinya
kepemimpinan adalah suatu kegiatan atau seni
untuk
mempengaruhi perilaku orang-orang yang
4
dan menunjang dalam proses
kepemimpinan ini, yaitu yang memimpin
dan yang dipimpin. Tugas dan tanggung
jawab seorang pemimpin adalah
menggerakkan dan mengarahkan,
menuntun, memberi motivasi serta
mendorong orang yang dipimpinnya untuk
berbuat sesuatu guna mencapai tujuan.
Sedangkan tugas dan tanggung jawab yang
dipimpin adalah mengambil peran aktif
dalam mensukseskan pekerjaan yang
dibebankanya.
Supaya program kerja berhasil dengan
baik, maka diperlukan kesatuan komando
(unity of command) dalam setiap unit
organisasi. Tanpa adanya kesatuan
komando yang didasarkan atas satu
5
perencanaan dan kebijaksanaan yang jelas,
maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang
telah ditetapkan akan tercapai dengan baik.
Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah
kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti
penting komitmen dan kesadaran bersama
untuk rnentaati pemimpin dan peraturan
yang telah ditetapkan.
4
Hardipoerwono, Tata Personalia (Bandung: Jambatan, 1982) hlm. 40
6
Teori ini antara lain dipelopori oleh
Galton (1879). Menurutnya pemimpin itu
muncul dari keturunan orang-orang
terkemuka. Dia berpendapat bahwa
pemimpin itu muncul berdasarkan
warisan atau keturunan. Sementara itu,
Wiggams (1931) berpendapat bahwa
kelangsungan hidup yang terbaik dan
perkawinan campuran diantara mereka
menghasilkan kelas aristrokat yang
secara biologis berbeda dengan kelas
yang lebih rendah. Dari kelas aristrokat
itulah maka biasanya seorang pemimpin
akan muncul. Sedangkan menurut
Carlyle (1841), sebagai individu,
pemimpin memiliki bakat bawaan yang
diperoleh dari keturunan yang khas.
7
Pengikut aliran ini menyusun teorinya
berdasarkan induktif dengan
mempelajari sifat-sifat yang menonjol
clan pimpinan berdasarkan keberhasilan
mengenai tugas yang dijalankan
pemimpin, terutama kemampuan untuk
memimpin. Aliran ini mengasumsikan
bahwa para pemimpin yang berhasil
memainkan peranan itu karena is
memiliki sifat-sifat unik dan kualitasnya
superior.
Menurut hemat penulis, teori tersebut
kurang mernperhatikan faktor
lingkungan sebagai wadah atau wahana
yang memungkinkan munculnya ciri-ciri
unik dari pemimpin. Seolah-olah teori ini
beranggapan bahwa munculnya seorang
8
pemimpin merupakan predesposisi yang
memungkinkan dirinya untuk memimpin.
Jadi teori ini kurang apresiatif terhadap
faktor lingkungan.
Jika dilihat dari perspektif Islam, teori
asal-usul kepemimpinan berdasarkan
keturunan sangat deterministik, schingga
menganggap lingkungan keluarga tidak
ikut berpengaruh. Dalam sebuah hadits
yang shahih, Nabi SAW pernah
bersabda : "Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah, ayah dan ibunya yang
akan menjadikan is Yahudi, Nasrani atau
Majusi (HR.al-Bukhari). Hadis tersebut
memberi isyarat bahwa faktor
lingkungan sangat signifikan dalam
membentuk karakter seseorang,
9
termasuk dalam hal memunculkan
karakter seorang pemimpin.
Oleh sebab itu, teori tersebut akan
lebih lengkap jika mengakomodir ciri-ciri
unik mengenai kualitas pemimpin dengan
memperhatikan pengaruh lingkungan
keluarga, sosial, budaya, dan zaman di
mana ia dibesarkan.
10
2. Teori Environmental
Teori ini berpendapat bahwa
munculnya kepemimpinan disebabkan
oleh faktor lingkungan sosial yang
merupakan tantangan untuk diatasi atau
diselesaikan. Beberapa tokoh pendukung
teori ini antara lain adalah Mumford
(1909) yang mengatakan bahwa
pemimpin itu muncul disebabkan oleh
kemampuan dan ketrampilan yang
memungkinkan dia memecahkan masalah
sosial dalam keadaan tertekan atau
perubahan dan adaptasi. Kepemimpinan
menurutnya merupakan innate dan
menjadi modal dasar kecenderungan
kekuatan sosial yang dimilikinya.
Sementara itu Bogardus (1928) dan
11
Hocking (1924) mencoba
mengembangkan dua hipotesis tentang
kepemimpinan yaitu Pertama, kualitas
seorang pemimpin akan sangat
tergantung. kepada situasi kelompok.
Kedua, kualitas individu dalam mengatasi
situasi sesaat merupakan hasil
kepemimpinan terdahulu yang berhasil
mengatasi situasi yang sama.
Sedangkan Schneider (1937)
menyatakan bahwa jumlah pares
pemimpin milker Inggris sebanding
dengan banyaknya jumlah konflik yang
terjadi pada bangsa itu. Jadi, menurutnya
situasi sosio kultural erat kaitannya
dengan prestasi kepemimpinan. Senada
dengan Schneider, Murphy mengatakan
12
bahwa kepemimpinan sebenarnya tidak
terletak pada prestasi individu,
melainkan merupakan suatu fungsi dari
peristiwa. Jadi Kepemimpinan Islam
kepemimpinan merupakan faktor
instrumen memecahkan masalah yang
muncul.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa menurut teori inveronmental
seorang pemimpin itu muncul karena
laktui situasi atau momen tertentu. Teori
tersebut menurut hemat penulis kurang
memperhatikan aspek-aspek pre-disposisi
yang berlaku pada seorang pemimpin.
Jadi teori ini menolak adanya faktor
heriditas (keturunan / warisan) untuk
menjadi seorang pemimpin.
13
Jika dilihat dari perspektif Islam,
maka faktor keturunan juga punya peran
yang cukup signifikan untuk melahirkan
seorang pemimpin yang berkualitas.
Itulah mengapa menurut hadis Nabi
SAW, seorang sebelum menikah
dianjurkan untuk mencari pasangan
hidupnya dari bibit atau keturunan yang
baik. Asumsinya adalah bibit yang baik
akan menghasilkan keturunan yang baik
pula. Hal ini sebagaimana dikatakan
dalam hadis shahih, dimana Nabi
bersabda: "Perempuan itu biasonya
dinikahi karena empat hal yaitu: l)
karena hartanya, 2) cantiknya, 3) nasab
(keturunannya), 4) agamanya. Pilihlah
yang mempunyai agama yang baik, maka
14
kamu akan beruntung. (HR.al—Bukhari).
Kriteria memilih pasangan (suami-istri)
karena faktor keturunan itu sebenarnya
tidak dinafikan oleh hadis tersebut,
dengan catatan is tetap memiliki kualitas
agama yang baik.
3. Teori Situasi Personal
Teori ini berpendapat bahwa adanya
interaksi antara pemimpin dan situasinya
membentuk tipe-tipe pemimpin tertentu.
Jadi, di situ ada field dynamic of
leadership. Setiap situasi dapat
membentuk seseorang untuk menjadi
pemimpin. Proses antar individu dengan
lingkungan memiliki dinamika tersendiri
yang merupakan suatu sistem interaksi
dalam membentuk pemimpin dan
15
kepemimpinan.
4. Teori Humanistik
Teori humanistik menyatakan bahwa
fungsi kepemimpinan adalah mengatur
kebebasan individu untuk dapat
merealisasikan motivasi rakyatnya agar
dapat bersama-sama mencapai tujuan.
Oleh sebab itu dalam teori ini yang
penting adalah organisasi yang baik yang
dapat memperhatikan faktor-faktor
kebutuhan rakyatnya. Organisasi ini
berfungsi sebagai wadah untuk
mengontrol sebuah kegiatan agar benar-
benar lebih terarah dan memiliki
tanggung jawab yang jelas. Intinya dalam
teori humanistik ini menekankan adanya
suatu organisasi. Jika ada organisasi,
16
maka di situ akan muncul pemimpin .
5. Teori Fitrah
Teori ini berangkat dari suatu asumsi
dasar bahwa manusia itu merupakan
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
yang hidup di masyarakat pasti akan
terjadi tarik-menarik kepentingan satu
dengan yang lainnya. Maka perlu ada
sistem yang mengatur dan yang
memimpinnya. Biasanya umat akan
menyerahkan kepada pemimpin dalam
mengelola dan memanage urusan-urusan
sosial-kemasyarakatan mereka agar tidak
terjadi kedzaliman di antara mereka.
Seandainya tidak ada pemimpin niscaya
mereka akan kacau.
17
Menurut teori ini, kepemimpinan
diciptakan untuk menggantikan
kenabian (likhilafata an-Nubuwwah)
dalam rangka menjaga agama dan
mengatur dunia. Teori model ini
dikemukakan oleh al-Mawardi.
Menurutnya, fitrah manusia akan
menyerahkan masalah-masalah mereka
kepada pemimpinnya. Maka menurut
teori ini, kepemimpinan merupakan
sebuah keniscayaan sejarah. Dan hukum
menegakkannya adalah wajib, baik
ditinjau dari perspektif akal maupun
syara".5 Maka ketaatan kepada
pemimpin juga merupakan hal yang
wajib dalam teori ini, seperti yang
5
Feidler A. Theory of Leadership Effectivness (New York, Mc Graw-Hill Book Campany 1967), hlm 150
18
terdapat dalam surat an-Nisa'59 yang
artinya: "Wahai orang-orang yang
beriman taatlah kalian kepada Allah don
RasulNya don pemimpin kalian atau alit
amri.(Qs. An-Nisa 59)
C. Unsur-Unsur dalam
Kepemimpinan
Adapun unsur-unsur dalam
kepemimpinan antara lain meliputi :
1) Pemimpin, 2) Anggota yang dipimpin,
3) Sistem dan Mekanisme
Kepemimpinan, 4) Tujuan atau Visi
dan Misi.
1. Pemimpin
Pemimpin atau leader adalah orang yang
bertugss memimpin dalam sebuah
19
organisasi. Daialah yang memanage
organisasi tersebut agar dapat berjalan
dengan baik. Dialah yang bertanggung
jawab atas berhasil tidaknya sebuah
organisasi yang dipimpinnya.
2. Anggota yang dipimpin
Anggota yang dipimpin merupakan
bawahan, sekaligus mitra kerja yang
hendak diajak dan dimotivasi oleh
seorang pemimpin dalam melaksanakan
program kerja. Tugas mereka adalah
mengambil peran aktif, taat dan
bertanggung jawab kepada pemimpin
atas beban yang diamanahkan kepada
mereka.
3. Sistem dan Mekanisme
Kepemimpinan
20
Secara scderhana, sistem dan mekanisme
kepemimpinan adalah cara yang dipakai
oleh pimpinan dalam memimpin sebuah
organisasi, apakah dia menggunakan
sistem kepemimpinan otonter, yang tidak
mau menerima kritik atau saran dari
bawahan, atau demokratis, yang
cenderung mengakomodir suara dari
bawahan, atau liberal yang cenderung
membebaskan bawahannya untuk
berbuat apa raja, sehingga seolah-olah
tidak ada kontrol dari atasannya.
4. Tujuan atau Visi dan Misi
Tujuan adalah target yang hendak
dicapai dalam sebuah organisasi yang
dipimpin oleh seorang pemimpin.
Sebagian °rang menyebutkan dengan
21
istilah visi. Visi adalah tujuan secara
umum, yang biasanya dirumuskan dalam
kalimat yang simpel, tetapi isinya
mendalam. Sebagai contoh, visi
penerbitan buku ini adalah
"Mencerdaskan Umat". Visi semacam ini
lalu dijabarkan dalam bentuk misi. Misi
biasanya dijabarkan dalam kalimat yang
rind dan lebih kongkrit, karena memang
tujuannya untuk inerealisasikan visi
tersebut. Sebagai contoh, misi penerbit ini
adalah menerbitkan buku-buku ilmiah
populer, melakukan pelatihan atau
training dan sebagainya.
Tujuan atau misi ini sebaiknya
dirumuskan dengan jelas bahkan perlu
ada Skala prioritas program yang hendak
22
dilakukan terlebih dahulu dan yang
dinomorduakan. Tanpa adanya rumusan
visi dan misi yang jelas, maka sebuah
organisasi akan berjalan tanpa arah dan
tujuan yang jelas.
Perlu diingat bahwa masing-msing
komponen tersebut sesungguhnya saling
terkait. Sebab kepemimpinan adalah
sebuah sistem, di mana antara satu
dengan yang lain sangat erat kaitanya,
dan ikut menentukan berhasil tidaknya
sebuah proses kepemimpinan.
Kepemimpinan akan berjalan baik jika
masingmasing unsur dapat berjalan
sesuai dengan peranan dan fungsinya.
Namun sebaliknya jika salah satu unsur
tersebut ada yang kurang baik, maka bisa
23
dipastikan kepemimpinan tersebut tidak
akan berjalan dengan baik.
Keberhasilan dalam sebuah
kepemimpinan tidak sematamata
ditentukan oleh seorang pemimpin, tetapi
juga ditentukan oleh unsur-unsur yang
lain, seperti sarana dan prasarana. Yang
paling pokok adalah bagaimana membina
hubungan kerjasama yang baik antara
pemimpin dengan anggota yang dipimpin.
Seorang pemimpin peranannya memang
sangat menentukan, tetapi ia bukan satu-
satunya faktor penentu dalam hal
keberhasilan tujuan yang hendak dicapai.
Oleh karena itu, diperlukan koordinasi
dan komunikasi yang baik antara atasan
dan bawahan.
24
Pada hakikatnya unsur pokok dalam
kepemimpinan adalah adanya
kemampuan seorang pemirnpin dalam
mempengaruhi perilaku orang-orang
yang dipimpinnya untuk diarahkan atau
kemampuan memberikan motivasi yang
mendorong mereka berbuat ke arah yang
dimaksudkan.
Ada suatu adagium dalam bahasa
Inggris tentang kecakapan memimpin "to
get things, done through other”. Artinya,
hasil pekerjaan itu diperoleh melalui
orang lain (staf), atau to get things done
with others, artinya untuk memperoleh
sesuatu, maka program dikerjakan
bersama orang lain.
25
D. Prinsip-prinsip Umum dalam
Kepemimpinan
Agar seorang pemimpin dapat
memberikan komando dan yang
dipimpinnya dapat mengambil inisiatif
dalam mencapai tujuan yang diharapkan,
maka ada beberapa prinsip kepemimpinan
yang harus dipenuhi, antara lain :
1. Harus mempunyai visi dan misi sera
tujuan yang jelas. Jika perlu diterapkan
pula tahapan-tahapan pencapaian
tersebut. Ada semacam perioritas, mana
yang lebih dulu untuk dikerjakan dan
mana yang hendak dilakukan kemudian.
2. Perumusan tugas pokok dan fungsi setiap
unit (bagian) organisasi juga harus jelas,
tidak ada tumpang tindih dalam
26
pembagian tugas.
3. Pendelegasian dalam wewenang harus
jelas
4. Ada keseimbangan antara wewenang dan
tanggung jawab
Point ke empat ini sangat penting untuk
diperhatikan dalam sebuah kepemimpinan
organisasi. Tanggung jawab antara
pemimpin dan yang dipimpin harus
sebanding antara hak dan kewajiban yang
dipikulnya. Hal ini juga harus sebanding
dengan besar kecilnya organisasi di mana
ia menjadi anggotanya. Semakin besar
beban yang dipikulnya atau semakin besar
organisasi yang ia menjadi anggotanya,
maka akan semakin besar hak dan
kewajiban yang disandangnya.
27
Agar hak dan kewajiban yang semakin
besar itu dapat dilaksanakan dengan baik
dan dapat dipertanggungjawabkan, maka
diperlukan peningkatan kualitas orang
yang diserahi hak dan tanggung jawab
tersebut. Misalnya kualitas seorang
"Kepala Bagian" harus lebih tinggi dari
pada "Kepala Seksi". Sebab seorang kepala
bagian memimpin organisasi yang lebih
besar dari pada kepala seksi. Di sinilah
seorang pemimpin harus cakap dalam
memilih personil yang diserahi tugas
memimpin suatu unit (bagian) secara tepat.
Kekeliruan dalam memilih personil akan
berakibat runtuhnya wibawa seorang
pemimpin.
28
E. Fungsi Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan dalam sebuah
organisasi, sering berbeda antara yang satu
dengan yang lain. Hal itu bergantung pada
bagaimana corak organisasi tersebut,
bagaimana situasi sosial dalam organisasi,
dan jumlah anggota kelompoknya.
Oleh sebab itu, menurut Kahn,
sebagaimana dikutip oleh Harris, seorang
pemimpin dikatakan telah melakukan
fungsinya dengan baik apabila dia telah
mampu:
1. Memenuhi kebutuhan langsung para
anggota yang dipimpinnya.
2. Menyusun rencana yang jelas untuk
mencapai tujuannya.
3. Menyingkirkan rintangan, hambatan,
29
dan kendala yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan.
4. Mampu mernodifikasi tujuan-tujuan
karyawan agar dapat bermanfaat bagi
organisasi yang dipimpinnya.
5. Di samping itu, seorang pemimpin harus
mampu melakukan kaderisasi, karena hal
ini menjadi tanggung jawab pemimpin.
Bahkan hal ini- menjadi tugas yang
sangat penting bagi seorang pemimpin,
supaya ada kontinyuitas yang baik. 6
Dari penjelasan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa fungsi kepemimpinan
antara lain adalah untuk :
1. Melakukan koordinasi antara anggota-
anggota yang dipimpinnya dalam rangka
6
Baca lebih lanjut, Nourouzzaman ash-Shiddiq, “Kunci Sukses Kepemimpinan Rasulullah “ dalam Jeram-
jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 96-99
30
mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Mengorganisir dan mengendalikan
anggota-anggota yang dipimpinnya.
3. Menetapkan tujuan dan menegaskan
arah untuk mencapai tujuan.
4. Melengkapi sarana dan prasarana
untuk mencapai tujuan.
5. Melengkapi dan menegaskan tatanan
mekanisme organisasi.
6. Memberikan fasilitas untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan dan
menghubungkannya dengan kegiatan yang
lain.
7. Memebrikan fasilitas kepada kelompok
dalam melaksanakan tugasnya.
8. Melakukan kaderisasi pemimpin
31
F. Bentuk-Bentuk Kepemimpinan
Dilihat dari segi bentuk dan polanya,
maka kepemimpinan itu dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Kepemimpinan Formal, yaitu
kepemimpinan seseorang yang diangkat
dalam suatu jabatan tertentu. Dalam pola
kepemimpinan ini jelas terlihat adanya
hirarki, seperti tergambar dalam struktur
organisasinya. Sebagai contoh adalah
bentuk kepemimpinan dalam lembaga
pendidikan, perusahaan-perusahaan,
lembaga pemerintah dan lain sebagainya.
Hubungan antara pimpinan dan yang
dipimpin cenderung bersifat legal
formalistik.
2. Kepemimpinan Informal, yaitu
32
kepemimpinan yang dilakukan oleh
seorang pemimpin yang tidak
berdasarkan pengatigkatan secara
formal, namun diakui dan ditaati oleh
orang-orang yang dipimpinnya. Contoh
kepemimpinan para kyai atau tokoh
agama independen di pedesaan. 7
Model kepemimpinan non formal ini
boleh jadi justru lebih efcktif untuk
memobilisasi umat. Bahkan kadang model
kepemimpinan non formal ini lebih ditaati
dari pada yang formal. Kepetrurnpinan
informal biasanya cenderung bersifat
kharismatik dan paternalistik. Pemimpin
dalam kepemimpinan informal biasanya
puriya kelebihan yang bersifat magic-
7
Uraian lebih lanjut, silahkan baca buku Harris, Managing people at Work: Concept and Interpersonal
Behavior (New York, John Wiley and Song Inc, 1985)
33
religius. Bahkan kadang-kadang
dimitoskan, sehingga kharismanya semakin
tinggi di hadapan umatnya.
G. Tipe-tipe Kepemimpinan
Tipe kepemimpinan seseorang berbeda-
beda tergantung pada karakter dan watak
para pemimpin, tujuan dan jenis organisasi
yang dipimpin, tuntutan situasi sosial yang
dipimpin dan lain sebagainya. Sebagai
contoh pola kepemimpinan sebuah
universitas yang mengelola masyarakat
ilmiah (civitas akademika) berbeda dengan
pola kepemimpinan di sebuah pesantren
atau lembaga kemiliteran yang tradisinya
berbeda.
Adapun tipe atau gaya kepemimpinan
34
secara umum dapat dikelompokkan
menjadi lima," yaitu :
1. Otokratis
Tipe pemimpin otokratis adalah tipe
pemimpin yang memperlakukan
organisasi yang dipimpinnya sebagai
milik pribadi. Sehingga hanya
kemauannya sajalah yang harus
berlangsung dan kurang mau
memperhatikan kritik dari bawahannya.
la beranggapan bahwa mereka yang
dipimpin itu semata-mata bawahan.
Pemimpin semacam ini biasanya
rnengagungkan kekuasaan formalnya.
Oleh sebab itu, biasanya is tertutup
terhadap kritik, saran dan pendapat
orang lain. la beranggapan bahwa seolah-
35
olah pikiran dan pendapatnyalah yang
paling benar, karena itu harus
dilaksanakan dan dipatuhi secara mutlak.
36
2. Militeristik
Yang dimaksud kepemimpinan
militeristik itu tidak harus dalam
organisasi militer, tetapi gaya
kepemimpinannya seperti militer. Orang
sipil bisa bergaya militer dalam
memimpin. Dalam gaya kepemimpinan
militeristik, biasanya perintah pemimpin
harus ditaati secara mutlak.
3. Paternalistik
Yang dimaksud kepemimpinan
paternalistik adalah model
kepemimpinan yang mana pemimpin
menganggap yang dipimpin tidak pernah
dewasa. Karenanya ia jarang
memberikan tugas yang dibebankan
kepadanya. Kepemimpinan ini
37
menonjolkan figur dan biasanya kalau
figurnya wafat, organisasi akan menjadi
stagnan, mundur atau runtuh.
4. Kharismatik
Pemimpin kharismatik adalah
pemimpin yang punya daya pikat yang
sangat besar .Biasanya dia punya banyak
pengikut dan mereka mau bekerja apa
saja yang diperintahkan. Kepemimpinan
kharismatik juga menonjolkan pada figur
kharismatik, sehingga jika figur sudah
tidak ada lagi, kontonuitas organisasi
cenderung mundur sebab biasanya tidak
dibangun sebuah sistem yang baik dalam
organisasi.
5. Demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah
38
sebuah model kepemimpinan yang mana
pemimpinnya berusaha menyinkronkan
antara kepentingan dan tujuan organisasi
dengan kepentingan dan tujuan orang
yang dipimpinnya. Pemimpin model ini
biasanya lebih mengutamakan kerja
sama. la lebih terbuka (inklusif), mau
dikritik dan menerima pendapat dari
orang lain. Dalam mengambil keputusan
dan kebijaksanaan selalu mengutamakan
musyawarah. la tidak khawatir disaingi
oleh yang dipimpinnya, bahkan berusaha
membinanya agar bersarna-sarna lebih
maju. Model kepemimpinan semacam ini
nampaknya lebih sesuai dengan era
demokratisasi di Indonesia.
39
BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
40
aspek formal keislaman, misalnya nama
organisasi adalah organisasi Islam, asas-
asas yang dipakai juga asas Islam, atau
pengurusnya orang Islam. Maka bagi orang
yang menggunakan paradigma ini, ia akan
berpendapat bahwa kepemimpinan Islam
adalah sebuah kepemimpinan yang
dilakukan oleh orang muslim, asas-asas
yang dipakai juga Islam, simbol-simbol
yang ada juga mencerminkan Islam,
terlepas apakah caranya dalam memimpin
itu Islami atau tidak, dalam arti berpegang
pada prinsipprinsip nilai dasar keislaman
atau tidak. paradigma esensial-substansial,
yaitu sebuah paradigma yang lebih
mendasarkan hal-hal yang subtansial dalam
ajaran Islam. Maka bagi orang yang
41
menggunakan paradigma ini, ia akan
berpendapat bahwa kepemimpinan itu
dikatakan Islami, jika didalamnya terdapat
nilai-nilai Islam yang dipraktekkan dalam
memanage sebuah organisasi, seperti
menjaga sifat amanah, kejujuran, keadilan,
egalitarianisme (al musawoh), keihlasan,
tanggung jawab dan lain sebagainya, tanpa
melihat apakah, orangorang yang terlibat di
dalamnya muslim atau non muslim, simbol-
simbol yang ada di dalamnya Islam atau
tidak.
Menurut hemat penulis kepemimpinan
Islam itu lebih tepat jika didasarkan pada
sistem dan cara yang dipraktekkan dalam
memimpin. Jadi kepemimpinan Islam
adalah kepemimpinan yang
42
mempraktekkan nilai-nilai ajaran Islam,
terlepas apakah pelakunya seorang muslim
atau tidak. Sebab kenyataan di lapangan
tidak sedikit para pemimpin yang
beragama Islam, bahkan mungkin sudah
haji berkali-kali, tetapi ketika ia menjadi
pemimpin tidak mempraktekkan norma
atau prinsip ajaran Islam, seperti sifat
amanah (dapat dipercaya), `adalah
(keadilan), syura (musyawarah) dan
sebagainya. Sebaliknya kadang kita jumpai
seorang pemimpin non muslim sebuah
organisasi tertentu, ternyata justru
mempraktekkan sistem dan cara memanage
yang isla.mi. Pemimpin tersebut konsekwen
melaksanakan ajaran, disiplin, tepat waktu,
mempunyai karakter yang baik, suka
43
bermusyawarah, adil dan sebagainya.
Namun bagi seorang muslim niscaya akan
memilih seorang pemimpin yang muslim
dan konsekwen terhadap ajaran Islamnya.
Jika demikian, berarti dapat dikatakan
bahwa kepemimpinan Islam yang ideal
adalah suatu kepemimpinan, sistem dan
mekanisme menejerial dalam sebuah
organisasi, yang pemimpin dan anggota-
anggotanya adalah orang-orang taat yang
konsekuen mengamalkan prinsip-prinsip
ajaran Islam. Memakal simbol-simbol
keislaman dalam sebuah organisasi itu sah-
sah saja, akan tetapi yang penting adalah
bagaimana agar orang tidak terjebak pada
simbolisme semata.
44
B. Kepemimpinan dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Hadis
1. Hakekat pemimpin
Dalam pandangan Islam,
kepemimpinan merupakan amanah dan
tanggung jawab yang tidak hanya
dipertanggung jawabkan kepada
anggota-anggota yang dipimpinnya,
tetapi juga akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi,
pertanggungjawaban kepemimpinan
dalam Islam tidak hanya bersifat
horisontal-formal sesama manusia,
tetapi bersifat vertikalmoral, yakni
tanggung jawab kepada Allah SWT di
akhirat. Seorang pemimpin boleh jadi
dianggap lolos dari tanggng jawab
45
formal di hadapan orang-orang yang
dipimpinnya, tapi belum tentu lolos
ketika ia harus bertanggung jawab di
hadapan Allah SWT. Kepemimpinan
sebenarnya bukan suatu yang mesti
menyenangkan, tetapi merupakan
tanggung jawab sekaliguS amanah yang
amat berat dan harus diemban sebaik-
baiknya.
46
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
Artinya: .....dan orang-orang yang
memeliharn amanat (yang diembannya)
dan janji mereka, don orang-orang yang
memelihara shalatnya, mereka itulah
orang-orang yang akan mewarisi surga
Firdaus, mereka kekal di dalamnya.
(Q.S.al-Mukminun 8 - 11)
Seorang pemimpin harus bersifat
amanah (dapat dipercaya), sebab ia
akan di serahi tanggung jawab. Jika
pemimpin tidak mempunyai sifat
amanah, tentu yang terjadi adalah
47
penyalahgunaan jabatan dan wewenang
untuk hal-hal yang tidak baik ltulah
mengapa Nabi Muhammad SAW juga
mengingatkan agar menjaga amanah
kepemimpinan, sebab hal itu akan
dipertanggung, jawabkan, baik di dunia
maupun di hadapan Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
48
Artinya : Apabila amanah disia-siakan
maka tungggulah saat kehancuran.
(Waktu itu) ada seorang sahabat yang
bertanya, apa (indikasi) menyia-nyiakan
amanah itu ya Rasul? Beliau
menjawab : "Apabila suatu perkara
diserahkan pada orang yang bukan
ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya (HR.a1-Bukhori)
Kedua hadis tersebut memberikan
isyarat betapa pentingnya sifat amanah
dan profesional dalam kepemimpinan.
Oleh karenanya, kepemimpinan
mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas
untuk menguasai, tetapi dimaknai
sebuah pengorbanan dan amanah
sebagai yang harus diemban sebaik-
49
baiknya. Kepemimpinan juga bukan
kesewenang-wenangan untuk bertindak,
tetapi kewenangan melayani untuk
mengayomi dan berbuat seadil-adilnya.
Kepemimpinan adalah keteladanan dan
kepeloporan dalam bertindak yang
seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam
ini hanya akan muncul jika dilandasi
dengan semangat amanah, keikhlasan
dan nilai-nilai keadilan.
Tentang keharusan memegang sifat
amanah dan berbuat adil, Allah SWT
juga menegaskan dalam al-Qur'an
sebagai berikut :
50
Artinya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian berlaku adil don
berbuat kebajikan (Q.S.al Nahl: 90 )
Artinya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan
amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila menetapkan
hukum di ontara manusia hendaknya
kalian menetapkan dengan adil (Q.S. al-
Nisa":58 )
Jadi kesimpulannya kepemimpinan
dalam pandangan al-Qur'an dan hadis
51
adalah sebuah amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya, dengan
penuh tanggung jawab, keikhlasan,
profesional. Sebagai konsekuensinya
pemimpin harus mempunyai sifat
amanah, profesional dan memiliki sikap
tanggung jawab.
2. Istilah-istilah Kepemimpinan dalam
Perspektif Al-Qur’an Hadis
Kepemimpinan dalam pandangan
Islam (baca: al-Qur an al-Hadis) sering
disebut dengan beberapa istilah, yaitu:
a) imomah, b) khilafah, c) ulul amri, d)
amir, e) wali f)ra'in. Berikut ini akan
diuraikan sekilas mengenai makna istila-
istilah tersebut.
a)Imamah adalah bentuk isim
52
masdarnya (kata benda abstrak) yang
terambil dari kata amma-ya'ummu
yang berarti menuju, meneladani dan
memimpin.8 Dari kata ini kemudian
muncul kata imam, yang berarti
pemimpin atau orang yang memimpin.
Karena dia meneladani, maka
biasanya dia berada di depan. Maka
seorang imam (pemimpin) harus
mampu menjadi teladan bagi anggota-
anggotanya yang dipimpinnya,
seorang pemimpin juga harus
mempunyai tujuan dan orientasi yang
jelas, ke mama arah organisasi yang
dipimpinnya.
b) Khilafah berasal dari kata khalafa
8
Lihat lebih lanjut baca Ali Ahmad as-Salus, Aqidatul Imamah (Imam dan Khalifah), trj. Asmuni Solihan
Zamakhsyari (Jakarta: Gema Imani Press 1997), hlm 15.
53
berarti "di belakang "dan dapat pula
berarti mengganti. Dari makna ini
muncul kata khalifah yang berarti
pengganti atau orang yang
mengganti.Karena biasanya yang
mengganti selalu berada di belakang
atau datang setelah yang digantikanya.
Asal-usul kata ini, mengandung isyarat
bahwa menurut al-Qur'an, seorang
imam/khalifah (pemimpin)
sesungguhnya adalah orang yang
dapat tampil di muka sebagai panutan,
dan kadang-kadang di belakang untuk
mendorong, memotivasi, sekaligus
mengikuti kehendak dan arah yang
diingikan oleh yang dipimpin
sepanjang sesuai dengan tujuan
54
organisasi yang dipimpinnya. Dan
pada saatnya ia harus siap digantikan,
dan mencarikan gantinya. Pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang
mampu melaksanakan kaderisasi
terhadap anggota-anggotanya atau
orang lain, untuk menjadi pengganti
setelah dirinya tidak lagi mampu
memimpin.
c) Ulul Amri. Pemimpin kadang disebut
dengan ulul amri artinya orang yang
punya urusan dan mengurus. Sebab
pemimpin diangkat untuk diserahi
suatu urusan, agar dimanej sebaik-
baiknya bukan sebaliknya, pemimpin
malah menjadi urusan karena tidak
mampu mengurus anggota dan
55
organisasinya.
d) Wilayah, merupakan isim masdar
(kata benda abtrak) yang berasal dari
kata waliaya, artinya memerintah,
menguasai, menyayangi, dan
menolong. Orangnya disebut wali. Hal
ini memberikan isyarat bahwa seorang
pemimpin disamping harus
mempunyai kekuasaan dan mampu
mengurus, dia juga harus mempunyai
sifat kasih sayang (cinta), berjiwa
penolong. Seorang pemimpin yang
punya kasih sayang tinggi, berjiwa
penolong lebih disegani anggota-
anggota yang dipimpinnya. Dari
situlah maka akan muncul sikap
simpatik dan rasa hormat dari
56
anggota-anggota yang dipimpinnya
kepada pemimpinnya. Ketaatan
kepada pemimpin pun bukan ketaatan
yang semu, melainkan ketaatan yang
muncul dari hati yang paling dalam,
karena pemimpinnya memang layak
untuk ditaati.
e) Ri'ayah berasal dari kata ra'a-yar'a
yang berarti menggembalakan (jawa :
angon), memelihara dan mengayomi,
(Jawa : ngemong), sedangkan
orangnya disebut ra'in (penggembala).
Hal ini memberikan isyarat bahwa
pemimpin (ra'in) itu harus mempunyai
daya menggembalakan, mampu
memelihara kelangsungan organisasi
yang dipimpinnya dan mampu
57
mengayomi anggota-anggotanya.
Adapun rujukan mengenai istilah-istilah
tersebut dapat dilihat dalam ayat- ayat al-
Qur'an dan hadis-hadis, sebagai berikut :
1. Kepemimpinan dengan istilah imomah
pelaksananya disebut imam misalnya
terdapat dalam hadis al-Bukhari sebagai
berikut :
60
mengetahuinya Q.S. Al-Baqarah 30 )
61
3. Kepemimpinan dengan istilah Ulul Amri
(yang mengurus urusan) misalnya dalam
firman Allah surat al-Nisa' ayat 59 yang
berbunyi :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan rasul: Nya dan Ulil
Amri (pemimpin). Kemudian jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qur'an) dan rasul Nya (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu
62
lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya. (Q.S.An-Nisa": 59 )
4. Kepemimpinan dengan istilah wilayah
orangnya disebut al-wali (yang
menguasai, penolong, pengasih,) misalnya
disebutkan dalam firman Allah surat al-
Maidah ayat :55
Artinya : Sesungguhnya "wali"
(penolong) kalian hanyalah Allah, Rasul
Nya dan orang-orang yang beriman dan
mendirikan sholat dan menunaikan zakat
seraya mereka tunduk kepada Allah (Q.S.
Al-Maidah:55 )
63
5. Kepemimpinan dengan istilah reayah dan
orangnya disebut rain (yang
menggembala, melindungi dan
mengayomi), misalnya dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari :
64
C. Tujuan dan Hukum Menegakkan
Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal merupakan
dambaan bagi setiap orang, sebab pemimpin
itulah yang akan membawa maju
mundurnya suatu organisasi, negara atau
bangsa. Oleh karenanya, adanya
kepemimpinan sangat diperlukan demi
tercapainya sebuah kemasylahatan umat
Tidaklah mengherankan jika ada pemimpin
yang dianggap kurang mampu, kurang
ideal, misalnya cacat mental dan fisik, maka
cenderung akan mengundang kontroversi,
apakah is tetap dipertahankan atau
diberhentikan. Sebab hal itu aka
mengundang pertanyaan apakah pemimpin
tersebut mampu mengantarkan kepada
65
tujuan yang hendak dicapai atau tidak.
Dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah
karya al-Mawardi, terdapat penjelasan
tentang Imamah (kepemimpinan). Di
dalamnya juga disinggung mengenai tujuan
dan hukum menegakkan kepemimpinan.
Menurut al-Mawardi hukum menegakkan
kepemimpinan (nasbul imamah) dalam
pandangan Islam rnerupakan sebuah
keniscayaan (keharusan) dalam hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab tanpa ada pemimpin masyarakat
akan berbuat semaunya sendiri, tanpa
kendali dan cenderung melakukan
mafsadah (kerusakan, kekacauan) dalam
kehidupan bermasyarakat
Oleh sebab itu menurutnya dalam kitab
66
al-Ahkam alSuthaniyyah, imamah
(kepemimpinan) menjadi sangat penting
artinya, antara lain karena imamah
mempunyai dua tujuan Pertama, likhilafati
an-Nubuwwah fi harasati ad-Din yakni
sebagai pengganti misi kenabian untuk
menjaga agama, dan Kedua wa siasati ad-
Dunya untuk memimpin atau mengatur
urusan dunia.2 Secara rinci barang kali
dapat dijabarkan bahwa tujuan suatu
kepemimpinan adalah untuk menciptakan
rasa aman, keadilan, kemasylahatan,
menegakkan amar makruf nahi mungkar,
mengayomi rakyat dan mengatur dan
menyelesaikan problem-problem yang
dihadapi umat.
Dari sinilah maka para ulama
67
berpendapat bahwa hukum menegakkan
imomah itu adalah wajib berdasarkan ijma'
ulama. Hanya saja wajibnya itu didasarkan
dalil rasional atau syara'. Ada sebagian
ulama berpendapat bahwa kewajiban untuk
mengangkat pemimpin itu didasarkan pada
dalil akli (rasional), sebab biasanya manusia
itu cenderung menyerahkan urusan-urusan
yang diperselisihkan diantara mereka
kepada pemimpinnya. Sehingga seandainya
tidak ada pemimpin, mereka akan kacau
(chaus), sebab tidak ada tempat pengaduan
dan penyelesaian urusan yang mereka
perselisihkan.
Sedangkan sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa hukum wajib itu
didasarkan atas dalil syara', sebab seorang
68
Imam (pemimpin) itu akan menjalankan
persoalan-persoalan yang terkait dengan
penegakan syari'at, seperti pelaksanaan
zakat, menegakkan keadilan dan lain
sebagainya. Tidaklah berlebihan jikalau al
Qur'an kemudian memerintahkan kepada
kita untuk taat dan loyal kepada pemimpin
sepanjang pemimpin itu berada dalam rel
yang benar. Sudah barang tentu ketaatan
tersebut tidak harus menyebabkan
kehilangan sikap kritis. Karena ketaatan
dalam pandangan Islam itu berlaku
sepanjang pemimpin berada dalam ketaatan
kepada Allah dan rasul-Nya. Hal ini
sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis
nabi yang shahih:"Ia tha'ata limakhluqin fi
ma'shWatil khalik". Artinya tidak ada
69
ketaatan seorang makhluk, jika is berada
pada kemaksiatan kepada sang pencipta
(Tuhan).
Menurut hemat penulis, penjelasan
tersebut di atas dapat ditarik sintesa bahwa
menegakkan suatu imamah (suatu
kepemimpinan) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah
merupakan suatu keniscayaan (kewajiban)
paik didasarkan dalil rasional maupun
syara'. Sebab imamah merupakan syarat
bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil
dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan serta terhindar dari kekacauan
dalarn bermasyarakat.
Meskipun demikian kehadiran seorang
pemimpin ini tidak secara otomatis
70
memberikan jaminan bahwa masyarakat
pasti akan merasa aman, hidup dalam
keadilan dan kemakmuran. Harapan
terciptanya kondisi aman, damai, dan
sejahtera itu akan terwujud, jika seorang
pemimpin (imam) mempunyai kapabilitas
yang memadai untuk memanage negara dan
mendapat dukungan dari berbagai elemen
masyarakat. Dengan kata lain, pemimpin itu
benar-benar capable (mampu) dan
acceptable (dapat diterima). ltulah
sebenarnya dua syarat pokok pemimpin
yang ideal.
Oleh karena itu, tampilnya seorang
pemimpin yang ideal yang menjadi harapan
bagi seluruh komponen masyarakat menjadi
sangat urgen dalam hal ini. Hanya saja
71
biasanya jika situasinya darurat
(emergency) atau sedang mengalami masa
transisi, masyarakat kemudian akan
menggunakan standar minimal (haddul
adna) dalam memilih pemimpin,
sebagaimana yang dikatakan dalam
pepatah, tidak ada rotan akarpun jadi.
Ketika standar minimal yang dipakai
dalam mengangkat seorang pemimpin,
maka biasanya hasil dari suatu kerja
pemimpin tidak akan maksimal, bahkan
sangat mungkin akan jauh dari standar
minimal yang diharapkan. Di sinilah maka,
syarat-syarat seorang pemimpin yang ideal
menjadi sangat signifikan, agar tampilnya
pemimpin tersebut dapat mengantarkan
organisasi, atau negara yang adil dalam
72
kemakmuran dan makmur dalam keadilan,
seperti yang diharapkan.
73
3. Sehat panca indranya seperti
pendengaran, penglihatan, dan lisanya
(salamatul hawas min as-sam'i wal bashar
wal lisan), sehingga seorang pemimpin
dapat langsung mengetahui persoalan-
persoalan secara langsung, bukan dari
informasi atau omongan orang lain yang
kadang belum tentu benar adanya.
4. Sehat anggota badan dari kekurangan
(salamatul a'dha 'min naqshin), sehingga
memungkinkan dia untuk bergerak lebih
lincah, cepat dan tidak loyo. Dalam hal ini
Imam al Mawardi dengan tegas
mensyaratkan bahwa seorang pemimpin
itu secara fisik harus sehat indranya
terutama mata, telinga dan lidahnya.
Begitu pula seorang pemimpin harus
74
sehat anggota tubuhnya, sehingga
memungkinkan untuk mengetahui
persoalan atau peristiwa yang terjadi
secara langsung dan bergerak lebih cepat.
75
5. Seorang pemimpin harus mempunyai visi
dan misi yang jelas, bagaimana memimpin
dan memanage negara atau organisasi
secara berstruktur, sehingga ada
perioritas tertentu, mana yang perlu
ditangani terlebih dahulu dan mana yang
dapat ditunda sementara.
6. Pemimpin harus mempunyai keberanian
dan kekuatan. 'Pemimpin harus
mempunyai keberanian untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Siapa
yang bersalah harus dihukum meskipun
temannya sendiri (baca : kroninya). Hal
ini penting untuk diperhatikan, sebab jib
pemimpin tidak mempunyai slcap
keberanian dan ketegasan untuk
menindak siapa yang melawan hukum
76
maka hukum akan menjadi tidak
bermakna. Sudah barang tentu dirinya
sendiri harus memberikan contoh yang
terbaik buat rakyatnya. Jika tidak maka
law in forcemeat (upaya supremasi
hukum) hanya akan tinggal menjadi
slogan kosong.
7. Syarat terakhir untuk mejadi pemimpin
menurut al Mawardi harus keturunan
Quraisy. Syarat yang ketujuh ini
nampaknya didasarkan kepada bunyi teks
hadis Nabi yang menyatakan "al
a'immatu min quroisyin (para pemimpin
atau imam-imam itu harus keturunan
Quraisy.) (HR. Ahmad dari Anas bin
Malik).
Namun menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H-
77
1406 M) dalam kitabnya Muqaddimah
hadis tersebut sebenarnya dapat dipahami
secara kontekstual bahwa hak pemimpin itu
bukan pada etnis Quraisynya, melainkan
pada kemampuan dan kewibawaannya.
Pada masa Nabi orang yang memenuhi
persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi
oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah'
dari kalangan Quraisy. Oleh sebab itu,
apabila suatu saat ada orang bukan dari
suku Quraisy mempunyai kemampuan dan
kewibawaan untuk memimpin, maka is
dapat ditetapkan sebagai pemimpin
termasuk kepala negara.9 Demikianlah
beberapa pandangan Imam Abu Hasan bin
Habib al Mawardi (364-450 H) mengenai
9
Uraian menarik mengenai hal ini silahkan baca Ibnu Khaldun Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beiruut: Dar
al Fikr tth). Lihat Kontekstual, (Jakarta Bulan Bintang 1994) hlm 38-40
78
imamah dan syarat pemimpin yang ideal.
79
Menurut hemat penulis, pemimpin Islam
yang ideal harus memiliki kriteria-kriteria
sebagai berikut :
1. Jujur, sebab tanpa kejujuran akan
terjadi penyalah gunaan wewenang dan
jabatan, manipulasi terhadap rakyat atau
anggota-anggota yang dipimpinnya.
2. Amanah (dapat dipercaya) Dengan
amanah maka akan terhindar tindakan
kolusi, korupsi dan manipulasi. Dengan
amanah maka rakyat yang dipimpin akan
memberi kepercayaan penuh, sehingga
program-program kepemimpinan akan
mendapat dukungan optimal.
3. Cerdas (fathanah). Pemimpin yang
cerdas akan dapat tepat, dan cepat ketika
menghadapi problem-problem yang ada
80
dalam kepemimpinannya.
4. Adil, sebab jika pemimpin tidak adil
maka akan memunculkan kecemburuan
masyarakat yang dapat memicu
kerawanan social, konflik dan ketegangan
dalam masyarakat Pemimpin yang ideal
adalah pemimpin yang dapat membawa
rakyatnya menjadi makmur dalam
keadilan dan adil dalam kemakmuran.
5. Bijaksana dan mempunyai sikap
tanggung jawab. Kebijakan-kebijakan
ataupun keputusan yang diambil oleh
seorang pemimpin harus benar-benar
bijaksana dan dapat dipertanggung
jawabkan, baik secara moral maupun
secara formal. Artinya jangan sampai
pemimpin bertindak sewenang-wenang
81
tanpa mempedulikan nasib rakyat atau
anggota yang dipimpinnya .
6. Terbuka (bersedia dikritik dan mau
menerima saran dari orang lain). Sikap
terbuka ini mencerminkan sifat tawadu'
(rendah hati), tidak sombong. Pemimpin
yang sombong biasanya tidak mau
dikritik, kerena merasa paling benar, dan
menganggap orang lain salah.
7. Keikhlasan. Berbuat dan beramal
dengan ikhlas merupakan hal yang sangat
penting dalam pandangan Islam. Sebab
tanpa keikhlasan amal perbuatan dalam
pandangan Allah akan sia-sia . Oleh sebab
itu, seorang pemimpin harus mempunyai
jiwa ikhlas beramal. Keikhlasan disini
tetap dalam pengertian melaksanakari
82
amanah kepemimpinan yang sebaik-
baiknya, bukan semaunya sendiri. Sebab
sebagian orang memakai keikhlasan
dengan pengertian "yang penting ikhlas",
tetapi acak-acakan dalam memanage
organisasinya.
83
E. Kepemimpinan Ideal dalam Pandangan
Barat
Sebenarnya kriteria pemimpin yang ideal
dalam Islam, tidak jauh berbeda dengan
teori kepemimpinan Barat. Dalam teori
Barat karakteristik pemimpin (baik
pemimpin organisasi atau negara) di masa
depan yang ideal,10 secara lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Visionary thinking (berpikir ke depan).
Indikasinya antara lain adalah pemimpin
tersebut :
a) mampu memahami fungsi visi bagi
efektivitas orang
b) mampu berpikir dengan paradigma baru
c) berani mengubah kemandegan
10
Dikutip dengan beberapa modifikasi dari transparan MKU Agama Mata Kuliah Studi Kepemimpinan
dalam Islam LPPAI UII Yogyakarta 2001.Sebagai bahan perbandingan baca pila buku John Bryson, Perencanaan
Strategi bagi Organisasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
84
d) mengembangkan kreativitas dan inovasi
2. Strategic management (memiliki strategi
memanage kepemimpinan dengan baik).
Indikasinya antara lain adalah :
a)mampu mengembangkan strategi
kopetitif
b) mampu menterjemahkan strategi
tersebut dengan implementasinya
c) mampu mengidentifikasi faktor penting
terkait
d) mengantisipasi resiko dengan rencana
penggantinya (contigency plan)
e) berfokus pada nilai tambah
f) mencermati cost conciousness (sadar
biaya)
3. Leadership Skill (mempunyai keahlihan
dalam memimpin). lndikasinya adalah
85
a)mampu menyakinkan orang lain
b) mampu menyelesaikan konflik dengan
win-win solution.
c) mengembangkan kerjasama dalam team
d)mampu membangkitkan spirit
e) mampu mengatasi hambatan mencapai
tujuan
86
4. lnterpersonal communication (mudah
diajak berkomunikasi). lndikasinya adalah
:
a)mau mendengar dan menghargai
pendapat orang lain
b)mampu membangun trus (kepercayaan)
orang lain
c) menghargai perbedaan
d)melihat orang lain sebagai bagian sukses
e) terbuka atas kritik dan saran
f) tidak memaksakan kehendak sendiri
g)bersedia menolong dan mau ditolong
5. Self Management (memanage diri).
Indikasinya antara lain
a)mampu mengembangkan kebiasaan
hidup yang efektif
b)tidak kehilangan kontrol dalam
87
menghadapi tantangan
c) tidak menarik diri jika menghadapi
kesulitan dan tantangan
6. Self Motivation (motivasi diri).
Indikasinya antara lain adalah
a)mengembangkan inisiatif untuk sukses
tim
b)mau bekerja melebihi harapan
c) berani mengambil resiko
d)menghangatkan suasana dengan humor
7. Effective communication (komunikasi
yang efektif). Indikasinya adalah
a) mampu mengkomunikasikan ide dengan
jelas dan sistematis
b) mampu menyampaikan kritik tanpa
menyinggung
c) mampu merangsang orang lain untuk
88
menanggapi usul
d) berusaha memahami kesulitan orang
lain
Dari penjelasan tersebut di atas,
tampak bahwa sebenarnya antara teori
kepemimpinan ideal dalam perspektif Islam
dan Barat bisa berkolaborasi (bisa
digabungkan) untuk menjadi tolok ukur ke
depan dalam menilai suatu kinerja
pemimpin.
89
F. Hukum Memperebutkan Jabatan
Kepemimpin
Salah seorang filosof Jerman, Friedrich
Nietsche (18441900 M) menyatakan bahwa
pada dasarnya manusia mempunyai
kecenderungan untuk berkuasa (will to
power). Dengan kata lain, karakter dasar
manusia itu adalah berambisi untuk jadi
pemimpin dan untuk berkuasa. Keinginan
tersebut di samping dapat menjadf
kekuatan dan energi dalam dirinya sehingga
hidupnya lebih dinamis, is juga dapat
menjadi bumerang yang dapat membawa ke
arah sikap "anarkis", jika tidak
dikendalikan secara wajar dan
proporsional.
Sesungguhnya keinginan untuk
90
menduduki suatu jabatan atau menjadi
pemimpin tertentu, seperti bupati,
gubernur, anggota legislatif, eksekutif
(presiden) atau apapun namanya adalah
sah-sah saja, sepanjang ditempuh secara
konstitusi. Keinginan menjadi pemimpin
adalah sebuah pilihan hidup, bahwa is juga
merupakan salah satu hak asasi manusia.
Sebagai suatu bangsa yang sedang
membangun iklim demokrasi siapa saja
berhak memperebutkan suatu jabatan
tertentu, asalkan memiliki kapabilitas dan
dipilih secara demokratis-konstitusional.
Jika keinginan tersebut tidak diimbangi
denga kemampuam (capability) seseorang
dalam mengemban dan memegang jabatan
tersebut dan ditempuh secara tidak fair,
91
apakah secara moral itu dapat dibenarkan?
Dalam pandangan Islam kepemimpinan
sesungguhnya merupakan amanah.
Kepemimpinan sebagai suatu amanah tenth
saja hares dipegang oleh orang yang ben'ar-
benar mempunyai kapabilitas (kemampuan)
untuk mengembannya dan memiliki sifat
amanoh. Jika tidak, maka yang terjadi
justru chaos (kekocauan) atau
penyalahgunaan wewenang.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda:
92
Artinya : Apabila amanah disia-siakan,
maka tunggulah kehancurannya. Waktu itu
ada seorang yang bertanya: "Bagaimana
menyia-nyiakan amanah itu wahai RosuP.
Beliau rnenjawab: 'Jika suatu urusan itu
diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah scat kehancuran".
(HR. al Bukhara )
Hadis tersebut memberikan isyarat
akan pentingnya pertimbangan
profesionalisme dan kapabilitas bagi orang
yang akan menjadi pemimpin. Karena
tanpa adanya kemarnpuan untuk
menjalankan tugas sebagai seorang
pemimpin, tentu hanya akan merugikan
banyak pihak
Di samping keahlian (al-maharah) dan
93
kemampuan mengemban suatu jabatan
tertentu, sesunxuhnya ada syarat yang lebih
penting yaitu amanah (dapat dipercaya).
Sebab keahlian yang hebat, kemampuan
leadership yang mumpuni, jika tidak
ditopang dengan sikap amanah, maka
jabatan cenderung akan disalahgunakan.
Adalah benar kiranya jika dalam teori
filsafat politik dikatakan bahwa "power
tends to corrupt" (kekuasaan itu cenderung
merusak atau menyimpang). Namun
pernyataan tersebut menurut hemat penulis,
masih periu ditambah saw kalimat lagi,
"Jika pemegang kekuasaan itu tidak
memiliki sifat amanah", sehingga berbunyi :
Kekuasaan itu cenderung korup
(menyimpang) jika pemegang kekuasaan
94
tidak mempunyai sifat amanah.?
Dalam menjalankan kepemimpinan,
seorang pemimpin tidak bisa begitu saja
dipertaruhkan dengan dalih sikap amanah,
tanpa ada yang mengawasi dan memonitor
bagaimana is mengemban jabatannya.
Sebab sebenarnya memegang jabatan itu
merupakan suatu kontrak sosial. Karena is
merupakan kontrak sosial dan menyangkut
nasib orang banyak, maka is tidak dapat
dipertaruhkan begitu saja, dengan itikad
baik seseorang yang mengemban jabatan
tersebut, melainkan harus ada sistem yang
mengontrol secara efektif agar jabatan atau
kekuasaan yang diembannya dapat berjalan
lurus sesuai harapan yang dicita-citakan.
Berkaitan dengan keinginan untuk
95
memegang dan memperebutkan jabatan,
atau berkuasa Rasulullah SAW pernah
memberikan warning (peringatan) melalui
hadis yang diriwayatkan oleh Imam al
Bukhari :
96
Artinya : Wahai Abdurrahman Ibnu
Samurah!. Janganlah kamu meminta suotu
jabatan (al-lmarah). Sebab jika engkau
diberi jabatan dengan memintanya (secara
ambisius), komu akan diserahi jabatan
tersebut Akan tetapi jika kamu diserahi
jabatan tanpa memintanya, maka' justru
kamu akan dibantu (dalam mengemban
tugas tersebut ) (HR. al Bukhari )
Hadis tersebut barang kali tidak harus
dipahami secara rigid (kaku), dalam arti
bahwa kita dilarang untuk berkeinginan
menduduki suatu jabatan tertentu. Akan
tetapi kita bisa mengambil pecan moral
yang ada di balik hadis tersebut, bahwa kita
97
secara moral tidak diperkenankan untuk
terlalu ambisius (Jawa; kemaruk)
menduduki jabatan tertentu. Lebih-lebih
jika kita tidak mempunyai kapabilitas
untuk mengemban suatu jabatan tertentu.
Mengapa kita tidak boleh ambisius
(kemaruk) menduduki suatu jabatan
tertentu? Sebab ketika seseorang terjebak
dalam "kerangkeng" ambisi jabatan
tertentu, maka ia akan cenderung
melakukan berbagai macam cara, asalkan
tujuan tercapai. Sikap semacam ini, separti
model orang komunis yang menghalalkan
segala cara, asal tujuan tercapai. Dalam hal
ini seorang filosof Itali, Thomas Machiavelly
pernah mengatakan "al Ghayatu tuhariru
al-washilah". Artinya: tujuan itu dapat
98
menghalalkan segala macam cara. Menurut
hemat penulis, sikap semacam ini jelas
bersebrangan dengan nilai-nilai moral dan
ajaran agama, karena akan menghalalkan
segala macam cara, yang penting tujuan
tercapai,. Dalam pandangan moral maupun
agama, tujuan yang baik harus ditempuh
dengan cara yang baik pula.
Disamping itu, suatu jabatan yang
diperoleh dengan caracara yang culas, licik,
melalui praktek-praktek yang tidak fair,
seperti misalnya dengan money politic, suap,
sogok, memanfaatkan isu-isu tertentu untuk
menggusur dan menggeser orang lain dan
sebagainya, jelas bertentangan dengan nilai
ajaran agama Islam. Karena tindakan
semacam ini mempunyai implikasi yang
99
sangat jelas. Pertama, jika tidak ada sistem
yang efektif mengawasi praktik semacam
ini, maka tindakan itu akan menggusur atau
menggeser orang lain yang sebenarnya lebih
berkualitas dan mumpuni untuk memegang
jabatan tertentu, namun karena ia tidak
mau nyogok dan tidak mau kolusi, maka ia
akan terdepak. Kedua, seseorang yang
memperoleh jabatan dengan cara yang tidak
fair, seperti melakukan praktik suap
(nyogok), nepotisme, dan kolusi, maka
sesungguhnya sulit dibanyangkan dalam
benak kita bahwa orang itu akan benar-
benar mmemperjuangkan nasib mereka
yang dipimpin. Paling tidak ia akan berpikir
lebih dahulu,•berapa rupiah uang yang
pernah dikeluarkannya, lalu bagaimana
100
caranya agar dirinya dapat mengembalikan
modalnya dahulu. Tidak mengherankan
setelah ia memperoleh jabatan, ia justru
memakan uang rakyat bukan
memperjuangkan nasib rakyat.
Dugaan atau praktik semacam ini juga
masih sering terdengar karena masih
dilakukan sebagian orang, untuk tidak
menyebut semuanya, baik hal itu dilakukan
terselubung atau terangterangan Oleh sebab
itu, kalau kita ingin benar-benar
menegakkan prinsip kepemimpinan Islami
yang demokratis, maka harus ada
kesadaran (conciousness) untuk
meninggalkan praktek-praktek semacam
itu. Hal itu sulit dihilangkan, jika tidak ada
kemauan yang keras untuk
101
memberantasnya, dengan adanya suatu
undang-undang atau sistem yang
mengontrol secara efektif dan memberikan
sangsi yang tegas bagi para pelaku yang
benar-benar terbukti melakukannya.
102
BAB III
PRINSIP - PRINSIP KEPEMIMPINAN
ISLAM
A. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah saw
prinsip dasar dalam kepemimpinan
(pemerintahan Islam). Hal init dapat dilihat
104
dengan cara menyimak sejarah Islam itu
sediri. Sebab perbedaan akidah yang
fundamental dapat menjadi pemku dan
pemacu kekacauan suatu umat.11 Oleh sebab
itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan
akidah di atas dasar yang dapat diterima
oleh berb agai umat, yakni tazuhid. Hal ini
dapat dilihat antara lain dalam surat an-
Nisa’ 48, Ali Imron : 64, al – Ikhlas : 4-11.
11
Lihat Muhammad Husaen Heikal, al-Hukumatul Islammiyah, (Darul Ma'arif Kairo, tth ), him. 35-36
105
dikeluarkan, termasuk “pendapat”.
Sehingga musyawarah dapat berarti
mengeluarkan atau mengajukan suatu
pendapat. Musyawarah (syura) pada
dasarnya hanya digunakan pada hal-hal
yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.12 Dengan kata lain, keputusan
musyawarah tidak dapat digunakan untuk
mengabsahkann perbuatan yang akan
menindas pihak lain dan tidak sejalan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam
bahas al-Qur’an, jangan sampai syura itu
bertujuan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal yang jelas-jelas
dinash dalam al-Qur’an atau Sunnah.
12
Ibid, hlm. 469
106
Dalam menetapkan keputusan yang
berkaitan dengan kehdupan berorganisasi
dan bermasyarakat, manusia paling yidak
mempunyai tiga cara13, yaitu : 1)keputusan
yang ditetapkan oleh penguasa, 2)
keputusan yang ditetapkan oleh pandangan
minoritas, 3) keputusan yang ditetapkan
berdasarkan pandangan mayoritas, ini
biasanya me njadi ciri umum demokrasi,
meskipun harus dicacat bahwa “demokrasi
tidak identik dengan syura”.
Prinsip musyawarah dalam Islam jelas
tidak sesuai dnegan keputusan yang
pertama, sebab hal itu akan membuat syura
menjadi “impoten” dan lumpuh.
Demikianlah pada bentuk kedua, sebab hal
13
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'I otos Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung :Mizan, 1999), hlm. 482
107
itu akan menyisakan pertanyaan, apakah
keistimewaannya pendapat minoritas
sehingga mengalahkan pendapat
mayoritas?. Memang ada sebagian pakar
yang menolak otoritas mayoritas
berdasarkan firman Allah.
14
Ibid
109
Dalam al-Qur’an, minimal ada tiga ayat
yang berbicara tentang musyawarah (asy-
syura).
Pertama, musyawarah dalam konteks
pengambilan keputusan seperti menyapih
anak. Hal ini sebagaimana terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 233, yang artinya
“Apabila (suami-Istri) ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar
kerelaan dan musywarah antar mereka, maka
tidak ada dosa atas keduanya.”
Kedua, musyawarah dalam konteks
membicarakan persoalan-persoalan tertentu
dengan anggota masyarakat, termasuk di
dalamya dalam hal berorganisasi. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW
bersama sahabat atau anggota masyarakat.
110
Dalam hal ini al-Qur’an surat Ali Imron 158
menyatakan yang artinya :
“..... Bermusyawarahlah kamu (Muhammad)
dengan mereka dalam urusan tertentu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, bertawakalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya (Q.S Ali lmran
158).
Ayat tersebut memberikan petunjuk bagi
kaum muslimin, khususnya pada setiap
pemimpin untuk bermusyawarah dengan
anggota-anggotanya. Sebab dengan
musyawarah diharapkan akan memperoleh
pandangan yang lebih membawa kebaikan
bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Nabi SAW :"....ma nadima man
111
isytasyara "Artinya :"... tidak akan merugi
orang-orang yang mau bermusyawarah. Al
Qur"an dalam surat asy-Syura ayat 38 juga
menyatakan sebagai berikut :
“... dan urusan mereka diputuskan dengan
cora bermusyawarah antora rr.ereka ..." (Q.S
asy-Syu'ra 38 ).
Meskiplin terdapat beberapa al-Qur'an
dan as-Sunnah yang menerangkan tentang
musyawarah, hal ini tidak berarti al-
Qur'an telah menggambarkan sistem
pemerintahan secara tegas dan rinci.15
Nampaknya hal ini memang disengaja oleh
Tuhan untuk memberikan kebebasan
sekaligus medan kreatifitas berpikir
manusia untuk berijtihad menemukan
15
Muhammad Husein Haikal, al-Hukumatul Islamiyyah. hlm. 17
112
sistem pemerintahan yang sesuai dengan
kodisi sosio-kulturalnya. Sangat mungkin
hal ini merupakan salah satu sikap
"demokratis" Tuhan terhadap hamba-
hamba-Nya.
Lalu bagaimana musyawarah itu
dilakukan? Nabi SAW. biasa melakukan
dengan cara beragam. Kadang beliau
memilih orang tertentu yang dianggap
cakap untuk bidang yang
dimusyawarahkan. Dalam scat yang lain,
kadang beliau melibatkan tokoh-tokoh atau
pemuka masyarakat, bahkan menanyakan
kepada semua yang terlibat di dalam
masyarakat yang dihadapi.16 Dengan kata
lain kadang Nabi menggunakan sistem
16
Lihat Ibnu Taimiyah, as-Siayasah asy-syarlyyah Edisi Dar al-Shaib, hlm. 135 Lihat Pula Quraish Shihab,
Wawasan al-Qur'an ....hlm. 481
113
musyawarah secara langsung dan tidak
langsung (baca: perwakilan)
Sistem musyawarah yang dilakukan Nabi
antara lain dimaksudkan untuk
1. Memberikan contoh nilai konsultasi
(syura) agar ditiru oleh umat Islam
lainnya,17
2. Untuk memperkuat peringatan kepada
pemimpin Islam tentang pentingnya
konsultasi. Dengan tanpa meninggalkan
prinsip yang dilakukan Nabi, kita
sesungguhnya dapat mengembangkan
syura secara kontekstual misalnya
melalui MPR, parlemen dan sebagainya.
Hal ini seperti yang dilakukan Indonesia
dengan lembaga permusyawaratan
17
Lihat Ibnu Taimiyah, Mojmu" Fatawa osy-Syaik al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid 28 (Riyadh
Matabi' ar-Riyadh , 1963 ), hlm. 386
114
rakyat (MPR) atau Inggris dan Malaysia
dengan parlemennya.
Lebih lanjut, perlu ditegaskan di sini
bahwa kosep "syura" dalam Islam
sesungguhnya tidak identik dengan
demokrasi. Sebab dalam demokrasi ada
nilai dasar, yaitu kebebasan (al-hurriyyah).
Kebebasan itu artinya kebebasan individu
untuk mengeluarkan pendapat (hurriyatu
at-Ta'bir an ar-Ra'yi) di hadapan kekuasaan
negara tanpa ada tekanan.18 Hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan
keseimbangan (balancing power) antara
hak-hak individu warga negara dan hak-
hak kolektif masyarakat.
18
Abdurrahman Wahid, "Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi" ...,hlm. 90
115
Dengan demikian, "syura" sesungguhnya
hanya merupakan salah satu nilai dari
demokrasi. Cara untuk memelihara dan
memperjuangkan "kebebasan" dan
"keadilan" yang notabenenya sebagai
landasan demokrasi itu adalah melalui
"syura" (musyawarah).19 Jadi,
permusyawaratan atau syura bukan
demokrasinya sendiri, melainkan untuk apa
musyawarah itu dilakukan. Pertama, untuk
menjamin dan mengembangkan kebebasan
warga negara. Kedua, untuk menegakkan
keadilan.
Kemudian apakah syura pasti
demokratis? Jawabnya belum tentu. Untuk
mengukur syura itu demokratis atau tidak
19
Bandingkan dengan Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah fi ad-Dulah wal Mujtama",
(Damaskus : al Ahali Ii Nasyr wa at-Tauzi, 1994), hlm 14 I - 148
116
adalah dengan melihat apakah syura itu
dapat melaksanakan nilai-nilai keadilan
dengan baik atau tidak, dan apakah ada
jaminan kebebasan dalam suatu negeri atau
tidak. Contoh kasus adalah di Libia. Di sana
ada yang namanya lembaga al -
famahiriyyah artinya (ke-massa¬an rakyat).
Namun hal itu, teryata "tidak" atau belum
dapat memperjuangkan nilai-nilai
kebebasan dan keadilan dengan baik.20
Berarti "syura" di Libia belum dikatakan
demokratis. Begitu pula syura di Indonesia,
yaitu MPR, terutama pada rezim Orde
Baru, agaknya belum dapat dikatakan
demokrasi sebab kebebasan belum
sepenuhnya diberikan bahkan "disumbat",
20
Habdurrahman Wahid, "Sosialisasi Nilai- nilai Demokrasi "..., hlm.90
117
oleh pemerintah yang otoriter dan
hegermonik waktu itu. Di era reformasi
narnpaknya MPR atau DPR lebih
berleluasa untuk mengemukakan
pendapatnya tanpa dihantui rasa takut.
124
atau kafir terserah.27 Sebab kebebasan
merupakan hak setiap manusia yang
diberikan Allah SWT, tidak ada pencabutan
hak atas kebebasan kecuali di bawah dan
setelah melalui proses hukum.
Namun demikian, kebebasan yang
dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang
bertanggung jawab. Kebebasan di sini juga
bukan berarti bebas tanpa batas, semaunya
sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi
oleh kebebasan orang lain. Sebagai contoh
adalah bahwa seseorang tidak boleh dengan
dalih kebebasan, kemudian membunyikan
radio sekeras-kerasnya, namun pada saat
yang bersamaan lalu mengganggu
kebebasan orang lain untuk istirahat
27
Ha1 ini misalnya dapat dilihat dalam surat al-Kahfi ayat 19: "Dan kotakanlah bahwa kebenaran itu
berasal dari Tuhonmu, barang siapo yang ingin beriman silakan beriman don barang siapa ingin kufur silahkan
kufur.
125
dengan nyaman, lantaran bunyi radio
tersebut.
Dalam konteks kehidupan politik, setiap
individu dan bangsa mempunyai hak yang
tak terpisahkan dari kebebasan dalam
segala bentuknya secara fisik, budaya,
ekonomi, dan politik serta berjuang dengan
segala cara, asal konstitusional untuk
melawan pelanggaran atau pencabutan hak
tersebut.
126
BAB IV
DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
A. Pengertian Demokrasi
Pemerintah oleh rakyat seringkali
disebut oleh banyak orang sebagai
demokrasi. Akan tetapi, sebenarnya
demokrasi merupakan konsep yang
seringkali disalahpahami dan
disalahgunakan ketika rexi-rezim totaliter-
diktator berusaha memperoleh dukungan
rakyat dengan menempelkan lebel
demokrasi pada diri mereka sendiri. Kini
sistem demokrasi merupakan sistem yang
telah diterima oleh sebagian negara di
dunia, meskipun dalam pelaksanaannya
127
disertai interspretasi atau modifikasi
konsepnya sesuai dengan budaya masing-
masing negara tersebut.
Secara historis, demokrasi muncul
sebagai respon terhadap sistem monarchi
diktator Yunani pada abad ke 5 SM. Pada
waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk
sistemnya di mana semua rakyat (selain
wanita, anak dan budak) menjadi pembuat
undang-undang. Sedangkan demokrasi
modern yang muncul sejak abad 16 M telah
mengalami perkembangan. Ide demokrasi
yang merupakan respon teokrasi dan
monarchi absolut ini berasal dari Nicoli
Machiavelli (1469- 1527), kemudian
dikembangkan dengan gagasan tentang
kontrak sosial oleh Thomas Hobbis, gagasan
128
tentang konstitusi negara, liberalisme dan
pemisahan kekuasaan menjadi legislatif,
eksekutif dan federatifoleh John Locke
(1632 — 1679) yang kemudian
dikembangkan oleh Baron Montesquieu
dengan gagasanya tentang pemisahan
badan-badan legiflatif, eksekutif dan
yudikatif, serta gagasan tentang kontrak
sosial dan kedaulatan rakyat dan kontrak
sosial negara oleh J.J. Rousseau.28
Karena demokrasi menyangkut sebuah
konsep maka is pasti mengalami
perkembangan pengertiannya, dan
penerapan konsep itu biasanya disesuaikan
dengan konteks dan kondisi masing-masing
negara. Dengan demikian, konsep
28
Maskuri Abdillah, "Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam, Sebuah Perspektif Sejarah dan
Demokrasi Modern ,"dalam Jurnal Tashwirul al-Aftar Lakpesdam NV edisi 7 2000, hlm. 104-105
129
demokrasi bukanlah merupakan konsep
yang monolitik, melainkan pluralistik dan
selalu dinamis. Sebagai konsekwensinya,
maka mestinya untuk menerapkan konsep
demokrasi juga tidak harus dipaksakan
seperti dalam kaca mata Barat, melainkan
disesuaikan dengan kondisi masing-masing
negara satu bangsa.
Secara teoritis koseptual demokrasi
didefinisikan sebagai pemerintahan oleh
rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada
ditangan rakyat dan dijalankan langsung
oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang
mereka pilih di bawah sistem pemilihan
yang bebas.29 Dalam ucapan Abraham
Lincoln demokrasi adalah pemerintahan
29
Budi Prayitno (edit), Apakah Demokrasi itu?, Judul aslinya , What is Democrasy, diterbitkan oleh Badan
Penerangan Amerika Serikat (USIA ;United State Information Agency ) pada bulan oktober tahun 1991, hlm. 4
130
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun demikian, demokrasi sesungguhnya
tidak hanya seperangkat gagasan dan
prinsip tentang kebebasan, melainkan juga
mencakup seperangkat praktek dan
prosedur yang terbentuk melalui proses
sejarah yang panjang. Dengan kata lain
demokrasi adalah pelembagaan dari
kebebasan.30
Adapun definisi demokrasi yang cukup
baru dikemukakan oleh Philippe C.
Schimmitter dan Tern, Linn Karl yaitu: a
system a governmence in with rulers are held
acoontable for their action in publikc realm
by citizens, acting indirecly through the
30
Ibid hlm.5
131
competition and co-operation of their elected
represen-tatives.31
Istilah dan konsep demokrasi memang
sangat lentur. Istilah dasarnya sendiri
adalah demos (rakyat) sering mempunyai
pemahaman yang "murahan", romantis dan
kadang menjadi sangat abstrak, termasuk di
Indonesia. Di dunia Barat dalam sekian
banyak pemahaman istilah demokrasi dapat
merujuk ke bidang tertentu dengan
pemahaman seperti berikut: Pertama,
demokrasi dipahami sebagai lembaga atau
prosedur politik atau pemerintaahan. Di sini
peranan dan suara keputusan oleh rakyat
menjadi sangat penting, khususnya bagi
mereka yang diserahi tugas mengatur
31
Lihat Philippe Schmitter and Terry Lynn Karl, What Democrasy is ... and is not,dalam Journal of
Democracy Vol 2 no 3 Summer 1991, hlm.76
132
masyarakat secara demokratis. Ini dengan
konsekwensi bahwa rakyat melalui
pemungutan suara berhak menurunkan
atau mengganti penguasa yang dianggap
tidak becus lagi. Kedua, demokrasi
dipahami sebagai sebuah pembenaran atau
klaim dari sebuah rejim penguasa yang
secara nyata efektif mampu mengurus
kepentingan bagi rakyatnya. Ketiga,
demokrasi dapat juga berarti kesamaan
sosial (egalitarianisme). Dalam pemahaman
ini demokrasi adalah suatu hal yang datang
dari rakyat, artinya ada tuntutan bahwa
setiap orang disediakan kesempatan atau
peluang (misalnya pendidikan) yang sama
atau setiap orang diberi kesempatan yang
sama untuk melamar sesuatu jabatan.
133
B. Soko Guru Demokrasi
Lebih lanjut, untuk mendapatkan
gambaran tentang gagasan demokrasi
secara lebih komprehensif penulis perlu
mengemukakan sepuluh aspek tentang soko
guru demokrasi yang harus diperhatikan,32
yaitu :
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan
yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Ada jaminan hak-hak minoritas
5. Pemilihan yang bebas dan jujur
6. Persamaan di depan hukum
7. Proses hukum yang wajar
8. Pembatasan pemerintahan secara
konstitusional
9. Pluralisme, sosial, ekonomi dan politik
32
Ibid hlm.6
134
10. Nilai- nilai toleransi, pragmatisme, kerja
sama dan mufakat.
Setelah penulis mengelaborasi tentang
gagasan demokrasi, muncul beberapa
pertanyaan yang cukup inenggelitik dibenak
penulis. Pertama, jika demokrasi berarti
kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat,
siap yang dimaksud rakyat? Jawaban
teoritis bahwa yang dimaksud adalah
semuanya. Tapi jawaban empirik selalu saja
akan terbentur pada kenyataan bahwa
rakyat itu ada di lapis atas, yang kuat dan
dekat dengan pusat pengambilan keputusan,
ada yang di lapis menengah dan ada yang di
lapis bawah. Dan hal ini tentu menjadi
problem tersendiri dalam dataran
implementatif.
135
Kedua, bagaimana jika rakyat sendiri
tidak menyadari bahwa di tangannya itu
ada kedaulatan, seperti kebanyakan rakyat
di negara-negara Timur Feodal yang
sebagian besar juga umat Islam. Bagaimana
jika rakyat sendiri tidak lagi memandang
perlunya kedaulatan yang ada di tangannya,
karena apa yang menjadi kepentingan
sudah terpenuhi, seperti terjadi pada
sebagian kalangan menengah di Amerika,
bagaimana pula jika rakyat yang
bersangkutan semakin tidak percaya bahwa
kedaulatan yang ada di tangannya bisa
punya anti bagi perbaikan nasibnya, seperti
yang terjadi di Amerika untuk kalangan
kelas bawah yang jelata.
136
Untuk itu, jika demokrasi merupakan
kedaulatan di tangan rakyat, maka perlu
dibedakan antara demokrasi yang formal
prosedural, dan demokrasi pada level
material substansial. Yang pertama, bicara
soal bentuk dan termasuk didalamnya
aturan main tentang siapa yang berhak
mengambil keputusan. Sedang yang kedua
bicara soal isi dan soal subtansi, tentang
siapa yang harus diuntungkan dengan
keputusan itu. Selama ini demokrasi —
khususnya di Indonesia era Rezim Orde
Baru-sebagai dokrin kedaulatan rakyat
nampaknya masih berkutat pada tingkatan
yang pertama, yakni pada level formal
proseduralpun. Bahkan pergumulan pada
level formal prosedural banyak berhenti di
137
tengah jalan. Sedangkan demokrasi pada
level kedua, material substansial, masih
diabaikan. Maka isunya adalah bahwa yang
penting suatu keputusan didukung oleh
suara rakyat. Apakah keputusan yang dicap
sebagai didukung oleh rakyat benar-benar
menguntungkan rakyat adalah soal lain
35
Bandingkan dengan Bahtiar Efenddi. "Islam Demokrasi dan HAM; Problema Doktrin dan Implementasi
"dalam buku Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, Ahmad Suedy (ed,) (Yogyakarta: Lkis 200 ) hlm. 29, Lihat
pula Abdrrahman Wahid, "Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi", dalam Buku Agama Demokrasi dan Transformasi
Sosial, Mansyhur Amin dan Muhammad Najib (edit,) (Yogyakarta: LPSM 1986), hlm.89-90
143
tentang keadilan, kesetaraan, musyawarah
dan kebebasan.
154
Artinya: Dan sesungguhnyo engkau
Muhammad benar-benar berada Main
akhlak yang sangat agung. (Q.S. aI-Qalam:
4)
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan
Rasulullah berlangsung bukan tanpa
hambatan. Beliau menghadapi banyak
hambatan, tidak hanya bersifat mental,
tetapi juga fisik. Beliau diejek, dicemooh,
dihina dan disakiti bahkan nyaris dibunuh.
Namun semua itu beliau hadapi dengan
penuh kesabaran, keteguhan dan ketegaran.
Keteladanan Rasulullah antara lain
tercermin dalam sifat¬sifat beliau, shiddiq,
amanah tabligh, fathanah. Inilah
karakteristik kepemimpinan Rasulullah.
155
1. Shiddiq, artinya jujur, tutus. Kejujuran
dan ketulusan adalah kunci utama dalam
rangka membangun truts (kepercayaan).
Dapat dibayangkan jika pemimpin
suatu organisasi, masyarakat atau
negara, tidak memiliki sikap kejujuran
tentu anggota-anggota yang dipimpinnya
akan tidak punya kepercayaan. Jika
demikian maka yang terjadi adalah krisis
kepercayaan terhadap pemimpin.
Hampir bisa dipastikan jika
pemimpinnya sudah tidak dipercaya lagi,
maka sebuah kepemimpinan tinggal
menunggu keruntuhan, cita-cita dan
tujuan dari kepemimpinannya juga akan
sulit untuk menjadi kenyataan.
156
Dengan sifat shiddiq ini Rasulullah
selalu berpihak kepada kebenaran, balk
yang datang dari Allah melalui wahyu
maupun kebenaran melalui ijtihad dan
musyawarah dengan para sahabatnya.
Sebagai pemimpin agama Rasulullah
selalu mendapat bimbingan dari Allah
melalui wahyu-Nya. Sedangkan
berkenaan dengan masalah-masalah
sosial kemasyarakatan Rasulullah
cenderung menggunakan ijtihadnya
untuk memutuskan perkara-perkara
yang dihadapi umat. Sudah barang tentu
beliau juga mengajak musyawarah
dengan para sahabat senior pada waktu
itu yang didasarkan pada prinsip-prinsip
dasar al-Qur'an.
157
Prinsip kejujuran dan ketulusan itulah
yang menjadi landasan bertindak dalam
menjalankan amanah kepemimpinannya.
Kejujuran dan ketulusan yang
dicontohkan beliau benar-benar dapat
menjadi panutan bagi para sahabat
pengikutnya, dan juga diakui oleh
musuh-musuhnya, betapapun sebagian
mereka tetap enggan masuk Islam.
2. Amanah, artinya dapat dipercaya.
Rasulullah selalu memberikan teladan
akan pentingnya sifat amanah. Amanah
dalam pandangan Islam ada dua yaitu
bersifat teosentris, yang terkait dengan
tanggung jawab kepada Allah, dan yang
bersifat ontroposentris, yang terkait
dengan kontak sosial kemanusiaan.
158
Dengan sifat amanah Rasulullah
melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan sebaik- baiknya.
3. Tabligh, artinya menyampaikan apa yang
seharusnya disampaikan. Dalam ini
adalah risalah Allah. Betapapun beratnya
resiko yang harus dipikul beliau, risalah
tersebut tetap disampaikan dengan
sebaik-baiknya. Al-Qur'an sediri maupun
sejarah mencatat betapa bangsa arab
pada waktu itu sedang berada dalam
krisis moral, krisis tauhid, krisis sosial.
Sistem ekonominya cenderung lebih
membela yang kaya dan menekan yang
lemah. Praktik-praktik ekploitasi seperti
sistem riba, begitu kuat mengakar dalam
sistem ekonomi masyarakat Arab
159
Jahiliyyah. Sungguh tak terbayangkan
betapa berat tantangan yang harus
dihadapi rasulullah untuk mereformasi
masyarakat Jahiliyyah yang sudah sangat
akut pada waktu itu. Atas izin Allah
berbekal sifat amanah Rasulullah
akhirnya berhasil mereformasi
masyarakat Arab dari yang tadinya
menyembah patung menjadi bertauhid
kepada Allah.
Begitu pula sistem ekonomi yang
diterapkan di era, kepemimpinan
Rasulullah adalah sistem ekonomi yang
berpihak kepada rakyat. Bagi yang kaya
diperintahkan mengeluarkan zakatnya,
sehingga kekayaan tidak hanya berkisar
pada mereka yang kaya saja.
160
4. Fathanah, artinya cerdas. Kecerdasan
merupakan salah satu syarat pemimpin
yang ideal. Kecerdasan Rasulullah yang
dibingkai dengan kebijakan ternyata
mampu menarik simpati masyarakat
Arab. Dengan sifat fathanahnya,
Rasulluah mampu memanage konflik dan
problem-problem yang dihadapi umat
pada waktu itu. Sejarah mencatat betapa
Rasulullah memang orang yang sangat
cerdas, meskipun dikatakan ummi (tidak
baca tulis). Bahkan Ignaz. Goldziher
seorang orentalis dari Hongaria pernah
mengatakan bahwa Nabi Muhammad
memang cerdas, beliau mampu
memperkaya konsepsi-konsepsi dan
161
mampu menstranformasikan nilai-nilai
terdahulu ke dalam sistem ajaran.37
Sejarah mencatat betapa suku Aus dan
Khazzaj yang tadinya suka berperang
dengan bimbingan Rasulullah, mereka
akhirnya menjadi kaum yang dapat hidup
rukun, sating mengasihi dan tolong
menolong. Begitu pula dulu pernah terjadi
ketegangan tentang siapa yang berhak
meletakkan Hajar Aswad yang sempat
berpindah dari posisisnya, maka Rasulullah
dengan kecerdasan dan kebijaksanaanya,
mengajak masing-masing tokoh kabilah
untuk mengangkat bersama-sama batu
tersebut menggunakan serban beliau.
37
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law (New York: Princeton University Press 198
I) hlm.3
162
Sehingga tidak ada pihak yang merasa
diremehkan keberadaannya.
166
Di samping itu, Nabi juga menerapkan
gaya kepemimpinan inklusif (terbuka).
lndikasinya adalah beliau mau dikritik dan
diberi saran oleh para sahabatanya. Hal ini
tampak ketika beliau memimpin perang
Badar. Beliau pada waktu itu hendak
menempatkan pasukannya pada posisi
tertentu dekat suatu mata air. Waktu itu ada
salah seorang sahabat Anshor bernama
Hubab bin Mundhir yang bertanya: "Ya
Rasul apakah keputusan tersebut
berdasarkan wahyu, sehingga tidak boleh
berubah atau hanya pendapat engkau?".
Beliau menjawab: ini adalah ijtihad saya.
Sahabat tersebut lalu mengatakan, kalau
demikian halnya, kata Hubab wahai utusan
Allah ini kurang tepat. Sahabat tersebut lalu
167
mengusulkan agar beliau menempatkan
pasukannya lebih maju ke muka, yakni ke
mata air yang lebih dekat. Kita bawa tempat
air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita
tutup dengan pasir, agar musuh kita tidak
dapat memperoleh air. Akhirnya beliaupun
mengikuti saran sahabat tersebut.39
175
Piagam Madinah berisi 47 butir antara
lain I) Prinsip kebebasan beragama, 2)
Prinsip persamaan, 3) Kebersamaan, 4)
Prinsip keadilan, 5) Prinsip perdamaian
yang berkeadilan, 6) Prinsip musyawarah
dII.42
Ketiga langkah strategi yang dilakukan
Rasulullah oleh DR. Muhammad Said
Ramdhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus
sirah; Dirasah Manhajiyya Lisirati al-
Musthafa dipandang sebagai prinsip-prinsip
dasar Rasulullah dalam membangun
masyarakat baru di Madinah (Al-Asus
libina al-Multamo)
42
Ibid, him.205 Lihat Nouruzsaman ash-Shidiqi, Jeram-jeramPerodoban Muslim, hlm.85-86
176
D. Rahasia Kesuksesan Kepemimpinan
Rasulullah
Fase kepemimpinan Rasulullah di
Madinah selama di Madinah kurang lebih
berlangsung 10 tahun. Setelah itu
kepemimpinan dilanjutkan oleh para al-
Khulafa'ar-Rasyidun.Meski dalam wakes
yang relatif singkat Rasulullah dapat
dikatakan sukses dalam memimpin umat.
Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa
literatur sejarah.
Pertanyaannya adalah lalu apa rahasia
kesuksesan kepemimpinan Rasulullah?
Menurut Nouruzzaman as-Siddiqi rahasia
kesuksesan Rasulullah antara lain adalah :43
1. Akhlaq Nabi Saw yang sangat terpuji
tanpa cela.
43
Noruzsaman ash-Shidiqi, Jeram-jeram Peradapon Muslim, hlm. 103¬105
177
2. Karakter Rasulullah yang tahan uji,
tanggung jawab, ulet, sederhana dan
bersemangat baja.
3. Sistem dakwah Nabi yang menggunakan
pendekatan persuasit (himbauhan ) dan
tidak repersif.
4. Tujuan perjuangan Nabi yang jelas,
yakni terciptanyakeadilan, kebenaran,
dan hancurnya kedhaliman, kebatilan.
5. Mengedepankan prinsip egalitarianisme
(persamaan)
6. Menegakkan prinsip kebersamaan.
7. Memberikan kebebasan berkreasi dan
berpendapat serta pendelegasian
wewenang.
8. Kharismatik dan demokratis.
Demikian sekilas pembahasan tentang
kepemimpinan yang pernah dipraktekkan
Rasulullah SAW.
178
REFRENSI
179
Bandingkan dengan Muhammad Syahrur, Dirasah
Islamiyyah Mu'ashirah fi ad-Dulah wal Mujtama",
(Damaskus : al Ahali Ii Nasyr wa at-Tauzi, 1994), hlm
14 I – 148
Ibid hlm.6
182
Muhammad Husein Heikal, al-Hukumah al-Islamiyyah,....
HIm.88
183