Anda di halaman 1dari 33

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

1. Indeks Massa Tubuh

a. Pengertian Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)

merupakan metode pengukuran sederhana untuk memantau status gizi

seseorang berada pada kisaran berat badan yang sehat sesuai dengan

tinggi badan (Anggelia, 2017). IMT merupakan metode yang murah,

mudah dan sederhana untuk menilai status gizi pada seorang individu,

namun tidak dapat mengukur lemak tubuh secara langsung (Depkes,

2003).

Indeks Massa Tubuh ditentukan berdasarkan pengukuran

rasio berat badan (kg) dibandingkan dengan tinggi badan (m) kuadrat,

(Anggelia, 2017). Interpretasi IMT pada anak berbeda dengan IMT

pada orang dewasa. IMT pada dewasa dan anak menggunakan rumus

yang sama, tetapi khusus perhitungan IMT pada anak harus disesuaikan

dengan umur dan jenis kelamin anak karena anak laki-laki dan

perempuan memiliki kadar lemak tubuh yang berbeda (CDC, 2017.,

Pudjiaji et al., 2010) Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan

dalam keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan

hepatomegali (Supariasa, 2001).

Obesitas yang ditandai dengan nilai IMT yang tinggi menjadi

salah satu faktor timbulnya penyakit-penyakit degeneratif seperti

7
8

Diabetes Mellitus (DM), Penyakit Jantung Koroner (PJK), maupun

keganasan (kanker). Studi Framingham menunjukkan bahwa obesitas

memberikan risiko 1,5 kali mendapatkan PJK dibandingkan dengan

yang tidak mengalami obesitas (Rustika dan Oemiati, 2014).

Monitoring nilai IMT pada anak dan remaja merujuk pada

klasifikasi dari WHO tahun 2007 yaitu untuk usia 10-19 tahun yang

dapat dihitung dengan rumus berikut (WHO, 2013) :

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)


𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑇𝑢𝑏𝑢ℎ (𝐼𝑀𝑇) =
[𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)]2

Terdapat perbedaan rentang nilai IMT pada setiap umur pada

remaja 10-19 tahun. IMT Menurut WHO (2007) diklasifikasikan

berdasarkan Tabel 2.1. dan 2.2. yang dibedakan untuk remaja

perempuan dan remaja laki-laki :

Tabel 2.1. Kriteria Indeks Massa Tubuh Remaja Laki-laki Usia 10-19

tahun (WHO, 2007)

TABEL IMT REMAJA LAKI-LAKI USIA 10-19 TAHUN


No Usia Sangat Kurus Normal Overweight Obesitas
kurus
1. 10 < 12,8 12,8 – 13,7 13,8 – 18,4 18,5 – 21,4 > 21,4
2. 11 < 13,1 13,1 – 14,1 14,2 – 19,1 19,2 – 22,4 > 22,4
3. 12 < 13,4 13,4 – 14,4 14,5 – 19,9 20,0 – 23,6 > 23,6
4. 13 < 13,8 13,8 – 14,9 15,0 – 20,8 20,9 – 24,8 > 24,8
5. 14 < 14,3 14,3 – 15,5 15,6 – 21,8 21,9 – 25,9 > 25,9
6. 15 < 14,7 14,7 – 16,0 16,1 – 22,7 22,8 – 27,0 > 27,0
7. 16 < 15,1 15,1 – 16,5 16,6 – 23,5 23,6 – 27,9 > 27,9
8. 17 < 15,4 15,4 – 16,9 17,0 – 24,3 24,4 – 28,6 > 28,6
9. 18 < 15,7 15,7 – 17,3 17,4 – 24,9 25,0 – 29,2 > 29,2
10. 19 < 15,9 15,9 – 17,5 17,6 – 25,4 25,5 – 29,7 > 29,7
9

Tabel 2.2. Kriteria Indeks Massa Tubuh Remaja Perempuan Usia 10-

19 tahun (WHO, 2007)

TABEL IMT REMAJA PEREMPUAN USIA 10-19 TAHUN


No Usia Sangat Kurus Normal Overweight Obesitas
kurus
1. 10 < 12,4 12,4 – 13,4 13,4 – 18,9 19,0 – 22,6 > 22,6
2. 11 < 12,7 12,7 – 13,9 14,0 – 19,8 19,9 – 23,7 > 23,7
3. 12 < 13,2 13,2 – 14,3 14,4 – 20,7 20,8 – 25,0 > 25,0
4. 13 < 13,6 13,6 – 14,9 15,0 – 21,7 21,8 – 26,2 > 26,2
5. 14 < 14,0 14,0 – 15,3 15,4 – 22,6 22,7 – 27,3 > 27,3
6. 15 < 14,4 14,4 – 15,8 15,9 – 23,4 23,5 - 28,2 > 28,2
7. 16 < 14,6 14,6 – 16,1 16,2 – 24,0 24,1 - 28,9 > 28,9
8. 17 < 14,7 14,7 – 16,3 16,4 – 24,7 24,5 – 29,3 > 29,3
9. 18 < 14,7 14,7 – 16,3 16,4 – 24,7 24,8 – 29,5 > 29,5
10. 19 < 14,7 14,7 – 16,4 16,5 – 24,9 25,0 – 29,7 > 29,7

b. Relevansi Klinis Indeks Massa Tubuh (IMT)

Pengukuran komposisi tubuh dapat menggunakan beberapa cara

seperti perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT), waist-to-hip ratio,

waist height ratio dan waist circumference (Hanifah, 2013). IMT

menjadi salah satu pengukuran yang paling umum dan paling mudah

untuk dilakukan. Pengukuran dan penilaian menggunakan IMT

berhubungan dengan kekurangan dan kelebihan status gizi. Status gizi

yang kurang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi dan

status gizi yang berlebih dengan akumulasi lemak tubuh berlebihan

meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif (Depkes, 2013;

Ganong, 2008).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indikator yang cukup

efektif untuk menilai adanya faktor risiko gangguan kesehatan terutama

terkait dengan gangguan kardiometabolik, seperti obesitas. Obesitas

sering dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular di antaranya adalah


10

hipertensi, penyakit jantung koroner, dan stroke (Ashrafi, 2007 ; WHO,

2013). Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa IMT adalah alat

pengukuran yang berguna untuk mengukur obesitas, dan telah

direkomendasikan untuk evaluasi klinis pada obesitas anak dengan

memperhatikan umur dan jenis kelamin anak karena anak lelaki dan

perempuan memiliki kadar lemak tubuh yang berbeda. (Pudjiaji et al.,

2010)

IMT dapat digunakan pada penelitian dengan populasi yang

berskala besar karena dalam pengukurannya hanya membutuhkan dua

komponen yaitu berat badan dan tinggi badan. Perhitungan IMT dapat

dilakukan oleh banyak orang karena karena tidak memerlukan seorang

ahli untuk mengukurnya (Drake et al., 2015). Metode pengukuran IMT

juga tepat, akurat, dan mudah diinterpretasikan karena sudah

dibakukan, terdapat ambang batas yang jelas sesuai nilai standar yang

telah dinyatakan pada tabel IMT (Suparisa, 2012 ; Centre for Obesity

Research and Education, 2007). Dalam pengukuruannyapun relatif

cepat, tidak menimbulkan rasa sakit pada responden, hasil penilaian

objektif dan dapat disimpulkan secara gradable (Gibson, 2005)

Selain mempunyai kelebihan, pengukuran IMT juga mempunyai

kelemahan. Pengukuran IMT kurang sensitif jika terdapat faktor yang

mempengaruhi di luar gizi seseorang karena dapat menurunkan

spesifikasi dan sensitivitas pengukuran, dan analisis dan asumsi yang

keliru, dan bisa juga karena kesalahan alat ukur dan petugas yang

kurang terlatih dalam pengukuran IMT (Supariasa, 2012). Perhitungan


11

IMT tidak cocok untuk diterapkan pada atlit olahraga karena seorang

atlit akan cendrung akan memiliki nilai IMT yang lebih dari nilai

normal karena adanya peningkatan otot pada tubuhnya (Ramírez dan

González, 2015)

Penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri (2005)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia

yang lebih tua dengan IMT kategori obesitas. Subjek penelitian pada

kelompok usia 40-49 dan 50-59 tahun memiliki risiko lebih tinggi

mengalami obesitas dibandingkan kelompok usia kurang dari 40 tahun.

Keadaan ini dicurigai oleh karena lambatnya proses metabolisme,

berkurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi makanan yang

lebih sering.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi IMT

Nilai IMT tiap individu berbeda satu sama lain karena

dipangaruhi oleh multifaktorial antara lain:

1. Berat badan dan tinggi badan

Pengukuran IMT didapatkan dari hasil perhitungan berat badan

dan tinggi badan yang hasilnya berbanding terbalik satu sama lain

(CDC, 2017). Berat badan dan tinggi badan merupakan komponen

pengukuran antropometri yang memberikan gambaran otot, lemak,

protein, pertumbuhan tulang, dan mineral yang ada pada tubuh.

Perubahan berat badan dan tinggi badan merupakan hasil dari

peningkatan peningkatan ataupun pengurangan komponen yang ada


12

dalam tubuh, yang dipengaruhi oleh multifaktorial. (Supariasa, 2012;

Purnamasari dan Wati, 2012).

2. Jenis kelamin

Peningkatan berat badan terutama terjadi karena perubahan

komposisi tubuh. Pada remaja laki-laki terjadi akibat meningkatnya

massa otot, sedangkan pada anak perempuan terjadi karena

meningkatnya massa lemak. Berdasarkan penelitian dengan metode

tanner didapatkan perbandingan yang cukup signifikan kadar lemak

yang terdapat pada masa pubertas laki-laki dan wanita (Batubara,

2010).

Terdapat perbedaan kadar hormon estrogen pada laki-laki dan

perempuan. Perubahan berat badan pada pada wanita dipengaruhi

oleh kadar lemak yang ada dalam tubuh sebagai prekursor

pembentukan hormon estrogen yang lebih tinggi daripada laki-laki

(Batubara, 2010). Hormon estrogen berperan dalam siklus

menstruasi dan dapat memicu peningkatan hormon pertumbuhan

melalui beta-reseptor estrogen yang menyebabkan lonjakan

pertumbuhan yang lebih awal dan lebih cepat daripada laki-laki

(Shim, 2015). Menurunnya kadar estrogen ketika masa menopous

menyebabkan perubahan komposisi tubuh yang signifikan karena

akan meningkatkan massa lemak dalam tubuh (Widyanti, 2017).

Pertambahan tinggi badan rata- rata terjadi dua tahun lebih

awal pada anak perempuan dibanding laki-laki. Puncak pertumbuhan

tinggi badan (peak height velocity) pada anak perempuan terjadi


13

sekitar usia 12 tahun, sedangkan pada anak laki-laki pada usia 14

tahun. Pada anak perempuan, akan berakhir pada usia sekitar 16

tahun sedangkan pada anak laki-laki pada usia sekitar 18 tahun.

Setelah usia tersebut, pada umumnya pertambahan tinggi badan

hampir selesai. Pada akhir pubertas lempeng epifisis akan menutup

dan pertumbuhan tinggi badan akan berhenti (Batubara, 2010).

3. Aktivitas Fisik

Anak yang memiliki tingkat aktivitis fisik yang rendah

cendrung akan meningkatkan kadar lemak dan menurunkan

kesehatan tubuh (Katzmarzyk et al., 2015) . Aktivitas fisik yang

tidak adekuat menyebabkan semakin banyak lemak tubuh yang

ditimbun pada jaringan yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik

anak (Anam, 2010). Menurut data penelitian Susenas dalam

Notoatmodjo (2010) dalam Angelia (2017) menyatakan bahwa

hanya 9,0% saja penduduk Indonesia di kalangan usia 15 tahun ke

atas yang termasuk dalam kategori cukup beraktivitas, sebagian

besar penduduk juga melakukan aktivitas fisik, tetapi kebanyakan

belum memenuhi persyaratan sebagai aktivitas fisik yang cukup,

presentasi penduduk kurang beraktivitas fisik mencapai 84,9% dan

bahkan 9,1% nya termasuk sama sekali tidak melakukan aktivitas

fisik (sedentary).

4. Usia

Pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak sampai

dewasa diikuti oleh perkembangan fungsi dan komposisi tubuhnya


14

terutama pada fase remaja. Pada fase remaja terjadi masa pubertas

dimana pada masa ini terjadi perubahan hormonal, fisik, psikologis

dan sosial. Secara biologis terdapat lima perubahan khusus yang

terjadi pada pubertas, yaitu, pertambahan tinggi badan yang cepat

(pacu tumbuh), perkembangan seks sekunder, perkembangan organ-

organ reproduksi, perubahan komposisi tubuh serta perubahan sistem

sirkulasi dan sistem respirasi yang berhubungan dengan kekuatan

dan stamina tubuh (Steinberg, 2009).

Adanya peningkatan sekresi hormon GNRH menyebabkan

rangsangan pengeluaran hormon steroid pada masa pubertas yang

akan mendorong perkembangan dan pertumbuhan. Peningkatan

hormon steroid dalam tubuh dapat memicu hormon pertumbuhan

(growth hormone/ GH) sehingga pada periode pubertas, GH dikeluarkan

dalam jumlah lebih besar sehingga dapat memicu pertumbuhan yang

signifikan. GH dan hormon steroid juga berpengaruh terhadap maturasi

tulang pada lempeng epifisis. Pada akhir pubertas lempeng epifisis

akan menutup dan pertumbuhan tinggi badan akan berhenti

(Batubara, 2010; Villamor & Jansen, 2016)).

Peningkatan berat badan terutama terjadi karena perubahan

komposisi tubuh. Pada remaja laki-laki terjadi akibat meningkatnya

massa otot, sedangkan pada anak perempuan terjadi karena

meningkatnya massa lemak. Berdasarkan penelitian dengan metode

tanner didapatkan perbandingan yang cukup signifikan kadar lemak

yang terdapat pada masa pubertas laki-laki dan perempuan

(Batubara, 2010).
15

Data dari studi populasi yang besar menunjukkan bahwa IMT

secara bertahap meningkat selama usia dewasa dan mencapai nilai

puncak pada 50-59 tahun, hal ini terjadi pada pria dan wanita.

Semakin bertambahnya usia tingkat aktivitas fisik akan semakin

berkurang sehingga akan menyebabkan peningkatan berat badan.

Setelah usia 60 tahun berat badan dan IMT cenderung menurun

(Villareal et al.,2005).

2. Heart Rate Recovery

a. Definisi Heart Rate Recovery

Heart Rate Recovery (HRR) merupakan indikator yang sudah

teruji untuk menilai fungsi kerja parasimpatis sebagai prediktor

mortalitas kardiovaskular (Dimopoulos, 2015). HRR menilai tingkat

kebugaran jasmani seseorang yang diukur ketika denyut jantung

menurun setelah beberapa menit melakukan aktivitas fisik didapatkan

dari selisih antara nilai puncak kenaikan denyut nadi dan nilai denyut

nadi saat istirahat, dinilai pada beberapa menit setelah melakukan

aktivitas fisik (Pakpahan et al., 2007; Daneen et al., 2012).

Nilai normal HRR setelah melakukan aktivitas fisik maksimal

didefinisikan sebagai pengurangan denyut jantung > 12 denyut di

antara denyut nadi puncak dan denyut nadi setelah satu menit pertama

istiharat (Arena & Cahalin, 2014). HRR kurang dari 12 denyut pada 1

menit merupakan indikasi penurunan fungsi kardiovaskular (American

College of Sport Medicine, 2009; McDonald, 2014).


16

Heart Rate Recovery (HRR) dimediasi oleh sistem saraf

otonom, pada fase awal dikendalikan oleh reaktivasi parasimpatis dan

selanjutnya oleh penurunan aktivitas simpatis (Hanifah et al., 2013).

HRR merupakan suatu penanda tidak langsung terhadap fungsi sistem

saraf otonom dan perubahan HRR dapat digunakan untuk mengukur

efek fisiologis dari latihan fisik (Grad dan Zdrenghea, 2014; Borresen

2007).

b. Fisiologi Jantung

Siklus jantung terdiri dari kontraksi dan pengosongan (sistol)

serta relaksasi dan pengisian (diastol) yang terjadi secara bergantian.

Siklus jantung dimulai dari awal suatu denyut jantung hingga ke awal

denyut jantung berikutnya. Terdapat dua aktivitas jantung yang

simultan, yaitu aktivitas konduksi jantung dan aktivitas mekanik

(Sherwood, 2012).

1) Aktivitas konduksi

Sistem konduksi jantung bersifat otoritmis yang terdiri atas

sel otoritmik dan sel kontraktil. Sel otoritmik bertugas untuk

mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang

bertanggungjawab untuk kontraksi sel, dan sel kontraktil bertugas

untuk melakukan pompa darah (Sherwood, 2012)..

Aktivitas listrik jantung diatur oleh sistem konduksi jantung

yang terdiri atas nodus sinoatrial (SA), nodus atrioventrikuler

(AV), Bundle His kanan dan kiri, serta serabut Purkinje (Irawati,

2015). Impuls istrik pertama kali diinisiasi di nodus SA menyebar


17

melalui kedua atrium dengan laju otoritmisitas tertinggi, yaitu 70-

80 potensial aksi per menit (Sherwood, 2012). Penyebarannya

dipermudah oleh dua jalur konduksi khusus, yaitu jalur

antaratrium dan jalur antarnodus. Potensial aksi ini selanjutnya

akan dihantarkan ke nodus atrioventrikuler untuk disebarkan ke

ventrikel. Dari nodus AV, potensial aksi dengan cepat menyebar

ke seluruh ventrikel, dipercepat oleh sistem konduksi ventrikel

yang khusus yang terdiri dari Bundle His kanan dan kiri dan

serabut purkinje yang tersebar di seluruh bagian ventrikel

(Guyton dan Hall, 2006; Sherwood, 2012).

2) Aktivitas Mekanik

Proses mekanis pada siklus jantung terdiri dari kontraksi,

relaksasi, dan perubahan aliran darah yang melalui jantung

disebabkan oleh perubahan ritmik aktivitas listrik jantung.

(Sherwood, 2012). Tahapan yang terjadi pada aktivitas mekanik

jantung adalah pengisian pasif selama diasol ventrikel dan atrium,

kontraksi atrium, kontraksi ventrikel isovolumetrik, ejeksi

ventrikel, dan relaksasi ventrikel isovolumetrik yang terjadi

secara siklik. Pengisisan ventrikel terjadi pada tahap pengisian

pasif selama diastol ventrikel dan atrium serta pada saat kontraksi

atrium. Terdapat Volume Diastolik Akhir (VDA) yang berkisar

antara 100 ml hingga 120 ml Pada tahap akhir diastol ventrikel.

Pengosongan ventrikel terjadi pada saat ejeksi ventrikel ketika

tekanan ventrikel melebihi tekanan aorta. Ventrikel tidak


18

mengosongkan isinya secara sempurna, ada sejumlah darah yang

tertinggal di ventrikel pada akhir sistol ketika ejeksi selesai.

Jumlah darah tersebut disebut Volume Sistolik Akhir (VSA),

berkisar antara 40 ml hingga 50 ml (Klabunde, 2012; Sherwood,

2012).

c. Regulasi Heart Rate Recovery

1) Pengaruh Sistem Otonom terhadap Kerja Jantung

Sistem saraf otonom bersifat otonom (independen) dimana

aktifitas tidak berada dalam kontrol kesadaran secara langsung dan

berfungsi teruatama pada organ dalam salah satunya jantung

melalui sistem simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis

berperan dalam keadaan fight or flight reaction yang

mengakibatkan pembuluh darah vasokontriksi dan curah

jantungpun meningkat akibat kenaikan aktivitas kontraksi dari

jantung, sedangkan parasimpatis menyebabkan kondisi reservasi

dan konservasi tubuh sehingga berlawanan dengan fungsi simpatis

(Indra, 2012; Guyton dan Hall, 2006).

Saraf otonom mengontrol kerja jantung dengan mengatur

aktivitas sistem second messanger cAMP (cyclic adenosine

monophosphate) di sel-sel jantung. Saraf simpatis bersifat inotropik

positif yang memiliki efek langsung terhadap miokardium dengan

cara membebaskan norepinefrin yang dihubungkan dengan protein

G melalui reseptor adrenergik β1 sehingga meningkatkan jalur

cAMP. Saraf parasimpatis bersifat kronotropik negatif pada


19

reseptor mukarinik yang membuat menurunnya aktivitas cAMP

melalui protein G inhibitorik (Sherwood, 2012; Silbernagle, 2014).

Efek spesifik stimulasi parasimpatis dan simpatis pada jantung

dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2.3. Efek Sisitem Saraf Otonom pada Jantung (Sherewood,

2012

Daerah Target Efek Stimulasi Parasimpatis Efek Stimulasi Simpatis

Mengurangi kecepatan depolarisasi Meningkatkan kecepatan depolarisasi


ke ambang; ke ambang;
Nodus SA
Mengurangi kecepatan denyut meningkatkan kecepatan denyut
jantung jantung

Mengurangi eksitabilitas; Meningkatkan eksitabilitas;


Nodus AV
Meningkatkan penundaan nodus AV Mengurangi penundaan nodus AV

Meningkatkan eksitabilitas;
Jalur Jantaran
Tidak ada efek Mempercepat hantaran melalui
Ventrikel
berkas his dan sel purkinje

Meningkatkatkan eksitabilitas;
Jalur Hantaran
Tidak ada efek Mempercepat hantaran melalui
Ventrikel
berkas His dan sel purkinje

Meningkatkan kontraktilitas;
Otot Atrium Mengurangi kontraktilitas
Memperkuat kontraksi

Meningkatkan kontraktilitas;
Otot Ventrikel Tidak ada efek
Memperkuat kontraksi

Mendorong sekresi Epinefrin


Medula
Tidak ada efek medulla adrenal untuk memperkuat
Adrenal
efek simpatis jantung

Meningkatkan aliran balik vena;


Vena Tidak ada efek
Meningkatkan kontraksi jantung
20

2) Aktivitas Jantung saat Aktivitas Fisik

Jantung bekerja secara otoritmis yang diatur oleh Sistem

saraf otonom yang bekerja secara independen melalui sistem saraf

simpatis dan parasimpatis. Sistem parasimpatis berperan dalam

fungsi konservasi dan reservasi tubuh sehingga berperan dalam

penurunan denyut jantung ataupun HRR, sedangkan sistem

simpatis berfungsi mempertahankan diri terhadap tantangan dari

luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri

yang dikenal dengan fight or flight reaction yang berperan dalam

peningkatan denyut jantung (Indra, 2012)

Autoregulasi intrinsik dari pompa jantung (hukum Frank-

Starling) dan aktivasi simpatis serta deaktivasi parasimpatis akan

meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung

dengan mengedarkan epinefrin, neural realease dan norephinefrin

atau keduanya. Curah jantung menurun akibat autoregulasi sistem

reaktivasi parasimpatis dan inhibisi simpatis, ketika aktivitas fisik

dihentikan. Denyut dan kekuatan kontraksi jantung pun akan

menurun (Guyton dan Hall, 2006; Dimopoulos, 2015).

d. Faktor Yang Mempengaruhi HRR

Sistem saraf otonom berperan sebagai pengatur Heart Rate

Recovery melalui sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Peningkatan

aktivitas simpatis menyebabkan nilai HRR lambat, sedangkan dengan

menurunnya aktivitas simpatis dan reaktivasi dari parasimpatis

menyebabkan HRR akan semakin cepat. (Dimopoulos, 2015). Pada


21

penilitian Dimopoulos (2015), mengungkapkan bahwa pada

seseorang yang memiliki intensitas latihan tinggi mempunyai aktivitas

simpatis yang rendah, serta memiliki HRR yang lebih cepat

dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai intensitas latihan

yang lebih rendah. Penurunan HRR atau abnormal HRR disebabkan

oleh disfungsi pengaturan otonom dan mencerminkan penurunan

tonus vagal dan gangguan pada sistem parasimpatis (Ghaffari, 2011).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi HRR, di

antaranya sebagai berikut :

1. Usia

Peningkatan usia menyebabkan semakin lambatnya HRR

karena adanya penurunan fungsi dari tubuh khususnya kontrol

sistem otonom yang mengatur HR pada proses penuaan (Ghaffari,

2011). Menurut penelitian Best., (2014) seiring bertambahnya usia

dapat meningkatkan Total Peripheral Resistance (TPR) dan Muscle

Symphathetic Nerve Activity (MSNA) yang dapat meningkatkan

HR.

MSNA merupakan impulse vasokonstriktor yang terus

meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia,

MSNA menghambat penurunan tekanan darah dan denyut nadi.

Pada usia tua terjadi lonjakan kadar noradrenalin dan katekolamin

diikuti dengan peningkatan MSNA sehingga menyebabkan kerja

simpatis akan semakin meningkat (Shantsila et al., 2015). Oleh


22

karena hal tersebut, terdapat pengaruh usia selama periode

pemulihan setelah aktivitas fisik.

2. Jenis Kelamin

Yoshino (2007) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan

antar wanita dan pria pada tingkat waktu pemulihan dan frekuensi

denyut jantungnya. Seorang laki-laki memiliki tingkat heart rate

yang lebih rendah dan waktu pemulihan yang lebih cepat

dibandingkan seorang wanita.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada laki-laki dan

perempuan ditemukan perbandingan otot jantung, komposisi

darah, volume darah, dan stroke volume. Wanita memiliki massa

otot mereka yang lebih kecil, kadar hemoglobin dan darah yang

rendah, dan volume stroke yang lebih rendah dibandingkan laki-

laki. Pada perempuan ditemukan ketebalan dinding ventrikel kiri

yang lebih kecil dibandingkan dengan atlet laki-laki. Komposisi

darah pada perempuan mengandung hemoglobin dan volume lebih

lebih rendah 10% daripada laki-laki. Hal tersebut akan

menyebabkan perempuan memerlukan detak jantung yang lebih

cepat untuk mendistribusikan jumlah oksigen yang sama dengan

laki-laki sehingga akan mempengaruhi nilai HRR (Salameh et al.,

2008 ; Fletcher et al., 2013)

3. Obesitas

Tingginya nilai IMT dengan kategori obesitas pada seseorang

dapat menggambarkan adanya abnormal HRR karena disfungsi


23

saraf vagus (Barbosa etal., 2015). Obesitas menyebabkan

peningkatan stres pada jantung akibat penyumbatan arteri oleh

akumulasi lemak dan usaha pergerakan tubuh yang lebih besar,

sehingga meningkatkan denyut jantung dan penurunan waktu

pemulihan (Berndtsson et al., 2007).

Obesitas dapat mengaktifkan neuron Pro-opiomelanocortin

(POMC) yang akan merangsang reseptor melanocortin- 4 reseptor

(MC4R) sehingga meningkatkan kerja saraf simpatis. POMC

neuron pada hipothalamus aktif ketika kadar leptin, dan insulin

tinggi pada tubuh sehingga akan merangsang pembentukan derivat

peptida POMC yang akan mengaktifkan MC4R (Melanokortin-4

Rereseptor) yang akan meningkatkan pengluaran energi dan respon

sistem simpatis sehingga tekanan darah, dan heart rate meningkat

(da Silva et al., 2014; Mountjoy, 2015).

Melanokortin merupakan golongan peptida yang berasal dari

proopiomelanocortin (POMC). Melanokortin yang bekerja pada

reseptor melanokortin-4 berfungsi untuk mengatur keseimbangan

energi dan regulasi fungsi kardiovaskular. Proopiomelanocortin

(POMC) menstimulasi pelepasan hormon stimulator agonist alfa-

melanosit MC4R (α-MSH) melalui jalur aktivasi pada nukleus para

ventrikular di hipotalamus yang akan diteruskan menuju

preganglion simpatis di medulla intermediolateral (da Silva et al,

2014; Shah et al, 2014; Iwasa et al, 2013).


24

Gambar 2.1. Skema dampak dari obesitas

Obesitas dapat meningkatkan sistem simpatis yang

disebabkan oleh peradangan kronis pada jaringan lemak yang dapat

merangsang faktor proinflmasi. Tingginya kadar lemak dalam

tubuh akan mengakibatkan terjadinya oksidasi lemak dan aktivasi

dari makrofag. Aktifnya makrofag, mengundang berbagai macam

sitokin seperti TNF alfa dan interleukin-6 menyebabkan penurunan

treshold nosiseptif aferen dan serabut aferen nervus vagal sehingga

mengirimkan sinyal ke otak mengaktifkan sistem saraf simpatis

untuk menghentikan proses inflamasi. Adanya peningkatan kerja

saraf simpatis menyebabkan adanya penurunan reaktivasi saraf

parasimpatis (Barbosa, 2015; Vaněčková I et al., 2014; Pongratz &

Straub, 2014).
25

Gambar 2.2. Mekanisme Refleks Inflamasi

Jalur utama regulasi saraf fungsi kekebalan disediakan oleh

sistem saraf simpatis dan neurotransmiter utamanya,

norepinephrine. Aktivasi sistem saraf simpatis menghambat

aktivitas sistem kekebalan tubuh, sekaligus memperbaiki sistem

kekebalan tubuh melalui subtipe reseptor adrenergik (Nance &

Sanders, 2007).

Peningkatan stimulasi simpatis akan berpengaruh ke jantung

sehingga dapat menyebabkan hipertrofi myocytic, kematian sel

myocyte dan fibrosis jantung (Wasmund et al., 2012) Terbukti

bahwa seseorang dengan obesitas memiliki risiko lebih tinggi

terhadap morbiditas dan mortalitas. (Barbosa et al., 2015).


26

4. Diabetes Melitus

Penurunan sekresi insulin akan meningkatkan kadar glukosa

yang menyebabkan perkembangan diabetes mellitus dan gangguan

penyakit kardiovaskular melalui mekanisme toksisitas glukosa,

peradangan dan disfungsi endotel. Dalam suatu penlitian

didapatkan hasil bahwa peradangan kronis dan resistensi insulin

berbanding terbalik dengan HRR, sementara kedua faktor tersebut

dianggap sebagai tanda-tanda CVD (Qiu, 2017). Resistensi insulin

berperan penting dalam patogenesis penyakit kardiovaskuler dan

memprediksi peningkatan morbiditas dan mortalitas yang dikaitkan

dengan gangguan keseimbangan otonom, terutama pada penurunan

aktivitas sistem saraf parasimpatis (Shishehbor et al., 2007).

Resistensi insulin menyebabkan terjadinya peningkatan stres

oksidatif sehingga akan mengganggu kerja sistolik dan diastol serta

kapasitas jantung untuk berkontraksi. Peningkatan aktivitas

simpatis merupakan bentuk kompensasi untuk mengembalikan

fungsi tubuh seperti semula. Sistem saraf simpatis akan

menstimulasi reseptor alfa dan beta sehingga mengurangi

vasodilatasi dan berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi.

Peningkatan aktivitas saraf simpatis menghambat sel beta pankreas

memproduksi insulin, sehingga kadar glukosa akan terus

meningkat. Hiperglikemia yang kronis akan mendorong disfungsi

otonom secara progresif dan dapat berkembang menjadi neuropati

perifer (Zhou et al., 2013).


27

Gambar 2.3. Pengaruh resistensi insulin terhadap saraf autonom

Kondisi hiperglikemia akan meningkatkan stres oksidatif

secara progresif yang nantinya akan menyebabkan rusaknya sel-sel

saraf dan disfungsi sel sendotel. Peningkatan stres oksidatif

menghasilkan aktivasi polimerase ADP-ribosa bersama dengan

aktivasi poliol akan menghasilkan produk protein kinase C dan

jalur hexosamine yang berkontribusi terhadap toksisitas glukosa.

Jalur yang berbeda ini pada gilirannya dapat memperburuk stres

oksidatif dan menyebabkan perubahan dalam ekspresi gen.

Perubahan ekspresi gen ini mengakibatkan gangguan dalam

komuniasi antara sel dan matriks sekitarnya, yang mengakibatkan

disfungsi neuron dan kematian. Jalur ini juga menyebabkan

gangguan regulasi mikrovaskular dan disfungsi endotel oleh

berbagai mekanisme termasuk peningkatan produksi inhibitor

plasminogen-1 dan endothelin-1 dan perubahan ENOS

(Dimitropoulos, 2014).
28

5. Dispilidemia

Dislipidemia merupakan gangguan profil lipid yang

digambarkan dengan adanya total kolesterol peningkatan t

trigliserida (TG), penurunan high density lipoprotein (HDL),

peningkatan LDL. Dislipidemia sangat berhubungan dengan

penyakit kardiovaskular yang disebabkan karena penurunan

Endothelial Derived Nitric Oxide (EDNO) sehingga menyebabkan

penurunan kualitas vasodilatasi pada endotel (Wichitsranoi et al.,

2015).

EDNO merupakan molekul multifungsi yang berperan

penting dalam regulasi homeostasis metabolik dan kardiovaskular.

Selain perannya sebagai vasodilator, EDNO dapat menghambat

proses pembentukan lesi vaskular dan melawan aterogenesis.

Penurunan kadar produksi NO mengakibatkan terjadinya disfungsi

endotel dan peningkatan stres oksidatif yang akan menurunkan

fungsi pembuluh darah (Sukhovershin, 2015).

Dislipidemia bisa disebabkan karena meningkatnya lipolisis

lemak sehingga terjadi kenaikan dari LDL dan kolesterol total

yang dapat menyebabkan pembentukan fatty streak pada pembuluh

darah sehingga menginduksi terbentuknya sumbatan pada

pembuluh darah. Fatty strike yang terbentuk menyebabkan pasokan

oksigen ke dalam miokardium turun menyebabkan pemulihan

kardiovaskular lebih lambat atau nilai HRR menjadi lebih kecil

(Pakpahan et al., 2007).


29

6. Merokok

Aktivitas merokok merupakan salah satu faktor risiko

terhadapt penyakit kardiovaskular baik dalam jangku yang pendek

ataupun lama dengan mempengaruhi sistem saraf otonom (Erat et

al., 2017). Zat nikotin pada rokok dapat meningkatkan kerja sistem

simpatis dengan menekan sistem parasimpatis. Zat nikotin

merangsang pelepasan adrenalin/ epinefrin pada glandula adrenal

menyebabkan peningkatkan kerja otot jantung serta meningkatkan

resistensi vaskuler perifer. Aktivitas merokok diperkirakan

menambah denyut jantung sebesar 5-10 kali per menit (Chagué et

al., 2015; Erat et al., 2017).

Merokok dapat mempengaruhi metabolisle lemak dengan

mempengaruhi kerja lipoprotein lipase yang berperan penting

terhadap kolesterol, trigliserida dan HDL. Zat yang terdapat rokok

dapat menyebabkan radikal bebas yang berasal dari LDL dan

menurunkan aktivitas plasma paraoksinase sebagai protektor dari

oksidasi LDL. Nikotin pada rokok dapat menstimulasi hormon

adrenalin dan meningkatkan konsentrasi serum free fatty acid

(FFA). FFA dapat menstimulasi sintesis dan sekresi dari kolesterol

sehingga semakin alam radikal bebas akan semakin meningkat dan

dapat merusak endotel (Papathanasiou et al., 2013).

Rokok menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh

dalam pembentukan atherosklerosis. Nikotin yang ada pada rokok

dapat meningkatkan viskositas darah dan agregasi platelet. Adesi


30

platelet akan meningkatkan produksi trombus yang akan merusak

tunika intima dan membentuk plak. Tingginya LDL dan kolesterol

dapat mendorong peningkatan proses inflamasi dan membentuk

plak aterosklerosis sehingga menyebabkan peningkatan TPR,

afterload dan penurunan dari stroke volume sehingga menggangu

sirkulasi oksigen (Papathanasiou, 2014).

7. Aktivitas Fisik

Intensitas aktivitas fisik dapat menunjukan kualitas suatu

rangsang atau pembebanan yang diberikan selama latihan.

lntensitas berhubungan dengan fungsi dari kekuatan impuls saraf

otonom yang bekerja saat latihan (Tirtawirya, 2012). Terdapat

suatu teori mengenai ambang batas anaerobik (anaerobic

threshold), yang menyatakan bahwa jika intensitas aktivitas fisik

dinaikan, maka frekuensi denyut jantung juga akan naik. Tetapi

jika intensitas terus dinaikkan pada suatu saat hubungannya tidak

linier lagi (berbentuk garis lurus) melainkan akan melengkung

(Grazzi et al., 2005). Seseorang dengan intensitas aktivitas fisik

yang tinggi dapat meningkatkan stroke volume (SV). Untuk

memenuhi kebutuhan oksigen maupun membuang karbon dioksida

jantung tidak perlu memompa dengan frekuensi yang tinggi..

Aktivitas fisik dapat mempengaruhi kadar stress metabolik

yang dapat meningkatkan aktivitas simpatis melalui kontrol

kemorefleks. Sistem kardiovaskular berperan penting dalam

regulasi kemoreseptor melalui serabut saraf aferen pada otot dan


31

serabut mekanosensitif pada sinus karotis dan arkus aorta. Aktivasi

impuls mekanoreseptor ditansmisikan melalui sumsum tulang

belakang, ke pusat kontrol kardiovaskular yang terletak di medula

oblongata untuk meningkatkan kerja simpatis (Greaney et al.,

2015). Penurunan stres metabolik menyebabkan rangsangan

kemoreseptor pada pembuluh darah yang menimbulkan penurunan

aktivitas simpatis dan peningkatan aktivitas parasimpatis. Hal ini

menyebabkan pemulihan denyut nadi menjadi lebih cepat terjadi

(Buccheit, 2010).

8. Penyakit Jantung Koroner

Seseorang yang memiliki penyakit jantung korener

mengalami penyempitan arteri koronaria (Pakpahan et al., 2007).

Penyempitan atau penyumbatan pada arteri lama kelamaan akan

menyebabkan disfungsi endotel dan kekakuan arteri sehingga

terjadi penurunan preload dan stroke volume sehingga terjadi

penurunan CO (cardiac output). Hal ini dapat menyebabkan suplai

darah dan oksigen ke otot jantung berkurang sehingga

menimbulkan infark ataupun iskemia. Akibatnya, terjadi gangguan

kontraksi atau gangguan pemompaan jantung dan merusak sistem

irama jantung. Nilai HRR yang abnormal yang diperantarai oleh

ketidakseimbangan otonom berhubungan secara signifikan dengan

disfungsi endotel, kekakuan pada arteri, dan keparahan lesi koroner

pada PJK (Po-Hsun et al., 2005; Ghafari et al., 2011;

Vivekananthan et al., 2003; Lipinski et al., 2004).


32

9. Posisi Istirahat

Posisi tubuh ketika istirahat berpengaruh terhadap kerja saraf

otonom yang mengatur kerja kardiovaskular. Respon perubahan

posisi istirahat membangkitkan respons fisiologis yang melibatkan

tindakan terkoordinasi dari beberapa sistem, termasuk pompa otot

rangka dan baroreflex arteri dan kardiopulmoner. Perbedaan posisi

istirahat menggambarkan curah jantung dan resistansi perifer total

yang dimodulasi oleh sistem saraf otonom dan baroreflexes yang

sering diukur dengan perubahan denyut jantung dan tekanan darah

(McCrory, 2016).

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat nilai HRR pada

beberapa posisi tubuh saat istirahat yaitu posisi berdiri tegak, posisi

terlentang, posisi terlentang dengan kedua kaki diangkat, posisi

duduk tegak dengan pemulihan aktif dan posisi duduk tegak

dengan pemulihan inaktif. Pemulihan aktif pada posisi duduk tegak

berhubungan dengan HRR yang lebih lambat dibandingkan dengan

pemulihan inaktif (Barak et al., 2011).

Pada posisi supinasi terjadi penurunan HR yang lebih cepat

karena adanya dominasi kerja nervus vagus dibandingkan dengan

posisi berdiri. Pada posisi supinasi dengan mengangkat kaki, darah

akan terdistribusi kembali kedalam jantung sehingga meningkatkan

venous return dan preload. Meningkatnya venous return melalui

baroreseptor arteri menyebabkan aktivitas vagal yang lebih besar


33

sehingga mengurangi denyut dan curah jantung (Barak et al.,

2011).

Menurut penelitian Zaidi (2016) Heart Rate (HR)

dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya oleh sistem otonom,

gravitasi dan stroke volume. Pada posisi duduk dan berdiri ada

tahanan melawan gravitasi yang membuat usaha untuk

mengembalikan darah dari ekstremitas bawah ke jantung lebih

besar sehingga dibutuhkan kekuatan vasokontriksi pembuluh darah

yang diprantarai oleh simpatis. Pada posisi supinasi darah akan

lebih cepat kembali ke jantung yang menyebabkan adanya respon

baroreseptor yang mengatur sistem otonom untuk menurunkan

respon simpatis sehingga menurunkan denyut jantung dan

meningkatkan preload sehingga stroke volume akan semakin

meningkat (Zaidi dan Collins, 2016).

e. Pengukuran Heart Rate Recovery (HRR)

Heart Rate Recovery didapatkan ketika fase pemulihan

beberapa menit sampai , namun pengurangan maksimum terjadi

dalam beberapa menit pertama. Indeks HRR dihitung dengan

mengurangi HR dari menit pertama, kedua dan ketiga dari HR

maksimum yang diperoleh selama tes stres (HRR1, HRR2 dan

HRR3 masing-masing). Aktivitas (misalnya penghentian latihan

atau pendinginan yang lengkap) dan posisi (berbaring, duduk atau

berdiri) mempengaruhi pemulihan detak jantung.


34

Heart Rate Recovery (HRR) merupakan perubahan nada

sistem otonom yang didapat ketika fase pemulihan dari selisih

antara nilai puncak kenaikan denyut nadi dan nilai denyut nadi saat

istirahat (Hanifah et al., 2013). Pengukuran HRR didapat ketika

beberapa menit sampai beberapa jam setelah aktifitas. Indeks

pengukuran HRR menggunakan pengurangan antara HR istitraha

dari menit pertama, kedua, dan ketiga dari HR maksimum yang

diperoleh selama aktifitas (HRR1min, HRR2min dan HRR3min)

(Dimopoulos, 2015). HR pada menit pertama lebih menunjukkan

kerja dari sistem saraf autonom, dibandingkan dengan menit

selanjutnya yang cendrung dipengaruhi oleh termoregulasi dan

regulasi metabolik.

Step test protocol merupakan salah satu parameter penerapan

aktivitas fisik yang sering dipakai dalam penelitian karena menurut

beberapa penelitian selain mudah untuk dilakukan, step test

menunjukkan validitas pada HRR yang dihitung pada menit

pertama (Chin, 2007). Satu siklus step test memiliki empat

hitungan langkah, yaitu naik, naik, turun, turun (up, up, down,

down). Frekuensi melangkah pada step test disesuaikan dengan

irama metronom. Terdapat beberapa metode step test yang sering

digunakan, yaitu metode Sharkey, metode Kasch dan metode

Harvard (Rusip, 2006) . Metode Harvard Step Test membutuhkan

durasi waktu yang lebih lama dan frekuensi yang lebih cepat

dibandingkan tes yang lain


35

Tabel 2.4. Perbedaan Berbagai Metode Step Test (Rusip, 2006).

Metode Step Test


Perbedaan
Sharkey Kasch Harvard
Tinggi Bangku:
Laki-laki 40 cm 30 cm 45 cm
Perempuan 33 cm 30 cm 43 cm
Frekuensi 90x/ menit 96 x/ menit 120 x/ menit
Metronom selama 5 menit selama 3 menit selama 5 menit

3. Remaja

Masa remaja adalah merupakan fase dari perkembangan

manusia yaitu merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

dewasa (Yuliastuti et al., 2014) . Pada masa remaja terdapat

petumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis yang signifikan

yang dapat memprediksikan tingkat kesehatan pada masa dewasa.

Seorang remaja mengalami perkembangan biologik, psikologik, dan

sosiologik yang saling terkait antara satu dengan lainnya, hal ini

biasanya disebut dengan masa pubertas.

Batasan usia remaja menurut WHO (World Health

Organization) adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes RI adalah

antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN (Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) adalah 10 sampai

19 tahun (Widyastuti et al., 2009). Menurut Mappiare masa remaja

berlangsung antara umur 12- 21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun

bagi pria. Rentang usia remaja tersebut dibagi menjadi dua bagian,

yaitu usia 12/13 - 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 -

21/22 tahun adalah remaja akhir. Remaja mengalami percepatan

pertumbuhan, termasuk percepatan pertumbuhan linier akibat


36

memanjangnya tulang-tulang panjang secara progresif. Hal tersebut

mungkin diakibatkan oleh peran genetik maupun peran hormon

pertumbuhan yang meningkat (Ali dan Asrori, 2009).

4. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Heart Rate

Recovery

Indeks Massa Tubuh (IMT) menjadi parameter sudah terbukti

dapat dijadikan parameter fungsi kardiovaskular pada remaja dan usia

tua (Twig et al., 2016). IMT secara signifikan berhubungan dengan

kadar lemak tubuh total sehingga dapat dengan mudah mewakili kadar

lemak tubuh. IMT yang dinyatakan dalam kategori obesitas merupakan

penyebab terpenting risiko gangguan kardio-metabolik pada remaja

(Dimkpa, 2009).

Heart rate Recovery (HRR) merupakan salahsatu indikator dari

fungsi jantung. Heart Rate Recovery meruakan indikator yang sudah

teruji untuk menilai fungsi kerja jantung yang berhubungan dengan

risiko metabolik pada seorang anak dan remaja (Caldwel, 2016).

Menurut Hanifah (2013), dan Qiu (2017) HRR beruhubungan dengan

tingkat faktor risiko kardiometabolik pada seorang remaja berdasarkan

body composition, meskipun terdapat faktor lain seperti usia, jenis

kelamin, aktivitas fisik ikut serta mempengaruhi nilai HRR.

Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai salah satu parameter untuk

mengukur body composition pada anak-anak dan remaja. Peningkatan

IMT pada obesitas dihubungkan dengan inflamasi kronis pada


37

jaringan lemak. Adipokin proinflamasi disekresikan oleh white fat,

seperti TNF alfa dan interleukin-6 yang akan mempengaruhi

keseimbangan otonom jantung melalui sistem saraf pusat, yang

menyebabkan hiperaktifitas saraf simpatis dan menghambat

peningkatan aktivitas parasimpatis. Hiperaktivitas saraf simpatis

menyebabkan nilai HRR lambat, sedangkan dengan menurunnya

aktivitas simpatis dan reaktivasi dari parasimpatis menyebabkan HRR

akan semakin cepat. (Dimopoulos, 2015; Barbosa et al., 2015).


38

B. Kerangka Teori
39

C. Kerangka Konsep

Indeks Massa Tubuh Heart Rate Recovery (HRR)

Usia
Jenis Kelamin
Diabetes Mellitus
Merokok
Aktivitas Fisik
Riwayat PJK
Posisi istirahat

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel bebas

: Variabel terikat

: Variabel perancu yang dikendalikan

D. Hipotesis

Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan

Heart Rate Recovery (HRR) pada remaja laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai