TL-4098
Oleh :
Nabil Fadel
15315050
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan kegiatan kerja praktik di PT Chevron Pacific Indonesia selama satu
bulan terhitung dari tanggal 9 Juli 2018 – 9 Agustus 2018 serta menyelesaikan penyusunan
laporan kerja praktik yang berjudul Evaluasi Pengelolaan Lahan Tercemar Minyak Bumi
Dengan Teknologi Ekskavasi dan Landfill di PT Chevron Pacific Indonesia, Duri.
Selama keberjalanan kerja praktik serta penyusunan laporan ini, penulis mendapatkan banyak
dukungan serta pembelajaran dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis selama pelaksanaa kerja praktik, di antaranya:
1. Kedua orang tua penulis atas segala dukungan selama mengerjakan kerja praktik
2. Ir. Agus Jatnika Effendi Ph.D. selaku dosen pembimbing kerja praktik
3. Bapak Tegar Yulian Rinaldy selaku mentor kerja praktik atas waktu dan bantuannya
untuk berdiskusi dan memberikan banyak pelajaran kepada penulis
4. Bapak Bagus Nurcahyo, Bapak Susantana, Bapak Dicky Saputra, Bapak Fendry
Djaswir, dan rekan-rekan kerja di PT. Chevron Pacific Indonesia atas bantuan dan
kebersamaannya selama penulis melaksanakan kerja praktik
5. Retha, Nico, Michael, Winston, dan rekan-rekan kerja praktik atas kebersamaan dan
diskusi-diskusi yang dilalui sepanjang pelaksanaan kerja praktik
Akhir kata penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, penulis mengaharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki laporan ini. Dengan
demikian penulis berharap semoga laporan kerja praktik ini bermanfaat bagi PT Chevron
Pacific Indonesia serta seluruh pembaca.
Penulis,
Nabil Fadel
2
DAFTAR ISI
3
4.6 Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 ..................................................................... 37
4.6.1 Kegiatan Perencanaan ................................................................................................... 37
4.6.2 Kegiatan Perencanaan ................................................................................................... 37
4.7 Fasilitas Penimbusan Akhir .................................................................................................. 41
4.8 Bioremediasi ......................................................................................................................... 42
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ......................................................................................... 43
5.1 Sumber Pencemaran.............................................................................................................. 43
5.2 Tanah Terkontaminasi Limbah B3 ....................................................................................... 43
5.3 Kondisi Lokasi dan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi di Lokasi Kulim ........................ 44
5.4 Pelaksanaan Pengelolaan Lahan Tercemar di Lokasi Kulim ................................................ 45
5.5 Perencanaan Lokasi dalam Pembangunan Landfill............................................................... 46
5.6 Perencanaan Pembangunan Landfill ..................................................................................... 51
BAB VI PENUTUP .............................................................................................................................. 54
6.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 54
6.2 Saran ..................................................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 56
LAMPIRAN A: SLIDE PRESENTASI LAPORAN PENGERJAAN STUDI KASUS ...................... 57
LAMPIRAN B: LAMPIRAN V PP NO. 101 TAHUN 2014 PENETAPAN TANAH SEBAGAI
LIMBAH B3 ......................................................................................................................................... 72
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Kegiatan harian selama kerja praktik .................................................................................... 10
Tabel II.1 Komposisi minyak mentah (Husna, 2017) ........................................................................... 16
Tabel III.1 Hasil uji sampel tanah ......................................................................................................... 19
6
BAB I
PENDAHULUAN
Industri minyak bumi merupakan industri yang melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak bumi. Selama kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
kebocoran, oil spill, dan illegal tapping dapat menjadi sumber paparan minyak bumi
terhadap tanah tempat kegiatan tersebut beroperasi. Minyak bumi mengandung
senyawa organik yaitu hidrokarbon, senyawa hidrokarbon inilah yang akan menjadi
pencemar utama bagi tanah. Tanah yang sudah tercemar senyawa hidrokarbon
kemudian disebut dengan crude oil contaminated soil atau COCS.
Berdasarkan PP no. 101 tahun 2014 keberadaan senyawa hidrokarbon dari minyak
bumi atau biasa disebut dengan total petroleum hydrocarbon (TPH) pada tanah
menyebabkan tanah termasuk kepada limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Pada PP no. 101 tahun 2014 juga dijelaskan setiap penghasil limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3. Ketika suatu lahan terpapar oleh limbah B3, maka
harus dilakukan upaya pemulihan lahan tercemar tersebut.
Melalui kerja program kerja praktik ini, penulis bermaksud untuk mempelajari dan
menganalisis lebih jauh mengenai PT Chevron Pacific Indonesia melakukan upaya
pengelolaan serta pemulihan lahan tercemar minyak bumi.
7
1.2 Maksud dan Tujuan
Kegiatan kerja praktik dilaksanakan di PT Chevron Pacific Indonesia Duri, Old Main
Office (OMO) A30, pada tanggal 9 Juli 2018 - 9 Agustus 2018.
Tahapan-tahapan yang dilakukan pada saat kerja praktik adalah sebagai berikut:
1. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan untuk melihat secara langsung kondisi lahan dan
tanah tercemar minyak bumi di kawasan operasi PT Chevron Pacific Indonesia,
Duri.
2. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari berbagai dokumen yang dibuat oleh perusahaan
mengenai pengelolaan dan pengolahan lahan dan tanah tercemar minyak bumi.
3. Studi Kasus
8
Studi kasus dilakukan untuk memperdalam wawasan mengenai pengelolaan lahan
tercemar minyak bumi dan untuk memberikan sudut pandang rekayasawan dalam
menyelesaikan peramasalahan.
4. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan teori dan regulasi yang nantinya
dapat dijadikan pembanding terhadap apa yang didapat dari observasi lapangan
dan studi kasus sebagai dasar untuk melakukan analisis dan evaluasi.
5. Evaluasi
Dari hasil observasi, studi kasus, dan studi literatur kemudian dapat dilakukan
evaluasi dari pengelolaan lahan tercemar dengan ekskavasi dan landfill.
6. Analisis dan Diskusi
Evaluasi yang dihasilkan kemudian dianalisis untuk mendapatkan suatu
kesimpulan dan saran atau usulan yang bertujuan untuk menunjang penerapan hal
yang ditinjau. Selama melakukan analisis pelaksana kerja praktik berdiskusi
dengan pembimbing baik pembimbing di lapangan juga dosen pembimbing dari
kampus.
Ruang lingkup kerja praktik di PT Chevron Pacific Indonesia, Duri ini berfokus pada
kondisi eksisting pengolahan lahan tercemar minyak bumi di PT Chevron Pacific
Indonesia, terutama terkait teknologi yang diterapkan di Duri yaitu ekskavasi dan
landfill, dalam mengidentifikasi sumber pencemar maupun proses pelaksaan
pemulihan untuk memberikan rekomendasi dalam pengelolaan lahan tercemar minyak
bumi.
9
Tabel I.1 Kegiatan harian selama kerja praktik
9 Juli 2018 10 Juli 2018 11 Juli 2018 12 Juli 2018 13 Juli 2018
Perkenalan dengan
Perkenalan dan Studi PERMEN LH Studi PP no. 101 tahun
mentor dan presentasi
pemerikasaan berkas Menuju ke Duri no. 33 tahun 2009 - 2014 - dalam
rencana awal program
di HR Rumbai selesai pengerjaan
kerja praktik
16 Juli 2018 17 Juli 2018 18 Juli 2018 19 Juli 2018 20 Juli 2018
Studi lapangan lahan
Studi PP no. 101 tahun tercemar minyak bumi Studi PP no. 101 tahun Studi PP no. 101 tahun Studi PP no. 101 tahun
2014 - dalam dan presentasi hasil 2014 - dalam 2014 - dalam 2014 - dalam
pengerjaan studi PERMEN LH pengerjaan pengerjaan pengerjaan
no. 33 tahun 2009
23 Juli 2018 24 Juli 2018 25 Juli 2018 26 Juli 2018 27 Juli 2018
Pemberian studi kasus
Studi PP no. 101 tahun Studi PERMEN LHK Presentasi hasil studi dan studi PERMEN
Studi PP no. 101 tahun
2014 - dalam no. 63 tahun 2016 - PP no. 101 2014 - LHK no. 63 tahun
2014 - selesai
pengerjaan dalam pengerjaan bagian pertama 2016 - dalam
pengerjaan
30 Juli 2018 31 Juli 2018 1 Agustus 2018 2 Agustus 2018 3 Agustus 2018
Presentasi hasil studi
Studi kasus landfill - Studi PERMEN LHK Presentasi hasil studi Studi kasus landfill - PP no. 101 2014 -
dalam pengerjaan no. 63 tahun 2016 - PP no. 101 2014 - dalam pengerjaan revisi dan Presentasi
(karakterisasi limbah) selesai bagian kedua (selesai) (karakterisasi tapak) draft studi kasus
landfill
6 Agustus 2018 7 Agustus 2018 8 Agustus 2018 9 Agustus 2018 10 Agustus 2018
Studi kasus landfill -
dalam pengerjaan Pengerjaan laporan Pengerjaan laporan Pengerjaan laporan Presentasi akhir hasil
(dimensi fasilitas) dan kerja praktik kerja praktik kerja praktik studi kasus landfill
pengumpulan draft
10
BAB II
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Langkah besar pertama Chevron di bidang eksplorasi dan produksi energi Indonesia
dimulai pada tahun 1924, ketika Standard Oil Company of California (Socal), kini
Chevron, mengirimkan ekspedisi geologi ke Pulau Sumatra. Selama lebih dari
setengah abad, Chevron telah menjadi produsen minyak mentah terbesar di Indonesia.
Dari lapangan minyak di Riau, Sumatra dan di operasi lepas pantai di Kalimantan
Timur, Chevron telah menghasilkan lebih dari 12 miliar barel minyak untuk
memenuhi kebutuhan energi dari perekonomian Indonesia yang terus berkembang.
Selama lebih dari 30 tahun, Chevron telah membantu berbagai negara untuk
memanfaatkan sumber daya panas bumi mereka untuk memenuhi sasaran
pembangunan yang berkelanjutan. Chevron menjadi yang terdepan dalam sektor
energi panas bumi dan telah mengembangkan seperempat dari kapasitas panas bumi
di seluruh dunia. Kini, operasi geothermal Chevron di Indonesia dan Filipina
menjadikan Chevron sebagai produsen energi panas bumi terbesar di dunia.
Tahun 2007, Proyek Geothermal Darajat III yang dikembangkan di bawah kontrak
dengan Pertamina dan PLN (Perusahaan Listrik Negara) di Jawa Barat terdaftar dalam
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) Protokol
Kyoto. Saat ini, dengan kapasitas sebesar 110 megawatt, Darajat III merupakan
proyek energi geothermal terbesar yang terdaftar di bawah program CDM. Selain itu,
pada tahun 2009, Darajat III menerima Sertifikasi Pengurangan Emisi (Certified
Emission Reduction) perdana dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pencapaian ini
membuktikan komitmen Chevron dan Indonesia untuk mengembangkan sumber
energi terbarukan.
PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) memiliki 100 persen saham kepemilikan dan
mengoperasikan Blok Rokan yang akan berakhir pada tahun 2021. Produksi bersih
rata-rata pada tahun 2017 tercatat sebesar 122.000 barel minyak dan 21 juta kaki
kubik gas alam.
11
2.2 Lokasi dan Daerah Operasi PT Chevron Pacific Indonesia
Daerah kerja PT. CPI yang pertama seluas 9.030 km2 terletak di Kabupaten Bengkalis
dan dikenal dengan nama Kangaroo Block. Selain mengerjakan daerahnya sendiri,
PT. CPI juga bertindak sebagai operator bagian perusahaan-perusahaan lain yang
dimiliki oleh Chevron dan Texaco.
Produksi Blok Rokan saat ini berasal dari 75 lapangan aktif yang menghasilkan
Sumatra Light Crude, dengan produksi bersih rata-rata per hari sebesar 68.000 barel
minyak mentah dan 21 juta kaki kubik gas alam pada tahun 2017. Produksi dihasilkan
dari pemboran sumur sisipan, aktivitas pengerjaan ulang dan injeksi air.
Berdasarkan luas operasi dan kondisi geografis yang ada serta pertimbangan efisiensi
dalam pengoperasian, PT. CPI membagi lokasi daerah operasi menjadi beberapa
distrik, yaitu (Novianti, dkk.):
12
4. Distrik Duri, merupakan daerah operasi produksi minyak (sekitar 112 km dari
distrik Rumbai)
5. Distrik Dumai, merupakan pelabuhan tempat pemasaran/pengapalan minyak
(sekitar 184 km dari distrik Rumbai)
6. Distrik Support Operation, merupakan pelabuhan tempat pemasaran/pengapalan
minyak yang berlokasi di Dumai
2.3 Visi, Misi dan Nilai Dasar PT. Chevron Pacific Indonesia
2.3.1 Visi dan Misi
Visi Chevron ialah menjadi perusahaan energi dunia yang paling dikagumi
karena karyawan, kemitraan dan kinerjanya.
Misi dari PT. CPI ialah “Chevron will Independently Pursue Other Energy
Related Business Opportunities by Leveraging its Resources to Assure
Continued Value Addition and Growth.”
Misi tersebut merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan yang
diharapkan akan membangun pemahaman yang sama bagi setiap pihak yang
bekerja atau berinteraksi dengan PT CPI.
Landasan kegiatan operasi Chevron di Indonesia ialah The Chevron Way yang
merupakan langkah untuk mencapai hasil dengan cara yang benar. The
Chevron Way menjelaskan siapa Chevron, apa yang hendak dilakukan, apa
13
yang diyakini, apa yang ingin dicapai, dan arah yang akan dituju oleh
Chevron. The Chevron Way memberikan pengertian yang sama, tidak saja
bagi diri sendiri, tapi juga bagi semua pihak yang berinteraksi dengan
Chevron.
14
4. Kemitraan
Chevron membangun hubungan saling percaya dan saling mengunungkan
dengan cara berkolaborasi dengan masyrakat, pemerintah, pelanggan,
pemasok, dan mitra bisnis lainnya. Chevron sukses ketika mitranya sukses
bersama mereka.
5. Melindungi Manusia dan Lingkungan
Chevron menempatkan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja serta
perlindungan atas aset dan lingkungan sebagai prioritas tertinggi. Chevron
juga memberikan kinerja kelas dunia dengan fokus pada pencegahan
insiden berisiko tinggi.
Eksploitasi adalah proses pengambilan kandungan minyak yang ada di dalam ladang
minyak (oil reservoir). Proses eksploitasi dibagi ke dalam beberapa klasifikasi yang
didasarkan pada cara/proses keluarnya minyak dari dalam perut bumi ke permukaan
tanah sebagai berikut:
a. Primary Recovery
Pada produksi awal suatu reservoir, produksi minyak dan gas bumi terjadi
dengan bantuan energi alamiah (natural flow) yaitu minyak naik dari dalam
perut bumi menuju ke permukaan akibat tekanan dari reservoir itu sendiri, atau
dengan sedikit bantuan, seperti pengangkatan buatan (artificial lift) dan pompa.
b. Secondary Recovery
Akibat pengambilan minyak yang terus-menerus, tekanan reservoir semakin
rendah sehingga tekanan reservoir tidak efektif lagi untuk mendorong fluida
masuk ke dalam sumur produksi. Penggunaan pompa kurang efektif sehingga
reservoir membutuhkan energi tambahan. Sistem penambahan energi yang
dilakukan di PT CPI, yaitu:
Injeksi air panas (water injection/water flooding)
Injeksi uap (steam injection/steam flooding)
c. Tertiary Recovery
Dalam proses eksploitasi, terkadang proses primary dan secondary sudah tidak
efektif lagi, dengan kata lain tidak dapat dilakukan lagi. Padahal, kandungan
minyak dalam sebuah reservoir masih banyak, misalnya minyak yang terdapat
15
di celah bebatuan dan menempel di bebatuan itu sendiri. Dalam teknologi
tertiary, digunakan proses kimiawi (chemical processes untuk melarutkan dan
melepaskan hidrokarbon dengan bebatuan yang ada. Zat kimia yang biasa
digunakan antara lain polimer berat, surfaktan, dan caustic. Ketika langkah
ketiga ini sudah dilakukan dan sampai pada batas akhirnya maka kandungan
minyak yang berada di reservoir sudah tidak ekonomis lagi untuk di eksploitasi,
sehingga sumur produksi harus ditutup (end of field/abandonment). diri sendiri,
tapi juga bagi semua pihak yang berinteraksi dengan Chevron.
1. Sumatra Light Crude Oil, mempunyai kadar belerang rendah dan API tinggi
sehingga lebih encer,
2. Heavy Crude Oil atau Duri Heavy Oil, jenis minyak ini terdapat di lapangan
Duri dengan API rendah.
Viskositas
10 ᵒ C 1.11 - - - 8.32
20 ᵒ C - 0,99 - - 6,02
70 ᵒ C 1,668 - - - 5,82
cst
30 ᵒ C - - - 591 4,54
50 ᵒ C - - 11,6 - 2,87
16
Sifat dan Mixed
Satuan Attaka Arun Minas Duri
Karakteristik Crude
Kandungan
Ni/V ppm-b 0,3/0,1 <1/<1 <1/8 32/1 9,3/3,1
Logam
17
BAB III
KONDISI EKSISTING
Pencemaran yang terjadi pada tanah oleh minyak bumi ditandai dengan adanya
kandungan senyawa hidrokarbon pada tanah. Tanah yang sudah tercemar senyawa
hidrokarbon disebut dengan crude oil contaminated soil (COCS). COCS akan
terbentuk akibat adanya interaksi antara tanah dan minyak bumi. Adanya tumpahan
minyak ke media tanah umumnya diakibatkan terjadinya kebocoran pipa, adanya
illegal tapping, pencurian minyak, kegiatan eksplorasi, dan kegiatan drilling.
Salah satu lahan yang terkontaminasi oleh COCS di Duri terdapat di Kulim 57 dan
Kulim 51. COCS yang ada pada lokasi tersebut bersumber dari kegiatan drilling yang
sudah lama dilakukan dan sudah tidak dilakukan lagi di lokasi tersebut. Namun, pada
saat itu peraturan pemerintah mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
belum ada sehingga minyak-minyak yang dengan kualitas yang tidak baik dibuang
langsung ke tanah tanpa ada pengelolaan.
Data mengenai kandungan kontaminan dan hasil uji setiap parameter tanah
merupakan data yang bersifat rahasia. Data yang disajikan berikut ialah data hasil uji
sampel COCS yang sudah disesuaikan untuk keperluan studi.
18
Tabel III.1 Hasil uji sampel tanah (PT Cehvron Pacific Indonesia, 2018)
Total Metals
Organic
Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)
C6 - C9 mg/Kg Dry <40 <40
C10 - C36 mg/Kg Dry 61300 4000
Organic
Benzene mg/Kg <0.5 <0.5
Carbon tetrachloride mg/Kg <0.5 <0.5
Chlorobenzene mg/Kg <0.5 <0.5
Chloroform mg/Kg <2 <2
Total-cresol mg/Kg <0.5 <0.5
1,4-Dichlorobenzene mg/Kg <0.5 <0.5
1,2-Dichloroethane mg/Kg <0.5 <0.5
2,4-Dinitrotoluene mg/Kg <0.5 <0.5
Hexachlorobutadiene mg/Kg <0.5 <0.5
Methyl ethyl ketone mg/Kg <0.5 <0.5
Nitrobenzene mg/Kg <0.5 <0.5
PAHs (Total) mg/Kg <1 <1
19
Trichloroethena mg/Kg <0.5 <0.5
2,4,6-Trichlorophenol mg/Kg <0.5 <0.5
Vinyl Chloride mg/Kg <0.5 <0.5
Kondisi lokasi lahan tercemar cukup luas di mana lokasi Kulim 51 dan Kulim 57
dekat dengan perkebunan sawit milik warga sekitar. Lokasi merupakan daerah rawa di
mana sebelumnya lokasi tersebut adalah area kegiatan drilling minyak bumi yang
sudah berhenti dioperasikan sejak 1970-an. Dari kondisi bekas galian dapat dilihat
lahan tersebut memiliki muka air yang tidak terlalu dalam. Hal tersebut ditandai
dengan adanya genangan air pada bekas galian meskipun sehari sebelumnya tidak
terjadi hujan. Tidak jauh dari lokasi tersebut juga didapati aliran sungai yang menjadi
perhatian selama proses penggalian tanah dan dalam pengoperasian alat berat. Pada
lokasi sudah dilakukan pembatasan area terkontaminasi, pembuatan jalan untuk alat
berat, pengerukan, pembuatan cluster, dan segregasi terhadap COCS. Tanah di lokasi
tersebut merupakan tanah yang mengandung banyak humus menyebabkan secara
kasat mata sulit dibedakan antara tanah tidak tercemar dan COCS.
20
3.3 Pemulihan Lahan Tercemar di PT Chevron Pacific Indonesia
Teknologi lain yang diterapkan PT Chevron Pacific Indonesia di Riau, Sumatera ialah
pengelolaan lahan tercemar dengan pemindahan tanah tercemar ke fasilitas landfill
atau penimbusan akhir sebagai limbah B3. Teknologi ekskavasi ini banyak diterapkan
di lahan-lahan tercemar minyak bumi di Duri. Pemulihan lahan dengan teknologi ini
dilakukan dengan memindahkan tanah tercemar dengan cara ekskavasi pada lahan
yang tercemar, memindahkan tanah tercemar ke fasilitas penimbusan akhir,
menimbun kembali tanah yang sudah diekskavasi dengan tanah bersih lain, dan
melakukan capping atau penutupan fasilitas penimbusan akhir setelah selesai.
Teknologi landfill ini adalah teknologi digunakan pada lahan tercemar pada lokasi
Kulim 51 dan Kulim 57.
Setelah tanah dipisakan dan dibersihkan dari sampah-sampah besar seperti bebatuan,
batang pohon, atau akar-akar pohon yang tersisa dilakukan pengelolaan selanjutnya
untuk tanah tidak tercemar dan COCS. Untuk tanah tidak tercemar, setelah dipastikan
nilai TPH kurang dari 1% dan tidak didapati parameter pencemar lain dilakukan
penimbunan kembali tanah ketempat semula dengan dicampur tanah bersih dan tanah
tersebut akan dikembalikan fungsinya seperti peruntukan sebelumnya, yaitu tanah
sebagai lahan perkebunan. Sementara itu COCS akan diangkut dan ditimbun pada
fasilitas penimbusan akhir.
21
3.4 Proses Pengelolaan Lahan Tercemar di Kulim
Lahan tercemar COCS di Kulim 51 dan Kulim 57 sudah dilakukan pemisahan antar
COCS dan tanah yang tidak tercemar. Pemisahan tersebut dilakukan berdasarkan
parameter TPH, di mana tanah dengan TPH besar dari 1% akan dikategorikan sebagai
COCS dan jika kurang dari 1% tanah dikategorikan sebagai tanah yang bersih.
Biasanya di lapangan secara kasat mata perbedaan COCS dan tanah yang bukan
COCS akan mudah terlihat dengan melihat bongkahan tanah hasil ekskavasi. Jika
tanah tersebut mengandung COCS tanah tersebut akan terlihat membentuk bongkahan
kecil dan sedikit mengkilap, akan tetapi cara tersebut tidaklah akurat ditambah lagi
tanah mengandung humus sehingga warna tanah yang hitam dan mengandung banyak
organik membuat perbedaan ini tidak terlihat.
Setelah tanah dipisakan dan dibersihkan dari sampah-sampah besar seperti bebatuan,
batang pohon, atau akar-akar pohon yang tersisa dilakukan pengelolaan selanjutnya
untuk tanah tidak tercemar dan COCS. Untuk tanah tidak tercemar, setelah dipastikan
nilai TPH kurang dari 1% dan tidak didapati parameter pencemar lain dilakukan
penimbunan kembali tanah ketempat semula dengan dicampur tanah bersih dan tanah
tersebut akan dikembalikan fungsinya seperti peruntukan sebelumnya, yaitu tanah
sebagai lahan perkebunan. Sementara itu COCS akan diangkut dan ditimbun pada
fasilitas penimbusan akhir.
22
Gambar III.2 Cluster Tempat Penumpukan Tanah Setelah dilakukan Ekskavasi
Dalam perancanaan lokasi dan desain fasilitas landfill PT Chevron Pacific Indonesia
menjadikan Permen LHK no. 63 tahun 2016 sebagai acuan untuk menentukan
persyaratan lokasi dan fasilitas. Untuk persyaratan lokasi setidaknya diperlukan data
mengenai permeabilitas tanah, data hidrogeologi, dan hidorlogi permukaan. Sebagai
bahan studi terdapat dua lokasi yang akan dibangun fasilitas landfill. Lokasi pertama
terletak di koordinat 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E atau di oil field di sekitar jalan
raya Pekanbaru-Minas dan lokasi kedua terletak di koordinat 1°31'1.13"N,
101°1'26.18"E atau di dekat aliran Sungai Rokan.
23
3.5.1 Kondisi pada Lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E
24
Gambar III.4 Penampang Geologi-Hidrogeologi A-A’ Lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E
(Sumber: PT Chevron Pacific Indoneisa)
25
Gambar III.5 Peta Geologi Lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E
(Sumber: PT Chevron Pacific Indoneisa)
Gambar III.5 menunjukkan peta geologi dari lokasi tersebut. Dari peta geologi
didapati informasi berupa lipatan-lipatan sinklin maupun antiklin. Warna pada
peta tersebut menunjukkan jenis batuan penyusun. Warna abu-abu merupakan
aluvial, kuning merupakan baru pasir berlapis sedang, hijau muda merupakan
lapisan batu pasir dan batu lanau, merah bata merupakan batu pasir berlapis
tebal, dan warna hijau merupakan lapisan lempung. Didapati pada bagian
permukaan warnah hijau sangat sedikit dan didominasi warna hijau pucat dan
kuning yang berarti daerah tersebut didominasi lapisan pasir.
26
3.5.2 Kondisi pada Lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E
D
A A’
D’
Peta pada Gambar III.6 merupakan peta lokasi rencana pembangunan fasilitas
landfill. Area tersebut dipotong pada potongan A-A’ dan D-D’ untuk
menentukan kondisi lapisan penyusun tanah.
27
Gambar III.7 Penampang Geologi-Hidrogeologi A-A’ Lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E
(Sumber: PT Chevron Pacific Indoneisa)
28
Gambar III.8 Peta Geologi Lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E
(Sumber: PT Chevron Pacific Indoneisa)
29
Gambar III.14 Peta Hidrogeologi Lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E
(Sumber: PT Chevron Pacific Indoneisa)
30
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak bumi adalah cairan kental berwarna coklat gelap, atau kehijauan yang mudah
terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi. Minyak bumi
diambil dari dalam bumi melalui sumur-sumur minyak. Lokasi-lokasi sumur-sumur
minyak ini didapatkan melalui proses studi geologi, analisis sedimen, karakter dan
struktur sumberm dan berbagai macam studi lainnya (Guerriero V. et al., 2011).
Minyak bumi (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terdiri dari hidrokarbon
bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen,
dan nitrogen dan sangat sedikit komponen yang mengandung logam. Struktur
hidrokarbon yang ditemukan dalam minyak bumi adalah alkana (parafin), sikloalkana
(napten), dan aromatik. Proporsi dari ketiga tipe hidrokarbon sangat tergantung pada
sumber minyak bumi. Pada umumnya alkana merupakan hidrokarbon yang terbanyak
tetapi kadang-kadang mengandung sikloalkana sebagai komponen yang terbesar,
sedangkan aromatik selalu merupakan komponen yang paling sedikit. Minyak bumi
belum dapat digunakan sebagai bahan bakar maupun untuk keperluan lainnya, tetapi
harus diolah terlebih dahulu. Minyak bumi mengandung sekitar 500 jenis hidrokarbon
dengan jumlah atom C-1 sampai C-50. Untuk memisahkan fraksi-fraksi dalam
minyak bumi dapat dilakukan dengan cara distilasi bertingkat. Setelah melalui
distilasi bertingkat minyak bumi akan terpisah menjadi gas, bensin, kerosin, solar dan
lain-lain.
Crude oil contaminated soil atau tanah terkontaminasi hidrokarbon ialah istilah untuk
tanah tercemar senyawa hidrokarbon yang umumnya dari minyak bumi. Senyawa
hidrokarbon dalam bentuk apapun pada umumnya adalah kontaminan yang paling
sering ditemui yang memerlukan pengelolaan karena mudah tersebar secara luas dan
berisiko bagi kesehatan manusia dan dapat mencemari air. Total petroleum
hydrocarbon (TPH) adalah sebuah istilah yang menggambarkan senyawa hidrokarbon
31
dari sumber minyak bumi. Bahan bakar umum seperti bensin, solar, dan kerosin akan
erat kaitannya dengan TPH. Karena sumber TPH dari senyawa yang bermacam-
macam dan potensi risiko lingkungan dan kesehatan manusia, metode pengelolaan
dan pengolahannya pun perlu dipertimbangkan sesuai dengan lokasinya secara
spesifik.
Pada umumnya TPH akan berada dalam fase tanah. Dalam beberapa kasus TPH juga
didapati terpisah dalam fase cair, karena perbedaan massa jenis sehingga akan
mengapung pada permukaan muka air. Biasanya fase terpisah TPH dikenal sebagai
light non-aqueous liquid (LNAPL). Beberapa bagian TPH akan larut pada air tanah
atau terjebak sebagai uap pada pori-pori tanah di zona tak jenuh pada tanah. Fase-fase
dari TPH akan sangat tergantung pada komposisi sumber TPH, kondisi geologi dan
hidrogeolodi, dan lama waktu setelah terjadinya pencemaran atau tumpahan
(Churngold, 2009).
32
4.3 Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya
Menurut PP no. 101 tahun 2014 limbah B3 didefinisikan sebagai sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung B3. B3 sendiri didefinisikan sebagai zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Tanah tercemar akan dikategorikan sebagai limbah B3 sesuai aturan pada PP no. 101
tahun 2014 pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) di mana identifikasi zat pencemar tanah
tercemar dilakukan melalui uji karakteristik beracun melalui TCLP dan analisis total
konsentrasi zat pencemar sebelum dilakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Nilai baku untuk identifikasi zat pencemar dilakukan sesuai dengan nilai baku
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini dengan ketentuan:
a. jika konsentrasi zat pencemar lebih besar dari TCLP-A dan/atau total konsentrasi
A, tanah dimaksud wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan limbah B3 kategori
1;
b. jika konsentrasi zat pencemar sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-A dan/atau
total konsentrasi A dan lebih besar dari TCLP-B dan/atau total konsentrasi B,
tanah dimaksud wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan limbah B3 kategori 2;
c. jika konsentrasi zat pencemar sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-B dan/atau
total konsentrasi B dan lebih besar dari TCLP-C dan/atau total konsentrasi C,
tanah dimaksud wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan limbah non B3; dan
d. jika konsentrasi zat pencemar sama dengan atau lebih kecil dari TCLP-C dan total
konsentrasi C, tanah dimaksud dapat digunakan sebagai tanah pelapis dasar.
Tanah yang tergolong kepada limbah B3 baik kategori 1 maupun kategori 2 wajib
dilakukan pengelolaan sebagai limbah B3 sebagaimana yang diatur pada PP no. 101
tahun 2014.
33
4.4 Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya
Pengelolaan mengenai limbah B3 diatur lengkap pada PP no. 101 tahun 2014. Pada
peraturan tersebut dijelaskan mengenai pengelolaan limbah B3 yang meliputi
penetapan limbah B3, pengurangan limbah B3, penimpanan limbah B3, pengumpulan
limbah B3, pengangkutan limbah B3, pemanfaatan limbah B3, pengolahan limbah B3,
penimbunan limbah B3, dumping limbah B3, izin dan penghentian kegiatan
pengelolaan, pengecualian limbah B3 dari pengelolaan, lintas batas limbah B3,
penanggulangan dan pemulihan, sistem tanggap darurat, dan sanksi administratif.
34
terbuka untuk limbah B3 kategori 2. Kegiatan pengangkutan limbah B3 diatur lebih
lengkap pada pasal 47 sampai dengan pasal 52 PP no. 101 tahun 2014.
35
4.5 Hidrogeologi
Menurut Krusseman dan De Ridder (1970) ditinjau dari sifat dan prilaku batuan
terhadap airtanah terutama sifat fisik, struktur dan tekstur maka batuan dapat
dibedakan kedalam 4 (empat) macam:
Menurut Krusseman dan De Ridder (1970), akuifer dapat dibagi lagi menjadi 4 jenis
akuifer, yaitu:
36
Akuifer tertekan adalah akuifer yang lapisan atas dan bawahnya dibatasi oleh
lapisan yang kedap air.
c. Akuifer semi tertekan (semi confined aquifer)
Akuifer setengah tertekan adalah akuifer yang lapisan di atas atau di bawahnya
masih mampu meluluskan atau dilewati air meskipun sangat kecil (lambat).
d. Akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer)
Akuifer jenis ini merupakan peralihan antara akuifer setengah tertekan dengan
akuifer tidak tertekan (bebas). Dimana, lapisan bawahnya yang merupakan
lapisan kedap air, sedangkan lapisan atasnya merupakan material berbutir halus
sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air.
Menurut PERMEN LH no. 33 tahun 2009 lahan adalah suatu wilayah daratan yang
ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi,
timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil kegiatan
manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan
terkontaminasi adalah lahan yang terkena limbah B3. Penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan lahan terkontaminasi B3 yang
diakibatkan dari usaha dan/atau kegiatannya. Dalam PERMEN LH no. 33 tahun 2009
telah diatur tata cara pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3, pemulihan tersebut
terdiri atas kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemantauan.
37
Kegiatan survei lahan terkontaminasi limbah B3 dilakukan dalam beberapa
tahap yaitu inspeksi lapangan awal, survei lapangan lengkap, dan survei
lapangan pengesahan. Inspeksi lapangan awal bertujuan untuk mengetahui
kondisi umum, jenis dan kemiringan tanah, lokasi dan kondisi badan air,
indikasi lokasi terkontaminasi atau potensi kontaminasi terlihat, tanda-tanda
tanah yang terlihat akibat kontaminasi, lokasi penyimpanan limbah, dan lokasi
gedung, proses, dan aktivitas di tempat. Survei lapangan lengkap bertujuan
untuk konfirmasi inspeksi lapangan awal, diambil contoh uji tanah yang sudah
terkontaminasi dan yang belum untuk dianalisa.
38
1. Pemasangan garis batas dilakukan dengan pemasangan pembatas
sesuai besaran (luasan) lahan terkontaminasi isolasi dengan cara
menentukan titiktitik koordinatnya.
2. Penetapan titik koordinat dilakukan dengan menggunakan alat ukur
Geographic Position System (GPS) yang sebelumnya ditandai
minimal oleh tampaknya 4 satelit dalam GPS tersebut.
c. Pemberian papan pengumuman
Maksud pemasangan papan pengumuman untuk memberikan informasi
kepada pihak yang berkepentingan bahwa di lokasi (lahan) tersebut
sedang dilakukan penanganan lahan terkontaminasi limbah B3. Tujuannya
adalah agar pihak yang berkepentingan tidak melintas dan atau
memanfaatkan lahan yang sedang dalam penanganan.
d. Pengambilan contoh uji
Pengambilan contoh uji tanah, air tanah, limbah B3, fisika tanah,
pengukuran tinggi muka air tanah, topografi tanah dan penyelidikan
geohidrologi yang meliputi titik kontrol dan titik pengambilan contoh uji
pada area terkontaminasi. Pengambilan contoh uji diperlukan untuk
perhitungan dan/atau gambaran volume tanah terkontaminasi, penjalaran
dan kedalaman kontaminan pada lahan terkontaminasi.
e. Pengangkatan dan pengangkutan tanah terkontaminasi atau alternatif lain
Meliputi pelaksanaan kegiatan pengangkatan menggunakan seperangkat
peralatan (alat berat dan ringan) untuk mengangkat tanah terkontaminasi
oleh limbah B3 ke dalam wadah yang sesuai dengan jenis dan
karakteristik limbah B3.
Pelaksanaan pengangkatan tanah terkontaminasi:
1. Tempatkan pada wadah yang tidak bocor, berkarat atau rusak
sehingga tidak menyebabkan reaksi dengan sumber kontaminan yang
terkandung di dalam tanah terkontaminasi.
2. Memberi simbol dan label pada wadah/kemasan untuk mewadahi
tanah terkontaminasi.
3. Mencegah terjadinya ceceran.
4. Mengelola tanah terkontaminasi sesuai pengelolaan limbah B3.
f. Tahap pemulihan lahan terkontaminasi
39
Pelaksanaan pemulihan tanah terkontaminasi meliputi pemulihan tanah
terkontaminasi dan pembersihan limbah B3 yang terkandung di dalamnya,
sehingga Lahan tercemar dapat dibersihkan dan atau dipulihkan dari
kontaminasi limbah B3.
Tahapan pelaksanaan:
1. Menetapkan luas area terkontaminasi.
2. Menetapkan letak sumur pantau dan titik referensi di sekitar lokasi
lahan tercemar.
3. Memetakan area untuk selanjutnya menghitung jumlah sampel baik
luas dan sebaran kontaminasi.
4. Mengambil sampel tanah dan dianalisa untuk menetapkan parameter-
parameter yang diperkirakan penyebab kontaminasi.
5. Mengelola jumlah volume tanah terkontaminasi, cara pengolahan
dengan proses biologi, proses fisika atau proses kimia.
6. Mengisolasi area terkontaminasi dengan penandaan dan garis
pengaman.
7. Kajian dari kegiatan pemulihan dan pemantauan didalam
pelaksanaannya.Tempatkan pada wadah yang tidak bocor, berkarat
atau rusak sehingga tidak menyebabkan reaksi dengan sumber
kontaminan yang terkandung di dalam tanah terkontaminasi.
g. Pemantauan lahan terkontaminasi
Pemantauan kualitas tanah, air tanah wajib dilakukan setelah 6 (enam)
bulan, minimal 2 (dua) kali setelah hasil data laboratorium pada lahan
terkontaminasi mencapai target tingkat keberhasilan.
Menetapkan luas area terkontaminasi.
1. Periode pengambilan contoh uji dilakukan setiap 6 bulan sekali sesuai
dengan jumlah contoh uji dan parameter yang diambil pada
permulaan pengambilan contoh uji.
2. Pemenuhan persyaratan target tingkat keberhasilan/baku mutu yang
telah disepakati di permulaan pengambilan contoh uji.
40
h. Pengurugan
Pengurugan (backfill) pada lahan terkontaminasi dapat dilakukan untuk
selanjutnya dilakukan revegetasi jika telah tercapai keberhasilan target.
Pengurugan dapat dilakukan dengan menggunakan tanah olahan hasil dari
proses pengolahan dengan persyaratan tanah tersebut telah memenuhi
persyaratan atau konsentrasi zat kontaminan telah menurun.
Maksud dan tujuan pengurugan adalah agar lahan terkontaminasi limbah
B3 setelah bersih dapat digantikan oleh tanah baru lapisan muka tanah
sehingga berfungsi sesuai asalnya.
Tahapan pelaksanaan:
1. Pemilihan tanah yang sesuai dengan kondisi sebelum lahan
terkontaminasi melalui uji kualitas tanah.
2. Menghitung volume tanah yang akan digunakan untuk tanah urug.
3. Melakukan pengurugan sesuai kondisi fisiografi tanah sekitar.
4. Mengolah tanah sehingga siap tanam untuk tahap revegetasi.
Fasilitas penimbusan akhir menurut PERMEN LHK no. 63 tahun 2016 diartikan
sebagai fasilitas kegiatan Penimbunan Limbah B3 berupa lahan timbus yang telah
memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan. Dalam PP no. 101 tahun 2014 fasilitas
penimbusan akhir dibahas sebagai salah satu fasilitas dalam pengelolaan limbah B3
untuk kegiatan penimbunan limbah B3 dan juga sebagai fasilitas untuk kegiatan
dumping pada media tanah.
41
tata cara dan persyaratan pemantauan lingkungan hidup, tata cara dan rincian
pelaksanaan penutupan bagian paling atas, dan penetapan penghentian kegiatan.
4.8 Bioremediasi
42
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pencemaran tanah oleh minyak bumi yang terjadi di PT Chevron Pacific Indonesia
terjadi akibat beberapa kegiatan. Sumber pencemaran pada PT Chevron Pacific
Indonesia cukup mudah untuk ditentukan karena paparan minyak bumi ke tanah
hanya akan terjadi di sekitar unit-unit operasi atau distribusi minyak. Tumpahan
minyak akibat terjadinya kebocoran pipa, adanya illegal tapping, pencurian minyak,
kegiatan eksplorasi, dan kegiatan drilling dapat diminimalkan dengan melakukan
pekerjaan sesuai Standard Operating Procedure.
Pada lokasi Kulim 51 dan Kulim 57 salah satu penyebab terbentuknya COCS sebagai
pencemar pada lokasi tersebut adalah lokasi tersebut sebelumnya merupakan sumur-
sumur minyak yang sudah lama tidak beroperasi dan pada saat beroperasi belum ada
peraturan mengenai limbah B3 terutama pada minyak bumi sehingga ketika ada
minyak dengan kualitas buruk diambil dari sumur minyak hanya akan dibuang
langsung ke tanah dan menjadi sumber pencemar yang saat ini harus dikelola oleh PT
Chevron Pacific Indonesia. PT Chevron Pacific Indonesia sudah sangat baik dalam
menentukan sumber pencemaran sehingga dalam penentuan lokasi tercemar dapat
dilakukan dengan cepat.
43
C10-C36 sebesar 61.300 mg/kg di mana nilai tersebut telah melampaui nilai total
konsentrasi (TK) A untuk parameter TPH C10-C36 sebesar 40.000 mg/kg. Pada
Limbah #1 tidak didapati parameter uji lain yang melebihi nilai TK C sehingga
Limbah #1 digolongkan sebagai limbah B3 kategori 1 dan harus dilakukan
pengelolaan sesuai dengan limbah B3 kategori 1.
Pada Limbah #1 harus dilakukan pengolahan sehingga pada lahan tersebut tidak
didapati lagi kandungan TPH lebih besar dari 1% atau 10.000 mg/kg sehingga perlu
dilakukan pengelolaan, sebagaimana yang telah di lakukan PT Chevron Pacific
Indonesia. Pada Limbah #2 tanah dikategorikan limbah non B3, PT Chevron Pacific
Indonesia sendiri menentukan untuk lahan yang dilakukan pengelolaan ialah lahan
dengan tanah yang mengandung nilai TPH lebih besar dari 1% sedangkan Limbah #2
hanya memiliki nilai TPH sebesar 4.000 mg/kg atau sebesar 0,4 %. Limbah #2 dapat
dibiarkan saja atau dapat dikelola sebagai limbah non B3.
5.3 Kondisi Lokasi dan Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi di Lokasi Kulim
Pada kondisi eksisting telah dijelaskan kondisi lokasi Kulim 51 dan Kulim 57 di mana
lokasi tersebut merupakan lahan produktif bagi perkebunan sawit warga. Kondisi
tersebut membuat kontaminan harus segera dihilangkan sehingga pengolahan secara
ex-situ adalah pilihan yang tepat untuk mengelola lahan tercemar tersebut agar
kontaminan tidak tersebar lebih jauh dan memberikan dampak kesehatan bagi warga
sekitar.
Selain kondisi lokasi yang berada di perkebunan warga, letak muka air tanah dan
aliran sungai yang berdekatan dengan lokasi lahan tercemar membuat porses
pemulihan lahan harus dilakukan dengan segera. Air tanah dan air sungai yang
44
tercemar minyak bumi akan memberikan dampak kesehatan bagi warga sekitar serta
keberadaan minyak bumi pada air sungai dapat menyebabkan penurunan
produktivitas aliran sungai sebagai ekosistem perairan. Perbedaan massa jenis minyak
bumi dan air akan menyebabkan minyak bumi terapung dan membentuk lapisan
minyak pada permukaan air. Lapisan yang terbentuk akan menyebabkan kurangnya
pertukaran oksigen serta menghalangi masuknya sinar matahari yang akan
mengakibatkan penurunan produktivitas ekosistem perairan.
Tanah pada lahan tercemar tersebut secara fisik terlihat berwarna hitam yang
menandakan kadar organik pada tanah tersebut tinggi. Kondisi tersebut
mengakibatkan sulitnya membedakan tanah yang merupakan COCS dan bukan
sehingga akan menyulitkan proses pemisahan tanah. Kondisi tanah yang berupa tanah
rawa menyebabkan sulitnya operasional kegiatan pemulihan sehingga pemadatan
tanah di lokasi diperlukan sebagai jalan akses alat berat, pembatas jalan, dan juga
stockpile untuk menempatkan tanah hasil ekskavasi.
Pemulihan lahan terkontaminasi minyak bumi yang telah di lakukan di Kulim 51 dan
Kulim 57 telah dilakukan secara ex-situ sesuai dengan kondisi lokasi yang
memerlukan penanganan pencemar segera agar pencemar tidak menyebar.
Pengelolaan secara ex-situ yang dilakukan ialah dengan ekskavasi dan landfill atau
penimbusan akhir. Ekskavasi dilakukan dengan menggunakan alat berat berupa
excavator. Tanah yang telah di ekskavasi dipindahkan ke hamparan tanah yang sudah
disiapkan sebagai stockpile untuk dilakukan segregasi atau pemisahan.
45
lain tersebut dipisahkan untuk meminimalkan volume pengelolaan baik selama
pengangkutan maupun penimbunan akhir di landfill.
Tanah yang telah dilakukan segregasi, diletakkan di stockpile. Tanah yang tidak
tercemar yaitu tanah dengan nilai TPH kurang dari 1% akan dicampur dengan tanah
bersih hingga volumenya memenuhi jumlah volume tanah yang sudah diekskavasi
sehingga tanah dapat kembali digunakan sebagaimana peruntukan sebelumnya. Untuk
COCS yang telah dipisahkan dilakukan penghomogenan untuk dilakukan pengujian
kembali untuk memastikan seluruh tanah tersebut memiliki nilai TPH lebih dari 1%.
Pengujian dilakukan dengan cara komposit.
COCS akan diangkut menggunakan truk dengan volume 7 m3. PT Chevron Pacific
Indonesia telah melakukan dengan tepat langkah-langkah pengelolaan tanah sebagai
limbah B3. Namun, pada saat pengangkutan penggunaan truk perlu diperhatikan.
Untuk limbah B3 kategori 1 seperti Limbah B3 sesuai dengan pasal 47 PP no. 101
tahun 2014 pengangkutan wajib menggunakan angkutan tertutup.
46
Gambar V.1 Posisi Lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E
(Sumber: google earth)
47
Gambar V.3 Jarak Lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E ke Aliran Sungai Terdekat
(Sumber: google earth)
Letak akuifer tertekan pada lokasi tersebut berada pada kedalaman 15 m dari
permukaan tanah. Letak akuifer tertekan tersebut memberikan batasan kedalaman
penggalian untuk landfill sebesar 11 m, sesuai dengan batasan jarak 4 m dari akuifer
tertekan yang tertera pada PERMEN LHK no. 63 tahun 2016. Melalui pemantauan
melalui aplikasi google earth didapati data hidrologi mengenai jarak ke garis pantai
terdekat sejauh 105.465 m dan jarak ke aliran sungai atau saluran irigasi terdekat 445
48
m. Sesuai dengan persyaratan hidrologi pada PERMEN LHK no. 63 tahun 2016
lokasi tersebut memenuhi jarak ke garis pantai minimal sejauh 2.500 m dan jarak ke
aliran sungai atau saluran irigasi terdekat sejauh 500 m.
Hasil analisis lokasi tersebut memiliki beberapa batasan terkait dengan persyaratan
lokasi yang tertera pada PERMEN LHK no. 63 tahun 2016. Batasan yang dimaksud
ialah mengenai persyaratan permeabilitas sehingga perlu dilakukan rekayasa untuk
lahan tersebut agar dapat dibangun fasilitas landfill kelas III. Rekayasa yang
dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia ialah dengan membangun fasilitas landfill
kelas III dengan persyaratan sistem pelapis fasilitas kelas II. Batasan lainnya ialah
batas penggalian tanah sebelum membanung fasilitas landfill yaitu pada kedalaman
penggalian 11 meter.
49
Gambar V.5 Jarak Lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E ke Garis Pantai Terdekat
(Sumber: google earth)
50
Kondisi pada lokasi 1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E didapati data-data geologi dan
hidrogeologi. Berbeda dengan kondisi tanah pada lokasi sebelumnya, tanah pada
lokasi ini bersifat clayey atau lempung. Lahan dengan tanah dominan lempung
tersebut memiliki nilai permeabilitas 1,73×10-8 – 4,07×10-7 cm/detik. Pada
penampang geologi-hidrogeologi tidak didapati adanya daerah resapan air. Kondisi-
kondisi tersebut memberikan informasi bahwa lokasi tersebut memenuhi persyaratan
lokasi untuk fasilitas landfill kelas I, kelas II, dan kelas III sesuai dengan PERMEN
LHK no. 63 tahun 2016 dengan permeabilitas paling besar 10-7 cm/detik.
Letak akuifer tertekan pada lokasi tersebut berada pada kedalaman 8 m dari
permukaan tanah. Letak akuifer tertekan tersebut memberikan batasan kedalaman
penggalian untuk landfill sebesar 4 m, sesuai dengan batasan jarak 4 m dari akuifer
tertekan yang tertera pada PERMEN LHK no. 63 tahun 2016. Melalui pemantauan
melalui aplikasi google earth didapati data hidrologi mengenai jarak ke garis pantai
terdekat sejauh 47.092 m dan jarak ke aliran sungai atau saluran irigasi terdekat 1.732
m. Sesuai dengan persyaratan hidrologi pada PERMEN LHK no. 63 tahun 2016
lokasi tersebut memenuhi jarak ke garis pantai minimal sejauh 2.500 m dan jarak ke
aliran sungai atau saluran irigasi terdekat sejauh 500 m.
Dapat disimpulkan lokasi tersebut sangat tepat untuk dibangun fasilitas landfill baik
kelas I, kelas II, maupun kelas III karena memenuhi seluruh persyaratan lokasi. Selain
itu, lokasi ini memiliki lahan yang cukup luas sehingga akan sangat tepat jika
dilakukan pembangunan fasilitas landfill.
Fasilitas landfill yang akan dibangun PT Chevron Pacific Indonesia ialah fasilitas
landfill yang akan dijadikan tempat penimbusan bagi Limbah #1 sebagai tanah
tercemar yang dikategorikan sebagai limbah B3 kategori 1 dan Limbah #2 sebagai
tanah tercemar yang dikategorikan sebagai limbah non B3. Dalam PP no. 101 tahun
2014 limbah B3 tidak boleh dicampur sehingga akan dibutuhkan dua jenis fasilitas
landfill. Limbah #1 akan ditimbun pada fasilitas landfill kelas I pada lokasi
1°31'1.13"N, 101°1'26.18"E dan Limbah #2 akan ditimbun pada fasilitas landfill
kelas III pada lokasi 0°45'25.18"N, 101°23'43.96"E.
51
Fasilitas landfill kelas I akan menampung Limbah #1 dengan volume 3.000.000 m3.
Untuk mengakomodasi volume tersebut dengan perbandingan panjang dan lebar
fasilitas adalah 1:1, fasilitas akan dibangun pada area seluas 18 Ha dengan kedalaman
fasilitas 4 m, slope bagian bawah 2:1, ketinggian fasilitas 25 m, dan slope bagian atas
3:1. Slope bagian bawah didesain 2:1 agar dapat memaksimalkan volume fasilitas itu
sendiri dan slope atas didesain 3:1 dengan tujuan menghindari terjadinya erosi jika
kurang dari perbandingan tersebut. Lama yang dibutuhkan untuk pembuatan fasilitas
direncanakan selama 12 bulan dan lama penimbunan pada fasilitas direncanakan
selama 12 bulan. Dengan asumsi kapasitas truk adalah 7 m3/truk/hari diperkirakan
akan memerlukan 1.200 truk perhari untuk menyelesaikan landfill.
Sesuai dengan kebutuhan desain didapati panjang dan lebar dari fasilitas landfill kelas
I sebesar 424,26 m. Panjang dan lebar bagian dasar sebesar 408,26 m. Panjang dan
lebar bagian atas sebesar 274,26 m. Secara keseluruhan desain landfill kelas I yang
ada akan memiliki volume sebesar 3.082.725,11 m3 dengan estimasi biaya 34,21
USD/m3. Biaya yang dimaksud sudah termasuk biaya pembuatan sistem pelapis,
ekskavasi, pengangkutan, hingga capping atau penutupan fasilitas.
Sistem pelapis kelas I terdiri dari lapisan dasar, lapisan geomembran kedua, lapisan
untuk sistem pendeteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, lapisan geomembran
pertama, lapisan untuk sistem pengumpulan dan pemindahan linda, dan lapisan
pelingdung selama operasi.
Fasilitas landfill kelas III akan menampung Limbah #2 dengan volume 1.000.000 m3.
Untuk mengakomodasi volume tersebut dengan perbandingan panjang dan lebar
fasilitas adalah 1:1, fasilitas akan dibangun pada area seluas 6 Ha dengan kedalaman
fasilitas 10 m, slope bagian bawah 2:1, ketinggian fasilitas 25 m, dan slope bagian
atas 3:1. Slope bagian bawah didesain 2:1 agar dapat memaksimalkan volume fasilitas
itu sendiri dan slope atas didesain 3:1 dengan tujuan menghindari terjadinya erosi jika
kurang dari perbandingan tersebut. Lama yang dibutuhkan untuk pembuatan fasilitas
direncanakan selama 12 bulan dan lama penimbunan pada fasilitas direncanakan
selama 36 bulan. Dengan asumsi kapasitas truk adalah 7 m3/truk/hari diperkirakan
akan memerlukan 150 truk perhari untuk menyelesaikan landfill.
Sesuai dengan kebutuhan desain didapati panjang dan lebar dari fasilitas landfill kelas
III sebesar 244,95 m. Panjang dan lebar bagian dasar sebesar 204,95 m. Panjang dan
52
lebar bagian atas sebesar 94,95 m. Secara keseluruhan desain landfill kelas III yang
ada akan memiliki volume sebesar 1.037.494,47 m3 dengan estimasi biaya 35,27
USD/m3. Biaya yang dimaksud sudah termasuk biaya pembuatan sistem pelapis,
ekskavasi, pengangkutan, hingga capping atau penutupan fasilitas.
Sistem pelapis pada fasilitas ini akan dilakukan rekayasa dengan menggunkan sistem
pelapis sesuai sistemp pelapis pada fasilitas kelas II. Rekayasa ini bertujuan untuk
mencapai nilai permeabilitas 10-5 cm/detik pada lokasi 0°45'25.18"N,
101°23'43.96"E. sistem pelapis yang dimaksud terdiri dari lapisan dasar, lapisan
untuk sistem pendeteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, lapisan geomembran
pertama, lapisan untuk sistem pengumpulan dan pemindahan linda, dan lapisan
pelingdung selama operasi.
Secara keseluruhan perencanaan landfill sesuai kelasnya pada lokasi tertentu oleh PT
Chevron Pacific Indonesia sudah direncanakan dengan sangat baik. Biaya
pembangunan landfill akan terfokus pada sistem lining atau sistem pelapis dasar di
mana pada sistem pelapis dasar sudah memakan 80% dari keseluruhan biaya
pembuatan landfill. Dalam pembangunan landfill di PT Chevron Pacific Indonesia
untuk mendapatkan desain yang tepat dengan biaya yang paling efisien dilakukan
perkiraan dengan rasio antara volume limbah dengan luasan lahan sehingga didapat
angka perkiraan untuk luas permukaan sistem pelapis dasar yang optimal.
Ketersediaan lahan untuk fasilitas landfill dinilai sangat banyak. Lokasi-lokasi remote
disekitar area PT Chevron Pacific Indonesia masih sangat banyak. Sebagai evaluasi
lokasi-lokasi ini sangat memungkin sebagai tempat pengolahan COCS secara ex-situ
dengan menggunakan teknik-teknik remediasi lainnya seperti bioremediasi. Teknik
bioremediasi merupakan salah satu teknik yang dapat mengurangi kebutuhan lahan
yang diperuntukkan sebagai fasilitas landfill. Banyak teknik bioremediasi yang dapat
menyelesaikan permasalahan hidrokarbon pada tanah, salah satunya bio pile. Dengan
luas lahan dan lokasi-lokasi potensial milik PT Chevron Pacific Indonesia teknologi
bio pile akan sangat mungkin dilakukan.
53
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Sumber pencemar dari lahan tercemar minyak bumi di PT Chevron Pacific Indonesia,
Duri ialah berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, oil spill, illegal tapping, serta
kebocoran. Tidak hanya kegiatan tersebut, pada lokasi-lokasi sumur yang sudah
ditutup memungkinkan didapati COCS seperti pada lokasi Kulim 51 dan Kulim 57.
COCS pada kedua lokasi tersebut ada akibat pada saat operasinya peraturan mengenai
limbah B3 terutama limbah minyak bumi belum diatur dalam peraturan sehingga
sangat lazim pembuangan minyak bumi langsung ke permukaan tanah di mana efek
dari kegiatan tersebut baru dirasakan sekarang dan harus diselesaikan oleh PT
Chevron Pacific Indonesia.
6.2 Saran
Dari hasil pembahasan dan evaluasi yang dilakukan penulis, penulis memberikan
beberapa saran terkait dengan pemulihan lahan tercemar minyak bumi oleh PT
Chevron Pacific Indonesia sebagai berikut.
54
1. PT Chevron Pacific Indonesia sebaik memperhatikan setiap detail proses
kegiatannya sehingg tidak terjadi paparan antara minyak bumi dengan permukaan
tanah.
2. Pengujian parameter TPH langsung di lapangan sebaiknya dilakukan dengan alat
seperti portable hydrocarbon analyzer sebelum dicek kembali di laboratorium, hal
tersebut baik dilakukan untuk melakukan pemisahan awal sehingga data akan
cepat didapat.
3. Untuk lokasi tercemar lainnya yang jauh dari pemukiman atau jauh dari lahan
produktif, sebaiknya pemulihan dilakukan setempat agar secara biaya akan sangat
efektif.
4. Dalam pengolahan tanah sebaiknya pengolahan yang dilakukan memberikan nilai
tambah atau nilai guna pada COCS, sehingga tidak ada lokasi permanen yang
dijadikan sebagai tempat penimbunan limbah B3.
5. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengolahan sebaiknya PT Chevron
Pacific Indonesia lebih banyak melakukan tes skala laboratorium maupun pilot
test untuk teknologi remediasi terutama bioremediasi secara ex-situ, teknologi ex-
situ dinilai tepat karena limbah harus cepat diekskavasi serta waktu pengolahan
teknologi ex-situ relatif cepat.
55
DAFTAR PUSTAKA
Krusseman, G.P, De Ridder, N.A. 1970. Analysis and Evaluation of Pumping Test
Data, Institut For Land Reclamation and Improvement. The Netherlands: Bull 11,
Gewinengen.
Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 33 tahun 2009 tentang Tata Cara
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 63 tahun 2016 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di
Fasilitas Penimbusan Akhir
56
LAMPIRAN A:
SLIDE PRESENTASI LAPORAN PENGERJAAN
STUDI KASUS
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
LAMPIRAN B:
LAMPIRAN V PP NO. 101 TAHUN 2014
PENETAPAN TANAH SEBAGAI LIMBAH B3
72
73
74
75